Hukum Membatalkan Puasa Syawal

Salah satu amalan sunnah di bulan Syawal yang bisa dilakukan untuk mendapatkan pahala seperti berpuasa setahun penuh adalah melakukan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal. Tetapi, karena suatu sebab terkadang seseorang yang melakukan puasa syawal memilih untuk membatalkan puasanya. Lantas, bagaimanakah hukum membatalkan puasa syawal ?

Dalam literatur kitab fikih, seseorang dianjurkan untuk menyempurnakan puasa atau shalat sunnah yang dilakukan. Hal ini karena berdasarkan firman allah Swt dalam surat Muhammad Ayat 33 berikut,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَلَا تُبْطِلُوْٓا اَعْمَالَكُمْ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu.”

Dalam ayat diatas Allah memerintahkan untuk tidak merusak atau membatalkan amal yang telah dilakukah. Tetapi, seseorang tidak diharamkan untuk membatalkan puasa syawal baik disaat udzur ataupun tanpa udzur. Namun, makruh hukumnya apabila membatalkan puasa syawal tanpa udzur. 

Sebagaimana dalam keterangan kitab Majmu’ Syarah Muhadzab berikut,

قال الشافعي والأصحاب رحمهم الله تعالى إذا دخل في صوم تطوع أو صلاة تطوع استحب له إتمامهما لقوله تعالى ولا تبطلوا أعمالكم  وللخروج من خلاف العلماء فإن خرج منهما بعذر أو بغير عذر لم يحرم عليه ذلك ولا قضاء عليه لكن يكره الخروج منهما بلا عذر لقوله تعالي  ولا تبطلو اعمالكم هذا هو المذهب

Artinya : “ Imam Syafi’i dan Ashab berkata: apabila seseorang telah masuk dalam puasa sunnah atau shalat Sunnah maka dia dianjurkan untuk menyempurnakannya. Karena berdasarkan firman Allah ‘Janganlah kamu membatalkan amal-amalmu’. Selain itu juga demi agar keluar dari khilafiyah para ulama. Tetapi apabila dia membatalkan puasa dan shalatnya, baik dengan udzur atau tanpa udzur, maka hukumnya tidak diharamkan atasnya, juga tidak perlu qadha. Namun makruh bila dilakukan tanpa udzur karena ayat di atas dan itulah pandangan madzhab.” 

Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwa seseorang tidak diharamkan untuk membatalkan puasa syawal baik disaat udzur ataupun tanpa udzur. Namun, makruh hukumnya apabila membatalkan puasa syawal tanpa udzur.

Demikian penjelasan mengenai hukum membatalkan puasa syawal. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Menabung Emas Online?

Menabung emas diperbolehkan secara syariat.

Menabung emas merupakan investasi yang sangat menguntungkan bagi setiap orang. Pada era modern ini semua hal dapat dilakukan secara online agar memudahkan dan mempercepat segala kegiatan. Termasuk menabung emas pun juga mulai dilakukan secara online. Apakah diperbolehkan menurut ajaran Islam?

“Kalau kita merujuk kepada kaidah-kaidah fiqih muamalah dan syariah maka bisa disimpulkan nabung emas ini diperbolehkan, diperkenankan dengan beberapa ketentuan tentunya diantaranya adalah saat seseorang sedang transaksi beli emas maka, harus disepakati emas yang dibeli itu emas apa?, berapa gram?, dan nilai konversinya harus disepakati,” kata Oni Sahroni dikutip dari akun Youtube Muamalah Daily.

Oni Sahroni melanjutkan, setelah transaksi dilakukan emas yang dimiliki tersebut harus jelas, apakah emasnya berbentuk fisik berseri atau berbentuk porsi. Kedua hal tersebut diperkenankan sebagaimana klausul dari Standar Syariah Internasional AAOIFI yang berbunyi: “Emas boleh dimiliki secara porsi (syuyu’), di mana setiap syarik itu memiliki porsi tertentu dari total emas sesuai dengan kriteria yang sudah disebutkan”

Dalam transaksi secara online atau serah terima nonfisik itu diperkenankan dengan syarat emas yang dimiliki tersebut bisa diserahterimakan oleh pembeli dan emas yang dimiliki tersebut itu ada bukti kepemilikan.

“Serah terima itu diperkenankan dengan syarat si pembeli bisa cetak fisik, bisa serah terima secara fisik dan bukti kepemilikan,” ujar Oni Sahroni.

Oni Sahroni menambahkan, menimbun emas itu tidak dilarang dengan syarat, apabila memiliki emas dan tidak ditunaikan zakatnya sebagaimana firman Allah SWT

 وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Artinya : Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

“Kita simpulkan bahwa itu boleh beserta dalil dan argumentasinya maka idealnya membeli ema situ dari Lembaga keuangan syariah yang diawasi oleh otoritas dan diawasi oleh dewan pengawas syariah dan lainnya untuk memastikan transaksinya sesuai dengan ketentuan syariah,” ujar Oni Sahroni.

IHRAM

Hukum Puasa Syawal

Bagaimana hukum puasa 6 Syawal? Pasalnya, tak sedikit orang yang bertanya terkait masalah ini? Nah berikut penjelasan terkait hukum puasa Syawal.

Menurut Syekh Abdul hami asy Syarwani dalam kitab Hawasyi Tuhfatul Muhtaj bi Syarah al-Minhaj, halaman 457 mengatakan bahwa puasa 6 hari Syawal [setelah] Ramadhan, mengandung keutamaan yang sangat besar. Pasalnya, pahala puasanya sama dengan puasa setahun penuh.


إذ من صام مع رمضان ستة غيرها يحصل له ثواب الدهر لما تقرر فلا تتميز تلك إلا بذلك وحاصله أن من صامها مع رمضان كل سنة تكون كصيام الدهر فرضا بلا مضاعفة ومن صام ستة غيرها كذلك تكون كصيامه نفلا بلا مضاعفة كما أن يصوم ثلاثة من كل شهر تحصله أيضا وقضية المتن ندبها حتى لمن أفطر رمضان وهو كذلك إلا فيمن تعدى بفطره ؛ لأنه يلزمه القضاء فورا بل قال جمع متقدمون يكره لمن عليه قضاء رمضان أي : من غير تعد تطوع بصوم ولو فاته رمضان فصام عنه شوالا سن له صوم ست من القعدة ؛ لأن من فاته صوم راتب يسن له قضاؤه

Artinya; “Barangsiapa yang berpuasa enam hari selain Ramadhan, dia akan mendapatkan pahala puasa seumur hidup. Hal ini telah ditetapkan, dan tidak ada keistimewaan bagi puasa tersebut selain itu. Kesimpulannya, orang yang berpuasa enam hari selain Ramadhan setiap tahun, pahalanya sama dengan berpuasa wajib seumur hidup tanpa penggandaan pahala. Dan orang yang berpuasa enam hari selain Ramadhan, pahalanya sama dengan berpuasa sunnah seumur hidup tanpa penggandaan pahala.

Begitu pula, orang yang berpuasa tiga hari setiap bulan, dia juga mendapatkan pahala yang sama. Mengenai qada (mengganti puasa yang ditinggalkan) dari teks ini, dianjurkan bagi orang yang berbuka puasa Ramadhan, baik dengan sengaja maupun tidak. Kecuali bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja, dia wajib menggantinya segera.

Bahkan, beberapa ulama terdahulu mengatakan bahwa dimakruhkan bagi orang yang memiliki kewajiban qada Ramadhan (tanpa berbuka dengan sengaja) untuk berpuasa sunnah, meskipun dia telah kehilangan puasa Ramadhan dan berpuasa di bulan Syawal sebagai gantinya. Hal ini karena orang yang kehilangan puasa wajib, dianjurkan untuk menggantinya,”.

Sementara itu Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Jilid VI, halaman 427 bahwa dalam mazhab Syafi’i, bahwa hukum melaksanaka puasa 6 Syawal hukumnya adalah sunnah. Sementara dalam mazhab Maliki, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Muwatha’, hukum puasa Syawal adalah makruh.

فقال أصحابنا : يستحب صوم ستة أيام من شوال ; لهذا الحديث قالوا : ويستحب أن يصومها متتابعة في أول شوال فإن فرقها أو أخرها عن شوال جاز . وكان فاعلا لأصل هذه السنة ; لعموم الحديث وإطلاقه . وهذا لا خلاف فيه عندنا وبه قال أحمد وداود . قال مالك وأبو حنيفة : يكره صومها . قالمالك في الموطإ : ” وصوم ستة أيام من شوال لم أر أحدا من أهل العلم والفقه يصومها ، ولم يبلغه ذلك عن أحد من السلف وأن أهل العلم كانوا يكرهون ذلك ويخافون بدعته ، وأن يلحق برمضان أهل الجفاء والجهالة ما ليس منه لو رأوا في ذلك رخصة عند أهل العلم ، ورأوهم يعملون ذلك ” هذا كلام مالك في الموطإ . ودليلنا الحديث الصحيح السابق ولا معارض له .

Artinya; “Para sahabat kami berkata: Sunnah hukumnya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal. Berdasarkan hadits ini, mereka mengatakan: Dianjurkan untuk berpuasa secara berturut-turut di awal Syawal. Jika dipisahkan atau diakhirkan setelah Syawal, maka diperbolehkan. Hal ini berdasarkan inti dari hadits ini, yaitu keumuman dan keluasannya. Dan tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini di kalangan kami. Demikian pula yang dikatakan oleh Ahmad dan Daud.

Malik dan Abu Hanifah mengatakan: Makruh untuk berpuasa enam hari di Syawal. Malik berkata dalam Muwatta’: “Aku tidak melihat seorang pun dari ahli ilmu dan fiqih yang berpuasa enam hari di Syawal. Dan tidak sampai kepadanya informasi tentang hal itu dari salah seorang pendahulu. Dan para ahli ilmu membenci hal itu dan takut menjadi bid’ah. Dan orang-orang yang kasar dan bodoh akan menganggapnya sebagai bagian dari Ramadhan, padahal bukan. Jika mereka melihat adanya kelonggaran dalam hal ini dari para ahli ilmu, dan mereka melihat mereka melakukannya.” Ini adalah kata-kata Malik dalam Muwatta’. Dalil kami adalah hadits sahih sebelumnya, dan tidak ada yang menentangnya.”

Terkait keistimewaan puasa sunnah Syawal, terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda bahwa pahala orang yang melakukan hal tersebut seolah-olah telah berpuasa selama satu tahun penuh.

حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة بن سعيد وعلي بن حجر جميعا عن إسمعيلقال ابن أيوب حدثنا إسمعيل بن جعفر أخبرني سعد بن سعيد بن قيس عن عمر بن ثابت بن الحارث الخزرجي عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أنه حدثه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa’id dan Ali bin Hujr semuanya dari Isma’il dan Ibnu Ayyub berkata :

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku Sa’d bin Sa’id bin Qais dari Umar bin Tsabit bin Harits Al Khazraji dari Abu Ayyub Al-Anshari radliallahu ‘anhu, bahwa ia telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah saw bersabda;

“Siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa satu tahun,”. (HR. Muslim No. 1164).

Dengan menjalankan puasa enam hari Syawal, umat Islam diharapkan dapat meningkatkan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah SWT, serta menegakkan disiplin diri dalam beribadah.

Mari jadikan bulan Syawal sebagai momen untuk memaksimalkan amal ibadah dan meraih pahala sebanyak-banyaknya. Puasa enam hari Syawal menjadi salah satu kunci untuk meraih keutamaan tersebut.

BINCANG SYARIAH

Hukum dan Kondisi Orang Puasa saat Safar

Islam adalah agama penuh kasih sayang. Dan di antara bentuk kasih sayang kepada umatnya adalah adanya kemudahan dan keringanan tatkala ada uzur, kesulitan, atau kepayahan bagi umatnya saat menjalankan sebagian ibadah. Baik itu berupa boleh meninggalkan ibadah tersebut dan diganti di lain waktu atau tetap mengerjakannya tetapi dengan bentuk peribadatan yang berubah dari asal tata caranya sehingga lebih ringan untuk dikerjakan.

Di antara uzur yang mendapatkan rukhsah (keringanan) adalah safar. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.[1]

Adapun safar yang mendapatkan rukhsah (keringanan) apabila jarak tempuhnya sudah mencapai kurang lebih 83 km. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan yang dipilih oleh Syekh Ibnu Baz rahimahullah. [2] Mereka berdalil dengan hadis berikut,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا

Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqasar salat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).[3]

Sehingga, pada asalnya, apabila seseorang bersafar di bulan Ramadan atau dia sedang menjalankan puasa wajib lainnya (nazar, kafarat, atau qada’), maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Namun, meski demikian, setidaknya ada empat rincian hukum dan kondisi orang puasa saat safar sebagai berikut:

Pertama, apabila puasa saat safar bisa membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa, maka puasanya sah. Sebagian ulama berpendapat hukumnya haram, dan ini pendapat yang lebih kuat. [4] Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.[5]

Kedua, apabila puasa saat safar memberatkan dirinya, namun tidak sampai membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh juga untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa maka puasanya sah. Berdasarkan hadis Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu, ada seseorang yang diberi naungan. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Siapa ini?’ Orang-orang pun mengatakan, ‘Ini adalah orang yang sedang berpuasa.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bukanlah suatu hal yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar.’[6]

Ketiga, apabila puasa atau tidak puasa saat safar sama saja tidak ada bedanya baginya. Artinya, dia tidak merasa keberatan sama sekali puasa saat safar. Maka, yang lebih utama bagi dia adalah tetap berpuasa karena lebih cepat menggugurkan kewajiban bagi mukallaf (orang yang dibebani syariat), lebih mudah menjalankan puasa bersama orang-orang juga puasa, dan mendapati waktu yang mulia dan utama, yaitu bulan Ramadan. [7]

Keempat, apabila seseorang tidak merasa keberatan dan kesulitan puasa saat safar, namun dia merasa berat dan sulit untuk meng-qada’-nya. Seperti seseorang yang jauh lebih sibuk dengan pekerjaan dan banyak safar di luar bulan Ramadan. Maka kondisi yang seperti ini lebih utama baginya puasa saat safar di bulan Ramadan.

Waallahu Ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Junaidi, S.H., M.H.

Catatan kaki:

[1] QS. Al-Baqarah: 185.

[2] Fatawa Nur ‘ala Al-Darb, 42: 13-43.

[3] HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Di-washal-kan oleh Al-Baihaqi, 3: 137. Lihat Al-Irwa’, 565.

[4] Asy-Syarhu Al-Mumti’ oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 6: 355.

[5] HR. Imam Ahmad, 1: 313.

[6] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115.

[7] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 28: 73.

Sumber: https://muslim.or.id/93082-hukum-dan-kondisi-orang-puasa-saat-safar.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

(Mis)Interprestasi ‘Ayat-Ayat Pluralisme’

Menurut Al-Quran kebanyakan Ahlul Kitab tidak beriman karena mereka mendustakan Nabi Muhammad ,  wahyu dan menolak syariatnya, jadi klaim “ayat pluralisme’ sangat dipertanyakan

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif  

SALAH seorang pengasong pluralisme agama pernah mengutip ayat al-Quran dan menyebutnya ‘ayat pluralisme’.  Di antara ayat yang diklaim itu adalah  ayat 69 Surah Al Maidah.

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالصَّابِـُٔوْنَ وَالنَّصٰرٰى مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ ۝٦٩

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabiin, dan Nasrani, siapa yang beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih.”

Para pengasong pluralisme agama berpendapat perbedaan agama tidak menghalangi Tuhan untuk memberikan pahala. Menurut mereka,  di mana letak keadilan dan kasih sayang Tuhan jika orang-orang non-Muslim yang saleh dan banyak berbuat baik semasa hidupnya kelak dijebloskan ke neraka?

Memang benar, soal masuk surga dan neraka adalah hak prerogatif Tuhan. Hanya Tuhan yang berhak menghakimi dan memutuskan siapa bakal masuk ke mana kelak. Namun, di samping memberikan semacam ‘tips’ untuk bisa sampai ke sana, Tuhan (Allah Swt) juga mengumumkan ciri-ciri kandidat ahli surga maupun ahli neraka.

Untuk memperoleh pemahaman yang jujur dan jernih perihal ‘ayat pluralisme’ itu semestinya kita tidak mengabaikan konteks siyaq, sibaq, serta lihaq ayat tersebut.

Pertama, mari kita perhatikan ayat-ayat yang mendahuluinya, setidaknya mulai ayat 41 hingga 68. Secara eksplisit Allah Swt mengecam sikap dan perilaku kalangan Ahlul Kitab yang ingkar dan ‘lain di mulut lain di hati’, gemar memelintir kebenaran, menuruti hawa nafsu, mempermainkan agama dan menimbulkan permusuhan.

Selanjutnya mari kita lihat ayat-ayat yang mengikutinya, terutama ayat 78 hingga 86 Surat Al-Maidah yang menjadi konteks lihaq (konteks setelah pembicaraan) ‘ayat pluralisme’ tersebut.

Dinyatakan di sana bahwa mereka yang kufur dari kalangan Bani Israil telah dikutuk karena selalu durhaka dan melampaui batas, membiarkan kemungkaran terjadi, menjadikan orang tak beriman sebagai pelindung mereka.

Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya niscaya mereka tidak meminta perlindungan kepada orang-orang tersebut, namun mayoritas mereka memang fasik.

“Akan kamu dapati orang yang paling memusuhi kaum beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Sedang yang paling dekat dan bersahabat ialah orang-orang Nasrani, karena di antara mereka ada pendeta-pendeta dan rahib-rahib, juga karena mereka tidak angkuh (menyombongkan diri).” (QS:Al-Maidah: 82)

Bila mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ mata mereka berkaca-kaca terharu oleh kebenaran yang telah mereka ketahui, seraya berkata: “Ya Tuhan, kami telah beriman, maka masukkanlah kami dalam daftar orang-orang yang menjadi saksi. Bagaimana kami tidak beriman kepada Allah dan kebenaran yang datang kepada kami, wong kami ini ingin agar Tuhan memasukkan kami ke dalam golongan orang saleh?” Maka Allah memberi mereka pahala untuk perkataan yang mereka ucapkan, yaitu surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, kekal abadi di sana. Demikianlah balasan bagi orang baik. Adapun mereka yang kufur dan mendustakan ayat-ayat Allah jelas bakal menjadi penghuni neraka.

Dari sini jelas sekali bahwa umat Yahudi dan Nasrani disanjung apabila mereka mau beriman kepada Nabi Muhammad dan ajaran yang dibawanya, tetapi dikecam jika tidak beriman, durhaka, dan bertindak melampaui batas.

Ahlul Kitab yang beriman masuk Islam dijanjikan pahala dua kali lipat, ujar Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis sahih. Sebaliknya, Ahlul Kitab yang kepadanya telah sampai panggilan untuk beriman dan memeluk Islam tetapi enggan menyambutnya maka sulit baginya untuk terhindar dari api neraka (HR Muslim No 153).

Sekarang marilah kita menggunakan pendekatan sola scriptura (ajaran) untuk menjawab sejumlah persoalan terkait.

Tafsir Quran bil Quran

Pertanyaan pertama yang mengemuka terkait ‘ayat pluralisme’ itu ialah apa maksud ungkapan “siapa yang beriman di antara mereka?” Jawaban dan perincian rukun iman beserta indikatornya kita temukan dalam Surat Al-Baqarah 285, Ali Imran 171-3, An Nisa 162, Al A’raf 157, Al Anfal 2-4 dan 74, At Tawbah 13, Al Mu’minun 2-9, An Nur 62, Al Hujurat 15, dan Al Hadid 19.

Kedua, apakah Ahlul Kitab Yahudi maupun Nasrani juga beriman? Menurut Al-Quran mayoritas mereka tidak beriman. Ini karena mereka mendustakan Nabi Muhammad ﷺ dan wahyu yang diturunkan kepadanya, menolak syariatnya, enggan masuk Islam.

Itulah sebabnya mengapa Allah menegur dan mengecam mereka (Al-Baqarah 89-93, An Nisa 47, An Nisa’ 171). Namun demikian tidak semua Ahlul Kitab itu kafir. Ada sebagian kecil dari mereka yang beriman kepada Rasulullah ﷺ dan memeluk Islam (Ali Imran 110-115 dan 199, juga Al Ankabut 47).

Selanjutnya, meski telah menyatakan diri beriman dan masuk Islam, mereka tentu akan diuji Allah Swt (Al-Ankabut 1-2). Dalam hal ini posisi mereka sama dengan orang Muslim lainnya yang juga mengaku beriman dan perlu ujian.

Mengapa demikian? Karena banyak orang mengaku Islam dan beriman di mulut saja sehingga menipu dirinya sendiri (Al Baqarah 8-9 dan Al Munafiqun 1). Ada juga yang telah menyatakan diri berislam dan beriman, tetapi baru sampai tahap minimal, di mulut dan di hati, tapi praktiknya belum (Al Hujurat 14) bahkan perbuatan maksiatnya jalan terus, sehingga disebut fasiq (Al Maidah 49).

Ketiga, apa yang dimaksud dengan amal saleh dalam ungkapan “siapa yang berbuat baik’? Dijelaskan antara lain bahwa amal saleh adalah hidup berpandukan ajaran kitab suci dan mendirikan shalat (Al A’raf 168). Amal baik di sini berkaitan dengan dan berlandaskan ajaran serta perintah agama.

Terakhir, bagaimana memahami ungkapan ‘mereka tidak perlu takut dan tidak perlu cemas’?

Dalam Al-Quran, ungkapan seperti ini terdapat lebih dari sekali, dengan berbagai konteks. Yang jelas, untuk bisa memperoleh jaminan keselamatan di dunia dan akhirat seseorang harus berislam, beriman, beramal saleh, berihsan, bertaqwa, dan beristiqamah.*

Pengajar Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor

HIDAYATULLAH

Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal

Di antara bentuk kasih sayang Allah Taala kepada hamba-Nya adalah dengan memberikan kemudahan dan banyak cara kepada hamba-hamba-Nya dalam mengumpulkan pahala sebagai bekal untuk menyambut hari akhirat. Ketika seseorang beramal dengan amalan saleh, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat, tujuh ratus kali lipat, bahkan tanpa batas, sesuai kadar niat dan keikhlasan seseorang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.’ (HR. Bukhari dan Muslim)

Ternyata, selain dengan beramal, kita bisa mendapatkan pahala yang banyak seperti hadis di atas walau tidak beramal dengannya. Berikut beberapa cara agar kita bisa mendapatkan pahala walau tidak dengan beramal.

Pertama, menjadi sebab seseorang untuk beramal

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه

“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)

Maka, siapa saja yang menginformasikan suatu ilmu agama, atau poster kegiatan agama, donasi, wakaf, sedekah, dan semisalnya, tatkala ada orang yang beramal dengan sebab mengetahui informasi tersebut dengan mengamalkan ilmu agama yang diperoleh, datang ke pengajian, atau menyalurkan hartanya di jalan Allah, ia akan mendapatkan pahala walau tidak melakukannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ جَهَّز غَازِياً فِي سَبِيلِ الله فَقَد غَزَا، وَمَنْ خَلَّف غَازِياً في أهلِه بخَير فقَد غزَا

“Siapa yang mempersiapkan bekal untuk orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang. Dan barangsiapa yang mengurus keluarga orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, bertekad kuat mengerjakan suatu amal

Orang dengan keadaan kedua ini, ia mampu mengerjakan suatu amal. Akan tetapi, karena suatu hal, terhalangi untuk beramal.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً

“Barangsiapa yang berniat (bertekad kuat) melakukan kebaikan lalu tidak (jadi) mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan (pahala) yang sempurna.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Niat yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah niat dengan tekad yang kuat dan jujur, bukan sekedar angan-angan belaka. Misalnya, ada orang yang berniat memberikan infak ke masjid. Qadarullah sampai di masjid ia lupa membawa atau terjatuh dompetnya di perjalanan. Maka, ia sudah dicatat pahalanya di sisi Allah Ta’ala.

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

“Barangsiapa yang berdoa pada Allah dengan jujur agar bisa mati syahid, maka Allah akan memberinya kedudukan syahid walau nanti matinya di atas ranjangnya.” (HR. Muslim)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلاَةٌ بِلَيْلٍ فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ صَلاَتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ

“Tidaklah seseorang bertekad untuk bangun melaksanakan salat malam, namun kantuk mengalahkannya (sehingga tertidur), maka Allah tetap mencatat pahala salat malam untuknya dan tidurnya tadi dianggap sebagai sedekah untuknya.” (HR. An-Nasai no. 1784)

Ketiga, berangan-angan yang jujur untuk beramal

Orang dengan keadaan ketiga ini berbeda dengan jenis yang kedua tadi. Jika yang kedua ia memang mampu untuk beramal namun terhalangi, sedang yang ketiga ini memang dari awal tidak memiliki kemampuan dari segi harta dan ilmu, tetapi berkeinginan jika mempunyai salah satunya akan beramal dengannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِى مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Dunia telah diberikan pada empat orang:

Orang pertama, diberikan rezeki dan ilmu oleh Allah. Ia kemudian bertakwa dengan harta tadi kepada-Nya, menjalin hubungan dengan kerabatnya, dan ia pun tahu kewajiban yang ia mesti tunaikan pada Allah. Inilah sebaik-baik kedudukan.

Orang kedua, diberikan ilmu oleh Allah, namun tidak diberi rezeki berupa harta oleh Allah. Akan tetapi, ia punya keinginan sembari berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti si fulan.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Pahalanya pun sama dengan orang yang pertama.

Orang ketiga, diberikan rezeki oleh Allah berupa harta, namun tidak diberikan ilmu. Ia akhirnya menyia-nyiakan hartanya tanpa dasar ilmu. Ia pun tidak bertakwa dengan harta tadi pada Rabbnya dan ia juga tidak mengetahui kewajiban yang mesti ia lakukan pada Allah. Orang ini menempati sejelek-jelek kedudukan.

Orang keempat, tidak diberikan rezeki oleh Allah berupa harta maupun ilmu. Dan ia pun berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan berfoya-foya dengannya.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Dosanya pun sama dengan orang ketiga.” (HR. Tirmidzi no. 2325)

Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Arif  Muhammad N.

Sumber: https://muslim.or.id/92866-cara-mendapatkan-pahala-tanpa-beramal.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

6 Faedah Ilmu Seputar Puasa Ramadan

Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasa

Orang yang meninggalkan puasa karena meremehkan dan malas tidaklah menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang itu tetap dihukumi pada asalnya muslim sampai tegaknya dalil yang membuktikan bahwa dia telah keluar dari Islam. Sementara tidak tegaknya dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak berpuasa keluar dari Islam selama dia meninggalkan puasa itu karena meremehkan atau malas.

Berbeda halnya dengan salat. Karena untuk masalah salat, telah terdapat dalil-dalil dari Kitabullah, Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan perkataan para sahabat radhiyallahu ’anhum yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan salat dihukumi sebagai kafir yang dia meninggalkan salat karena meremehkan dan malas. Abdullah bin Syaqiq berkata, “Adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memandang suatu perkara yang apabila ditinggalkan menjadikan pelakunya kafir, selain salat.”

Meskipun demikian, orang ini (yang tidak mau puasa karena meremehkan dan malas) semestinya diajak untuk berpuasa. Dan apabila ternyata dia enggan, seharusnya dia diberikan ta’zir/hukuman pelajaran sampai dia mau menjalankan puasa.

(Sumber : Fatwa Syekh Al-‘Utsaimin yang dikumpulkan dalam Min Fatawa Al-‘Ulama’ fi Ash-Shiyam wa Al-Qiyam, hal. 41-42, penerbit Baitul Afkar Ad-Dauliyah, cet I/1420 H)

Kedua: Keistimewaan puasa

Syekh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan olehnya dari Rabbnya (hadis qudsi),

كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به

Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.‘ Suatu hal yang dimaklumi bahwa semua ibadah itu untuk Allah dan diberikan pahala, tetapi bagaimana Allah memberikan kekhususan bahwa puasa itu untuk-Nya saja?”

Beliau menjawab,

“Keistimewaan yang terkandung di dalamnya ialah bahwa puasa merupakan amalan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Karena, bisa saja seorang menampakkan diri bahwa dia sedang berpuasa, tetapi apabila dia pulang ke rumahnya atau ke tempat sepi, lalu dia pun makan. Ini menunjukkan bahwa puasa mengandung suatu kelebihan dan keutamaan khusus.

Begitu pula, setiap amal itu memiliki nilai lebih dan kemuliaannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sebagaimana dalam hadis Abu Umamah yang menuturkan kepada beliau, ‘Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan untuk aku kerjakan, wahai Rasulullah.’ Beliau menjawab,

عليك بالصوم، فإنه لا مثل له

Hendaklah kamu berpuasa. Sesungguhnya tidak ada amal lain yang serupa dengannya.’

Bukanlah artinya puasa menjadi lebih utama daripada salat. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa puasa itu memiliki suatu keistimewaan tersendiri dan ia menunjukkan kepada keikhlasan.”

(Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4254)

Ketiga: Perusak puasa Ramadan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud. Lafaz ini milik Abu Dawud)

Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berlaku bodoh/dungu bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja pengharaman perbuatan itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan lagi, seperti halnya pengharaman zina atas orang yang sudah tua renta dan diharamkannya kesombongan bagi orang yang miskin. (Lihat Subul As-Salam, 2:876)

Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan bahwa maksud hadis ini adalah orang yang melakukan perbuatan semacam itu tidak akan bisa memetik manfaat dari puasanya dan tidak akan memperoleh pahala atas puasanya apabila dia tidak meninggalkan ucapan dusta, tindakan bohong, serta perbuatan dungu. Dan hal ini mengandung peringatan keras terhadap segala bentuk kemaksiatan, seperti berbohong, caci-maki, suap, berinteraksi dengan riba, melanggar hak-hak orang lain dalam hal darah, harta, atau kehormatannya. Bagaimana mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang pada asalnya mubah sementara di saat yang sama dia justru bergelimang dengan keharaman yang dilarang sepanjang waktu. Nilai apa yang bisa diraih dari puasa semacam ini?! Puasa yang lemah seperti ini tidak bisa menghapus dosa-dosa dan tidak mengangkat derajat pelakunya. (Lihat Minhatul Malik Al-Jalil, 4:147)

Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa istilah al-qaul az-zur (perkataan dusta) di dalam hadis ini mencakup segala ucapan yang menyimpang dari kebenaran, tercakup di dalamnya kebohongan dan fitnah. Termasuk yang paling parah adalah persaksian palsu dalam rangka mengambil sesuatu dengan cara yang batil atau menggugurkan hak. Termasuk di dalamnya adalah gibah/menggunjing, namimah/adu domba, mengumpat, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud tindakan bodoh adalah ucapan yang kotor/keji. Hadis ini menunjukkan bahwa puasanya orang yang melakukan perbuatan semacam itu menjadi berkurang maknanya dan sedikit pahalanya karena ia bukan puasa yang sempurna. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:482-483)

Keempat: Berkumur-kumur ketika puasa

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah benar pendapat yang menyatakan bahwasanya berkumur-kumur dalam wudu tidak wajib bagi orang yang sedang melakukan puasa di siang hari Ramadan?”

Beliau menjawab,

“Ini tidak benar. Berkumur-kumur di dalam wudu adalah salah satu kewajiban di dalam berwudu. Sama saja, apakah hal itu pada siang hari Ramadan atau di waktu lainnya, untuk orang yang sedang puasa ataupun selainnya. Hal itu berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

فَٱمۡسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمۡ

‘Maka, cucilah wajah-wajah kalian.’ (QS. Al-Ma’idah: 6)

Meskipun demikian, tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dalam keadaan dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan hadis Laqith bin Shabirah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Sempurnakanlah wudu, sela-selailah antara jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq, kecuali apabila kamu sedang berpuasa.’ (HR. Tirmidzi dan Nasa’i Disahihkan Al-Albani.)”

(Sumber : Tsamaniyah wal Arba’una Su’alan fish Shiyam, hal. 58.)

Kelima: Niat puasa Ramadan

Suatu saat, Syekh Muqbil ditanya, “Apakah wajib niat puasa Ramadan itu (dilakukan setiap hari, pent), ataukah cukup berniat puasa untuk sebulan penuh dengan sekali niat di awal? Dan kapankah berniatnya?”

Beliau menjawab,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang yang beramal akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.’ Ini adalah dalil yang menunjukkan wajibnya berniat dalam seluruh amal yang hendak dilakukan.

Maka, yang lebih tampak kuat (bagi kami) adalah setiap orang wajib berniat di setiap hari. Namun, itu bukanlah berarti dia mengucapkan ‘nawaitu an ashuma yauma kadza wa kadza’ (saya berniat untuk puasa pada hari ini dan itu di bulan Ramadan). Akan tetapi, yang dimaksud niat itu adalah keinginan/maksud dan kesengajaan. Sehingga, ketika Anda bangun untuk makan sahur, ini pun sudah dianggap niat. Ketika anda menyengaja menahan makan dan minum, ini pun sudah termasuk niat.

Adapun hadis ‘Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sejak malam, maka tiada puasa baginya.’, ini adalah hadis yang lemah dan mudhthorrib/goncang, meskipun hadis ini dinilai hasan oleh sebagian ulama. Akan tetapi, pendapat yang benar/lebih kuat adalah hadis ini mengandung kegoncangan/idhthirrab.”

(Sumber : http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3321)

Keenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به،…والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك

Allah ‘Azza Wajalla berfirman, ‘Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Akulah yang akan membalasnya… Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada semerbak minyak kasturi.’” (HR. Muslim)

Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Tidak ada yang mengetahui dengan sebenarnya hakikat puasa seorang hamba, kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bisa saja seorang insan secara sembunyi-sembunyi makan dan minum, sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Akan tetapi, karena dia yakin bahwasanya Allah melihat dan mengawasinya, maka hal itu pun tidak dilakukannya. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Al-‘Ibrah fi Syahri Shaum sebagaimana tercantum dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209)

Pelajaran atau ibrah yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwasanya apabila seorang hamba takut kepada Allah kalau-kalau puasanya rusak/cacat, maka semestinya seorang insan juga takut kepada Allah apabila salat, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya mengalami kerusakan/cacat. Karena sesungguhnya Yang mewajibkan puasa sama dengan Yang mewajibkan salat. Terlebih lagi, salat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya keutamaan salat, sehingga Allah pun mewajibkannya kepada Nabi dengan mengangkat beliau ke langit. Apabila seorang muslim merasakan bahwa kerusakan pada puasanya adalah perkara yang sangat besar dan membahayakan, maka semestinya dia juga bisa merasakan bahwa rusaknya salat yang dia lakukan lebih besar dan lebih membahayakan. Inilah salah satu faedah dan pelajaran paling agung yang semestinya dipetik oleh setiap muslim dari bulan puasa. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209-210)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/93049-faedah-ilmu-seputar-puasa-ramadan.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Berburu Lailatul Qadar, Apa Keutamaan dan Cirinya ?

Di malam Lailatul Qadar, para malaikat bersama malaikat Jibril turun dengan membawa rahmat dan berkah

MEJELANG berakhirnya Ramadhan banyak orang berburu Lailatur Qadar. Di bawah ini beberapa keutamaan Lailatur Qadar;

Pertama: Pada malam tersebut Al-Quran diturunkan pertama kali. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر

“Kami telah menurunkan Al-Quran ini pada malam ‘Lailatul Qadar’.” (QS:: Al-Qadar : 1).

Kedua: Beribadah pada malam Lailatul Qadar lebih baik dari pada beribadah seribu bulan yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadar. Sebagaimana firman Allah SWT:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْر

“Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan.” (QS: Al-Qadar: 3)

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud ayat di atas, akan tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa amalan pada malam hari itu lebih baik dari amalan seribu malam yang tidak terdapat di dalamnya Lailatul Qadar.

Ketiga: Para malaikat bersama malaikat Jibril turun pada malam tersebut dengan membawa rahmat dan berkah. Sebagaimana firman Allah SWT:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” (QS: Al-Qadar: 4)

Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إنها ليلة سابعة، أو تاسعة وعشرين، وإن الملائكة تلك الليلة في الأرض أكثر من عدد الحصى‏

“Sesungguhnya Lailatul Qadar itu akan turun pada malam 27 atau 29, dan sesungguhnya malaikat yang ada di muka bumi pada malam itu lebih banyak dari pada jumlah kerikil.” (Hadits Hasan, Riwayat Ibnu Huzaimah).

Keempat: Malam Lailatul Qadar adalah malam yang penuh kedamaian dan kesejahteraan bagi orang-orang beriman. Para malaikat pun memberikan salam kepada mereka sampai terbit fajar. Sebagaimana firman Allah SWT:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS: Al-Qadar: 5)

Kelima: Malam Lailatul Qadar adalah malam yang penuh berkah, sebagaimana firman Allah SWT:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ

“Kami telah menurunkan Al-Quran ini pada malam yang penuh berkah.” (QS: Ad-Dukhan: 2).

Keenam: Malam Lailatul Qadar adalah malam yang di dalamnya ditentukan takdir seluruh makhluk dalam satu tahun. Sebagaimana firman Allah SWT:

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu ditetapkan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS: Ad-Dukhan: 3).

Ketujuh: Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadar dengan ikhlas dan keimanan, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau. Dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ:

من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang bangun (untuk beribadah) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan keikhlasan, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalil Malam Ganjil Bulan Ramadhan tentang Lailatul Qadar 

Memang, ada dalil yang menjelaskan bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada malam-malam ganjil dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan, yaitu sabda Rasulullah ﷺ

تحروا ليلة  القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان

“Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh terkahir bulan Ramadhan.” (HR: Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

التمسوها في العشر الأواخر من رمضان ليلة القدر في تاسعة تبقى ، في سابعة تبقى ، في خامسة تبقى

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, pada malam sembilan terakhir, pada malam tujuh terakhir, pada malam lima terakhir.” (HR Bukhari).

Maksud dari pada malam sembilan terakhir adalah malam dua puluh satu Ramadhan, dan maksud dari malam tujuh terakhir adalah malam duapuluh tiga Ramadhan, dan maksud dari malam lima Ramadhan terakhir adalah malam duapuluh.

عن عبادة بن الصامت أنه قال ( يا  رسول الله ، أخبرنا عن ليلة القدر ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : هي في رمضان ، التمسوها في العشر الأواخر ، فإنها وتر في إحدى و عشرين أو ثلاث و عشرين أو خمس و عشرين أو سبع و عشرين أو تسع و عشرين أو في آخر ليلة )

“Dari Ubadah bin Shamit bahwasanya ia berkata, ‘Wahai Rasulullah , beritahukan kami tentang Lailatul Qadar!’ Rasulullah menjawab, ‘Dia ada dalam bulan Ramadhan. Carilah pada sepuluh terakhir, karena dia terdapat pada malam ganjil, pada malam 21, atau 23, atau 25, atau 27, atau 29, atau di malam terakhir.” (Hadits Hasan, Riwayat Ahmad).*/Dr Ahmad Zain an-Najah, LC, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Hakikat Malam Lailatul Qadar Menurut Prof Quraish Shihab: Menjadikan Manusia Menjadi Pribadi yang Damai

Malam Lailatul Qadar merupakan peristiwa yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam saat bulan Ramadan. Setiap ibadah yang dilakukan pada malam tersebut, dipercaya pahalanya akan dilipat gandakan.

Terlebih Rasulullah saw sendiri menganjurkan agar umat Islam berburu malam Lailatul Qadar dengan banyak-banyak melakukan ibadah. Tidak ada yang tahu pasti kapan malam Lailatul Qadar terjadi, namun dalam HR. Bukhari dan muslim Lailatul Qadar terjadi di malam ganjil pada 10 hari terakhir Ramadan.

“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadan,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain itu tidak ada satu pun yang bisa mengetahui kehebatan malam Lailatul Qadar selain keterangan dari Al-Quran dan sunah. Hal tersebut dikarenakan saking istimewanya malam Lailatul Qadar.

Secara umum, umat muslim mengetahui jika malam Lailatul Qadar merupakan malam seribu bulan. Namun secara harfiahnya, menurut Prof. Quraish Shihab, malam Lailatul Qadar memiliki tiga arti. Pertama diartikan mulia yakni malam yang mulia.

Kedua memiliki arti ketentuan artinya malam di mana Allah menentukan perjalanan hidup seseorang selanjutnya. Sedangkan yang ketiga adalah sempit, maknanya karena pada malam tersebut malaikat silih berganti turun ke muka bumi sehingga bumi bagai sangat sempit karena kehadiran malaikat.

Makna malaikat silih berganti turun ke muka bumi untuk membawa kebaikan dan mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan. Sehingga orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar, dia akan selalu berbuat kebaikan karena malaikat senantiasa bersamanya.

Selain itu orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar hidupnya akan selalu damai dan memberikan kedamaian baik itu untuk dirinya sendiri, orang lain, hewan, tumbuhan dan makhluk ciptaan Allah SWT lainnya.

Kedamaian orang yang mendapat malam Lailatul Qadar tidak hanya dirasakan sampai terbitnya fajar, akan tetapi juga diartikan sampai terbitnya fajar kehidupan manusia di akhirat nanti. Sehingga kehidupan kedamaian itu dibawanya sampai di hari kemudian dan ketika itu di hari kemudian dia akan masuk di negeri yang dinamai Allah darussalam, negeri yang penuh dengan kedamaian.

Kemuliaan malam Lailatul Qadar dianugerahkan Allah SWT hanya untuk umat nabi Muhammad saw dan ada alasan tersendiri. Ada yang berkata jika umat-umat terdahulu usianya lebih panjang dibanding dengan usia manusia sekarang. Sehingga untuk menggantikan panjangnya usia itu Allah SWT memberi Lailatul Qadar. Sehingga setiap orang yang mendapatkan Lailatul Qadar seakan-akan umurnya bertambah seribu bulan. Wallaahu ‘alam bissawab.

ISLAMKAFFAH

Daftar Haji 2024: Estimasi Keberangkatan dan Cara Cek Porsi Haji

Masyarakat Indonesia tengah menantikan pelaksanaan ibadah haji dengan penuh kesabaran mengingat antrean keberangkatannya yang panjang.

Proses untuk melaksanakan salah satu rukun Islam ini membutuhkan waktu yang cukup lama, terutama dengan daftar tunggu yang bisa mencapai puluhan tahun. Informasi terkini dari Kementerian Agama menunjukkan bahwa beberapa provinsi bahkan memiliki masa tunggu hingga lebih dari 90 tahun. Hal ini disebabkan oleh kuota haji yang ditetapkan setiap tahun.

Bagi mereka yang baru mendaftar haji pada tahun 2024, pertanyaan kapan tahun keberangkatannya muncul secara alami. Namun, ada perkiraan waktu keberangkatan yang dapat diperhatikan. Meskipun estimasi ini bervariasi di setiap provinsi dan kabupaten, secara umum masa tunggu untuk haji reguler di Indonesia berkisar antara 11 hingga 47 tahun.

Dengan demikian, untuk seseorang yang mendaftar haji reguler pada tahun 2024, ia mungkin harus menunggu antara tahun 2035 hingga 2071 untuk berangkat. Proses pendaftaran dan estimasi keberangkatan haji dapat diperiksa dengan menggunakan dua cara yang telah disediakan oleh Kementerian Agama, yakni melalui laman resmi Kementerian Agama atau melalui aplikasi seperti Pusaka atau Cek Porsi Haji.

Untuk memanfaatkan aplikasi Cek Porsi Haji, Anda dapat mengunduhnya dan menginstalnya di smartphone Android Anda. Melalui aplikasi tersebut, Kementerian Agama akan memberikan informasi perkiraan keberangkatan yang mencakup nomor porsi, data pendaftar, kabupaten/kota asal, posisi porsi pada kuota khusus provinsi/kabupaten/kota, serta estimasi tahun keberangkatan baik dalam kalender Masehi maupun Hijriah.

  • Unduh aplikasi Cek Porsi Haji yang berbasis Android ini di Google Playstore
  • Buka aplikasi cek Porsi Haji, cari menu Cek Porsi Haji
  • Masukkan 10 digit nomor porsi yang dimiliki
  • Pilih ‘Cari Nomor Porsi’

Untuk mendaftar haji reguler, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon jemaah haji. Mereka harus berusia minimal 12 tahun pada saat pendaftaran, beragama Islam, memiliki kartu identitas yang sah, Kartu Keluarga, serta dokumen pendukung lainnya seperti akta kelahiran atau surat kenal lahir. Setelah memenuhi persyaratan tersebut, proses pendaftaran dilakukan melalui alur yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama, termasuk pembukaan tabungan haji, penandatanganan surat pernyataan, dan pengisian formulir pendaftaran haji.

Pendaftaran haji reguler memang membutuhkan kesabaran dan perencanaan yang matang. Oleh karena itu, sebaiknya calon jemaah haji mendaftarkan diri sesegera mungkin dan memperhatikan semua persyaratan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, mereka dapat memastikan bahwa proses pendaftaran mereka berjalan lancar dan dapat mengikuti estimasi keberangkatan haji yang telah ditetapkan.

sumber: Kumparan