SAAT diri merasa telah banyak berbuat baik untuk islam dan kaum muslimin, kita merasa telah melakukan sesuatu untuk membela Allah, Rasul-Nya dan Al Qur’an, lalu hati kita menganggap remeh orang yang tak seperti dirinya. Atau bahkan menganggap mereka lemah dan tak berguna. Inilah ujub. Dan ada bahaya ujub yang banyak tak disadari.
Tahukah Anda? bahwa perasaan seperti ini bisa membatalkan amalnya?
Ibnul Mubaarok rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui pada orang-orang yang sholat perkara yang lebih buruk daripada ujub” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sy’abul Iman no 8260).’
Bahaya Ujub:
Syaikh Ibnu Al Utsaimin menjelaskan bahwa ujub itu dapat membatalkan amal. Beliau mengatakan, “kelompok yang kedua, yaitu orang-orang yang tidak memiliki tahqiq (kesungguhan) dalam pokok iman kepada takdir. Mereka melakukan ibadah sekadar yang mereka lakukan. Namun mereka kita sungguh-sungguh dalam ber-isti’anah kepada Allah dan tidak bersabar dalam menjalankan hukum-hukum Allah yang kauni maupun syar’i. Sehingga dalam beramal mereka pun malas dan lemah, yang terkadang membuat mereka terhalang dari beramal dan menghalangi kesempurnaan amal mereka. Dan membuat mereka ujub dan sombong setelah beramal yang terkadang bisa menjadi sebab amalan mereka hangus dan terhapus” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 4/250).
Perkataan beliau selaras dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikui dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri” (HR at-Thobroni dalam Al-Awshoth no 5452 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 1802).
Demikian pula sabda beliau, “Jika kalian tidak berdosa maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub ! ujub !” (HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no 6868, hadits ini dinyatakan oleh Al-Munaawi bahwasanya isnadnya jayyid (baik) dalam at-Taisiir, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no 5303).
Jika kita merasa ujub, sebagaimana ditanyakan kepada Aisyah radliyallahu anha siapakah orang yang terkena ujub, beliau menjawab, “Bila ia memandang bahwa ia telah menjadi orang yang baik” (Syarah Jami As Shoghier). Bagaimana bila disertai dengan menganggap remeh orang lain? Inilah kesombongan.
Pemilihan umum adalah momen penting dalam kehidupan demokrasi suatu negara. Melalui pemilihan umum, rakyat memiliki kesempatan untuk memilih wakil-wakilnya dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Namun, di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama tertentu, terdapat fenomena yang memprihatinkan, yaitu politisasi agama dalam Pemilu [pemilihan umum].
Penggunaan tren agama sebagai komoditas politik, terutama menjelang pemilihan umum mengalami kenaikan. Politisasi agama merujuk pada penggunaan agama sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik untuk kekuasaan dan memperoleh dukungan massa tertentu. Hal ini dapat dilakukan oleh partai politik, kandidat, atau kelompok-kelompok tertentu yang ingin memanfaatkan sentimen agama untuk mendapatkan dukungan politik.
Politisasi agama dalam pemilihan umum memiliki bahaya yang serius bagi stabilitas politik, harmoni sosial, dan nilai-nilai demokrasi. Dalam esai ini, kami akan membahas dampak, tantangan, dan solusi terkait bahaya politisasi agama saat pemilihan umum.
Dampak Politisasi Agama dalam Pemilu
Ketika agama digunakan secara politis, hal itu dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Pertama, meningkatnya ketegangan sosial dan konflik. Salah satu dampak paling mencolok dari politisasi agama dalam pemilihan umum adalah meningkatnya ketegangan sosial dan konflik antar-kelompok. Politisasi agama cenderung memperkuat identitas keagamaan dan memicu sikap eksklusifisme terhadap kelompok lain.
Hal ini bisa mengarah pada polarisasi masyarakat, meningkatnya intoleransi, dan bahkan kekerasan antar-agama. Ketika politik berperan dalam memanipulasi sentimen agama, agenda politik menggantikan pertimbangan rasional, dan hal ini dapat menghancurkan dasar-dasar pluralisme dan keharmonisan sosial. [R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred, 2000].
Lebih lanjut, politisasi agama dalam pemilu mencakup meningkatnya polarisasi masyarakat, diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok agama minoritas, reduksi kompleksitas isu-isu politik, dan penurunan kualitas pemimpin yang dipilih.
Ini mengarah pada pembagian yang lebih dalam dalam masyarakat, penekanan terhadap suara minoritas, pengabaian isu-isu penting yang tidak berkaitan dengan agama, dan pemilihan pemimpin yang tidak berdasarkan kualifikasi dan kemampuan mereka.
Kedua, ancaman terhadap prinsip kebebasan beragama. Politisasi agama dalam pemilihan umum juga memberikan ancaman terhadap prinsip kebebasan beragama. Penggunaan agama sebagai alat politik cenderung membatasi kebebasan individu untuk mempraktikkan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Agama yang semestinya menjadi sumber inspirasi dan pemersatu, malah menjadi alat pembagian dan perpecahan. Akibatnya, masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang berbeda-beda mungkin menghadapi diskriminasi dan marginalisasi.
Dalam konteks demokrasi, politisasi agama mengancam prinsip inklusi, kebebasan berpikir, dan keadilan dalam kebijakan publik. Eksklusi dan marginalisasi kelompok agama minoritas mengancam keragaman dan harmoni sosial.
Sementara penindasan terhadap kebebasan berpikir dan berekspresi merusak prinsip kebebasan dalam demokrasi. Keputusan politik yang didasarkan pada pertimbangan agama juga mengarah pada kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif, melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan.
Selain itu, politisasi agama dalam Pemilu juga dapat mengancam kebebasan beragama secara individual. Ketika agama dikendalikan oleh kepentingan politik, individu yang berbeda keyakinan dapat menjadi sasaran penindasan dan diskriminasi. Kebebasan beribadah, hak untuk mengamalkan agama masing-masing, dan hak untuk memilih atau mengubah keyakinan dapat terancam oleh politisasi agama yang keras
Tak kalah penting, politisasi agama dalam demokrasi sering kali berdampak pada kebebasan berpikir dan berekspresi. Kritik terhadap agama atau pemimpin agama dapat dianggap sebagai penghinaan atau tindakan anti-agama, yang dapat menghasilkan kriminalisasi dan penindasan terhadap kebebasan berpendapat.
Ketiga, penurunan kualitas debat dan kampanye. Politisasi agama juga berdampak pada penurunan kualitas debat dan kampanye politik. Ketika pemilihan umum menjadi ajang di mana agama dipolitisasi, isu-isu esensial seperti ekonomi, pendidikan, dan lingkungan sering kali terpinggirkan.
Kandidat cenderung berfokus pada retorika agama dan penggunaan simbol-simbol keagamaan, bukannya mengusung ide-ide kebijakan yang konstruktif. Akibatnya, pemilih kurang mendapatkan informasi yang substansial dan berimbang, sehingga terhambatnya partisipasi publik yang cerdas dan rasional.
Lebih jauh lagi, narasi polarisasi agama hanya akan mempersempit makna dari pemilihan umum, yang ujungnya tidak adanya literasi politik bagi masyarakat. Padahal, seyogianya masyarakat diberdayakan dengan pengetahuan yang memadai tentang politik, agama, dan hubungan antara keduanya. Pendidikan politik yang inklusif dan obyektif dapat membantu masyarakat memahami bahwa politisasi agama merusak prinsip demokrasi dan kehidupan sosial yang harmonis.
Keempat, politisasi agama mengakibatkan ketidakadilan dalam kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif. Keputusan politik yang didasarkan pada pertimbangan agama bukanlah fondasi yang kuat untuk menciptakan kebijakan yang adil dan merata bagi semua warga negara. Ini merusak prinsip kesetaraan dan keadilan dalam demokrasi.
Lebih jauh, ketika faktor “agama” tertentu menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan kebijakan, prinsip-prinsip kesetaraan dan kebebasan beragama dapat terabaikan. Kebijakan yang memihak pada satu agama tertentu atau membatasi kebebasan beragama dapat mengecualikan kelompok minoritas atau agama-agama yang berbeda. Dalam konteks ini, politisasi agama melanggar prinsip dasar keadilan dalam kebijakan publik, memperkuat ketidakadilan struktural, dan meningkatkan kesenjangan sosial.
Oleh karena itu, penting bagi negara-negara yang menganut prinsip demokrasi dan kebebasan untuk melindungi prinsip-prinsip dasar keadilan dan pluralisme dalam kebijakan publik. Pemisahan agama dan politik, pengakuan hak asasi manusia, dan partisipasi publik yang inklusif adalah langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi politisasi agama dan memastikan keadilan dalam kebijakan publik.
Pentingnya Persatuan dan Kesamaan Hak dalam Islam
Islam adalah agama yang menekankan persaudaraan dan kesatuan antara umat manusia. Al-Quran, kitab suci Islam, menekankan pentingnya persatuan dan menolak segala bentuk diskriminasi atau pemisahan berdasarkan ras, suku, atau latar belakang etnis. Islam menegaskan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah dan perbedaan hanya berdasarkan ketakwaan.
Prinsip persatuan dalam Islam juga tercermin dalam praktik ibadah wajib seperti salat berjamaah, di mana umat Muslim berkumpul bersama untuk melaksanakan salat di masjid. Selain itu, Islam mendorong umatnya untuk menjaga persatuan dan menghindari perpecahan dengan mempromosikan kerja sama, toleransi, dan perdamaian antara individu dan kelompok.
Prinsip persamaan dalam Islam mencakup beberapa aspek, termasuk kesetaraan di hadapan hukum dan keadilan. Islam menekankan bahwa semua orang memiliki hak-hak yang sama, termasuk hak atas kebebasan, keadilan, dan perlakuan yang adil. Islam juga menekankan perlunya memperlakukan semua orang dengan hormat, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau kebangsaan mereka.
Dalam konteks ini firman Allah dalam Q,S al Hujarat [49], ayat 13, Allah menyatakan;
Artinya; Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
Profesor Qurasih Shihab dalam buku Islam dan Kebangsaan; Tauhid, Kemanusiaan, dan Kewarganegaraan, halaman 37 mengatakan ayat di atas menegaskan bahwa manusia semua sama derajat kemanusiaannya di sisi Allah. Tidak ada perbedaan antara seorang manusia atau satu suku dengan yang lain, tidak juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara lelaki dan perempuan. Pasalnya, semuanya diciptakan dari laki-laki dan perempuan.
Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan persatuan dan kesatuan umat manusia. Islam menekankan pentingnya persaudaraan dan keterikatan antara sesama manusia tanpa memandang suku, ras, atau bangsa. Prinsip-prinsip Islam mendorong umat muslim untuk hidup secara harmonis dalam masyarakat yang beragam.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat memenuhi sendiri aneka kebutuhan kita. Dari sini manusia, harus bekerja sama bahkan mengorbankan sebagian dari kepentingan untuk meraih manfaat bersama, sehingga dari sini persatuan kita butuhkan dalam arti harus menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan masing-masing.
Tanpa persatuan dan kesatuan umat manusia akan hancur berantakan dan terjebak dalam perpecahan. Dalam konteks ini, perselisihan dan perpecahan dapat memiliki dampak yang serius pada stabilitas politik dan sosial suatu negara atau komunitas. Ketika ketidakharmonisan dan konflik merajalela, ketegangan politik dan sosial meningkat, dan kondisi menjadi tidak stabil. Dalam Q.S al Anfal [8]; ayat 46, Allah berfirman;
Artinya; Taatilah Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, serta bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
Sikap perselisihan dan perpecahan memiliki konsekuensi serius yang dapat merusak hubungan sosial, stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan intelektual. Al-Qur’an, melalui ayat di atas mengajak kita untuk memahami dan menghindari bahaya-bahaya ini dengan mempromosikan perdamaian, toleransi, solidaritas, dan persatuan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Imam Al-Ghazali dalam karyanya Mizan Al-Amal Juz, 1, halaman 265, menjelaskan keutamaan manusia menurut Imam Al-Ghazali. Keutamaan itu, banyak sekali tidak terhitung jumlahnya, walaupun tidak terhitung jumlahnya Imam Al-Ghazali merangkainya menjadi empat bagian.
Imam Al-Ghazali menegaskan:
الفضائل وإن كان كثيرة فتجمها أربعة، تشتمل شعبها وأنواعها، وهي الحمكة والشجاعة والعفة والعدلة
Keutamaan meskipun jumlahnya banyak sekali, namun pada dasarnya berasal dari empat perkara, yang mengandung cabang-cabang dan macam macam keutamaan. Adapun empat perkara tersebut antara lain, hikmah, keberanian, iffah (menjaga diri dari hal yang buruk) dan adil.
Keutamaan Manusia Menurut Imam Al-Ghazali
Menurut penuturan Imam Al-Ghazali keutamaan hikmah itu karena mempunyai daya ingat yang kuat. Keutamaan pemberani karena dapat mengontrol emosi. Keutamaan iffah (terjaga dari hal buruk) karena bisa mengontrol hawa nafsu. Keutamaan adil karena dapat menjaga kewajiban dari permasalahan yang dihadapinya.
Pada dasarnya keutamaan itu terdiri dari empat bagian:
Pertama, keutamaan hikmah. Hikmah adalah anugerah yang sangat agung, yang dinisbatkan kepada kuatnya akal. Hikmah yang paling utama, adalah hikmah pengetahuan tentang hakikat ilmu, hikmah tersebut tidak akan berubah dengan berubahnya zaman, seperti ilmu mengenal Allah, sifat-sifat Allah, dan sifat-sifat makhluk Allah.
Kedua, keutamaan keberanian. Keberanian mempunyai keutamaan, karena dapat menahan emosi atau kemarahan. Keberanian bisa dihasilkan dengan memiliki akhlak yang terpuji. Orang yang memiliki sifat yang rendah atau sering meremehkan orang lain, ia tidak pantas disebut pemberani. Dan yang disebut pemberani adalah orang yang terdepan dalam menjalankan perilaku kebaikan.
Ketiga, keutamaan iffah (terjaga dari hal yang buruk). Kebanyakan orang tidak bisa mengendalikan syahwatnya, seperti syahwat perut, kemaluan, cinta harta, dan suka dipuji orang lain.
Orang yang memiliki sifat iffah (terjaga dari hal yang buruk) dapat menyeimbangkan dan mengendalikan syahwatnya, karena orang yang mempunyai sifat iffah (terjaga dari hal yang buruk) dalam berfikir dan bertindak ia menggunakan akal dan aturan-aturan syariat.
Keempat, keutamaan keadilan. Keadilan itu ada beberapa hal, diantaranya, adil dalam perilaku, adil dalam bermuamalah, dan adil dalam menentukan kebijakan. Adil dalam perilaku, yaitu, menempatkan sesuatu pada tempatnya, seperti bersikap baik kepada para pembantunya.
Adil dalam bermuamalah, yaitu, tidak berbuat curang dan menipu dalam bertransaksi. Adil dalam menentukan kebijakan, yaitu, kebijakannya tidak menindas dan tidak merugikan rakyat jelata.
Kerajaan Arab Saudi telah mengumumkan kuota haji Indonesia 2024 sebanyak 221 ribu jamaah. Seiring dengan itu, pemerintah Indonesia pun mulai mempersiapkan diri.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah kriteria istitha’ah dan pendamping jamaah lanjut usia (lansia). Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan kebijakannya kemungkinan masih akan sama.
Tahun depan, tidak ada kuota untuk pendamping lansia. Sebab, hal itu akan mengganggu sistem antrean dan merugikan jamaah lainnya, mengingat jumlah lansia tidak sedikit.
“Kalau pendamping kita masukkan, antreannya pasti yang seharusnya berangkat akan tergeser, karena diambil kuotanya oleh pendamping ini. Tentu kita tidak ingin itu terjadi. Kita inginnya supaya jamaah ini bisa berangkat beribadah dengan cara-cara yang berkeadilan. Adil dalam terjemahan kami ya seperti itu,” ucap Menag dalam keterangan yang didapat Republika.co.id,Sabtu (8/7/2023).
Pria yang akrab disapa Gus Yaqut ini juga menilai bahwa tidak semua lansia tidak masuk dalam kategori istitha’ah. Ada banyak jamaah berusia di atas 90 tahun yang kondisinya masih segar bugar
Artinya, ukuran kriteria yang dilihat bukan dari usia, tapi istitha’ah kesehatan. Dia menyebut hal ini juga akan didiskusikan dengan Komisi VIII DPR.
“Kemarin waktu bertemu DPR sebelum puncak haji, sudah saya sampaikan, bagaimana kalau kita berusaha mengubah peraturan agar istitha’ah kesehatan ini dijadikan syarat,” lanjut dia.
Saat ini, proses yang berjalan disebut terbalik, yaitu pelunasan dulu baru pengecekan kesehatan. Sehingga, mau tidak mau kalau jamaah sudah melunasi harus diberangkatkan.
Ke depan, Kementerian Agama (Kemenag) disebut berharap agar dibuat aturan untuk hal ini. Bagi jamaah yang dinyatakan sudah memenuhi istitha’ah kesehatan, baru kemudian berhak melakukan pelunasan.
“Meskipun ini tentu juga ada tantangannya yang tidak mudah, waktunya juga pasti diperlukan lebih panjang. Tapi kita akan terus berikhtiar agar pelayanan kepada jamaah ini menjadi terus lebih baik ya dan jamaah menjadi lebih nyaman,” kata Gus Men, panggilan akrabnya.
Terkait kuota tambahan, dia pun berharap agar tahun depan tetap ada. Sebab, kuota tambahan juga akan memperpendek antrean haji.
“Saya sudah sampaikan itu ke Menteri Haji. Tapi kata Pak Menteri Haji waktu itu, ya kita lihat dulu proses kuota penuhnya ini. Kalau kita bisa memenuhi, kita akan bicarakan,” ujar dia.
Penyelenggaran ibadah haji 1444 H/2023 M dijadwalkan akan berakhir pada 3 Agustus 2023, seiring mendaratnya kloter terakhir jamaah haji di Tanah Air. Saat ini secara bertahap jamaah telah kembali ke Indonesia.
Fadhilatus syekh, apakah yang hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang telah diberikan taufik oleh Allah Ta’ala untuk menyempurnakan rangkaian ibadah haji mereka, baik berupa haji dan umrah? Apa yang hendaknya mereka kerjakan setelah itu?
Jawaban:
Yang hendaknya dilakukan olehnya dan juga orang-orang selain mereka yang telah diberikan nikmat untuk beribadah kepada-Nya adalah untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala atas taufik yang diberikan sehingga dapat menunaikan ibadah tersebut. Dan hendaknya dia berdoa kepada Allah Ta’ala agar ibadah hajinya diterima. Dia hendaknya mengetahui bahwa taufik yang Allah Ta’ala berikan kepadanya untuk dapat menunaikan ibadah tersebut adalah suatu nikmat yang patut untuk disyukuri.
Jika dia bersyukur kepada Allah Ta’ala dan berdoa kepada Allah agar ibadahnya diterima, maka ibadahnya tersebut layak diterima. Hal ini karena sesungguhnya jika seseorang mendapatkan taufik untuk berdoa, maka dia layak untuk dikabulkan doanya. Jika dia mendapatkan taufik untuk beribadah, maka ibadahnya layak diterima. Hendaknya dia penuh semangat untuk menjauhkan diri dari amal perbuatan yang buruk setelah Allah Ta’ala berikan anugerah untuk menghapusnya.
Karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Salat lima waktu, salat Jumat ke Jumat berikutnya, dan puasa Ramadan ke puasa Ramadan berikutnya adalah penghapus dosa di antaranya, selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
“Umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349)
Ini adalah tugas (kewajiban) setiap orang yang Allah Ta’ala berikan nikmat untuk mendirikan ibadah, yaitu bersyukur kepada Allah dan berdoa agar ibadahnya tersebut diterima.
Pertanyaan:
Fadhilatus syekh, apa nasihatmu bagi orang yang sudah selesai menunaikan ibadah haji?
Jawaban:
Nasihatku untuknya, untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam menunaikan kewajiban ibadah yang lainnya, seperti salat, zakat, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, berbuat baik kepada sesama manusia dan hewan, dan perintah Allah yang lainnya. Semua itu diringkas dalam firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. An-Nahl: 90-91)
Pada artikel sebelumnya, telah dibahas tentang anjuran untuk “bersyukur kepada manusia”. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,
لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.” (HR. Abu Dawud no. 2970, Ahmad no. 7926 dengan isnad sahih, lihat Ash-Shahih no. 417)
Agar kita terdorong untuk mudah bersyukur pada sesama, berikut akan disampaikan dua kisah betapa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wassallam sangat pandai bersyukur kepada manusia dan tidak mudah melupakan kebaikan-kebaikan yang telah diberikan orang lain.
Kisah jasa Mut’im bin ‘Adiy
Mut’im bin ‘Adiy adalah kafir Quraisy yang menolong Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dan keluarga-keluarga beliau dari embargo di Makkah. Ketika itu, Bani Hasyim dan Bani Muthalib (beliau dan keluarga) diboikot dan dikucilkan, tidak boleh ada transaksi ekonomi, dilarang dipasok makanan. Bahkan, terkadang beliau hanya memakan dedaunan. Embargo ini pun berjalan hingga tiga tahun lamanya. Akhirnya Mut’im bin ‘Adiy menyelamatkan Bani Hasyim dengan merobek surat kesepakatan boikot yang digantungkan di Ka’bah.
Jasa Mut’im bin ‘Adiy yang kedua kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam adalah ketika Nabi terusir dari Makkah dan berdakwah di Tha’if dengan harapan dakwah di sana diterima. Ternyata di Tha’if malah mengalami penolakan. Bahkan, beliau dilempari dengan batu hingga berdarah-darah. Beliau pun pulang dengan kondisi sangat sedih dan khawatir jika pulang ke Makkah diusir dan disiksa kembali. Kemudian karena didorong rasa persaudaraan kepada sesama orang Quraisy, beliau memberikan perlindungan kepada Nabi untuk kembali ke Makkah.
Tatkala terjadi perang Badar dan kaum muslimin menang, saat itu berhasil menawan 70 pembesar kafir Quraisy di kota Madinah. Ketika itu belum ada kebijakan terkait tawanan perang, apakah dibunuh atau meminta tebusan. Kemudian Nabi teringat dengan kebaikan Mut’im bin ‘Adiy setelah bertahun-tahun lalu dan Nabi belum bisa membalas jasa Mut’im bin ‘Adiy karena sudah meninggal. Kemudian beliau bersabda di hadapan kaum muslimin dan orang-orang Quraisy,
“Andai saja Mut’im bin ‘Adiy masih hidup, lalu ia berbicara sesuatu (memberikan kebijakan) tentang orang-orang jahat (musuh-musuh Allah) ini untuk mengampuni atau mengasihani mereka, maka akan aku bebaskan mereka untuknya.” (HR. Bukhari)
Kisah kebaikan Utsman bin Thalhah
Ketika Ummu Salamah berhijrah bersama anaknya menyusul Abu Salamah dari Makkah ke Madinah, Utsman bin Thalhah (orang kafir Quraisy dari Bani Syaibah) ketika melihat mereka, terketuk belas kasihan di hatinya. Dia pun mengantarkan Ummu Salamah dan anaknya ke Madinah untuk memberikan perlindungan. Sesampainya di Madinah beberapa tahun setelahnya, meninggallah Abu Salamah. Kemudian Ummu Salamah diperistri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam pun juga tahu bahwa Ummu Salamah pernah diantarkan Utsman bin Thalhah hijrah ke Madinah. Setelah Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), maka orang-orang berebut untuk memegang kunci Ka’bah. Di antara yang meminta kunci tersebut adalah paman Nabi, Al-Abbas dan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam tidak memberikannya dan meminta paman beliau untuk mengurus zam-zam.
Setelah Ka’bah dibersihkan dari berhala-berhala, Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam berdiri di depan pintu Ka’bah dan berkhotbah,
“Tiada Tuhan yang berhak disembah, selain Allah. Dia telah menepati janji-Nya, memenangkan hamba-Nya, dan menaklukkan pasukan sekutu dengan sendiri-Nya. Ketahuilah, seluruh kemuliaan yang dipersiapkan dan diklaim, darah, dan kekayaan,berada di bawah kedua kakiku ini, kecuali wewenang sidanah (perawat Ka’bah) dan siqayah (pemberi minuman kepada jamaah haji)…” (HR. Abu Dawud no. 4547, shahih https://dorar.net/hadith/sharh/117424)
Ternyata, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak lupa akan kebaikan Utsman bin Thalhah terhadap istri beliau. Beliau pun mencari Utsman bin Thalhah (yang masuk Islam setelah Fathu Makkah) untuk menyerahkan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah (yang merupakan keturunan Bani Syaibah). Dan sampai sekarang, yang memegang kunci Ka’bah bukan pihak kerajaan, melainkan keturunan Bani Syaibah.
Allah Ta’ala berfirman mengenai peristiwa pemberian amanah sebagai juru kunci Ka’bah ini,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58)
Jangan mudah melupakan
Hendaknya terhadap kebaikan orang lain jangan mudah lupa dan terhadap kebaikan diri sendiri hendaknya segera dilupakan. Pandai-pandailah membalas dan mengingat kebaikan (jasa) orang lain.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
“Dan janganlah kamu melupakan kebaikan di antara kamu.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Masuk neraka karena lupa kebaikan suami
Allah Ta’ala bahkan murka kepada orang-orang yang mudah melupakan kebaikan. Sebagaimana para istri yang apabila mudah melupakan banyak kebaikan suaminya hanya karena satu atau dua kesalahan yang diperbuat suaminya.
“Aku pernah diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah para wanita, karena mereka sering berbuat kufur.” Beliau ditanya, “Apakah mereka berbuat kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari pemberian dan kebaikan (suami). Bilamana engkau (suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka (istri) sepanjang masa, kemudian ia melihat satu kesalahan saja darimu, ia akan mengatakan, ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semoga tulisan yang sedikit ini menjadi motivasi utama bagi kita untuk lebih pandai berterima kasih kepada sesama dan tidak mudah melupakan kebaikan-kebaikan yang telah diberikan orang lain.
Arab Saudi terus membagikan Alquran untuk jamaah haji.
Kementerian Urusan Islam Bagikan Lebih dari 14 ribu Salinan Alquran Kepada Jamaah yang Berangkat di Bandara King Abdulaziz.
Dilansir dari laman Riyadh Daily belum lama ini Kementerian Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan terus mendistribusikan Alquran diberikan oleh Penjaga Dua Masjid Suci, kepada jamaah yang berangkat dari Bandara King Abdulaziz di Jeddah. Ini dibagikan setelah menyelesaikan ritual haji.
Hingga hari ini, total 14.100 eksemplar telah didistribusikan semenjak dimulainya proses distribusi. Rata-rata, 8.740 eksemplar didistribusikan setiap hari, yang mencakup interpretasi Ayat Suci dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Indonesia, Urdu, Jerman, Persia, Turki, Malayalam, dan Bengali.
Setibanya di Bandara King Abdulaziz, jemaah haji yang berangkat menyatakan kegembiraan dan rasa terima kasih karena telah menyelesaikan manasik haji di lingkungan yang menggembirakan secara spiritual. Mereka juga memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta\’ala untuk membalas Penjaga Dua Masjid Suci dan Putra Mahkota.
Di samping itu, para pemimpin dunia Muslim dan kepala organisasi Islam memuji Arab Saudi dan kepemimpinannya atas keberhasilan menyelesaikan haji tahun ini.
Liga Dunia Muslim (MWL) mengucapkan selamat kepada Kerajaan, di bawah kepemimpinan Penjaga Dua Masjid Suci Raja Salman dan Mohammed bin Salman, Putra Mahkota dan Perdana Menteri, atas keberhasilan musim haji.
Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Allah, Tuhannya, sehingga ia akan sadar hanyalah seorang hamba terbatas dan semua urusanada dalam genggaman Allah, inilah petikan Khutbah Jumat
Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil
Hidayatullah.com | KITA bisa belajar dari proses mengenal Allah SWT yang dilalui oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau sosok yang kritis dalam mencari kebenaran. Tidak mudah larut dan luluh dengan zaman dan lingkungan di sekitarnya. Inilah petikan lengkah naskah khutbah Jumat kali ini.
Kewajiban pertama bagi setiap manusia adalah mengenal siapa Tuhannya dengan sebaik-baiknya, dengan seyakin-yakinnya, dan dengan sebenar-benarnya. Untuk mencapainya kita harus menempuh jalan yang bisa mengantarkan kita kepada pengenalan Allah SWT.
Jalan yang kita tempuh haruslah jalan yang benar. Sebab jalan yang salah akan membawa diri kita kepada pengenalan yang berisi dugaan, sangkaan, dan menuruti hawa nafsu, bukan berdasarkan iman. Jika ini yang terjadi maka akan berakhir dengan keragu-raguan bahkan kekufuran.
Kita bisa belajar dari proses mengenal Allah SWT yang dilalui oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau sosok yang kritis dalam mencari kebenaran. Tidak mudah larut dan luluh dengan zaman dan lingkungan di sekitarnya, justru beliau pandai memisahkan mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), untuk selanjutnya beliau memilih yang haq dan menjauhi yang bathil.
Kisah beliau ini bisa kita petik dari peristiwa saat beliau mencari Tuhan yang diceritakan Al-Quran Surat Al-An’am ayat 74-79. Yakni ketika Nabi Ibrahim mempertanyakan kepada ayahnya, Azar, dengan mengatakan: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?”
Demikian pula ketika Ibrahim melihat bintang lalu berkata, “Inilah tuhanku,” tapi ia juga tidak suka ketika bintang itu terbenam. Kemudian saat melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah tuhanku,” namun ia tidak suka saat matahari itu tenggelam. Sampai akhirnya ia menemukan Tuhan Allah yang haq.
Kaum Muslimin Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah
Ada tiga jalan yang harus kita tempuh untuk mengenal Allah SWT. Mengutip dari Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith dalam bukunya al-Ajwibah al-Ghaliyah fii ‘Aqiidah al-Firqah an-Naajiyah, cara mengenal Allah yang pertama adalah dengan menyimak apa yang telah Allah SWT beritakan tentang nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang sempurna di dalam kitab-Nya serta melalui lisan para Rasul-Nya.
Dalam hal ini, kita bisa membaca firman Allah SWT dalam Surat Al-Hasyr ayat 22-24:
“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Surat Al-Hasyr ayat 22-24).
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasul ﷺ bersabda :
“Sesungguhnya Allah memiliki 99 asma, siapa yang menghafalnya (memahami, mengamalkan, dan berdoa dengannya), akan dimasukkan ke dalam surga…..” (HR. Bukhari-Muslim).
Asma Allah itu yang kita kenal dengan istilah Asmaul Husna.
Cara pertama ini harus kita tempuh untuk mengenal Allah SWT agar iman dan akidah kita tetap kuat dan tidak mudah goyah oleh berbagai aliran keyakinan yang batil.
Kedua, masih kata Habib Zain bin Sumaith, adalah dengan mengfungsikan akal pikiran. Artinya, kita renungkan alam raya dan ciptaan-ciptaan Allah yang terbentang di seantero dunia.
Setelah itu, kita ambil sebagai pelajaran dan dalil atau bukti tentang Zat yang Maha Menciptakan, tidak lain dan tidak bukan adalah Allah.
Ciptaan-ciptaan Allah dan makhluk-makhluk-Nya yang ada di bumi serta di langit adalah bukti nyata atas ketuhanan-Nya dan menegaskan ke-Esaan-Nya. Imam Abu Hanifah dalam sebuah dialog dengan orang-orang Atheis pernah bertanya, “Apakah masuk akal, sebuah kapal meluncur di permukaan laut yang dalam, diterpa gelombang dahsyat dan angin kencang, sedangkan kapal tetap berjalan lurus tanpa nakhoda?”
Orang-orang Atheis itu menjawab, “Tidak, tidak dapat diterima akal.” Imam Abu Hanifah berkata, “Apabila hal itu tidak dapat diterima akal, maka bagaimana mungkin alam raya yang membentang atas dan bawah beserta kondisi yang beraneka ragam ini tanpa ada yang membuat!”
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran : 190).
Jamaah Shalat Jumat yang Dimuliakan Allah
Ketiga, menurut Habib Zain bin Sumaith, dengan mengenal diri sendiri. Disebutkan dalam sebuah atsar :
ُمَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه
“Barang siapa mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Mengenal diri sendiri adalah suatu cara untuk mengenal Allah SWT. Dengan kata lain, jika setiap manusia mampu mengenal dirinya maka ia akan mampu mengenal kelemahan, keterbatasan, kebutuhan, dan ketidakberdayaannya.
Jika setiap manusia sudah mengenali kelemahannya, maka ia akan sadar bahwa ia tidak sanggup mendatangkan manfaat untuk dirinya dan menghindarkan dirinya dari bahaya, serta ia akan mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang menciptakan, membantu, mengatur, dan mengendalikannya.
Dengan demikian ia akan sadar bahwa ia hanyalah seorang hamba yang serba terbatas dan semua urusannya ada dalam genggaman kekuasaan Allah SWT.
Dengan mengenal Allah melalui jalan Islam yang diperkuat dengan ayat-ayat-Nya, bukti-bukti dari ciptaan-Nya, dan mengenal siapa diri kita yang sebenarnya, maka kita akan mengakui ke-Esaaan Allah dan berkomitmen kepada nilai-nilai Islam.
Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINI. Artikel lain tentang keislaman bisa dibuka www.hidayatullah.com. Khutbah Jumat ini kerjasama dengan Rabithah Alawiyah Kota Malang
Semua orang melakukan berbagai cara, bekerja keras untuk mendapat rezeki. Ada rezeki berupa materi dan non materi. Takwa adalah kunci untuk meraih rezeki, dengan takwa, Allah akan memberi jalan keluar (dari segala perkara yang menyusahkan), dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak terlintas di hatinya (QS. At-Talaq:2-3).
Ada beberapa amalan takwa yang jika dilaksanakan dengan izin Allah akan mendatangkan rezeki dan kebahagiaan antara lain:
1. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Banyak istighfar
Istighfar adalah pengakuan dosa seorang hamba di hadapan Allah yang menyebabkan Allah sayang kepada hamba-Nya. Rasulullah bersabda,”Barangsiapa memperbanyak istighfar maka Allah SWT akan menghapuskan segala kedukaannya, menyelesaikan segala masalahnya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka.” (HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim dari Abdullah bin Abbas ra)
2. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Menjauhkan diri dari maksiat dan dosa
Dosa bukan saja menyebabkan hati resah, bahkan menutup pintu rezeki. Rasulullah bersabda,”… dan seorang lelaki akan diharamkan baginya rezeki karena dosa yang dibuatnya.” (HR. at-Tirmizi)
3 Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Berbakti kepada orangtua
Rasulullah berpesan, barangsiapa yang ingin panjang umur dan ditambah rezekinya, hendaklah ia berbakti pada kedua orang tua dan menyambung tali silaturahim. Sebagaimana sabda Rasulullah,” Siapa berbakti kepada orangtuanya maka kebahagiaanlah buatnya dan Allah akan memanjangkan umurnya.” (HR. Abu Ya’ala, at-Tabrani, al-Asybahani, dan al-Hakim) dalam hadist lain juga disebutkan , “Apabila hamba itu tidak mendoakan kedua orangtuanya niscaya terputuslah rezeki daripadanya.” (HR. Hakim dan ad-Dailami)
4. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Menolong orang lain
Berbuat baik kepada makhluk Allah merupakan perbuatan yang akan mendatangkan kebaikan untuk dirinya. Sebagaimana sabda Rasulullah:” Tidaklah kamu diberi pertolongan dan diberi reseki melainkan karena orang-orang lemah di kalangan kamu.” (HR. Bukhari) dalam hadist lain juga disebutkan,” Siapa yang menunaikan hajat saudaranya maka Allah akan menunaikan hajatnya…” (HR Muslim)
5. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Menjalin silaturahim
Rasulullah bersabda,” Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya dan dilambatkan ajalnya maka hendaklah dia menghubungi sanak saudaranya.” (HR. Bukhari)
6. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Senantiasa dalam kondisi suci (berwudhu)
Seorang badui menemui Rasulullah dan meminta petunjuk mengenai beberapa perkara termasuk ingin dimudahkan rezeki oleh Allah. Rasulullah bersabda,” Senantiasa berada dalam keadaan bersih (dari hadas) niscaya Allah akan memurahkan rezeki.” (HR. Sayidina Khalid al-Walid)
7. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Perbanyak sedekah
Rasulullah bersabda pada Zubair bin Awwam,” Hai Zubair, ketahuilah bahwa kunci rezeki hamba itu di atas Arsy yang dikirim oleh Allah Azza wajalla kepada setiap hamba sekadar nafkahnya. Maka siapa yang memperbanyak sedekah kepada orang lain, niscaya Allah memperbanyak baginya. Dan siapa yang menyedikitkan, niscaya Allah menyedikitkan baginya.” (HR Daruquthni dari Anas ra)
8. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Shalat tahajud dan Dhuha
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Daripada sebahagian malam, lakukanlah shalat tahajud olehmu sebagai ibadah tambahan , semoga Tuhan engkau mengangkatmu ke tempat terpuji.” (QS. Al-Isra:79)
Dalam hadist disebutkan: “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang (shalat Dhuha), nanti pasti akan Aku cukupkan keperluanmu pada petang harinya.” (HR. al-Hakim dan Thabrani)
9. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Mensyukuri segala nikmat
Allah berfirman: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku, dan sesungguhnya jika kamu kufur, sesunguhnya azab-Ku amat pedih.” (QS. Ibrahim:7)
dan Allah SWT berfirman: “…dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145)
10. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Berikhtiar sekuat tenaga
Allah SWT berfirman: ”Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumuah: 10)
11. Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: Bertawakal setelah berusaha
Allah SWT berfirman: “ Barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mencukupkan (keperluannya).” (QS. at-Thalaq:3) dalam sebuah hadist, Nabi Rasulullah SAW bersabda, “ Seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kamu diberi rezeki seperti burung diberi rezeki, ia pagi hari lapar dan petang hari telah kenyang.” (HR. Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim dari Umar bin al-Khattab ra)
12 Amalan untuk Mendatangkan Rezeki: .Banyak berdzikir dan berdoa
” Berdzikir atau mengingat Allah membuat hati tenang dan hidup terasa lapang. Firman Allah SWT: “ Orang-orang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’du:28)
Dengan berdoa dan berdzikir membuat seorang hamba menjadi dekat dengan Allah SWT, bergantung dan mengharap pada rahmat dan pemberian dari-Nya. Hanya kepada Allah kita memohon, dan hanya pada Allah kita memohon pertolongan.
Para pembaca Islampos yang dirahmati oleh Allah SWT mudah-mudahan kita semua dapat mengamalkan amalan secara Ikhlas untuk mencari Ridho Allah SWT. Aamiin Allahumma Aamiin.[]
Sebagaimana yang telah jamak diketahui bahwasanya haram menikah dengan pasangan yang masih satu nasab atau semahram, dalam bahasa medisnya dikenal dengan istilah incest (pernikahan sedarah atau dengan kerabat dekat). Lantas mengapa tidak boleh melakukan perkawinan sedarah?
Susunan Mahram dalam Islam
Dalam Islam, perempuan atau laki-laki yang dilarang untuk dinikahi disebut dengan mahram. Ulama mengatakan menikahi mereka hukumnya adalah haram dan pernikahannya tidak sah. Pasangan yang dianggap senasab adalah sebagai berikut;
والمُحرّمات بسبب القرابة سبع، وهنّ: 1ـ الأُم، وأُم الأُم، وأُم الأب، ويعبّر عنهنّ بأُصول الإنسان، فلا يجوز نكاح واحدة منهُن. 2ـ البنت، وبنت الابن، وبنت البنت، ويعبّر عنهنّ بفروع الإِنسان، فلا يجوز نكاح واحدة منهن. 3ـ الأخت، شقيقة كانت، أو لأب، أو لأم، ويعبّر عنهنّ بفروع الأبوين، فلا يجوز نكاح واحدة منهنّ أبداً. 4ـ بنت الأخ الشقيق، وبنت الأخ لأب، أو لأم، فلا يجوز نكاحهنّ. 5ـ بنت الأخت، شقيقة كانت، أو لأب، أو لأم، فهنّ حرام لا يجوز نكاحهنّ أبداً. 6ـ العمّة، وهي أُخت الأب، ومثلها عمّة الأب، وعمّة الأم، ويعبّر عنهنّ بفروع الجدين من جهة الأب، فلا يجوز نكاحهنّ بحال. 7ـ الخالة، وهي أخت الأم، ومثلها خالة الأم وخالة الأب ويعبّر عنهنّ بفروع الجدّين من جهة الأم، فلا يجوز نكاحهنّ أبداً.
“Pihak-pihak yang haram dinikah sebab masih satu kerabat adalah Ibu, nenek (baik dari jalur ayah maupun ibu) hingga tingkatan atas, Anak dan cucu (baik cucunya anak laki-laki, maupun perempuan) hingga tingkatan bawah, kakak-adik seibu-sebapa atau sebapa atau hanya seibu saja.
Lanjut, anaknya saudara laki-laki sebapak dan atau seibu, anaknya saudari perempuan kandung atau seibu atau seayah saja, saudara bapak yakni kakak/adiknya bapak, kandung maupun tiri, saudara ibu yakni kakak/adiknya ibu, kandung maupun tiri. Haram menikahi mereka selama-lamanya”. (Al-Fiqh Al-Manhaji,Juz 4 H. 26).
Mengapa tidak boleh melakukan perkawinan sedarah?
Adapun alasan keharaman kawin sedarah atau incest dalam Islam ialah akan mengalami resiko kesahatan dan cacat fisik. Lebih jauh lagi, menikah dengan mahram akan membuat mudharat yang besar. Di kitab Hikmat al Tasyri’ wa Falsafatuhu dijelaskan berikut;
ومن الحكمة أيضاً في ذلك حفظ النسل من الضرر لأن الشهوة فيهـن ضعيفة للاستحياء الأصلي الموجود فيهن. ومتى ضعفت الشهوة قل النسل. وإذا وجد لم يكن مستكملاً للصحة كما هو مقرر عند علماء الطب والتشريح . ومن الحكمة في ذلك أيضاً دفع المفاسد…. ومن الحكمة في ذلك أيضاً ارتفاع الضرر الذي يحصل لو أباح الشارع التزوج بإحدى هذه القريبات، لأنهن يوقعن في الحيف والضيم .
“Hikmah dilarangnya menikah semahram adalah menjaga keturunan dari bahaya, karena syahwat yang dihasilkan itu sedikit, dan ketika sedikit maka berpengaruh pada kesehatan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ilmuwan dokter.
Di samping itu juga adanya pencegahan terhadap kerusakan dan bahaya yang didapat. Karena jika dibolehkan untuk menikahi pasangan yang masih kerabat dekat, maka berpengaruh pada fisik anak, yaitu kurus. ”. (Hikmat Al-Tasyri’ Wa Falsafatuhu, Juz 2 H. 82-83)
Bahkan bukan hanya dengan mahram saja, para ulama juga memakruhkan untuk menikahi saudara dekat yang bukan mahram. Dijelaskan;
“(Makruh menikahi kerabat yang tidak dekat) karena lemahnya syahwat pada kerabat dekat maka anaknya kelak menjadi garing. Al-Zanjany berkata “Dan karena tujuan pernikahan mempertautkan kabilah-kabilah yang berselisih serta mempertemukan kalimat dan yang demikian tidak diketemukan dalam pernikahan saudara dekat”. (Asna al-Mathalib, Juz 3 H. 108)
selanjutnya, bahaya kawin sedarah juga diungkap oleh kajian medis, bahwasanya memang memiliki dampak buruk. Melansir dari laman Hello Sehat dijelaskan bahwasanya anak hasil hubungan sedarah akan memiliki keragaman genetik yang sangat minim dari DNA-nya. Kurangnya variasi dari DNA dapat meningkatkan peluang terjadinya penyakit genetik langka.
Hal ini juga bisa membuat sistem kekebalan tubuh anak lemah. Dampak lain dari pernikahan sedarah adalah peningkatan infertilitas (masalah kesuburan), baik pada orang tua maupun keturunannya.
Ada pula risiko cacat lahir dalam bentuk asimetri wajah, bibir sumbing, tubuh kerdil, gangguan jantung, peningkatan risiko terhadap beberapa tipe kanker, dan kematian neonatal. Satu studi juga pernah menemukan bahwa 40% anak hasil hubungan sedarah antara dua individu tingkat pertama (keluarga inti) lahir dengan kekurangan intelektual yang parah.
Perkawinan Sedarah Dilarang dalam UU Perkawinan
Perkawinan sedarah atau incest dilarang di Indonesia. Hal itu diatur dalam dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (jika yang menikah beragama Islam).
Dalam UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, maupun KUH Perdata, adapun perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas, dan berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
Demikianlah penjelasan terkait mengapa tidak boleh melakukan perkawinan sedarah? Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam bi Al-Shawab.