Hukum Mematikan HP Ketika Shalat, Batalkah?

Dalam era modern ini, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Salah satu perangkat teknologi yang paling umum dimiliki adalah telepon pintar atau smartphone. Namun, ada situasi-situasi tertentu di mana kita diharapkan untuk fokus sepenuhnya pada ibadah, salah satunya adalah saat melakukan shalat. Pertanyaan muncul, hukum mematikan hp ketika shalat, batalkah?

Shalat adalah salah satu rukun Islam yang memiliki peran penting dalam kehidupan seorang Muslim. Selain sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, shalat juga menjadi sarana untuk menjaga koneksi spiritual antara manusia dan Sang Pencipta. Oleh karena itu, penting untuk menjaga khusyuk atau kekhusyukan dalam shalat.

Teknologi, termasuk smartphone, telah menjadi sumber gangguan dalam menjaga khusyuk dalam shalat. Notifikasi, panggilan, pesan, dan berbagai aplikasi dapat mengganggu konsentrasi selama beribadah. Oleh karena itu, banyak ulama dan cendekiawan Muslim menganjurkan untuk mematikan atau setidaknya menonaktifkan fitur-fitur yang dapat mengganggu selama shalat.

Dalam Islam, shalat adalah bentuk ibadah yang sangat penting dan harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan khusyuk. Nah dalam kasus di mana seseorang sengaja mematikan HP saat shalat karena berdiring, maka ulama mengatakan perbuatan tersebut tidak sampai membatalkan shalat. Pasalnya, itu gerakan yang sedikit, dan juga dibutuhkan agar shalat jemaah yang lain tidak terganggu.

Jadi Handphone yang berdering saat shalat, maka ada kewajiban untuk mematikannya, karena mengganggu jemaah yang lain. Adapun gerakan tersebut [untuk mematikan hp] termasuk gerakan yang sedikit karena hajat,  dan hukumnya tidak sampai membatalkan shalat.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Bakri Syatha, dalam kitab Ianatut Thalibin,  juz I, halaman 248 bahwa gerakan sedikit dalam shalat tidak sampai membatalkan shalat.

ومحل عدم البطلان بالفعل القليل إن لم يقصد به اللعب وإلا أبطل

Artinya, “Ketidakbatalan shalat karena sedikit gerak terletak pada niatnya yang bukan untuk main-main. Tetapi jika dimaksudkan untuk main-main belaka, maka shalatnya menjadi batal.

Jadi gerakan atau aktivitas yang dilakukan hanya dalam jumlah kecil atau dengan intensitas yang rendah tidak akan mempengaruhi atau membatalkan shalat, kecuali jika tujuannya adalah untuk bermain atau bergurau. Demikian penjelasan terkait hukum mematikan hp ketika shalat, batalkah? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Istimewanya Ibadah Muhasabah

Muhasabah merupakan ibadah yang agung dan memberikan dampak yang besar dalam kehidupan seseorang. Akan tetapi, banyak orang meninggalkannya. Muhasabah berasal dari kata hasaba- yuhasibu- muhasabatan yang berarti “menghitung”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, muhasabah diartikan sebagai introspeksi diri”.

Syekh Munajjid hafizhahullah menjelaskan bahwa muhasabah bermakna memperhatikan amalan diri, kemudian meninggalkannya apabila itu berupa kejelekan dan tetap terus mempertahankan amal kebaikan yang telah dilakukan. (A’malul Qulub, hal. 362)

Muhasabah merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Hasyr: 18)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar kita senantiasa bermuhasabah,

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

Orang cerdas adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. (HR. Tirmidzi)

Para ulama telah sepakat mengenai wajibnya muhasabah diri terhadap amal yang telah lalu dan amal apa yang akan dilakukan nantinya. (Lihat Amalul Qulub, hal. 363-364)

Perlu kita ketahui bahwa muhasabah mempunyai keistimewaan (keutamaan) yang tidak dimiliki oleh amalan-amalan lainnya.

Muhasabah: Ibadahnya orang-orang pilihan

Hanya orang yang diberikan hidayah yang bisa melakukan amal muhasabah ini. Mayoritas amal ibadah bisa jadi ada motivasi unsur duniawi, seperti doa, ikhtiar, dan tawakal, karena ingin dicukupkan rezekinya; atau sedekah dan salat karena ada niatan agar terlihat dermawan dan saleh. Sedangkan amal muhasabah ini sangat kecil kemungkinan ada unsur duniawinya karena hanya dia dan Allahlah yang mengetahui kondisi hati.

Allah Ta’ala berfirman,

بَلِ ٱلْإِنسَٰنُ عَلَىٰ نَفْسِهِۦ بَصِيرَةٌ

“Bahkan, manusia itu menjadi saksi (mengerti) atas dirinya sendiri.” (QS. Al-Qiyamah: 14)

Muhasabah: Dilakukan saat orang lain sedang lalai

Kebanyakan orang melakukan muhasabah ketika malam hari dalam kondisi yang sepi. Dan malam hari banyak digunakan manusia untuk tidur dan lalai melakukan ketaatan. Padahal, ibadah yang dilakukan saat mayoritas orang sedang lalai memiliki keutamaan yang besar.

Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka memperbanyak puasa di bulan Sya’ban di mana banyak orang lalai berpuasa saat itu.

Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya oleh Usamah bin Zaid,

عن أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Dari Usamah bin Zaid, ia berkata, “Aku bertanya pada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, aku tak melihat engkau berpuasa dalam sebulan sebagaimana engkau lakukan di bulan Syaban.’Rasulullah menjawab, ‘Bulan itu (Syaban) adalah bulan yang banyak orang lalai darinya, karena berada di antara bulan Rajab dan Ramadan. Pada bulan Syaban, amalan diangkat kepada hadirat Allah, maka aku ingin amalanku diangkat selagi aku sedang berpuasa.’ (HR. Abu Dawud dan An Nasa’i, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Bahkan, salat sunah yang paling utama adalah salat yang dilakukan pada malam hari karena banyak manusia lalai dari beribadah dan sedang terlelap tidur.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ

Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam. (HR. Muslim)

Belajar menghisab diri

Kita hidup berjalan terus menuju kematian, tak pernah berhenti, bahkan tak akan bisa mundur kembali.

Umar bin Khattab radhiyallaahu anhu berkata,

حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا

Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (kelak pada hari kiamat).

Seseorang yang senantiasa mengintropeksi dirinya di dunia, maka ia akan tahu amal buruk mana yang harus ditinggalkan dan amal kebaikan apa yang harus dipertahankan, sehingga akan mempermudah hisab (timbangan) di hari kiamat nanti.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86658-ibadah-muhasabah.html

Fenomena LGBT Semakin Merajalela, Bagaimana Kita Menyikapinya?

Fenomena LGBT kini dinilai semakin meresahkan. Mereka mulai menunjukan eksistensinya baik di dunia nyata maupun di media sosial.

Lalu, bagaimana kita sebagai umat Muslim menyikapinya? Serta, bagaimana cara keluarga melindungi anak-anak dari pengaruh LGBT.

Dua podcaster Mozaik, Ani Nursalikah dan Muhyiddin, akan membahasnya dalam podcast Mozaik bersama Ketua Umum BKMT Syifa Fauzia.

Link Video:

https://tv.republika.co.id/berita/rxh6y0467/fenomena-lgbt-semakin-merajalela-bagaimana-kita-menyikapinya

(Khutbah Jumat) Awas, Bahaya Adu Domba!

Adu domba adalah sebab turunnya siksa kubur bagi pelakunya, mari berdoa kepada Allah dari akhlak buruk perilaku adu domba atau korban darinya, inilah petikan khutbah Jumat kali ini

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

Hidayatullah.com | DI ZAMAN Baginda Nabi ﷺ sendiri, nyaris saja terjadi pertempuran antara Kabilah Aus dan Kabilah Khazraj akibat lisan berbisa seorang Yahudi. Inilah rangkuman khutbah Jumat kali ini tentang bahasa adu domba, di bawah ini teks khutbah Jumat lengkapnya;

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Kaum Muslimin Jamaah Shalat Jumat Hafidzakumullah

Mengawali Khutbah Jumat pada kesempatan yang mulia ini, terlebih dulu kami ketengahkan sebuah kisah untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi kita semua.

Dikisahkan ada seorang lelaki menjual budak, lalu dia berkata kepada calon pembelinya, “Dia tidak mempunyai cacat kecuali dia ini seorang pengadu domba.” Tetapi pembeli itu mengabaikan aib itu dan tetap membelinya.

Budak itu tinggal di rumahnya beberapa hari, kemudian dia berkata kepada istri tuannya, “Sesungguhnya suamimu tidak mencintaimu dan dia ingin mencari istri selain dirimu (memadumu). Apakah kamu ingin dia mencintaimu lagi?” Wanita itu menjawab, “Tentu saja.” Si budak berkata kepadanya, “Ambillah gunting dan potonglah rambut jenggot bagian bawahnya ketika dia tidur.”

Kemudian dia mendatangi sang suami seraya berkata, “Sesungguhnya istrimu senang dengan lelaki lain dan dia ingin membunuhmu. Apakah kamu ingin tahu hal itu?” Sang suami menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Berpura-puralah kamu tidur sampai dia datang.” Maka dia pun berpura-pura tidur.

Lalu datanglah istrinya dengan membawa gunting untuk memotong rambutnya. Sang suami mengira bahwa istrinya akan membunuhnya, lalu dia merebut gunting itu dan membunuh istrinya. Kabar kematiannya sampai ke pihak keluarga istri, datanglah keluarga wanita itu dan membunuh si suami. Datang pula keluarga suami dan menyerang mereka, sehingga terjadilah peperangan antara dua keluarga ini.

Kisah di atas layak kita ambil pelajaran dan hikmah di dalamnya. Budak dalam kisah ini adalah pelaku dari adu domba yang memecah belah persatuan antara pasangan suami istri, bahkan antara kedua belah keluarga.

Dari lisannya yang kotor, keluarga yang mulanya hidup harmonis, berubah menjadi keluarga yang saling bermusuhan sampai saling membunuh sesama mereka.

Kita harus waspada dengan kondisi seperti ini. Di mana-mana aktivitas adu domba kerap kali terjadi.

Kendati itu adalah trik yang murahan, tapi tidak mudah bagi kita untuk mengenali modusnya, bahkan sering kali kita terkecoh. Terkadang baru kita sadari saat nasi sudah menjadi bubur.

Karenanya, memecah belah masyarakat selalu menjadi senjata andalan para provokator, lengkap dengan mata panah yang semakin hari semakin runcing dan mematikan.

Allah SWT berfirman :

وَلَا تُطِعۡ كُلَّ حَلَّافٍ۬ مَّهِينٍ (١٠) هَمَّازٍ۬ مَّشَّآءِۭ بِنَمِيمٍ۬ (١١) مَّنَّاعٍ۬ لِّلۡخَيۡرِ مُعۡتَدٍ أَثِيمٍ (١٢) عُتُلِّۭ بَعۡدَ ذَٲلِكَ زَنِيمٍ (١٣)

“Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, suka mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah, yang merintangi segala yang baik, yang melampaui batas dan banyak dosa, yang bertabiat kasar, selain itu juga terkenal kejahatannya.” (QS. al-Qalam : 10-13).

Kaum Muslimin Jamaah Shalat Jumat Hafidzakumullah

Di zaman Nabi Muhammad ﷺ sendiri, nyaris saja terjadi pertempuran berdarah antara Kabilah Aus dan Kabilah Khazraj. Hal ini akibat ulah lisan berbisa seorang Yahudi yang mengungkit peristiwa Bu’ats, sebuah peristiwa kelam di masa sebelum Islam yang menelan korban sangat banyak dari kedua belah pihak. Beruntung Rasul ﷺ cepat-cepat memadamkan api permusuhan yang coba disulut oleh si Yahudi.

Begitu pula di masa Sayidina Utsman yang dituding melakukan nepotisme, ketidakadilan, hingga menyulut pemberontakan yang mengakibatkan beliau gugur dibunuh oleh para perusuh. Dan hari ini, kita bisa melihat begitu banyak contoh kasus adanya permusuhan yang disebabkan provokasi baik melalui media cetak atau media sosial, sehingga masyarakat terpecah belah. Termasuk fitnah adu domba yang membelah persatuan sesama anak bangsa hingga detik ini, yang kita kenal dengan istilah kelompok cebong dan kadrun.

Tidakkah kita sadar bahwa keadaan seperti ini sangat tidak baik bagi upaya kita membangun kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang berkah. Bagaimana kehidupan kita akan berjalan harmonis, jika kita biarkan kondisi seperti ini terus-menerus terjadi tanpa ada usaha untuk menyadarkan semua pihak, bahwa kita tengah diadu domba.

Dari balik perbuatan adu domba, tersimpan beragama kecaman dan kehinaan bagi pelakunya. Pertama, pengadu domba itu adalah seburuk-buruknya manusia. Rasulullah ﷺ bersabda :

إنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الوَجْهَيْنِ، الذي يَأْتي هَؤُلَاءِ بوَجْهٍ، وهَؤُلَاءِ بوَجْهٍ

“Seburuk-buruk manusia adalah dzul-wajhain (orang yang bermuka dua), yaitu orang yang ketika di tengah sekelompok orang, ia menampakkan suatu wajah, namun di tengah sekelompok orang lain, ia menampakkan wajah yang lain.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits yang lain Rasul ﷺ bersabda :

أَلا أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟ قَالُوا : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : الَّذِينَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ . ثُمَّ قَالَ : أَلا أُخْبِرُكُمْ بِشِرَارِكُمْ؟ قَالُوا : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ : الْمَشَّاؤُونَ بِالنَّمِيمَةِ، الْمُفَرِّقُونَ بَيْنَ الأَحِبَّةِ، الْبَاغُونَ للبرآء الْعَنَتَ

“Maukah aku kabarkan kepada kalian orang yang terbaik?” Mereka berkata, “Mau wahai Rasul.” Beliau bersabda, “Yaitu orang orang yang apabila dilihat, membuat ingat kepada Allah.”

Beliau bersabda, “Maukah aku beritahu siapa orang terburuk?” Mereka berkata, “Mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Orang yang berjalan mengadu domba, menceraikan orang orang yang saling mencintai, dan menyusahkan orang yang tak berdosa.” (HR. Ahmad).

Kaum Muslimin Jamaah Shalat Jumat Hafidzakumullah

Kedua, keburukan bagi orang yang gemar mengadu domba adalah sebagai penyebab terjadinya pertentangan, permusuhan, dan percekcokan di antara manusia.

Menjadi provokator yang menyobek persaudaraan dengan ado domba sama halnya menjadi kaki tangan setan. Semakin banyak manusia yang bermusuhan karena ulahnya semakin ia disayang oleh setan.

Padahal setan adalah musuh nyata yang seharusnya kita jauhi serta kita musuhi.

Ada seseorang yang mendatangi Wahab bin Munabbih sambil berkata, “Ada seseorang yang berkata tentang dirimu bahwa kamu seperti ini seperti itu.” Wahab menimpali ucapannya, “Apa tidak ada kurir setan selain dirimu yang diutus olehnya.”

Sungguh benar sabda Rasul ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ على الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ منه مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فيقول: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فيقول: ما صَنَعْتَ شيئا، قال ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فيقول: ما تَرَكْتُهُ حتى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ، قال: فَيُدْنِيهِ منه، وَيَقُولُ: نِعْمَ أنت فَيلتَزمُهُ

“Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air. Kemudian ia mengutus para tentaranya. Tentara iblis yang paling bawah adalah yang paling besar fitnah (kerusakan) nya. Salah satu tentara iblis berkata: saya telah melakukan ini dan itu. Maka iblis mengatakan: kamu belum melakukan apa-apa. Kemudian tentara iblis yang lain datang dan berkata: Aku tidak meninggalkan seseorang kecuali setelah ia berpisah dengan istrinya. Maka tentara iblis ini pun didekatkan kepada iblis. Lalu iblis berkata: kamulah yang terbaik, teruslah lakukan itu.” (HR. Muslim).

Ketiga, adu domba adalah sebab turunnya siksa kubur bagi pelakunya. Hal ini sangat jelas adanya. Pada suatu hari, Rasul ﷺ melewati dua kuburan. Lalu, beliau bersabda :

إنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا: فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الْآخَرُ: فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ فَأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً، فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ، فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

“Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena sesuatu yang besar. Yang satu disiksa karena tidak berlindung di saat kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba.

“Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?” Beliau menjawab: “Semoga siksa keduanya diringankan selama dahan pohon ini masih basah.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hadits ini menjadi landasan tentang haramnya mengadu domba oleh pihak siapa pun.

Kaum Muslimin Jamaah Shalat Jumat Hafidzakumullah

Keempat, diharamkan masuk surga. Dari Hudzaifah RA berkata: Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (HR. Bukhari-Muslim)

Akhirnya, kita berlindung kepada Allah SWT dari akhlak buruk berupa adu domba. Kita juga berlindung kepada Allah SWT dari menjadi korban pihak yang akan mengadu domba.

Karena kita sejatinya adalah manusia yang diberi akal untuk berpikir, bukan sekawanan domba yang dengan mudah dipermainkan.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Jumat Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINI. Artikel lain tentang keislaman bisa dibuka www.hidayatullah.com. Khutbah Jumat ini kerjasama dengan Rabithah Alawiyah Kota Malang

HIDAYATULLAH

8 Jenis Rezeki yang Disebut dalam Al-Quran, Seorang Muslim Wajib Tahu

Berbicara mengenai rezeki, tidak sedikit yang salah kaprah bahkan tidak sadar bahwa rezeki yang dikaruniakan Allah SWT kepada makhluknya. Banyak diantara kita yang menganggap jika rezeki kerap diartikan hanya uang saja.

Padahal dalam Islam, rezeki sendiri banyak bentuknya. Misalnya saja oksigen yang diciptakan oleh Allah SWT bisa kita hirup secara gratis. Mendapatkan tubuh yang sehat juga merupakan rezeki.

Berbicara mengenai rezeki, setidaknya terdapat 8 jenis rezeki yang tertulis di dalam Al-Quran. Berikut ini adalah jenis 8 rezeki yang disebutkan Allah SWT dalam Al-Quran.

1. Rezeki yang Telah Dijamin

Jenis rezeki pertama yang tertuang di dalam Al-Quran adalah rezeki yang telah dijamin oleh Allah SWT. Bukan Cuma manusia saja yang rezekinya dijamin oleh Allah, setiap binatang pun tak rezekinya tak luput dari jaminan Allah.

Jenis rezeki ini tertuang di dalam Al-Quran Surat Hud ayat 6.

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).” (QS. Hud Ayat 6).

2. Rezeki karena Usaha

Meski rezeki seorang makhluk sudah Allah SWT jamin, namun hendaknya seorang manusia yang diberi akal harus berusaha untuk mencari rezeki. Karena setiap rezeki yang diperoleh akan sesuai dengan usaha yang dilakukan.

“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm ayat 39).

3. Rezeki karena Bersyukur

Sebagaimana yang sudah diketahui, seorang muslim dianjurkan untuk bersyukur tatkala mendapatkan nikmat atau musibah dari Allah SWT. Tidak banyak yang tahu jika saat kita bersyukur dengan takdir Allah SWT, maka Allah SWT akan menambah nikmat-Nya.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS. Ibrahim ayat 7)

4. Rezeki Tidak Terduga

Pernahkah kamu mendapatkan rezeki yang tidak terduga-duga saat sedang kepepet? Jika iya, maka sekarang tidak usah heran. Pasalnya di dalam Al-Quran disebutkan jika Allah SWT memberikan rezeki yang tidak terduga kepada hamba-Nya.

“Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.”

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq ayat 2-3)

5. Rezeki karena Istighfar

Seorang muslim dianjurkan untuk memperbanyak istighfar, bukan hanya sebagai sarana wasilah menghapus dosa. Memperbanyak istighfar juga bisa mendatangkan rezeki.

“maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun’, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,” (QS. Nuh ayat 10-11)

6. Rezeki karena Menikah

Pernah mendengar orang tua berbicara jika menikah bisa mendatangkan rezeki? Iya, ucapan tersebut ternyata bukan isapan jempol belaka. Karena ternyata menikah bisa mendatangkan rezeki.

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur ayat 32)

7. Rezeki karena Anak

Bagi sebagian orang yang telah menikah kerap merasa takut jika mempunyai anak akan sulit mendapatkan rezeki. Padahal di dalam Al-Quran, Allah SWT jelas-jelas akan menjamin rezeki seorang anak.

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Israa ayat 31)

8. Rezeki karena Sedekah

Tidak sedikit diantara kita masih kerap takut jika membagikan sebagian rezeki yang kita peroleh kepada orang lain. Padahal janji Allah SWT kepada yang bersedekah tidak main-main. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 245 dikatakan jika Allah akan melipatkan gandakan harta seseorang jika ia bersedekah.

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah ayat 245).

Itulah jenis 8 rezeki yang disebutkan Allah SWT dalam Al-Quran. Wallahu a’lam bhissawab.

ISLAMKAFFAH

Empat Tips dan Solusi Agar Tidak Larut Dalam Kesedihan Dalam Islam

Sedih merupakan bagian dari fitrah manusia. Tak satu pun manusia bisa lepas dari kesedihan, termasuk para nabi dan rasul. Semua orang hampir bisa dipastikan pernah mengalami yang namanya sedih.

Nabi Ya’kub sedih dikarenakan kehilangan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Nabi Nuh ‘alaihissalam sedih karena kehilangan anak dan istrinya. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersedih tatkala kehilangan istri dan paman tercintanya, Abu Thalib, sehingga masa-masa itu disebut dengan “ammul huzni” (tahun kesedihan). Namun, kesedihan nabi dan rasul tidak melampaui batas dan melemahkan iman.

Ini berbeda dari sikap umatnya yang kadang tak memahami batas-batas kesedihan, terlalu larut dalam kegundahan, sampai-sampai ada yang berubah sikap dan karakter secara signifikan. Biasanya, yang mengalami keadaan seperti itu adalah mereka yang gersang jiwanya, lemah agamanya, dan minim pengetahuannya, tetapi besar harapan dan angan-angannya, sehingga tatkala apa yang sangat dicintainya hilang, ia seperti tak punya pegangan. Ada yang menjerit-jerit, stres, depresi, bahkan putus asa dan bunuh diri.

Bahaya Dari Kesedihan Yang Berlarut

Secara psikologis, kesedihan adalah suatu emosi yang ditandai oleh perasaan tidak beruntung, kehilangan, dan ketidakberdayaan. Saat sedih manusia sering menjadi lebih diam, kurang bersemangat, dan menarik diri.

Allah subhanahu wata’ala memberikan motivasi kepada orang yang beriman melalui firman-Nya:

وَلاَ تَهِنُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran [3]: 139).

Syekh Imam Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nashaihul Ibad menjelaskan:

هَمُّ الدُّنْيَا بِظُلْمِ القَلْبِ وَهَمُّ الآخِرَةِ بِنُوْرِ القَلْبِ

“Sedih karena urusan dunia maka hati menjadi gelap dan sedih karena akhirat maka hati menjadi terang.”

Kesedihan akan keterpurukan sandang, pangan, papan, dan pasangan, bila tak disikapi dengan ikhtiar, syukur, sabar, qana’ah dan tawakal hanya akan membuat hati semakin gundah gulana. Hati menjadi gelap dan bisa terjerembab dalam perbuatan maksiat. Terbukti, di tengah pandemi ini banyak kriminalitas seperti pencurian, penipuan, penjambretan bahkan KDRT juga semakin meningkat tajam.

Namun sebaliknya, kesedihan karena perkara-perkara ukhrawi akan menjadi hati semakin bening, bercahaya dan memancarkan pesona perilaku yang mulia. Hingga, pandemi dipahami sebagai media ujian sekaligus peringatan bagi setiap hamba. Ia sibuk memikirkan bagaimana cara meningkatkan ibadah, baik secara kualitas maupun kuantitas. Seseorang yang sedih memikirkan akhirat akan mendorong dirinya untuk tadzkiratul maut (mengingat mati), menyempurnakan shalat, memperbanyak puasa, memantapkan dzikir dan memperbanyak sedekah, serta memperkaya doa dan shalawat hadapi permasalahan.

Tafsir terhadap ayat-ayat tentang hazan (kesedihan) mengungkap bahwa sebab-sebab bersedih itu antara lain: (1) karena jauh dari Allah (2) dosa kemaksiatan (3) dan tidak mampu berbuat kebaikan.

Solusi Untuk Menghilangkan Kesedihan

Pertama, Jangan sedih, Allah bersama kita

… لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنْزَلَ اللهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ

“Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah (QS At-Taubah: 40).

Tidak ada kejadian dan kesedihan melainkan dengan izin Allah. Tatkala Allah menakdirkan sesuatu yang membuat kita bersedih, yakinlah bahwa Allah selalu ada untuk kita dan membersamai kita dalam suka maupun duka. Secara tauhid, kita harus mengesakan Allah dan menyandarkan diri kepada-Nya (ash-Shamad, Sang Tempat Bersandar). Jika kita menyertakan Allah dalam setiap helaan napas dan seluruh aktivitas kita, maka secara psikologis kita akan terhindar dari setiap kesedihan yang mendera, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang beriman dan beramal shaleh.

Kedua, Mempedomani Al-Qur’an

قُلْنَا اهْبِطُواْ مِنْهَا جَمِيعاً فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Kami berfirman: ‘Turunlah kamu semuanya dari surga itu!’ Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS: Al-Baqarah [2]: 38).

Ayat ini memerintahkan Nabiyullah Adam ‘alaihissalam, istri, dan keturunannya kelak agar turun ke bumi. Di bumi itu manusia akan diberikan Allah berbagai tugas dan kewajiban. Apabila tugas itu datang dari Allah melalui petunjuk Al-Qur’an, maka manusia tidak akan ditimpa ketakutan dan dirundung kesedihan. Sebab Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang patuh dalam amal kebaikan.

Untuk itu tadabburilah Al-Qur’an dengan membaca dan mempelajari isinya serta mengamalkan perintah-Nya. Membaca Al-Qur’an dan memahami artinya akan menjadi obat hati terutama obat kesedihan yang telah kita rasakan.

Ketiga, Mengikuti Jejak Nabi (Ittiba’)

يَا بَنِي آدَمَ إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS: Al-A’raaf [7]: 35).

Banyak risalah para nabi, khususnya baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menghantarkan pada ketaqwaan dan perbaikan diri, termasuk amalan yang dapat mengatasi kesedihan. Setidaknya, ada dua amalan yang bersumber dari hadits dan bisa mengeluarkan kita dari kesedihan, yakni melazimkan diri untuk beristighfar dan berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala.

مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Siapa yang melazimkan beristighfar, maka Allah jadikan baginya jalan keluar atas segala kesulitannya. Allah juga akan memberikan kelapangan atas segala kesempitan dan kesusahannya. Serta memberinya rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka” (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim).

Keempat, Istiqamah

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. Fushshilat [41]: 30).

Seseorang dengan keimanan dan keistiqamahan yang tinggi akan selalu konsisten dalam perilakunya. Artinya dia akan berperilaku taat hukum, konsisten dengan idealismenya dan tidak pernah meninggalkan prinsip yang dia pegang meskipun dia harus berhadapan dengan resiko maupun tantangan.

Selanjutnya, seseorang yang istiqamah akan dapat mengontrol dirinya dengan baik. Dia tetap konsisten dengan keimananannya, dan juga memiliki pikiran positif, dan tidak pernah kembali ke belakang meskipun dia dalam situasi yang betul-betul tertekan. Gaya perilaku ini bisa menciptakan kepercayaan diri, integritas, dan kemampuan mengendalikan kesedihan yang tak terperihkan.

ISLAMKAFFAH

Tauhid Menjadi Landasan Dasar HAM

Dalam Islam, konsep tauhid merupakan prinsip dasar yang menegaskan keesaan Allah. Dari perspektif ini, ada beberapa koneksi antara tauhid dan HAM. Nah artikel ini akan menjelaskan tauhid menjadi landasan dasar HAM. 

 Tak bisa dipungkiri bahwa cara pandang Islam terhadap hak asasi manusia (HAM) tidak terlepas dari cara pandangnya terhadap status dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah Swt. yang terhormat (QS. Al-Isra’ [17]: 70 dan QS. Al-Hijr [15]: 28-29) dan fungsional (QS. Al-An’am [6]: 165 dan QS. Al-Ahzab [33]: 72).

Dari eksistensinya yang ideal, manusia ditarik pada kehidupan yang riil (realitas empirik) agar ia dapat teruji sebagai makhluk yang fungsional. Dalam kaitan ini, ia disebut khalifah, dalam pengertian mandataris, yang diberi kuasa, dan bukan sebagai penguasa.

Dan dalam status terhormat dan fungsi mandataris ini, manusia hanya mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Allah Swt. (karena itu, Allah semata yang mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi hukum-hukum-Nya. Semua kewajiban tersebut merupakan amanah yang diemban (QS. Al-Ahzab [33]: 72), sebagai realisasi dari perjanjiannya dengan Allah Swt. pada awal mula penciptaannya (QS. At-Taubah [9]: 111).

Walaupun manusia mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Penciptanya, tetapi semua itu pada gilirannya menimbulkan segala hak yang berkaitan dengan hubungannya dengan sesama manusia.

Kewajiban bertauhid (mengesakan Allah), misalnya, bila dilaksanakan dengan benar akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan antarsesama manusia, seperti hak persamaan, hak kebebasan, dan hak memperoleh keadilan. Seorang manusia mengakui hak-hak manusia lain karena hal tersebut merupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah Swt.

Oleh karena itu, Islam memandang hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat antroposentris, melainkan bersifat teosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada hak asasi manusia, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan, yaitu kesadaran kepada Allah Swt. sebagai pusat kehidupan.

Sudah jelas dari titik ini, terlihat bahwa hak-hak asasi manusia memperoleh landasannya dalam Islam melalui ajarannya yang paling utama, yaitu tauhid (mengesakan Tuhan). Karena itu, hak-hak asasi manusia dalam Islam lebih dipandang dalam perspektif teosentris.

Meski demikian, ajaran tauhid tersebut berimplikasi pada keharusan prinsip persamaan, persaudaraan, dan keadilan antar sesama manusia, dan prinsip kemerdekaan dan kebebasan manusia. Prinsip-prinsip tersebut telah menjadi landasan bagi pembentukan peradaban masyarakat muslim awal, sehingga menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan Barat.

Dengan demikian, falsafah dasar bagi hak asasi manusia dalam ajarannya yang utama, yaitu tauhid (kemahaesaan Tuhan). Dalam tauhid terkandung pengertian bahwa yang ada hanya satu Pencipta bagi alam semesta; alam semesta beserta isinya (manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda tak bernyawa) berasal dari Yang Maha Esa.

Dalam kaitan dengan hak asasi manusia, ajaran tauhid, dengan demikian, mengandung ide persamaan dan persaudaraan seluruh manusia (QS. An-Nisa’ [4]:1 dan QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Karena manusia itu bersaudara dan sama derajatnya, maka manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lain. Manusia dalam Islam adalah manusia bebas (QS. Al-Ahzab [33]: 72), bebas dari kemauan dan perbuatan (QS. Al-Insan [76]: 2-3), bebas dari tekanan dan paksaan manusia lain, bebas dari eksploitasi manusia lain, bebas dari pemilikan manusia lain (QS. Al-Balad [90]: 13), dan bahkan bebas memilih keyakinan dan agama (QS. Al-Baqarah [2]: 246, dan QS. Yunus [10]: 99).

Dengan adanya ajaran dasar tentang persamaan, persaudaraan, dan kebebasan manusia, maka akhirnya timbullah hak hak asasi manusia yang lain. Karena manusia itu bersaudara (yang mengimplisitkan adanya kasih sayang) dan memperoleh kebebasan, misalnya, ia secara individual perlu diberi hak untuk hidup dan memperoleh keamanan (QS. An-Nisa’ [4]: 29), hak berkeluarga (QS. An-Nisa’ [4]: 2, dan QS. Ar-Rum [30]: 21), hak mengecap pendidikan (QS. Al-Baqarah [2]: 129, dan QS. Ali Imran [3]: 164), hak mendapat pekerjaan, upah yang layak, dan memiliki kekayaan (QS. Al-Baqarah [2]: 188 dan QS. An-Nisa’ [4]: 29).

Tak hanya itu, hak untuk bebas bergerak/mobilitas (QS. Ar-Ruum [30]: 20 dan QS. Al-Mulk [67]: 15), hak berpikir, berbicara, berbeda pendapat, dan berserikat (QS. Ali Imran [3]: 159, dan QS. Asy-Syura [42]: 38), hak memperoleh jaminan sosial (QS. Adz-Dzariyat [51]: 19, dan QS. Al-Balad [90]: 14-16). Secara kolektif, perlu diberi hak untuk bebas menentukan nasib mereka sendiri (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).

Lebih lanjut, karena manusia itu bersaudara dan sama derajatnya, ia secara individual perlu diberi hak memperoleh keadilan di depan hukum, dan perlindungan dari perlakuan yang tidak manusiawi (sewenang-wenang) dalam penyelesaian tertib sosial (QS. an-Nisa’ [4]: 58, dan QS. Al-Maidah [5]: 8). Sedangkan secara kolektif, perlu diberi hak untuk bebas dari neokolonialisme dan segala bentuk diskriminasi (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Demikian penjelasan tauhid menjadi landasan dasar HAM. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Waktu-waktu yang Disunnahkan Berwudhu

Pertanyaan:

Kapan saja kita disunnahkan untuk berwudhu?

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Disunnahkan untuk berwudhu dalam kondisi-kondisi berikut ini:

1. Ketika hendak membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf

2. Ketika hendak berdzikir

Pada dua keadaan di atas, dianjurkan untuk berwudhu terlebih dahulu. Berdasarkan hadits dari Muhajir bin Qunfudz radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنِّي كَرِهتُ أنْ أذكُرَ اللهَ عزَّ وجلَّ إلَّا على طُهرٍ. أو قال: على طَهارةٍ

“Aku tidak suka untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali dalam keadaan suci atau sudah bersuci” (HR. Abu Daud no.17, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dan membaca Al-Qur’an termasuk dzikir, bahkan ia adalah dzikir yang paling utama.

3. Setelah menguburkan mayit

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,

مِنْ غَسْلِها الغُسلُ ومِنْ حمْلِها الوضوءُ

“Siapa yang memandikan mayit, maka hendaknya mandi. Siapa yang membawa mayit ke pemakaman, maka hendaknya berwudhu” (HR. Abu Daud no.3161, At-Tirmidzi no.993, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

4. Sebelum tidur

Berdasarkan hadits dari Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إذا أتَيْتَ مَضْجَعَكَ، فَتَوَضَّأْ وضُوءَكَ لِلصَّلاةِ، ثُمَّ اضْطَجِعْ علَى شِقِّكَ الأيْمَنِ، وقُلْ: اللَّهُمَّ أسْلَمْتُ نَفْسِي إلَيْكَ، وفَوَّضْتُ أمْرِي إلَيْكَ، وأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إلَيْكَ، رَهْبَةً ورَغْبَةً إلَيْكَ، لا مَلْجَأَ ولا مَنْجا مِنْكَ إلَّا إلَيْكَ، آمَنْتُ بكِتابِكَ الذي أنْزَلْتَ، وبِنَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ، فإنْ مُتَّ مُتَّ علَى الفِطْرَةِ فاجْعَلْهُنَّ آخِرَ ما تَقُولُ فَقُلتُ أسْتَذْكِرُهُنَّ: وبِرَسولِكَ الذي أرْسَلْتَ. قالَ: لا، وبِنَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ

“Jika engkau hendak tidur, maka hendaknya engkau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat! Lalu berbaringlah ke sisi kananmu, dan ucapkanlah:

/Allohumma aslamtu wajhii ilaika wa fawwadhtu amrii ilaika wa alja’tu zhohrii ilaika roghbatan wa rohbatan ilaika laa malja’a wa laa manja’a illaa ilaika allohumma aamantu bikitaabikalladzii anzalta wannabiyyikalladzii arsalta/

(Ya Allah, aku serahkan wajahku kepada-Mu. Aku serahkan urusanku kepada-Mu. Aku sandarkan punggungku kepada-Mu. Dengan perasaan senang dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan tempat untuk menyelamatkan diri dari siksa-Mu melainkan kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang Engkau utus).

“Andaikan kamu meninggal pada malam itu (setelah membaca doa ini), maka kamu mati di atas fitrah. Dan jadikanlah doa ini sebagai akhir kalimat yang kamu ucapkan”. Al-Barra’ bin ‘Azib lalu berkata, “Maka aku ulang-ulang doa tersebut di hadapan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hingga sampai pada kalimat: Allahumma aamantu bikitaabikalladzii anzalta, aku ucapkan: wa rasuulika (dan rasul-Mu). Nabi bersabda: “Bukan begitu, tetapi yang benar wannabiyyikalladzii arsalta” (HR. Al-Bukhari no.6311, Muslim no.2710).

5. Memperbarui wudhu setiap waktu shalat

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاة فقيل له : كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ ؟ قَالَ : يُجْزِئُ أَحَدَنَا الْوُضُوءُ مَا لَمْ يُحْدِثْ

“Biasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berwudhu pada setiap kali waktu shalat”. Anas ditanya, “Lalu bagaimana kalian (para sahabat) semua melakukannya? Anas menjawab, ”Satu wudhu sudah mencukupi bagi kami, selama belum batal” (HR. Al-Bukhari no.214).

Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي ، لَأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ بِوُضُوءٍ ، ومَعَ كُلِّ وُضُوءٍ بِسِوَاكٍ ، وَلَأَخَّرْتُ عِشَاءَ الْآخِرَةِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

“Andaikan tidak khawatir akan memberatkan umatku, aku akan perintahkan mereka untuk berwudhu setiap kali datang waktu shalat. Dan bersiwak setiap kali wudhu. Dan aku akan akhirkan waktu shalat Isya akhir sampai sepertiga malam” (HR. Ahmad no.7513, An-Nasa’i no.3027 dalam Al-Kubra, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no.5318)

Hadits-hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengulang wudhu setiap kali datang waktu shalat.

Adapun perkataan Anas, ”Satu wudhu sudah mencukupi bagi kami, selama belum batal” maksudnya para sahabat biasa melaksanakan beberapa shalat dengan satu wudhu selama belum batal. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Diperbolehkan melakukan beberapa shalat wajib dan sunnah dengan sekali wudhu selagi belum batal. Hal ini diperbolehkan berdasarkan ijma’ dari para ulama orang yang diakui pendapatnya” (Syarah Shahih Muslim, 3/514).

6. Ketika mengulang jimak atau tidur setelah jimak

Dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إذا أتَى أحَدُكُمْ أهْلَهُ، ثُمَّ أرادَ أنْ يَعُودَ، فَلْيَتَوَضَّأْ

“Jika kalian mendatangi istri kalian, kemudian kalian ingin mengulangnya kembali, maka berwudhulah” (HR. Muslim no.308).

Dalam hadits dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata:

كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ إذا أرادَ أن ينامَ ، وَهوَ جنبٌ ، تَوضَّأَ . وإذا أرادَ أن يأْكلَ ، أو يشربَ . قالت : غسلَ يدَيهِ ، ثمَّ يأكلُ أو يشربُ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam jika beliau ingin tidur dalam keadaan junub, beliau berwudhu dahulu. Dan ketika beliau ingin makan atau minum beliau mencuci kedua tangannya, baru setelah itu beliau makan atau minum” (HR. Abu Daud no.222, An-Nasa’i no.257, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i. Ashl hadits ini dalam Shahih Muslim no. 305).

7. Memperbarui wudhu setiap kali batal

Dari Tsauban radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

سدِّدوا وقارِبوا واعلَموا أنَّ خيرَ أعمالِكم الصَّلاةُ ولا يُحافِظُ على الوضوءِ إلَّا مؤمنٌ

“Berbuat luruslah, dan (jika tidak) maka mendekati lurus. Dan ketahuilah sebaik-baik amalan kalian adalah shalat. Dan tidaklah ada yang senantiasa menjaga wudhu, kecuali seorang mukmin” (HR. Ibnu Hibban no.1037, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.115).

Menjaga wudhu maksudnya berwudhu kembali ketika wudhu sudah batal, walaupun belum datang waktu shalat.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/42441-waktu-waktu-yang-disunnahkan-berwudhu.html

Janganlah Putus Asa!

Pertanyaan:

Mohon pencerahan. Saya sedang menghadapi masalah besar dan saya merasa tidak ada solusi dan tidak punya harapan lagi. Saya merasa putus asa. Bagaimana nasehat ustadz?

Jawaban:

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in,

Seorang Mukmin tidak boleh berputus asa. Putus asa terhadap rahmat dan pertolongan Allah itu hukumnya haram, termasuk dosa besar dan kufur asghar. Allah ta’ala berfirman:

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِن رَّوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ 

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87).

Allah ta’ala berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah” (QS. Az-Zumar: 53).

Dalam hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu ia berkata:

أن رجلًا قال يا رسولَ اللهِ ما الكبائرُ قال الشركُ باللهِ واليأسُ من رَوحِ اللهِ والقنوطُ من رحمةِ اللهِ

“Ada seorang lelaki berkata: wahai Rasulullah apa saja dosa besar itu? Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjawab: syirik, berputus asa dari pertolongan Allah dan putus asa dari rahmat Allah” (HR. Al-Bazzar [18] dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2051).

Tidak ada masalah yang tidak ada solusinya. Karena Allah ta’ala tidak mungkin memberikan beban melebihi kemampuan manusia. Allah ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al-Baqarah: 286).

Kembalilah kepada Allah dan mintalah pertolongan kepada-Nya dengan sungguh-sungguh. Karena segala musibah dan cobaan itu dari Allah dan hanya Allah lah yang bisa menghilangkannya. Allah ta’ala berfirman:

وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّـهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ

“Jika Allah menimpakan suatu mudharat kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Allah sendiri” (QS. Al-An’am: 17).

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّـهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53)

Mintalah pertolongan kepada Allah dengan tulus dan jujur, sebagaimana setiap hari kita membaca ayat:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami (ber-isti’anah) memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5)

Allah ta’ala akan menolong orang-orang yang meminta pertolongan kepada Allah dengan tulus dan jujur. Allah ta’ala berfirman:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ الْمَلآئِكَةِ مُرْدِفِينَ

“(Ingatlah), ketika kamu beristightsah (memohon pertolongan) kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfal: 9)

Bukti bahwa Anda meminta tolong kepada Allah dengan tulus dan jujur adalah Anda menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala bentuk maksiat. Jika itu dilakukan, Allah pasti akan berikan jalan keluar. Allah ta’ala berfirman:

ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia duga” (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Ketika jalan keluar belum kunjung datang, itu bukti bahwa ketakwaan Anda masih ada yang kurang. Ibnu Abi Izz Al Hanafi rahimahullah:

 فقد ضمن الله للمتقين أن يجعل لهم مخرجا مما يضيق على الناس، وأن يرزقهم من حيث لا يحتسبون، فإذا لم يحصل ذلك دل على أن في التقوى خللا، فليستغفر الله وليتب إليه

“Allah ta’ala menjamin bagi orang-orang bertakwa bahwa Ia akan memberikan jalan keluar dari perkara yang menyulitkannya dalam hubungan terhadap manusia. Dan Allah menjamin bahwa Ia akan memberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. 

Jika itu belum terjadi, maka ini menunjukkan bahwa dalam ketakwaannya masih ada cacat. Maka hendaknya ia meminta ampunan kepada Allah dan bertaubat kepadaNya” (Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah dengan ta’liq Syaikh Yasin Abul Abbas Al-Adeni hal. 333-334).

Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah niscaya pertolongan akan datang!

Putus Asa yang Dibolehkan

Sebagaimana telah dijelaskan, putus asa terhadap rahmat dan pertolongan Allah itu tidak diperbolehkan. Namun ada putus asa yang dibolehkan bahkan dianjurkan, yaitu putus asa terhadap makhluk. Sebagaimana hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: عِظْنِي وَأَوْجِزْ، وفي رواية عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ، فَقَالَ ـ عليه الصَّلاة والسَّلام ـ: «إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا، وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاسِ»

“Ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata: Wahai Rasulullah beri aku nasehat yang singkat! Dalam riwayat lain: Wahai Rasulullah beri aku ilmu yang singkat! Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Jika engkau shalat maka shalatlah sebagaimana engkau akan berpisah (dengan dunia), jangan engkau berkata suatu perkataan yang membuat engkau harus minta udzur esok hari, dan berputus asalah terhadap apa yang ada di tangan orang lain” (HR. Ibnu Majah no.4171, Ahmad no.23498, dihasankan oleh Al-Bushiri dalam Ittihaful Khirah [7/398], didhaifkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Maksudnya, jangan terlalu berharap kepada makhluk dan jangan gantungkan hati kepada makhluk. Namun berharaplah dan gantungkanlah hati hanya kepada Allah semata.

Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu mengatakan:

إنَّ الطمع فقر، وإن اليأْس غنى، وإن الإنسان إذا أيس من الشيء استغنى عنه

“Ketamakan adalah kefakiran. Putus asa terhadap apa yang ada di tangan orang lain adalah kekayaan. Karena ketika seseorang merasa terlalu berharap kepada sesuatu, Allah akan cukupi ia terhadap sesuatu tersebut” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd [1/223], Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi [44/357]).

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa sallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/42419-janganlah-putus-asa.html

Membaca Al Fatihah di Luar Shalat Bid’ah dan Hukumnya Haram, Benarkah?

Kedatangan Assim al Hakim ke Indonesia beberapa pekan yang lalu sempat menuai kontra versi. Bukan masalah kedatangannya. Tetapi fatwa yang disampaikan terkait beberapa hal  yang berseberangan dengan praktek dan pemahaman umat Islam. Salah satunya membaca surat al Fatihah di awal pengajian tersebut.

Menurutnya, membaca al Fatihah di selain shalat hukumnya haram karena termasuk perbuatan bid’ah. Dalam fatwanya ia menyampaikan:

Namun perkara ini bukanlah ajaran Islam. Al Fatihah itu dibaca saat shalat, surat paling agung, Al Fatihah juga dibaca dalam rukiah”

Dari fatwa tersebut, setidaknya ada dua kemungkinan yang menyebabkan surat al Fatihah haram di baca ketika memulai suatu perbuatan. Kemungkinan tersebut yaitu:

  1. Praktek membaca surat al Fatihah ketika memulai suatu perbuatan tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw atau disabdakannya.
  2. Surat al Fatihah hanya boleh dibaca di dalam shalat dan ruqyah. Untuk selain kedua tempat tersebut hukumnya tidak boleh.

Terkait dengan kemungkinan yang pertama bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah membaca al Fatihah ketika sedang memulai suatu pekerjaan kemungkinan memang benar. Sepanjang penulis menelaah beberapa kitab hadits atau sejarah tidak ada keterangan Nabi Muhammad saw memulai suatu perbuatan di awali dengan membaca al Fatihah. Namun apakah karena ini membaca al Fatihah menjadi haram ?.

Di dalam ilmu Ushul Fiqh terdapat kaidah lafadz “am (umum). Para ulama’ Ushul Fiqh sepakat bahwa apabila di dalam al Qur’an terdapat lafadz “am maka makna yang terkandung di dalamnya harus di arahkan kepada keumumannya, selama tidak ada lafadz yang mentakhsisnya (mengkhususkan lafadz am tersebut). Syaikh Abdul Wahhab Khallaf berkata:

إِذَا وَرَدَ فِي النَّصِّ الشَّرْعِيِّ لَفْظٌ عَامٌّ وَلَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى تَخْصِيْصِهِ وَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى عُمُوْمِهِ وَإِثْبَاتُ الحُكْمِ لِجَمِيْعِ أَفْرَادِهِ قَطْعًا

Artinya: “Apabila di dalam nash syar’i terdapat lafadz am, dan tidak ada dalil yang mentakhsisnya, maka wajib membawa lafadz tersebut kepada keumumannya, serta menetapkan hukum kepada seluruh satuan-satuannya secara qat’i

Di dalam al Qur’an, Allah swt berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتٰبَ اللّٰهِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur’an) dan melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi” (QS. Al Fatir: 29)

Nabi Muhammad saw juga bersabda:

اقْرَؤُا القُرْآنَ فإِنَّهُ يَأْتي يَوْم القيامةِ شَفِيعاً لأصْحابِهِ

Artinya: “Bacalah al Qur’an, karena kelak ia akan datang dengan memberikan syafa’at kepada pembacanya” (HR. Muslim)

Ulama’ sepakat tentang makna penting yang terkadung di dalam kedua nash syar’i di atas adalah keutamaan membaca al Qur’an. Kapan dan di mana ? Dalam hal ini Allah swt atau pun Rasul_Nya tidak membatasi waktu dan tempat untuk membacanya. Sehingga seandainya dibaca pada saat selesai shalat, ketika sedang bekerja, atau memulai suatu pekerjaan hukumnya tetap sunnah. Baik dibaca di masjid, mushalla, madrasah, di rumah atau di majlis-majlis ilmu tetap hukumnya sunnah. Sebab Allah swt dan Rasul_Nya tidak membatasi kapan dan di mana al Qur’an itu harus dibaca.

Begitu juga membaca surat al Fatihah. Sampai detik ini tidak ada seorang pun yang meyakini surat agung tersebut bukan bagian dari al Qur’an. Semua mengetahui bahwa surat al Fatihah bagian dari al Qur’an. Oleh karena itu, membaca al Fatihah boleh dilakukan kapan saja dan di mana saja, termasuk ketika hendak memulai suatu pekerjaan atau kegiatan. Mana kala Assim al Hakim mengharamkannya, itu berarti syariat dirinya sendiri yang jelas-jelas bertentangan dengan Allah swt dan Rasul_Nya.

Kemudian terkait al Qur’an hanya boleh dibaca pada saat shalat dan ruqyah ini pun bertentangan dengan nalar ulama’ Ushul Fiqh sebagaimana di atas. Di samping itu, ada hadits yang menyebutkan bahwa surat al Fatihah ketika dibaca sambil meletakkan lambungnya ke tempat tidur, maka akan diselamatkan dari kejahatan jin dan manusia. Dalam salah satu riwayat disebutkan;

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا وَضَعَ الْعَبْدُ جَنْبَهُ عَلَى فِرَاشِهِ فَقَالَ: بِسْمِ اللهِ وَقَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ أَمِنَ مِنْ شرِّ الجِنِّ وَالْإِنْسِ وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ

Artinya: “Dari Anas bin Malik ra dari Nabi saw: Bahwasanya ia bersabda: Apabila seorang hamba meletakkan perutnya ke tempat tidur, lalu membaca bismillah dan membaca Fatihatul Kitab, maka ia akan aman dari kejahatan jin, manusia dan lainnya” (HR. Ibn Rajab).

Tentu surat al Fatihah ini dibaca tidak dalam kondisi shalat atau sakit. Tetapi merupakan salah satu keutamaan dari al Fatihah dapat melindungi dari suatu kejahatan.

Para ulama’ dari berbagai bidang ilmu agama juga sepakat tentang kesunnahan mengucapkan amin ketika ada orang yang membaca surat al Fatihah, baik di waktu shalat atau di luar shalat. Salah satunya adalah ibn Hajar al Atsqalani dalam kitab Fathul Bari mengatakan:

وَيُؤْخَذ مِنْهُ مَشْرُوعِيَّة التَّأْمِين لكل من قَرَأَ الْفَاتِحَة سَوَاء كَانَ دَاخل الصَّلَاة أَو خَارِجهَا

Artinya: “Dapat diambil pemahaman dari hadits tersebut tentang disyariatkannya membaca amin bagi setiap orang yang membaca Fatihah, baik di waktu shalat atau di luar shalat

Pernyataan Ahlul Hadits al Hafidz Ibn Hajar al Atsqalani ini memberi kesan lain bahwa membaca al Fatihah juga sunnah dilakukan di luar shalat. Sehingga juga sunnah mengucapkan amin.

Dari uraian di atas, fatwa Assim al Karim tidak layak digolongkan kepada fatwa yang mu’tabarah yang dapat dijadikan pegangan hidup. Sebab terlalu jauh dari apa yang disampaikan oleh Allah swt, Nabi Muhammad saw dan para ulama’-ulama’ lainnya. Sepertinya apa yang difatwakan oleh Assim al Karim lebih condong kepada syariat baru yang dibuat-buat berdasarkan kemampuan yang sangat terbatas, bukan syariat Islam sebagaimana diketahui secara umum oleh umat Islam. Jadi jelaslah siapa sebenarnya yang ahlul bid’ah.

wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH