Doa Terhindar dari Kebakaran

Syekh Shafwak Sa’dallah Al-Mukhtar dalam karyanya Anisul Mu’minin (Juz, 1, Hlm. 111) Mengutip doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada Abi Dardak. Doa terhindar dari kebakaran tersebut khasiatnya untuk menolak kebakaran rumah.

Dalam kutipan tersebut dikisahkan, bahwa seorang lelaki datang menemui Abi Dardak kemudian ia berkata,

“Wahai Abi Dardak apakah kamu tidak khawatir akan terjadi kebakaran di rumahmu”. Abi Dardak menjawab, “Rumahku tidak akan kebakaran karena aku pernah mendengar sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang membaca doa ini di waktu subuh maka rumahnya tidak akan kebakaran”.

Adapun Doa terhindar dari kebakaran rumah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Abi Dardak tertera sebagai berikut:

اللهم أنت ربي لا إله الا أنت عليك توكلت وأنت رب العرش العظيم، ماشاء الله كان وما لم يشأ لم يكن لاحول ولا قوة الا بالله العلي العظيم، أعلم أن الله على كل شيء قدير، وأن الله قد أحاط بكل شي علماً، اللهم إني أعوذ بك من شر نفسي، ومن شر كل دابة أنت آخذ بناحيتها، أن ربي على صراط مستقيم

Allaahumma anta robbi laa ilaaha illa anta ‘alaika tawakkaltu wa anta robbul ‘arsyil ‘adhiim. Maasyaa Allahu kaana wamaa lam yasya’ lam yakun. La haula walaa quwaata illa billahil ‘aliyyil ‘adhiim. A’lamu annallahha ‘alaa kulli syaiin qodliir. 

Wa innallaha qod ahatho bikulli syai in ‘ilmaa. Allahumma inni a’uudzubika min syarri nafsii wa min syarri kulli daabbtin anta aakhidzu binaa shiyatihaa inna robbii ‘alaa shiroothin mustaqiim.

Artinya: “Ya Allah engkau tuhanku, tiada tuhan selain engkau, kepada engkau aku berserah diri, engkaulah tuhan ‘Arasy yang besar, apa yang dikehendaki Allah terjadilah dan apa yang tidak dikehendaki oleh Allah tidak akan terjadi, tidak ada daya dan upaya kekuatan hanya dengan Allah yang maha tinggi lagi maha besar. 

Aku mengetahui bahwa Allah telah melihat segala sesuatu itu dengan pengetahuannya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu daripada kejahatan diriku dan dari kejahatan segala yang melata di dunia ini. engkau ya Allah yang mengambil dengan pundaknya segalanya. Sesungguhnya tuhanku adalah pada jalan yang lurus”.

Selanjutnya Syekh Shafwak Sa’dallah Al-Mukhtar menambahkan ketika doa di atas sering dibaca, si pembaca, keluarga, dan hartanya, akan terhindar dari segala marabahaya. Wallahu A’lam Bissawab.

Demikian doa terhindar dari kebakaran rumah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kemenag Bahas Persiapan untuk Haji Ramah Lansia

Di setiap sektor akan disiapkan 10 petugas haji ramah lansia.

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) tahun ini mengangkat slogan Haji Ramah Lansia. Sejumlah persiapan pun dilakukan, salah satunya dengan menguatkan petugas layanan jamaah lanjut usia (lansia).

Setelah tertunda karena pandemi, jumlah jamaah haji lansia tahun ini meningkat signifikan. Angkanya mencapai 67 ribu atau sekitar 30 persen dari total kuota jamaah haji Indonesia.

“Kami telah menyiapkan langkah mitigasi layanan jamaah lansia. Apalagi, tidak adanya pendamping jamaah lansia dan penggabungan mahram,” kata Direktur Bina Haji Arsad Hidayat, dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Sabtu (6/5/2023).

Sejumlah inovasi disebut telah disiapkan, termasuk menyiapkan struktur khusus dalam organisasi Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) tahun ini. Nantinya, ada Kepala Bidang Pelayanan Lansia dan Disabilitas yang akan dibantu Kepala Seksi di setiap kantor daerah kerja (Daker). Di setiap sektor wilayah juga disiapkan 10 petugas haji ramah lansia yang siap melayani mereka setiap saat.

“Hal ini kami susun, mengingat jamaah haji lansia yang berangkat tahun ini meningkat secara signifikan 30 persen dari kuota. Ini tentu membutuhkan perhatian khusus dari semua pihak, khususnya pemerintah yang berkewajiban melindungi dan melayani jemaah hajinya,” ucap dia.

Proses persiapan lainnya adalah menyiapkan buku panduan manasik haji dan umroh ramah lansia. Buku ini akan menjadi panduan dalam pelaksanaan manasik jamaah, baik di Kankemenag Kabupaten/Kota maupun Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.

Arsad lantas menyebut pembimbing ibadah harus dapat menjelaskan beragam kemudahan bagi jamaah lansia dalam beribadah haji. Mereka harus menjelaskan, mana yang wajib dan mana yang bisa diwakilkan.

Direktorat Jenderal PHU dan stakeholder yang terlibat disebut terus mengidentifikasi masalah, menjalin komunikasi, serta memberikan edukasi kepada jamaah. Hal ini dinilai penting, agar jamaah mempunyai pemahaman yang valid dan tidak terpengaruh dengan hoaks yang beredar.

IHRAM

Serial Fikih Muamalah (Bag. 18): Mengenal Khiyar karena Adanya Aib dan Kecacatan serta Pengaruhnya terhadap Akad Jual Beli

Kecacatan yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang dapat mengurangi nilai barang yang akan diakadkan menurut orang yang ahli di bidangnya; baik itu menurut pedagang maupun produsen barang tersebut. Jika sebuah akad terjadi pada barang yang memiliki cacat yang sudah lama (sebelum berlangsungnya akad), maka pembeli memiliki hak khiyar apabila penjual atau pemilik pertama belum menjelaskan dan memberitahukan adanya cacat tersebut saat berlangsungnya akad. Khiyar ini bertujuan untuk mencegah adanya kecurangan dan penipuan terhadap orang lain serta mencegah manusia untuk memakan harta orang lain dengan cara yang terlarang.

Lalu bagaimanakah hakikat khiyar aib ini? Bagaimanakah sikap ahli ilmu terhadapnya? Apa saja syarat sahnya? Dan apa saja pengaruhnya terhadap sebuah akad?

Hakikat khiyar aib

Khiyar aib adalah hak pembatalan akad dan berubahnya akad menjadi akad jaiz yang timbul apabila seseorang yang baru saja memiliki sesuatu yang sudah ditentukan barangnya mendapati adanya cacat yang tidak diketahui ketika berlangsungnya akad. Contohnya seperti seseorang yang baru saja membeli mobil lalu ia mendapati salah satu komponen mesinnya rusak sedangkan penjual menyembunyikannya darinya, bisa jadi dengan menutupinya atau mengelabuinya. Barulah ketika si pembeli ini membongkar mesinnya untuk sebuah keperluan, ia dapati komponen tersebut sudah rusak dan tidak berfungsi.

Pada kasus semacam ini, pihak pembeli diberi hak untuk membatalkan akad jual beli yang telah dilakukannya. Uang yang telah dibayarkan pun harus dikembalikan. Begitu pula mobil tersebut, maka juga dikembalikan ke pihak penjual.

Sikap ahli ilmu perihal khiyar aib

Para ahli ilmu sepakat akan adanya khiyar yang timbul karena cacat pada barang yang diakadkan apabila pembeli tidak mengetahui adanya cacat tersebut serta pihak penjual tidak menjelaskannya. Beberapa hal yang menguatkan adanya khiyar ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

المسلمُ أخو المسلمِ ولاَ يحلُّ لمسلمٍ باعَ من أخيهِ بيعًا فيهِ عيبٌ إلاَّ بيَّنَهُ لَه

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang di dalamnya ada cacat, kecuali ia menerangkan cacatnya tersebut.” (Hadits riwayat Ibnu Majah no. 2246 dan Ahmad no. 17487)

Kedua: Hadis yang menceritakan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari melewati seseorang yang sedang berjualan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam gundukan makanan tersebut sehingga jari-jarinya basah. Beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Ia menjawab, “Kehujanan, wahai Rasulullah!” Rasulullah bersabda,

أفَلا جعلتَهُ فَوقَ الطَّعامِ حتَّى يراهُ النَّاسُ ثمَّ قالَ مَن غشَّ فلَيسَ منَّا

“Kenapa tidak engkau letakkan di (bagian) atas makanan sehingga orang-orang dapat melihatnya?” Kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa menipu, maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR. Tirmidzi no. 1315)

Menjual barang dengan menyembunyikan cacat yang ada padanya dianggap sebagai sebuah kecurangan dan penipuan yang tidak disetujui oleh syariat. Dan pensyariatan khiyar aib merupakan bentuk syariat mencegah terjadinya penipuan semacam ini.

Ketiga: Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا تُصَرُّوا الإبِلَ والغَنَمَ، فَمَنِ ابْتاعَها بَعْدُ فإنَّه بخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أنْ يَحْتَلِبَها: إنْ شاءَ أمْسَكَ، وإنْ شاءَ رَدَّها وصاعَ تَمْرٍ.

“Janganlah kalian melakukan tashriyah (tindakan membiarkan hewan penghasil susu, seperti kambing, sapi, atau onta,  untuk tidak diperah beberapa hari, agar ambing susunya kelihatan besar sebelum dijual. Sehingga ketika dijual, pembeli menganggap, hewan yang dia beli susunya banyak)  pada onta dan kambing. Siapa yang membeli hewan setelah dilakukan tashriyah, maka dia memiliki dua pilihan setelah dia perah susunya. Jika mau, dia bisa memilikinya dan tidak perlu dikembalikan. Dan jika mau, dia boleh mengembalikan hewan itu dengan memberikan satu sha’ (gantang) kurma.” (HR. Bukhari no. 2148)

Syarat berlakunya khiyar aib

Para ahli fikih menyaratkan beberapa syarat agar khiyar aib ini dapat berlaku, yaitu:

Pertama: Kepastian akan adanya cacat pada objek akad sebelum pihak pembeli menerima barang/ objek transaksinya. Jika cacatnya itu terjadi setelah si pembeli menerima barangnya, maka ia tidak lagi memiliki hak khiyar aib, karena khiyar ini hanya berlaku apabila cacat yang terjadi sudah ada sebelum pembeli menerima barangnya.

Kedua: Kekurangan atau cacat yang ada berpengaruh terhadap berkurangnya nilai barang yang diakadkan menurut pandangan pedagang, seperti kuda tunggangan yang liar dan tidak mau diatur. Atau cacatnya ini membuat pembeli tidak bisa memanfaatkan objek transaksinya untuk melakukan sesuatu yang dibenarkan, seperti seseorang yang membeli kambing lalu ia dapati telinganya terpotong. Cacat pada telinganya ini membuat si pembeli tidak bisa memanfaatkannya untuk disembelih, meskipun cacat ini bisa jadi tidak mengurangi nilai barangnya tersebut. Atau seperti seseorang yang membeli baju, namun ukurannya kekecilan hingga ia tidak bisa memakainya, pada kasus seperti ini seorang pembeli memiliki hak khiyar aib, meskipun aib dan cacatnya tidak mempengaruhi nilai jual barangnya.

Ketiga: Hendaknya cacat tersebut tetap ada pada objek akad sampai waktu di mana si pembeli mengajukan pembatalan akad dikarenakan adanya cacat tersebut. Jika cacatnya sudah hilang terlebih dahulu sebelum pembeli sempat mengajukan komplain/pembatalan akad, maka tidak ada lagi hak khiyar. Contohnya jika seseorang membeli seekor kuda yang lemas dan tidak prima sedang ia belum mengetahui kondisi kudanya tersebut, akadnya pun sudah tuntas (selesai) sedang ia belum menerima kudanya tersebut. Lalu, ketika ia menerima kuda yang ia beli, kudanya tersebut sudah kembali membaik serta tidak lemas lagi, maka cacat atau aib semacam ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang menyebabkan bolehnya pembatalan akad.

Keempat: Tidak adanya persyaratan dari penjual untuk berlepas diri dari cacat dan aib yang ada, atau tidak bertanggung jawabnya dirinya dari cacat yang akan ditemukan ke depannya pada barang yang diakadkan. Adapun jika pihak penjual menyaratkan hal tersebut, maka pihak pembeli sudah tidak memiliki lagi hak khiyar aib ini menurut pendapat Hanafiyyah, baik si penjual mengetahui adanya cacat tersebut ataupun tidak. Alasannya, pembeli ketika sudah deal dan setuju dengan kondisi barang yang diakadkan dengan adanya kemungkinan cacat padanya, maka ia sama saja telah menyetujui keberadaan cacat tersebut. Sehingga tidak ada lagi hak baginya untuk mengembalikan barang yang telah dibelinya pada waktu tersebut.

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Malikiyyah, di mana mereka memperinci masalah ini. Mereka membedakan antara kondisi penjual yang telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut dan kondisi di mana penjual tidak mengetahuinya. Pada kondisi ketidaktahuan akan adanya aib dan cacat pada barang tersebut, maka persyaratan yang diajukannya dapat dibenarkan, sehingga pembeli tidak memiliki lagi hak khiyar pada akad tersebut. Sedangkan pada kondisi si penjual mengetahui adanya aib, maka ia tidak dibenarkan untuk mengajukan persyaratan lepas tanggung jawab. Pihak pembeli memiliki hak khiyar aib apabila di kemudian hari ia menemukan kecacatan tersebut. Karena jika si penjual tetap mengajukan persyaratan pada kondisi semacam ini, ia sama saja menipu dan mengelabui konsumennya. Apalagi jika kita melihat kondisi di zaman sekarang, di mana kecurangan dan penipuan menyebar luas di tengah-tengah kita, maka pendapat Malikiyyah ini insyaAllah lebih mendekati kebenaran.

Kelima: Aib dan cacatnya ada pada akad transaksional (jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya) yang sudah ditentukan barangnya dan jelas deskripsinya, seperti tanah atau kendaraan. Oleh karenanya, khiyar ini tidak berlaku pada objek transaksi yang tidak ditentukan secara persis mana objeknya, seperti tukar menukar mata uang. Sebagaimana pula khiyar ini tidak berlaku pada akad non-transaksional (akad tabarru’/ pemberian).

Pengaruh khiyar aib pada sebuah akad/ transaksi

Sudah menjadi suatu hal yang umum untuk diketahui, akad sebelum adanya aib dan cacat maka hukumnya lazim dan efektif, seluruh konsekuensinya pun berlaku seperti berpindahnya hak kepemilikan objek diakadkannya. Hanya saja, ketika mendapati sebuah cacat dan aib yang sudah ada sebelum akad, maka unsur keridaan yang membangun akad tersebut menjadi tidak sempurna.

Hak khiyar aib yang telah kita bahas sebelumnya ini menghilangkan kelaziman akad yang sudah ada bagi pihak pembeli. Ia diberi pilihan antara melanjutkan akad yang sudah ada dengan harga yang telah disepakati ataupun membatalkan akad tersebut dengan mengembalikan objek akadnya ke penjualnya dan harga yang sudah dibayarkan pun dikembalikan kepadanya secara sempurna. Apabila objek akadnya tidak bisa dikembalikan karena beberapa sebab, seperti munculnya aib dan cacat yang baru, atau karena sudah terpotong jika bentuknya itu berupa kain, maka bagi pembeli untuk mengembalikan harga yang sebanding dengan kekurangan pada barang yang disebabkan olehnya atau telah dimanfaatkannya.

Wallahu a’lam bisshawab

Bersambung.

Sumber:

  1. Kitab Al-Madkhal Ila Fiqhi Al-Muamalat Al-Maliyyah karya Prof. Dr. Muhammad Utsman Syubair dengan beberapa penyesuaian.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84678-mengenal-khiyar-karena-adanya-aib-dan-kecacatan.html

Arab Saudi Umumkan Daftar Vaksin Bagi Jamaah Haji 2023

Beberapa vaksin yang diperlukan untuk mereka yang datang dari luar Arab Saudi.

Pelaksanaan ibadah haji 2023 semakin dekat. Otoritas kesehatan Arab Saudi mendesak jamaah domestik dan luar negeri yang akan berpartisipasi tahun ini untuk mendapatkan vaksin, baik wajib dan tidak.

Kementerian Kesehatan Kerajaan telah menyebut vaksin-vaksin antara lain vaksinasi penuh terhadap Covid-19, vaksin anti-meningitis bagi mereka yang tidak mendapatkannya dalam lima tahun terakhir, serta suntikan flu musiman.

Untuk jamaah haji dalam negeri, kementerian menyebut mereka perlu mendaftar untuk vaksinasi melalui aplikasi “Sehaty”, guna memastikan ziarah yang sehat dan aman.

Dilansir di Gulf News, Sabtu (6/5/2023), vaksinasi tersedia mulai saat ini hingga 10 hari sebelum dimulainya ritual haji. Adapun ibadah haji tahun ini dijadwalkan berlangsung pada akhir Juni.

Bagi jamaah haji luar negeri, mereka bisa mendapatkan vaksin di negara asalnya sebelum melakukan perjalanan ke Arab Saudi. Beberapa vaksin yang diperlukan untuk mereka yang datang dari luar Arab Saudi termasuk demam kuning, virus polio dan Covid-19.

Ibadah haji adalah salah satu dari lima kewajiban Islam.  Arab Saudi mengatakan usia minimum untuk menunaikan ibadah haji tahun ini adalah 12 tahun, mengingat jumlah jamaah akan kembali ke masa pra-pandemi.

Kementerian Haji Saudi mengatakan prioritas untuk mendaftar haji tahun ini diberikan kepada umat Islam yang belum pernah melakukan haji sebelumnya.

Selain itu, Kerajaan Saudi juga mengatakan tidak akan ada batasan jumlah peziarah dari seluruh dunia untuk musim haji mendatang. Mereka menghapus pembatasan yang sebelumnya dibuat, yang dipicu oleh pandemi global.

Dalam dua tahun terakhir, Arab Saudi mengurangi jumlah umat Islam yang diperbolehkan menunaikan ibadah haji untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sekitar 2,5 juta Muslim biasanya menghadiri haji setiap tahun di masa pra-pandemi. Muslim, yang secara fisik dan finansial mampu melakukan haji, harus menunaikannya setidaknya sekali seumur hidup.

IHRAM

Apakah Seseorang Disiksa karena Diratapi ketika Meninggal Dunia?

Dari sahabat Ibnu ‘Umar, dari ayahnya (‘Umar bin Khattab) radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ

Mayat akan disiksa di dalam kuburnya disebabkan ratapan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 1292 dan Muslim no. 17. 927)

Juga diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa yang meratapi mayit, maka mayit tersebut akan disiksa pada hari kiamat karena ratapan itu.” (HR. Bukhari 1201 dan Muslim no. 933)

Apakah seseorang mendapatkan hukuman karena perbuatan orang lain?

Hadis di atas membingungkan para ulama karena seseorang mendapatkan hukuman (azab) disebabkan karena perbuatan orang lain. Sedangkan Allah Ta’ala mengatakan,

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164)

Terdapat berbagai macam penjelasan dari para ulama untuk keluar dari kebingungan tersebut. Sebagian mereka mengingkari hadis tersebut dan menganggap bahwa perawi telah salah dalam mengutip atau meriwayatkan hadis. Mereka menganggap bahwa teks hadis bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Di antaranya yang berpendapat demikian adalah ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, beliau berkata,

ذُكِرَ عِنْدَ عَائِشَةَ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

Pernah dituturkan di sisi ‘Aisyah tentang ungkapan Umar bahwa mayit itu akan disiksa lantaran tangisan keluarga atasnya.”

 فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعَ شَيْئًا فَلَمْ يَحْفَظْهُ إِنَّمَا مَرَّتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَنَازَةُ يَهُودِيٍّ وَهُمْ يَبْكُونَ عَلَيْهِ فَقَالَ أَنْتُمْ تَبْكُونَ وَإِنَّهُ لَيُعَذَّبُ

Aisyah pun berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman, ia telah mendengar (hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), tetapi ia belum menghapalnya (dengan baik). Peristiwanya begini, suatu ketika lewat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jenazah seorang Yahudi dan ditangisi keluarganya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalian menangisinya, sementara ia benar-benar disiksa.” (HR. Bukhari no. 3978 dan Muslim no. 931, 932. Lafaz hadis di atas adalah milik Muslim)

Sebagian ulama yang lain memalingkan makna hadis di atas dengan takwil yang beragam. Ada yang berpendapat bahwa hadis di atas itu khusus untuk orang yang rida dan berwasiat khusus agar ketika dia meninggal dunia, orang-orang meratapinya. Sehingga perbuatan meratap (an-niyahah) itu disebabkan karena wasiat si mayit sendiri. Hal ini sebagaimana kebiasaan kaum jahiliyah yang berwasiat agar kerabatnya meratapinya ketika mati. Akan tetapi, pendapat ini lemah (dha’if). Karena lafaz hadis di atas bersifat umum dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum memahami hadis tersebut dengan adanya hukuman (azab) meskipun si mayit tidak berwasiat untuk diratapi. Demikian juga terdapat takwil lainnya. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 4: 290)

Di antara penjelasan yang paling mendekati adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “يُعَذَّبُ” (diazab) adalah si mayit tersebut merasakan sakit, merasa sempit, atau terganggu disebabkan oleh ratapan orang lain kepadanya. Padahal seharusnya orang tersebut mendoakan dan memohonkan ampun untuk si mayit, bukan meratapi. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menggunakan kata يعاقب (dihukum atau mendapatkan hukuman). Sedangkan “azab” itu lebih umum daripada hukuman. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ

Safar (bepergian) itu adalah potongan dari azab.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut safar sebagai azab, padahal bukan maksudnya sebagai hukuman atas sebuah dosa. (Lihat Al-Fataawa, 24: 369 dan Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 4: 293)

Adapun perbuatan ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menganggap bahwa Ibnu Umar salah dalam meriwayatkan hadis, hal itu tidaklah bisa diterima. Karena hadis di atas tidak hanya diriwayatkan (diceritakan) oleh Ibnu Umar saja, akan tetapi juga diceritakan oleh ayahnya (Umar bin Khattab) dan Al-Mughirah bin Syu’bah, juga Abu Musa, Hafshah binti Umar, dan Shuhaib radhiyallahu ‘anhum. Hadis di atas tidak boleh ditolak dengan menggunakan perkataan ibunda Aisyah sebagai argumen. Hal ini karena mustahil semua sahabat yang disebutkan tersebut itu salah paham (keliru) dalam menceritakan hadis.

Dengan demikian, hadis ini menunjukkan bahwa mayit itu tersakiti atau merasa sempit dengan sebab ratapan orang kepadanya. Oleh karena itu, wajib bagi wali atau kerabat si mayit untuk meninggalkan perbuatan tersebut dan mencegahnya, supaya si mayit tidak tersakiti. Jika memang maksud dari an-niyahah itu adalah ekspresi kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai, bagaimana mungkin dia justru melakukan sesuatu yang menimbulkan mudarat untuk si mayit? Ini di antara pertimbangan agar seseorang menjauhi perbuatan tersebut.

Bagaimana si mayit bisa tersakiti karena ratapan?

Adapun bagaimana si mayit bisa tersakiti karena an-niyahah, terdapat beberapa hadis tentang hal tersebut. Dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أُغْمِيَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ فَجَعَلَتْ أُخْتُهُ عَمْرَةُ تَبْكِي وَا جَبَلَاهْ وَا كَذَا وَا كَذَا تُعَدِّدُ عَلَيْهِ فَقَالَ حِينَ أَفَاقَ مَا قُلْتِ شَيْئًا إِلَّا قِيلَ لِي آنْتَ كَذَلِكَ

Dahulu aku pingsan mendengar kematian Abdullah bin Rawahah. Seketika itu pula saudara perempuannya (saudara perempuan Nu’man, maksudnya) menangis dan mengatakan, ‘Aduuh, telah binasa orang yang mulia.’ Demikian ia katakan secara berulang-ulang. Ketika Nu’man siuman, Nu’man berkata kepada saudara perempuannya, ‘Semua yang kamu katakan tadi ditanyakan kepadaku, Apakah engkau juga seperti itu pula?‘” (HR. Bukhari no. 4267)

Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ بَاكِيهِ، فَيَقُولُ: وَاجَبَلَاهْ وَاسَيِّدَاهْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، إِلَّا وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَلْهَزَانِهِ: أَهَكَذَا كُنْتَ؟

Tidaklah seseorang meninggal, lalu orang-orang berdiri meratapinya dengan berkata, ‘Wa jaballah, wa sayyidah!’ (Aduhai celakanya aku, Aduhai sialnya aku!) dan sejenisnya, niscaya akan dikirim dua orang malaikat untuk memukulinya sambil menghardiknya dengan berkata, ‘Betulkah demikian keadaanmu (di dunia)?‘” (HR. Tirmidzi no. 1003, Ibnu Majah no. 1594, dan Ahmad 32: 488)

Kerusakan yang timbul dari perbuatan an-niyahah

Hadis di atas merupakan dalil terlarangnya perbuatan an-niyahah atas mayit, yaitu dengan meninggikan suara (berteriak histeris) dan menyebutkan kebaikan-kebaikan, memuji-muji, dan menyanjung-nyanjung si mayit. Perbuatan ini termasuk ciri khas kaum jahiliyah. Ada banyak kerusakan yang timbul dari an-niyahah, di antaranya:

Pertama, an-niyahah hanya akan menambah kesusahan dan kesedihan orang yang melakukannya.

Kedua, perbuatan tersebut menunjukkan tidak rida (marah) dengan takdir Allah Ta’ala dan menunjukkan tidak adanya sikap sabar dalam menghadapi musibah kematian. Seolah-orang orang melakukan an-niyahah itu mengatakan, “Seharusnya orang dengan kebaikan seperti ini dan itu tidak layak untuk mati.”

Ketiga, perbuatan tersebut menyakiti si mayit, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis di atas.

Keempat, dengan berbagai macam mafsadat tersebut, an-niyahah tidak bisa mengubah takdir atas apa yang telah terjadi.

Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ  وَقَالَ: النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Ada empat perkara khas jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan); (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) an-niyahah (meratapi mayit).”

Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertobat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair dan memakai pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)

Hadis ini menunjukkan bahwa an-niyahah termasuk dosa besar (al-kabair) karena terdapat ancaman yang keras terhadap pelaku an-niyahah. Demikian pula perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “jika dia belum bertobat sebelum ajalnya”, terdapat dalil bahwa an-niyahah termasuk dosa besar karena dipersyaratkan untuk bertobat.

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

@Rumah Kasongan, 4 Syawal 1444/ 25 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84610-apakah-seseorang-disiksa-karena-diratapi-ketika-meninggal-dunia.html

Dahsyatnya Kekuatan Surah Al-Kahfi

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَا

“Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberi syafaat bagi pembacanya”

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar hadist diatas? Ya, Al-Qur’an akan menjadi syafaat bagi pembacanya, serta menjadi cahaya penerang di alam kubur. Karena banyak sekali keutamaan dan keistimewaan dalam membaca Al-Qur’an.

Kebanyakan manusia  lebih mengenal membaca surah Yasin pada malam dan hari Jum’at. Akan tetapi,  terdapat surah yang banyak keutamaan dan keistimewaan bagi pembacanya, yaitu surah Al-Kahfi  terdiri dari 110 ayat yang diturunkan di kota Mekkah, Kecuali ayat 28 dan ayat 82 sampai dengan ayat 101 diturunkan di kota Madinah karena turun sesudah surat Al-Gasyiyah. Al Kahfi artinya “Gua” dan merupakan bagian penengah antara juz 15-16, karena ayat-ayatnya terdapat pada akhir juz 15 dan awal juz 16.

Surah Al-Kahfi mengkisahkan tujuh pemuda yang saleh dan taat kepada Allah bersama seekor anjing bernama qitmir yang mengasingkan diri dari seorang penguasa yang zolim dan kafir. Pemuda ini hidup pada zaman Raja Diqyanus, merupakan Raja Romawi yang hidup beberapa ratus tahun sebelum diutus Nabi Isa A.S. Mereka dipaksa untuk menyembah berhala. Namun, pemuda itu menolak dan melarikan diri dari kejaran pasukan kerajaan sehingga bersembunyi di dalam gua.

Dengan kehendak Allah mereka ditidurkan selama kurun waktu 309 tahun di dalam gua dan mereka dibangunkan kembali oleh Allah SWT ketika masyarakat dan raja sudah beriman dan taat kepada Allah SWT.

Setelah mengetahui perihal surah Al-Kahfi beserta kisah-kisah didalamnya, penting juga kita mengetahui keutamaan dan keistimewaan yang terdapat di dalam surah ini. Khususnya ketika dibaca pada malam dan hari Jum’at. Kemudian, apa saja keutamaan dan keistimewaan yang dapat kita peroleh?

Terhindar dari Fitnah Dajjal

Makhluk yang bernama Dajjal sudah tidak asing lagi di telinga umat Islam. Dajjal merupakan makhluk yang paling buruk dan sangat dihindari oleh umat Muslim. Karena fitnahnya yang begitu kejam dan dahsyat sehingga dapat menyesatkan umat manusia.

Agar umat Muslim terhindar dari fitnah Dajjal, Rosulullah SAW menganjurkan mendawamkan membaca dan menghafal sepuluh ayat pertama surah Al-Kahfi. Hal ini berdasarkan hadits Nabi. Dari Abu Darda’ R.A,  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّال    ِ

“Siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surat Al-Kahfi, maka ia akan terlindungi dari Dajjal.” (HR. Muslim no. 809)

Dari hadits di atas, para ulama mengartikana bahwa dalam sepuluh ayat pertama surah Al-Kahfi terdapat hal-hal yang menakjubkan dan keajaiban Allah. Menurut Imam Nawawi Al-Bantani, “Ada ulama yang mengatakan bahwa sebab mendapatkan keutamaan seperti itu adalah karena di awal surat Al-Kahfi terdapat hal-hal menakjubkan dan tanda kuasa Allah. Tentu saja siapa yang merenungkannya dengan benar, maka ia tidak akan terpengaruh dengan fitnah Dajjal.”

Maka dari itu, umat Islam dianjurkan untuk membaca Surat Al Kahfi, paling tidak 10 ayat pertama surat Al-Kahfi agar selamat dari zaman yang penuh fitnah terutama fitnah Dajjal.

Akan disinari diantara Dua Jum’at

Siapa umat muslim yang tidak menginginkan disinari diantara dua Jum’at? Sebagain besar bahkan seluruh umat muslim menginginkan hal itu. Dengan membaca surah Al-Kahfi pada hari Jum’at, pembacanya akan dinaungi cahaya di hari Jum’at ke Jum’at berikutnya. Sebagaimana sabda Nabi.

عن أبي سَعيدٍ الخُدريِّ عنِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّه قال مَن قَرَأَ سورةَ الكَهفِ يومَ الجُمُعةِ أضاءَ له من النورِ ما بَينَ الجُمُعتينِ (رواه الحاكم.

Dari Sa’id bin al-Khudry dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabada, “Barang siapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jumat maka ia akan diterangi oleh cahaya di antara dua Jumat.” (HR. Al-Hakim)

Cahaya yang menerangi bagi orang yang membaca surah Al-Kahfi pada hari Jum’at memilik dua makna:

  1. Cahaya Ma’nawi

Maksud dari cahaya ini adalah cahaya yang diberikan sehingga orang yang membaca Surah Al-Kahfi akan senantiasa dinaungi cahaya. Orang yang membacanya  akan terhalang dari perbuatan maksiat dan terhenti dari melakukan kejelekan dan kemungkaran, kemudian akan  diberikan petunjuk kepada kebenaran. Karena cahaya adalah sesuatu yang dapat menjadi penerang di dalam  kegelapan dan membuat penglihatan kita bisa melihat sesuatu, maka makna cahaya ini adalah petunjuk.

Dan menurut Imam as Syaukani berkata dalam kitab Tuhfatul ad Dzakirin “Yang dimaksud dengan diberikan cahaya di antara dua jumat adalah dia senantiasa diliputi dari pengaruh membacanya dan pahala selama dua minggu itu(dua jumat tersebut).”

  1. Cahaya Haqiqi

Maksud cahaya haqiqi yaitu cahaya kebenaran yang akan diberikan untuk menyinari orang yang membaca surah Al-Kahfi pada hari kiamat. Cahaya tersebut akan memancar dari kedua telapak kakinya hingga sampai ke langit. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Hadid ayat 12:

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ يَسْعٰى نُوْرُهُمْ بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ بُشْرٰىكُمُ الْيَوْمَ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُۚ

“Pada hari engkau akan melihat orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, betapa cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Demikian itulah kemenangan yang agung.”

Mendapat Ampunan dari Allah SWT

Sebagai manusia memang tidak akan luput dari namanya salah dan dosa, karena syaitan meminta izin kepada Allah SWT untuk menggoda anak Adam sampai hari kiamat.

اَلْاِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ

“Manusia itu tempatnya salah dan lupa”

Akan tetapi, sebaik-baik manusia yang mau bertaubat dan mengakui kesalahannya, salah satunya dianjurkan untuk membaca surah Al-Kahfi. Sebagaimana hadist Nabi SAW:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، سَطَعَ لَهُ نُورٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءِ، يُضِيءُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وغُفر لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ ”

Dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka timbullah cahaya baginya dari telapak kakinya hingga ke langit yang memberikan sinar baginya kelak di hari kiamat, dan diampunilah baginya semua dosa di antara dua Jum’at.”

Dari penjelasan di atas, membaca Surah al-Kahfi merupakan sunah rasul dan dapat menjadi amalan bagi umat Islam, baik dibaca setiap hari, malam Jum’at, ataupun hari Jum’at. Karena di dalamnya terdapat banyak manfaat yang bisa kita peroleh.  Semoga kita semua adalah golongan umat Islam yang berbondong-bondong untuk  menyambut kebaikan dari Allah, sebagai bekal kehidupan kita di akhirat kelak. Wallaahu a’lam bi al-shawab.

ISLAMKAFFAH

Bergesernya Makna Halal bi Halal

Di era modern ini, tradisi halal bi halal lebih sering dijadikan sebagai ajang networking, baik dalam ranah bisnis, politik, maupun sosial

SETIAP bulan Syawal kata Halal bi halal menjadi tren dan trending di Nusantara. Kata bahasa Arab yang bukan susunan atau ungkapan Arab ini sangat unik untuk dicermati, walau berasal dari bahasa Arab, tetapi susunannya adalah Nusantara.

Sebelum melihat pergeseran makna halal, mari kita urai arti kata halal. Halal (حلال), adalah masdar (kata verbal/kata benda grundial) dari Hal-Yahillu.

Kata yang terkait dengan kata halal yang sering kita dengar adalah tahallul, hilal (tandu untuk perempuan), tahlil, muhallil, hillu dan hallu (waktu tahallul), hullah (pakain), ibnu halal (anak sah), al-sihru al-halal (permainan sulap), dan halal dalam hukum syariah adalah sesuatu yang diperbolehkan.

Dan kata yang terkait dengan “halla” adalah bermakna memerdekakan diri (حل من), bebas, solusi (حَل), berdiri (حل ب), berhenti (حل), tetap (حل عليه), dicairkan (حُل الجامد), melepaskan, benar, dan masih puluhan kata yang berasal dari kata ini.

Kata halal ini tidak hanya digunakan untuk makanan (yang selama ini hanya ditemukan pada logo halal), tetapi juga pada hewan, pakaian, muamalah, dan sesuatu yang terkait dengan hukum syariat. Maka kata al-syar’i ada yang memaknai adalah dengan kata al-halal (seperti di atas).

Syeikh Ratib misalnya, “Mengapa harta halal disebut halal, karena ia sesuai dengan yang diharapkan jiwa, atau jiwa merasa senang dan tenang. Mengapa harta haram, disebut haram. Kerena ia menghalangi seseorang untuk bahagia.”

لماذا سمي المال الحلال حلالا، لأنه تحلو به النفس، والمال الحرام حراما لأنه يحرما السعادة.

Dan dalam Al-Islam;

سمي الحلال حلالا لانحلال عقدة الحظر عنه

Mengapa disebut Halal, karena mengurai dan melonggarkan (inhilal) tali/ikatan yang terlarang.

Dari beberapa kata yang terkait dengan kata halal di atas adalah, bahwa halal memberikan solusi, kemerdekaan/kebebasan, terurainya sesuatu yang terlarang, dan melepaskan sesuatu yang mengikat.

Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya: “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR: Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud).

Persoalan halal, bukan hal yang main-main dalam Islam, karena halal adalah bagian paling mendasar dalam agama. Sehingga kata halal disebut juga al-syari, yaitu syariat itu sendiri.

Mengapa harus halal?, agar mendapatkan ridha Allah, terjaga kehidupannya, mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, dan memiliki akhlak yang baik.

Dalam hadits Nabi ﷺ disebutkan, yang artinya; ”Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR: At-Thabrani).

. قال سهل بن عبد الله: “النجاة في ثلاثة: أكل الحلال، وأداء الفرائض، والاقتداء بالنبي -صلى الله عليه وسلم

Sahl bin Abdullah berkata, keberhasilan seseorang disebabkan tiga hal; mengkonsumsi yang halal, melaksanakan kewajiban dan mengikuti Nabi Muhammad ﷺ.

Pergeseran Makna Halal bi Halal

Tradisi halal bi halal (الحلال بالحلال) adalah salah satu tradisi yang sudah lama dilakukan di Indonesia. Tradisi ini biasanya dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri, di mana keluarga, teman, dan tetangga saling mengunjungi dan saling memaafkan satu sama lain.

Pada awalnya, tradisi halal bi halal lebih dikenal sebagai suatu upaya untuk mempererat tali silaturahmi dan memperbaiki hubungan antar sesama. Dan sejarah halal bi halal cukup banyak bisa dilirik di berbagai sumber.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, makna dan cara pelaksanaan tradisi halal bi halal telah mengalami pergeseran. Di era modern ini, tradisi halal bi halal lebih sering dijadikan sebagai ajang networking, baik dalam ranah bisnis, politik, maupun sosial.

Banyak acara halal bi halal diadakan oleh perusahaan atau organisasi sebagai ajang untuk mempererat hubungan dengan karyawan, pelanggan, atau mitra bisnis. Di tahun politik seperti tahun ini (2023-2024), adalah moment paling istimewa untuk mengadalan halal bi halal.

Mengapa? Dalam konteks tahun politik, tradisi halal bi halal juga bisa menjadi momen yang tepat untuk mempererat hubungan antara sesama warga negara, apalagi di saat suasana politik yang cenderung memanas dan memecah belah. Tetapi, di sisi lain, ia menjadi momen konsolidasi massa, kampanye, dan lain-lainnya.

Selain itu, pelaksanaan tradisi halal bi halal juga seringkali disertai dengan acara makan-makan atau pemberian souvenir, sehingga tradisi ini juga menjadi ajang untuk memperlihatkan kedermawanan atau kemakmuran seseorang atau sebuah organisasi.

Maka, tergantung pada panitia halal bi halal, mau dibawa kemana acara ini, tetapi ruh dari halal bi halal tidak boleh hilang, yaitu menghalalkan untuk  memberi maaf, dan orang yang dimintai juga menghalalkan untuk memberi maaf.

Meskipun demikian, tradisi halal bi halal tetap menjadi suatu tradisi yang penting bagi masyarakat Indonesia. Meskipun maknanya telah bergeser, namun tradisi ini masih dianggap sebagai suatu ajang untuk mempererat tali silaturahmi dan memperbaiki hubungan antar sesama.

Dan suasana fitri, jangan terkotori untuk berbagai kepentingan, agar pergeseran halal bi halal tidak terlalu jauh. Allahu alam bishawab.*/ Dr Halimi Zuhdy, Facebook Halimi Zuhdy

HIDAYATULLAH

Arab Saudi Rekomendasikan Vaksinasi Jelang Musim Haji

Vaksinasi jelang musim haji direkomendasikan Arab Saudi.

Kementerian Kesehatan Saudi mengeluarkan peringatan bagi mereka yang berencana melakukan haji tahun ini. Kementerian meminta para calon jamaah haji untuk melakukan vaksinasi yang diperlukan dan diwajibkan. 

Dilansir dari Alarabiya, Kamis (4/5/2023), Kementerian mengatakan dalam sebuah posting di akun Twitternya pada Selasa malam. bahwa janji untuk vaksinasi harus dipesan melalui aplikasi “Sehhaty” untuk memastikan musim haji yang aman dan sehat. 

Pada April, Kementerian Haji dan Umroh mengatakan menerima vaksinasi yang diperlukan sangat penting untuk mendapatkan izin haji. Ditambahkan pula, izin musim haji tahun ini akan dikeluarkan mulai 15 Syawal atau pada Jumat 5 Mei.

Beberapa vaksin wajib yang terdaftar adalah: Covid-19, influenza musiman, dan Meningitis Meningokokus. Semua harus diambil setidaknya 10 hari sebelum haji. 

Beberapa vaksin yang diperlukan bagi mereka yang datang dari luar Arab Saudi antara lain adalah Vaksinasi Demam Kuning dan Virus Polio. 

Haji merupakan ziarah tahunan ke kota suci Mekkah di Arab Saudi, diperkirakan akan dimulai pada 26 Juni. 

Akhir tahun lalu, Arab Saudi meluncurkan aplikasi Nusuk atau sebelumnya disebut Eatmarna, sebagai platform resmi baru Kerajaan untuk merencanakan haji dan umrah dan mengatur seluruh perjalanan mulai dari mengajukan permohonan eVisa hingga memesan akomodasi dan penerbangan. 

Sumber:

https://english.alarabiya.net/News/saudi-arabia/2023/05/03/Saudi-Arabia-recommends-vaccinations-ahead-of-Hajj-season-

Arab Saudi Keluarkan Izin Haji Domestik Mulai Jumat

Izin haji hanya diberikan kepada mereka yang telah menyelesaikan pembayaran.

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi akan mulai mengeluarkan izin haji kepada para peziarah domestik, Jumat (5/5/2023).

Izin haji hanya diberikan kepada mereka yang telah menyelesaikan pembayaran biaya untuk paket yang telah mereka pesan pada perusahaan penyedia layanan ziarah.

Kementerian mengatakan pendaftaran izin haji akan dibuka selama 52 hari, dimulai pada Jumat (5/5/2023) besok sampai dengan 25 Juni 2023 atau 7 Dzulhijjah. Namun, pendaftaran tersebut bisa saja dimajukan apabila paket yang dialokasikan untuk jamaah haji domestik sudah penuh.

Bisa juga lowongan justru akan kosong apabila mereka yang mendaftar gagal menyelesaikan pembayaran pada tanggal jatuh tempo atau sebagai akibat dari pembatalan reservasi oleh warga negara dan penduduk.

Dilansir dari Saudi Gazette, Kamis (4/5/2023), Kementerian mengatakan jika ada kursi yang tersedia, kursi akan ditawarkan untuk reservasi melalui situs webnya atau melalui aplikasi Nusuk.

Kementerian telah menyatakan sebelumnya bahwa tanggal terakhir bagi para peziarah untuk mengambil vaksin yang diperlukan adalah 10 hari sebelum dimulainya haji. Vaksinasi adalah syarat untuk melakukan ritual haji.

Telah diklarifikasi bahwa menyelesaikan semua vaksin yang diperlukan adalah wajib untuk mengeluarkan izin haji.

IHRAM

Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita

Di mata Allah Ta’ala, seorang hamba hakikatnya adalah butuh dan tidak mampu. Sekaya-kayanya seseorang, sekuat-kuatnya dia, semampu-mampunya dia, maka ia tetaplah miskin dan lemah serta tidak berdaya di mata Allah Ta’ala. Sejatinya seorang hamba akan senantiasa butuh terhadap pertolongan dan bantuan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاء إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد

“Wahai manusia sekalian! Kamulah yang memerlukan Allah. Dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)

Berangkat dari sini, seorang hamba, baik itu yang kaya maupun yang miskin, baik itu yang kuat maupun yang lemah; kesemuanya butuh dan dituntut untuk berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam setiap permasalahan yang dihadapi.

Mengapa berdoa menjadi sangat penting dalam kehidupan kita?

Dalam hal ibadah (yang mana merupakan tujuan diciptakannya manusia), berdoa merupakan identitas utama yang tak bisa lepas dari diri seseorang. Ia merupakan amal ibadah yang mudah dan praktis untuk dikerjakan, serta bersifat fleksibel karena tidak terikat oleh waktu dan tempat. Kapan pun waktunya dan di mana pun tempatnya, seorang hamba dituntut untuk senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala.

Perlu kita ketahui juga, doa merupakan musuh utama dari segala macam cobaan dan ujian. Karenanya, ia akan melindungi kita dari mara bahaya. Doa akan menghilangkan dan menyembuhkan penyakit. Doa akan mencegah turunnya malapetaka, mengangkatnya, atau minimal meringankan malapetaka yang sedang terjadi.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

إنِّي لا أحمل هَم الإجابة ولكن أحمل هَم الدُعاء فإذا أُلهِمت الدعاء فإن الإجابة معه .

“Aku tidak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan atau tidak, tetapi yang lebih aku khawatirkan adalah aku tidak diberi hidayah untuk terus berdoa. Oleh karenanya, jika kalian diilhami dan diberi hidayah untuk berdoa, sesungguhnya (ijabah) terkabulnya doa tersebut mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa Syekhul Islam, 8: 193)

Doa merupakan senjata utama bagi seorang muslim saat menghadapi ujian dan memiliki keinginan. Doa juga menjadi sebab terbesar tergapainya impian dan cita-cita. Betapa banyak kesedihan dan cobaan menjadi mudah karena berdoa. Betapa banyak impian-impian yang nampaknya mustahil, terwujud karena doa. Allah Ta’ala menegaskan kepada kita akan betapa dekat diri-Nya dengan hamba-hamba yang berdoa dan butuh kepada-Nya,

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Teruslah berdoa kepada Allah Ta’ala. Mintalah apa pun kebutuhanmu kepada-Nya. Serahkan seluruh hasil dan perkaramu kepada-Nya. Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. Besarkan rasa harapmu kepada-Nya, karena sungguh ia tidak pernah menolak sebuah doa.

Ingat! Terkabulnya doa tidak melulu tentang terwujudnya impian dan tercapainya keinginan. Bukan pula terjadinya sesuatu sebagaimana yang kita harapkan. Bisa jadi Allah kabulkan doa kita dengan bentuk yang lain. Bisa jadi Allah kabulkan doa kita dengan menghindarkan sebuah mara bahaya yang seharusnya menimpa kita. Bisa jadi juga Allah Ta’ala jadikan doa-doa kita yang belum terwujud sebagai tabungan amal untuk diri kita di akhirat kelak.

Siapa saja yang berbaik sangka kepada Tuhannya, maka kebaikan-kebaikan akan mengalir kepadanya. Dan Allah Ta’ala pastilah sesuai dengan persangkaan hamba-Nya.

Berikut ini adalah beberapa kisah Nabi dengan doa-doa yang mereka panjatkan. Kisah-kisah yang insyaAllah memotivasi kita untuk senantiasa berdoa dan meminta kepada Allah dalam setiap keadaan. Bergantung kepada Allah Ta’ala sepenuhnya, meskipun diri kita percaya diri mampu melakukan apa yang kita inginkan.

Kisah para nabi dan doa-doa mereka

Di antara kisah paling fenomenal adalah apa yang dialami oleh Nabi Yunus ‘alaihis salam tatkala dilemparkan ke laut kemudian tertelan di dalam perut paus. Setelah ia melakukan perbuatan tercela karena meninggalkan kaumnya. Allah Ta’ala mengisahkan bagaimana tobat beliau dan gigihnya beliau dalam berdoa hingga Allah selamatkan dirinya. Allah Ta’ala berfirman,

وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ *

“Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.’ Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 87-88)

Di ayat yang lain Allah Ta’ala tegaskan, bahwa sebab selamatnya Nabi Yunus ‘alaihis salam adalah karena banyaknya doa dan tobat yang dilakukannya,

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Maka, sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (berdoa), niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari kebangkitan.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144)

Allah Ta’ala tekankan kepada kita bahwa saat seorang hamba penuh dengan dosa, lalu ia membutuhkan pertolongan Allah Ta’ala untuk menghadapi kesulitan yang dihadapinya, dan bertobat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka Allah pasti akan mendengarnya dan menolongnya.

Dengan doa pula Allah tenggelamkan seluruh penduduk bumi dan Allah selamatkan Nabi Nuh ‘alaihis salam beserta orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala mengisahkan,

قَالَ رَبِّ اِنَّ قَوْمِيْ كَذَّبُوْنِۖ * فَافْتَحْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَّنَجِّنِيْ وَمَنْ مَّعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ * فَاَنْجَيْنٰهُ وَمَنْ مَّعَهٗ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِ * ثُمَّ اَغْرَقْنَا بَعْدُ الْبَاقِيْنَ

“Dia (Nuh) berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh kaumku telah mendustakan aku, maka berilah keputusan antara aku dengan mereka, dan selamatkanlah aku dan mereka yang beriman bersamaku.’ Kemudian Kami menyelamatkan Nuh dan orang-orang yang bersamanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian setelah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal.” (QS. As-Syu’ara’: 117-120)

Karunia tidak terhitung yang Allah Ta’ala berikan untuk Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, kesemuanya itu Allah Ta’ala berikan berkat doa yang beliau panjatkan kepada-Nya,

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ* فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ * وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ * وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ

“Dia (Sulaiman) berkata, ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.’ Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya. Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan (setan) yang lain yang terikat dalam belenggu.” (QS. Shad: 35-38)

Kisah-kisah di atas semuanya bermuara pada satu kesimpulan yang sama. Mintalah apa pun hanya kepada Allah Ta’ala. Jangan berpangku tangan apalagi angkuh merasa mampu lalu tidak pernah meminta pertolongan dan berdoa kepada-Nya. Seorang nabi sekali pun mereka juga tidak pernah lepas dari berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam setiap hajat dan keinginan mereka.

Pembaca yang semoga senantiasa dalam limpahan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala.

Ketahuilah, sesungguhnya Allah Ta’ala akan senang apabila seorang hamba senantiasa berdoa dan meminta pertolongan kepada-Nya dalam setiap hal yang sedang dihadapi dan dibutuhkannya. Sebaliknya, Allah Ta’ala akan murka apabila seorang hamba merasa tidak butuh kepada-Nya, tidak pernah berdoa kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Dia akan marah kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 3373, Ibnu Majah no. 3827 dan Ahmad no. 9719)

Mengapa? Karena di dalam doa yang kita panjatkan, terdapat pengakuan akan ketidakberdayaan diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Di dalam lantunan doa yang kita baca, terselip keimanan akan agungnya keesaan Allah Ta’ala atas segala sesuatu. Keyakinan bahwa Allah Ta’ala merupakan satu-satunya Zat yang berhak disembah. Satu-satunya Zat yang menciptakan dan mengabulkan permohonan. Sedangkan di dalam keteledoran kita ketika tidak berdoa, maka itu menunjukkan keangkuhan diri kita, menunjukkan pula rasa sombong seorang hamba kepada Tuhannya.

Semoga Allah Ta’ala jadikan diri kita sebagai hamba-Nya yang senantiasa bergantung dan berserah diri kepada-Nya. Senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala atas setiap hajat dan keinginan yang ingin dicapai serta memohon keselamatan dari mara bahaya yang akan menimpa kita.

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84663-jangan-sepelekan-doa-dalam-setiap-hajat-dan-keinginan-kita.html