Tanda Diterimanya Amal di Bulan Ramadan

Tak terasa, bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini telah meninggalkan kita. Bulan yang penuh kemuliaan, ampunan, dan keberkahan ini telah pergi. Tak ada yang tertinggal, kecuali rasa senang karena telah Allah berikan kemampuan dan taufik untuk bisa maksimal di dalam memanfaatkan bulan Ramadan ini dengan baik ataupun rasa penyesalan karena belum bisa memaksimalkannya.

Saat kesempatan agung ini telah pergi, tersisa beberapa pertanyaan pada diri kita, apakah Allah Ta’ala menerima amal ibadah kita di bulan yang mulia ini? Apakah puasa yang kita lakukan, salat tarawih yang kita langsungkan, sedekah yang kita berikan, bacaan Al-Qur’an yang kita lantunkan, semuanya itu diterima oleh Allah Ta’ala? Ataukah kesemuanya itu berubah menjadi serpihan debu yang berterbangan tiada arti?

Lalu, adakah tanda-tanda yang bisa menunjukkan bahwa amalan-amalan kita telah diterima oleh Ta’ala?

Harus kita ingat bersama, sebuah amal tergantung akhirnya

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, hal pertama yang bisa kita lakukan adalah bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sudah maksimal dalam melaksanakan ibadah di penghujung bulan Ramadan ini? Sudahkan kita memanfaatkan detik-detik akhir bulan Ramadan ini dengan memperbanyak amal dan bacaan Al-Qur’an? Ataukah justru di penghujung Ramadan ini intensitas amal ibadah kita menjadi berkurang karena kesibukan duniawi yang melalaikan?

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Al-Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بعَمَلِ أهْلِ الجَنَّةِ، فِيما يَبْدُو لِلنَّاسِ، وإنَّه لَمِنْ أهْلِ النَّارِ، ويَعْمَلُ بعَمَلِ أهْلِ النَّارِ، فِيما يَبْدُو لِلنَّاسِ، وهو مِن أهْلِ الجَنَّةِ

“Sungguh, seseorang (kadang) beramal dengan amalan penghuni surga di mata manusia, padahal sesungguhnya ia adalah penghuni neraka. (Sebaliknya), Seseorang beramal dengan amalan penghuni neraka di mata manusia, padahal sesungguhnya ia adalah penghuni surga.” (HR. Bukhari no. 2898 dan Muslim no. 112)

Dalam riwayat lain terdapat tambahan,

وإنَّما الأعمالُ بالخواتيمِ

“Dan amalan-amalan itu tergantung akhirnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 340).

Pada hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk tidak berbangga diri dengan amalan yang telah kita lakukan. Beliau juga menegaskan kepada kita akan pentingnya istikamah dalam beramal hingga akhir. Karena diri kita tidak pernah tahu bagaimana akhir hidup yang akan kita lalui, tak pernah tahu juga akhir dari amalan yang kita lakukan.

Saudaraku, terlebih lagi di penghujung bulan Ramadan yang mulia ini. Di mana sepertiga akhir bulan Ramadan merupakan waktu yang paling afdal dan paling utama. Sepuluh hari terakhir inilah yang Nabi selalu jaga ibadahnya. Beliau hidupkan malam-malamnya dengan ketaatan serta beliau bangunkan seluruh keluarganya. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kita saat ini, saat memasuki penghujung Ramadan, bukan masjid yang mereka ramaikan, tapi justru jalanan dan pusat perbelanjaan.

Baca juga: Ramadan Yang Membekas

Tak ada yang bisa menjamin, bahwa amalan kita pasti diterima Allah Ta’ala

Sesungguhnya diterimanya amalan seorang hamba atau tidaknya adalah salah satu hal gaib (tak kasat mata) yang tidak diketahui hakikatnya, kecuali oleh Allah Ta’ala. Allahlah satu-satunya Zat yang mengetahui amalan siapa yang diterima dan amalan siapa yang tertolak.

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, bahwasanya beliau menyeru pada malam terakhir bulan Ramadan,

ياَ لَيْتَ شِعْرِي مَن هَذَا المَقْبُول فَنُهَنِّيْهِ وَمَنْ هَذَا المَحْرُوم فنعزيه.

Aduhai, andai aku tahu siapakah yang diterima amalannya pastilah kami akan mengucapkan selamat kepadanya, dan siapa yang diharamkan darinya, maka kami akan berbela sungkawa padanya.(Lathaiful Ma’arif, hal. 210)

Para sahabat pun sangat khawatir amalan mereka di bulan Ramadan tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Mualla’ bin Al-Fadhl rahimahullah mengatakan,

كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان،ويدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم.

“Dahulu kala mereka berdoa kepada Allah Ta’ala selama enam bulan agar Allah Ta’ala pertemukan mereka dengan bulan Ramadan. Mereka juga berdoa selama enam bulan (setelahnya) agar Allah Ta’ala menerima (amal ibadah) mereka (di bulan Ramadan).”

Lihat juga bagaimana Al-Khalil Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kekasih Allah Ta’ala. Ketika membangun pondasi-pondasi Ka’bah dan itu merupakan sebuah amal kebaikan, ia berdoa,

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)

Beliau yang merupakan kekasih Allah saja khawatir, dan berharap agar amal ibadahnya diterima oleh Allah Ta’ala. Lalu, bagaimana dengan kita?! Tentu kita harus lebih khawatir dan takut apabila amal ibadah kita tidak diterima oleh Allah Ta’ala.

Tanda-tanda umum diterimanya amal ibadah seorang hamba

Adapun pertanda diterimanya amal ibadah seorang hamba secara umum, maka ada beberapa tanda yang bisa kita perhatikan.

Pertama: Kondisi seseorang setelah melakukan ketaatan lebih baik dari sebelumnya

Syekh Binbaz rahimahullah pernah ditanya perihal tanda-tanda diterimanya amal-amal saleh yang dilakukan seorang hamba. Kemudian rahimahullah beliau menjawab,

فمن علامات القبول: انشراح الصدر، والاستقامة على الخير، والمسارعة إلى الطاعات، والحذر من السيئات، فإذا قل شره، وكثر خيره، وانشرح صدره للخير؛ فهذه من علامات التوفيق والقبول، أن تكون حاله أحسن. نعم.

“Maka, di antara tanda-tanda diterimanya (sebuah amal): lapangnya dada, istikamah di atas kebaikan, bergegas dalam ketaatan, berhati-hati dari keburukan dan dosa. Saat intensitas kejelekannya menjadi sedikit, kebaikannya bertambah dan hatinya merasa tenang kepada kebaikan. Maka, inilah tanda-tanda taufik dan diterimanya amalan, yaitu keadaan dan kondisinya berubah menjadi lebih baik.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi)

Kedua: Dimudahkan untuk mengerjakan kebaikan-kebaikan lain setelahnya

Seorang hamba yang amalannya diterima oleh Allah Ta’ala, maka ia akan diberikan taufik untuk mengerjakan kebaikan-kebaikan lain setelahnya. Karena sejatinya amal saleh dan kebaikan merupakan rantai yang tak terputus. Selesai melakukan sebuah ketaatan, maka akan datang ketaatan berikutnya. Dalam surah Al-Lail Allah Ta’ala berfirman,

فَاَمَّا مَنْ اَعْطٰى وَاتَّقٰىۙ * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنٰىۙ * فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلْيُسْرٰىۗ

“Maka, barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).” (QS. Al-Lail: 5-7)

Beberapa ahli tafsir dan di antaranya Syekh Muhammad Al-Asyqar rahimahullah saat menyebutkan ayat ini mengatakan, “Maka Kami akan memudahkannya untuk berinfak di jalan kebaikan dan untuk berbuat amal ketaatan.” (Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir)

Hal ini sejalan juga dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

عَليْكُم بِالصِّدقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ

“Berbuatlah jujur, karena kejujuran akan mengantarkanmu pada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkanmu kepada surga.” (HR. Muslim no. 2607)

Saat Allah menerima puasa kita di bulan Ramadan, maka selepas bulan Ramadan diri kita pun insyaAllah akan dimudahkan untuk mengerjakan puasa-puasa lainnya. Yang paling dekat dengan bulan Ramadan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَن صامَ رَمَضانَ ثُمَّ أتْبَعَهُ سِتًّا مِن شَوَّالٍ، كانَ كَصِيامِ الدَّهْرِ.

Siapa saja yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari pada bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa selama satu tahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Ketiga: Ada pengaruh positif yang dirasakan setelah beramal di bulan Ramadan

Amal saleh yang diterima oleh Allah Ta’ala maka akan memberikan dampak positif bagi pelakunya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Yang paling besar dan paling mudah untuk dirasakan adalah kebahagiaan di dunia ini. Allah Ta’ala berfirman,

مَن عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ, أَو أُنثَى وَهُوَ مُؤمِنٌ فَلَنُحيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجزِيَنَّهُم أَجرَهُم بِأَحسَنِ مَا كَانُوا يَعمَلُونَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Kebahagiaan di sini termasuk di antaranya adalah rezeki yang halal dan rasa cukup terhadap pemberian Allah Ta’ala.

Saat seseorang telah beramal dan melakukan berbagai macam amalan, namun ia tidak merasa bahagia dan tenang, maka ia perlu curiga dan takut, jangan-jangan amal ibadah yang selama ini dilakukannya belum diterima oleh Allah Ta’ala. Jangan-jangan ia tidak ikhlas di dalam mengerjakannya. Jangan-jangan amal ibadah yang dilakukannya tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karenanya, wahai saudaraku, jangan lepaskan Ramadan ini begitu saja.

Dengan selesainya bulan Ramadan bukan berarti semangat kita dalam beramal menjadi lemah, kemaksiatan yang sebelumnya kita lakukan kembali dilakukan.

Perbanyak berdoa kepada Allah Ta’ala agar Allah menerima seluruh amal ibadah yang kita lakukan di bulan yang mulia ini. Karena Allah-lah satu-satunya yang akan memberikan taufik kepada kita dan Dia-lah satu-satunya yang akan menerima dan menghitung amal ibadah kita. Allah Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَلَوْلاَ أَن ثَبَّتْنَـاكَ لَقَدْ كِدتَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلاً إِذًا لأَذَقْنَـاكَ ضِعْفَ الْحَيَواةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيْرًا

“Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka. Jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) dua kali lipat di dunia ini dan dua kali lipat setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (QS. Al-Isra’ : 74-75)

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84506-tanda-diterimanya-amal-di-bulan-ramadan.html

Ikut Ajakan Pendeta Sesat Puluhan Orang Mati Kelaparan Demi Bertemu Yesus

Polisi Kenya, hari Senin (24/4/2023), melanjutkan pencarian di dalam hutan di mana dari sejumlah kuburan dangkal ditemukan 51 mayat diduga anggota sebuah aliran sesat yang pendetanya mengajak jemaatnya mati kelaparan demi bertemu Yesus.

Polisi mengatakan pencarian di daerah Malindi dilanjutkan guna menemukan tidak hanya mayat tetapi juga kemungkinan penyintas dari praktik sesat tersebut, lapor AFP.

Investigasi menyeluruh dilakukan terhadap Good News International Church dan pemimpinnya sejak polisi merambah hutan Shakahola dan menemukan mayat pertama pekan lalu.

Sampai akhir pekan kemarin, puluhan jasad lain digali dari dalam tanah di area hutan seluas 325 hektar yang kemudian dinyatakan sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Polisi ingin menelusuri lebih lanjut guna mengetahui berapa besar sesungguhnya kejahatan yang diberi nama “Pembantaian Hutan Shakahola” itu.

Dikhawatirkan ada sejumlah anggota sekte yang bersembunyi dari aparat dan berisiko mati apabila tidak segera ditemukan.

Sejumlah orang telah diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit di Malindi, yang terletak di pesisir Samudera Hindia.

Sebuah kelompok peduli HAM yang melaporkan ke kepolisian perihal kelompok itu dan praktik ekstrem mereka mengatakan setidaknya satu anggota sekte yang ditemukan dalam keadaan hidup masih terus menolak untuk makan meskipun jelas-jelas mengalami tekanan fisik.

Palang Merah Kenya mengatakan 112 dilaporkan hilang ke stafnya di Malindi.

Pemimpin sekte itu, Makenzie Nthenge, sudah menyerahkan diri ke kepolisian dan dijerat dakwaan bulan lalu, menurut media lokal, setelah dua orang anak kelaparan hingga mati saat berada dalam pengasuhan orangtuanya. Namun, dia kemudian dilepaskan dari tahanan dengan uang jaminan $700 (100.000 shiling Kenya). 

Kasus itu menyita perhatian publik dan pemerintah menyatakan perlunya pengendalian yang lebih ketat terhadap beragam aliran keagamaan di negara itu, di mana pendeta-pendeta nakal dan kelompok-kelompok menyimpang kerap terlibat kejahatan.

Namun, upaya untuk mengatur agama di negara mayoritas Kristen itu di masa lalu menghadapi penentangan keras dan dituduh sebagai upaya merusak konstitusional yang memberikan jaminan terhadap pemisahan antara gereja dan negara.

Menteri Dalam Negeri Kithure Kindiki, yang telah mengumumkan akan mengunjungi TKP pada hari Selasa, menggambarkan kasus tersebut sebagai penyelewengan paling nyata terhadap konstitusi yang menjamin hak asasi manusia untuk bebas beribadah.*

HIDAYATULLAH

Hukum Shalat Campur Antara Laki-laki dan Perempuan

Di sela-sela lebaran ini, masyarakat Muslim Indonesia digegerkan dengan potret yang diunggah oleh salah satu akun Instagram Pondok Pesantren. Dalam laman tersebut sholat ied di Pesantren Al-Zaytun, mendapatkan atensi negatif, karena formasi saf atau barisan jamaahnya. Lalu bagaimana hukum shalat campur antara laki-laki dan perempuan dengan model barisan demikian?

Hukum Shalat Campur Antara Laki-laki dan Perempuan

Menurut ulama, jawabannya adalah tetap sah, namun dihukumi makruh dan tidak mendapatkan fadilahnya jamaah. Syekh Abi Bakar Syatha menjelaskan;

(قوله: ويقف خلف الإمام الرجال ثم الصبيان ثم النساء) أي ويسن إذا تعددت أصناف المأمومين أن يقف خلفه الرجال، ولو أرقاء، ثم بعده – إن كمل صفهم – الصبيان، ثم بعدهم – وإن لم يكمل صفهم – النساء. وذلك للخبر الصحيح: ليليني منكم أولو الأحلام والنهي – أي البالغون العاقلون – ثم الذين يلونهم. ثلاثا. ومتى خولف الترتيب المذكور كره. 

“Yang berdiri di belakang imam, adalah makmum laki-laki, kemudian anak-anak, kemudian makmum wanita. Yakni disunahkan bila barisan shalat banyak dibelakang imam kaum laki-laki meskipun hamba sahaya, kemudian setelah shafnya penuh, dibelakangnya anak-anak, kemudian dibelakangnya meskipun barisannya belum penuh kaum wanita. 

Formasi demikian adalah tuntunan dari Rasulullah Saw, yang mana beliau bersabda “Hendaklah yang berada tepat di belakang shalatku orang yang dewasa yang memiliki kecerdasan dan orang yang sudah berakal di antara kalian, kemudian orang yang sesudah mereka tiga kali”. Dan bila urutan barisan tersebut disalahi, maka hukumnya makruh”. (I’anah Al-thalibin, Juz 2 Halaman 31)

Maka bisa diketahui bahwasanya formasi yang dipakai oleh jamaah Al-Zaytun ini menyalahi kesunnahan, karena ada seorang perempuan di sela-sela barisan laki-laki. Namun, ini hanya berdampak pada pengguguran fadilah jamaah saja. Tidak sampai membatalkan shalat, Al-Qulyubi menyatakan;

قَوْلُهُ: (وَكُلُّ مَا ذَكَرَ مُسْتَحَبٌّ) بِقَوْلِهِ وَيَقِفُ الذَّكَرُ إلَى هُنَا. قَوْلُهُ: (وَمُخَالَفَتُهُ لَا تُبْطِلُ الصَّلَاةَ) لَكِنَّهَا مَكْرُوهَةٌ تَفُوتُ بِهَا فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ عَلَى الْإِمَامِ وَمَنْ مَعَهُ وَلَوْ مَعَ الْجَهْلِ بِهَا.

“Yang telah disebutkan (terkait formasi barisan jamaa) dihukumi sunnah,  dan menyalahinya tidak sampai membatalkan shalat, hanya saja hukumnya makruh yang dapat menggugurkan fadhilahnya berjamaah bagi imam dan orang yang bersamanya meskipun atas dasar tidak tahu”. (Hasyiyah al-Qulyubi, Juz 1 Halaman 275)

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya formasi jamaah yang disunnahkan adalah sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw di atas, adapun jika menyalahi formasi tersebut, maka dihukumi makruh dan tidak mendapatkan keutamaannya jamaah.

Demikian penjelasan terkait hukum shalat campur antara laki-laki dan perempuan. Wallahu A’lam bi al-shawab. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

4 Cara Wanita Masuk Surga

BAGAIMANA cara wanita masuk surga?

Setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang layak di akhirat kelak, yakni masuk surga. Tapi, kebanyakan yang berkata bahwa penghuni neraka lebih dominan oleh kaum wanita. Tentu, hal itu sangat tidak kita inginkan apabila kita termasuk salah satunya. Maka dari itu, kita harus mengetahui bagaimana cara yang baik agar kita bisa mendapat rahmat Allah dan dimasukkan ke dalam surganya Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang wanita (istri) itu telah melakukan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menjaga harga dirinya dan menaati perintah suaminya, maka ia diundang di akhirat supaya masuk surga berdasarkan pintunya mana yang ia suka (sesuai pilihannya),” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Thabrani).

Berdasarkan hadis di atas jelaslah bagi kita bahwa Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah memberi kesempatan emas bagi setiap wanita yang beriman bahwa untuk memasuki surga-Nya yang penuh kenikmatan adalah melalui empat syarat saja.

Empat syarat tersebut adalah seperti berikut:

1. Cara Wanita Masuk Surga: Melakukan shalat lima waktu

Shalat merupakan pemisahan antara keimanan dan kekufuran yang haq dan yang bathil. Allah berfirman, ” Maka dirikankanlah shalat itu (sebagaimana biasa) sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang – orang yang beriman,” (Surah An-Nissa: 103).

wanita shalihah Wanita penghuni Surga, Amalan Cerdas, Cara Mendapat Syafaat Al-Quran, Penyebab Pengelupasan Kulit, solusi untuk ikhlas, Al-Quran, Keutamaan Membaca Istiadzah, Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita, Cara Wanita Masuk Surga
Foto: W24

Diriwayatkan dari Jabir ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan shalat lima waktu adalah seperti seseorang yang mandi di sebuah sungai yang dalam yang mengalir di depan rumahnya sebanyak lima kali sehari,” (HR. Muslim).

2. Cara Wanita Masuk Surga: Puasa di bulan Ramadhan

Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Setiap amalan anak Adam (manusia) itu digandakan satu kebaikan dengan sepuluh yang jenisnya hingga 700 kali lipat. Firman Allah SWT, ‘Kecuali puasa yang dikerjakan untuk Ku, maka Aku-lah yang membalasnya. Dia menahan syahwatnya dan meninggalkan makan karena Aku.’ Bagi orang yang puasa itu ada dua kegembiraan, yaitu gembira ketika berbuka (atau berhari raya) dan senang ketika menemui Tuhannya kelak. Dan, demi bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dari bau kasturi,” (HR. Muslim).

3. Cara Wanita Masuk Surga: Melayani suami dengan sepenuh hati

Sebagian istri sangat taat kepada suaminya, tapi kurang pandai melayani suami dengan sebaik-baiknya. Maka jika taat kepada suami dan pandai melayaninya, hal itu merupakan kemuliaan tersendiri yang mengangkat derajatnya meraih keselamatan di dunia dan akhirat.

Ummu Salamah ra. berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Tiap-tiap istri yang mati diridhai oleh suaminya, maka ia akan masuk surga,” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

4. Cara Wanita Masuk Surga: Menjaga kehormatan diri

Ciri keempat inilah yang merupakan kunci dari keshalihan seorang istri yang berada di bawah pengawasan suaminya yang shalih. Lelaki yang memiliki istri dengan karakteristik seperti ini berarti telah memiliki harta simpanan yang terbaik.

Wanita Jadi Imam Shalat, Manfaat Shalat untuk Perempuan, Kesalahan soal Mukena yang Membuat Shalat Tidak Sah, aurat wanita, Hukum Mukena Transparan saat Shalat, Makna Rukun Iman, Keutamaan Shalat Sunnah, Cara Wanita Masuk Surga
Foto: Canva

Dari Abu Umamah ra., dari Nabi SAW bersabda, “Tidak ada yang paling bermanfaat bagi seorang (lelaki) Mukmin sesudah bertaqwa kepada Allah daripada memiliki istri yang shalihah, yaitu jika ia diperintah ia taat, jika ia dipandang menyenangkan hati, dan jika ia digilir ia tetap berbuat baik, dan jika ia ditinggalkan (suaminya) ia tetap menjaga suaminya dalam hal dirinya dan harta suaminya,” (HR. Ibnu Majah).

Dari Ibn Abbas ra. Rasulullah SAW bersabda, “Ada empat perkara siapa yang memilikinya berarti mendapat kebaikan di dunia dan akhirat, yaitu hati yang bersyukur, lisan yang selalu berzikir, tubuh yang bersabar ketika ditimpa bala bencana (musibah) dan istri yang tidak menjerumuskan suaminya dan merusakkan harta bendanya,” (HR. Thabrani dengan isnad Jayyid). []

SUMBER: PENYEJUK DIRI | ISLAM-ID

Jika Melanggar Aturan Ihram, Ini Tiga Cara Menebusnya

Ada larangan yang tidak boleh dilanggar saat jamaah haji melakukan ihram. Namun, jika larangan tersebut dilanggar maka ada tiga cara untuk menebus atau menggantinya.

Dijelaskan bahwa ada sejumlah rambu-rambu dalam ihram yang harus dipatuhi. Yaitu tidak berkata jelek atau berdebat dan bertengkar, tidak mencabut atau mencukur bulu atau rambut di badan, dan tidak memotong kuku.

Selanjutnya, tidak pakai wewangian seperti parfum, tidak bersepatu dan bertopi bagi laki-laki, tidak memakai pakaian berjahit yang membentuk lekuk tubuh bagi laki-laki, tidak memakai kaos tangan dan niqab bagi wanita, tidak boleh melakukan hubungan suami istri, tidak boleh menikah dan menikahkan, tidak mencabut atau memotong tanaman.

Dijelaskan Ustaz Firman Arifandi dalam buku Perihal Penting Haji yang Sering Ditanyakan yang dipublikasikan Rumah Fiqih Publishing 2019, ada tiga bentuk fidyah (cara menebus kesalahan) dari setiap pelanggaran yang dilakukan. Pertama, menyembelih seekor kambing (dam). Kedua, memberi makan kepada enam orang miskin. Ketiga, berpuasa selama tiga hari.

Namun, hal yang biasa dilakukan oleh para pembimbing jamaah haji, tour leader dan petugas haji adalah menakut-nakuti jamaah haji yang melanggar aturan. Mereka biasanya mengatakan bahwa hajinya batal atau harus bayar dam jika melanggar aturan.

Tujuan mereka menakut-nakuti, apakah hanya untuk memotivasi agar jamaah haji tidak melanggar aturan atau memang tidak tahu sehingga semuanya dipukul rata.

Saat seseorang melakukan ihram misalnya, kemudian orang itu berdebat, bertengkar atau berkata kotor. Sebenarnya tidak sampai pada kategori batal hajinya atau harus bayar dam dengan menyembelih seekor kambing di tanah Haram tanpa opsi lain. Tentu agama Islam tidak sekejam itu.

Misalnya saat seseorang meninggalkan prosesi melempar jumroh, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, tawaf wada atau berihram dari miqat, maka mereka dianggap melanggar wajib haji.

Bentuk fidyah dari meninggalkan wajib haji adalah kewajiban dam yaitu menyembelih seekor kambing. Tapi, jika tidak mampu membeli kambing maka berpuasa sebanyak 10 hari, tiga hari saat di Tanah Suci dan tujuh hari saat kembali ke Indonesia. Jika berpuasa saat haji tidak mampu maka boleh berpuasa tujuh hari di Indonesia saja.

IHRAM

10 Hari Sebelum Haji Jamaah Harus Sudah Divaksin

Menyelesaikan semua vaksin adalah wajib untuk dikeluarkannya izin haji.

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi telah menyatakan tanggal terakhir jamaah haji mengambil vaksin adalah 10 hari sebelum musim haji. Menerima vaksin adalah syarat bagi jamaah sebelum melakukan ritual haji.

Ini terjadi ketika Kementerian menanggapi seseorang di akun resminya di Twitter. Orang tersebut telah menanyakan apakah disuntik dosis Covid-19 ketiga adalah syarat untuk melakukan haji.

Kementerian mengklarifikasi menyelesaikan semua vaksin adalah wajib untuk dikeluarkannya izin haji. Penerbitan izin haji untuk tahun 1444 H akan dimulai pada 15 Syawal atau 5 Mei.

Patut dicatat Kementerian telah menetapkan tanggal 10 Syawal sebagai tanggal terakhir bagi peziarah domestik untuk membayar angsuran ketiga dan terakhir dari reservasi Haji mereka. Angsuran akhir berjumlah 40 persen dari biaya yang ditentukan untuk paket yang disetujui selama musim haji ini.

Kementerian telah membuka pendaftaran untuk melakukan haji 1444 H pada tanggal 3 April untuk para peziarah yang sebelumnya telah melakukan ritual sebelum 5 tahun ke atas, melalui aplikasi Nusuk dan situs resminya.

Peziarah yang belum pernah melakukan ritual haji sebelumnya, akan dapat mendaftar untuk melakukan haji tahun ini hingga 7 Dzulhijjah atau 25 Juni 2023.

IHRAM

Tegar di Atas Jalan Kebahagiaan (Bag. 3)

Beribadah kepada Allah semata

Ibadah adalah kata yang sakral dan diagungkan manusia. Sejatinya, ibadah ini merupakan konsekuensi dari tauhid asma wa shifat dan tauhid rububiyah. Para ulama menyebutnya dengan istilah tauhid uluhiyah atau tauhid ubudiyah. Oleh karena itu, seseorang yang mengenal Allah, melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tidaklah cukup baginya sampai ia kemudian menegakkan tauhid uluhiyah, dengan beribadah hanya kepada-Nya. Karena jika ia benar-benar mengenal Rabb-Nya, maka ia akan menaati-Nya. Sementara Dialah yang telah berfirman dalam salah satu ayat-Nya yang mulia,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَا لْاِ نْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku semata”. [1]

Dan ketahuilah, tidaklah ibadah itu sampai kepada-Nya, kecuali Anda penuhi dua syarat, seperti yang disimpulkan oleh para ulama:

Pertama: Ikhlas karena Allah Ta’ala. [2]

Kedua: Ittiba’ dengan mengikuti syariat yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. [3]

Dan inilah konsekuensi dari dua kalimat syahadat yang Anda ucapkan. Bahwasanya Anda bersaksi hanya Allah sajalah sesembahan yang berhak untuk Anda sembah, dan Muhammad adalah utusan-Nya yang harus Anda ikuti, taati, dan tetapi petunjuk dan sunah-sunah yang dibawanya.

Maka, seorang hamba yang sekadar beribadah, namun di saat bersamaan ia beribadah kepada sesembahan lain selain Allah, seperti berdoa kepada wali, Nabi, atau malaikat, atau ia beribadah karena ingin mendapatkan pujian manusia, maka ia telah merusak syarat yang pertama. Begitu juga, jika ia sekadar beribadah, namun menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan perkara-perkara baru dalam agama yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena mengedepankan hawa nafsu serta perkataan ulama atau guru yang ia muliakan, maka ibadahnya tertolak dengan rusaknya syarat yang kedua. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (seperti) debu yang berterbangan.” [4]

Maka, perhatikanlah dua hal ini. Jika ia cacat, maka sia-sialah ibadah Anda. Sia-sialah tujuan penciptaan Anda. Namun, seperti apa realisasi ibadah ini? Apakah ia melulu tentang salat, zakat, puasa, zikir, dan melakukan wirid lainnya? Ternyata tidak! Maka, untuk memahaminya, simaklah tujuan ketiga dari penciptaan Anda, yakni untuk diuji oleh Allah Ta’ala.

Diuji oleh Allah Ta’ala

Sebuah ujian di sekolah atau di universitas diadakan, di antaranya untuk mengukur kemampuan pelajar atau mengevaluasi hasil belajar mereka selama menuntut ilmu. Bahkan, ada di antara ujian itu yang bertujuan untuk menyeleksi siswa, apakah patut untuk diberikan tanda kelulusan ataukah tidak. Bagaimana dengan ujian Allah terhadap manusia? Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“(Dialah Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalannya.” [5]

Di dalam ayat yang agung ini, Allah Ta’ala menegaskan bahwa di antara tujuan penciptaan manusia, yang Dia hidupkan kemudian matikan, adalah untuk menguji mereka, siapakah di antara anak Adam tersebut yang mewujudkan amalan terbaiknya kepada Allah Ta’ala. Maka, pertanyaan berikutnya adalah seperti apakah bentuk ujian yang Allah berikan kepada umat manusia. Apakah ia seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang, bahwa ujian itu semata-mata tentang kesempitan hidup, musibah, dan penderitaan yang menyapa mereka. Jika kita menghimpun seluruh dalil-dalil dan perkataan ulama, maka dapat disimpulkan bahwa ujian itu ada dua pasang atau empat macam: yaitu perintah dan larangan [6], lalu nikmat dan musibah [7].

Ketahuilah, bahwa ketika keempat ujian tersebut Anda penuhi sesuai dengan yang Allah kehendaki, maka ia akan bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala, dan dijanjikan dengan ganjaran pahala serta kebahagiaan hidup. Sebaliknya, jika Anda menyia-nyiakan apa yang dikehendaki dari ujian tersebut, maka Anda akan mendapatkan dosa dan terancam dengan siksa dan penderitaan.

Perintah

Allah telah memerintahkan berbagai perkara, baik yang bersifat ukhrawi maupun duniawi yang jika dilaksanakan bisa bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala. Menegakkan salat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa, berhaji bagi yang mampu, berzikir, berbakti kepada orang tua, menafkahi keluarga, menjenguk tetangga yang sakit, mengurus jenazah kaum muslimin. Semua ini adalah amalan-amalan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala yang jika dilaksanakan akan bernilai ibadah di sisinya, dan bisa bernilai dosa ketika ditinggalkan, tentunya jika ia hukum asalnya wajib untuk dikerjakan.

Larangan

Saat manusia diuji dengan memerintahkan mereka melakukan amalan tertentu, mereka juga di saat bersamaan dilarang dari perkara-perkara tertentu, yang pada dasarnya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, baik diketahui secara jelas keburukan dan bahayanya atau tidak. Maka, di antaranya Allah melarang mengkonsumsi minuman yang memabukkan serta makanan tertentu seperti bangkai, daging babi dan darah, melarang transaksi ribawi, melarang mendengarkan alat musik, dan melarang mendekati zina. Kerusakan yang diakibatkan perkara-perkara ini tentu bisa diketahui dan diakui oleh orang-orang yang memiliki akal yang jernih. Seseorang yang meninggalkan seluruh larangan ini karena Allah akan terhitung melakukan ibadah di sisi-Nya dan patut mendapat ganjaran berupa pahala dan janji berupa surga Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Nikmat

Setiap detik nikmat datang dari Allah kepada setiap hamba, tanpa terkecuali kepada Anda. Bahkan, nikmat ini mengalir terus menerus dari seseorang lahir hingga ia mati. Nikmat mata yang bisa melihat benda dekat dan jauh. Nikmat telinga yang bisa mendengar bisikan maupun teriakan. Nikmat jantung yang berdegup normal nan stabil demi memompa darah ke seluruh tubuh. Nikmat paru yang kembang kempis menarik dan membuang udara. Nikmat ginjal yang bekerja keras menyaring darah dan menghasilkan urin. Nikmat hati yang memproduksi cairan empedu sekaligus menawarkan racun. Nikmat 206 tulang dan 360 persendian yang memungkinkan Anda bisa bergerak dan berakitivas tanpa hambatan. Bahkan, nikmat trilyunan sel normal yang sampai saat ini jumlah pastinya masih jadi perdebatan ilmiah.

Semuanya patut Anda syukuri setiap bagiannya. Dan nikmat ini adalah salah salah satu bentuk ujian Allah yang paling halus bagi seorang hamba. Anda hanya akan dianggap lulus dari ujian ini ketika anda mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Dan jika anda melakukannya, ia akan terhitung sebagai bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala, sekaligus Allah akan tambahkan nikmat yang lain. Namun ketahuilah, sampai kapanpun, Anda tidak akan sanggup melakukannya. Karena saking banyaknya nikmat yang ada pada Anda, sementara Anda masih butuh nikmat yang satu untuk mensyukuri nikmat yang lainnya. Maka, tidak ada habisnya perputaran nikmat tersebut. Sedangkan manusia lebih banyak lalai dan kufur terhadap nikmat yang Allah berikan pada mereka. Padahal syukur nikmat itu wajib. Sehingga yang lupa bersyukur, akan berdosa atas kelengahannya.

Musibah

Jika nikmat bernilai ibadah ketika disyukuri, bagaimana dengan musibah yang menimpa Anda? Maka, tentunya ia akan bernilai ibadah tatkala Anda sabar menghadapi musibah yang datang. Namun, patut Anda renungkan, sebanyak apapun bala yang menimpa Anda, seberat apapun musibah yang melanda diri Anda, tidaklah ia sebanding dengan nikmat yang mengalir dalam hidup Anda. Karena musibah itu datangnya hanya sekali-kali. Sementara nikmat datangnya setiap saat. Jika musibah yang datang membuat badan atau hati menjadi sakit, maka tidak lama berselang, Allah akan hilangkan sakit yang ada di tubuh atau di hati Anda, sampai-sampai Anda mungkin lupa pernah mendapat cobaan tersebut. Maka lupa ini, menjadi nikmat tersendiri bagi Anda.

Oleh karena itu, atas ujian berupa musibah, wajib bagi seorang hamba untuk bersabar dengannya. Bagi mereka yang bersabar, Allah akan ganjar pahala, kelapangan, kenyamanan, kelegaan, kesejukan, ketenteraman, ketenangan, serta kebahagiaan setelahnya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak bisa bersabar, maka ia akan bernilai dosa dan Allah akan tambahkan musibah itu dengan semakin sempitnya hati, sehingga ia akan semakin merana, semakin menderita, semakin sengsara, dan semakin sedih karena musibah tersebut sekaligus akibat dosa atas kelalaiannya dari bersabar.

Meskipun demikian, bersamaan dengan sifat hamba yang lemah dan seringkali lengah, Rabb mereka adalah Zat yang penuh dengan ampunan, bahkan Dia ‘Azza Wa Jalla menanti tobat hamba-hamba-Nya. Sehingga seorang  hamba yang melanggar sebagian dari ujian tersebut dan terjatuh kepada dosa, kemudian dia segera bertobat, maka Allah akan ampuni dosa hamba tersebut dan menggantinya jadi kebaikan, bahkan meskipun dosanya sepenuh bumi. [8] Dialah Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.

Maka, inilah makna ibadah yang sesungguhnya. Seperti yang diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

” الْعِبَادَةُ ” هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ :مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah sebutan yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi maupun yang tampak.” [9]

Oleh karena itu, seseorang yang memiliki ilmu akan perkara ini, bisa menjadikan setiap hal dalam kesehariannya sebagai ibadah. Dari bangun tidur hingga tidur kembali. Dari makan, bekerja, hingga buang air, semuanya  akan bernilai ibadah. Dari mendapat nikmat hingga tertimpa sakit semuanya bisa ia transformasi menjadi pahala akhirat. Demikianlah kehidupan seorang hamba yang alim dan diberi taufik oleh Allah Ta’ala. Ia menjadikan setiap waktu, tempat, aktivitas, dan kondisi sebagai bentuk ibadah dan penghambaan diri kepada Rabb-nya.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 2 Bagian 4 Bersambung, Insyaallah

***

Disarikan pada malam 20 Ramadan 1444 H

Di bawah langit kota Yogyakarta,

Oleh Al-Faqir yang membutuhkan rahmat dan ampunan dari Rabb-Nya

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.

Catatan Kaki:

Untuk terjemahan Al-Qur’an dan hadis, sebagiannya berdasarkan referensi dan artikel yang ada di website Muslim.or.id, Muslimah.or.id, Rumaysho.com, dan Almanhaj.or.id

[1] QS. Az-Zariyat ayat 56.

[2] QS. Al-Kahfi ayat 110. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa seperti engkau, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya sesembahan engkau hanyalah satu saja.” Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.“

[3] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”

[4] QS. Al-Furqan ayat 23.

[5] QS. Al-Mulk ayat 2.

[6] QS. Al-Insan ayat 2-3. “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.”

Ketika menafsirkan ayat ini, sebagian ulama menjelaskan bahwa ujian yang ada di ayat ini berupa perintah dan larangan, serta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh hamba.

[7] QS. Al-Anbiya ayat 35. Allah Ta’ala berfirman, “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”

Dalam ayat ini, sebagian ulama, di antaranya Ibnu Katsir, menafsirkan keburukan dan kebaikan berupa musibah dan nikmat yang didatangkan kepada hamba.

[8] HR. At-Tirmidzi nomor 3540. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Wahai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi itu pula.”

[9] Majmu’ah Al-Fatawa, 10: 149.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84465-tegar-di-atas-jalan-kebahagiaan-bag-3.html

3 Tanda Amal Diterima Sesudah Ramadhan

DI ANTARA doa yang sudah masyhur di kalangan umat Islam dan biasa diulang-ulang oleh khatib dalam mimbar Jum’at adalah:

اَللّٰهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

“Ya Allah, terimalah dari (amal-amal) kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui; dan terimalah tobat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat dan Maha Penyayang.” Doa ini menunjukkan bahwa setiap mukmin sejatinya ingin amalnya diterima. Terlebih yang telah diamalkannya selama bulan Ramadhan. Lalu, bagaimana cara mengetahui amal diterima?

Dalam bulan Ramadhan di antara keutamaan besar yang dijanjikan Allah di dalamnya adalah ketika seseorang berpuasa dan shalat malam karena iman dan mengharap ridha Allah, maka disediakan baginya ampunan untuk dosa-dosanya yang lalu. Sebagaimana hadits berikut: “Barangsiapa yang menunaikan shalat pada malam bulan Ramadlan (shalat tarawih) dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits lain diungkapkan, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah ta’ala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan barang siapa yang shalat pada malam lailatul qadar niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (dosa kecil).” (HR. Muslim) Maka, ampunan ini merupakan salah satu tanda diterimanya amal seseorang pada bulan Ramadhan.

Dengan ungkapan lain, Ramadhan bisa dikatakan sukses ketika keluar bulan Ramadhan, mukmin mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala. Maka tidak heran jika Nabi, suatu ketika bersabda, “dan celakalah seseorang, Bulan Ramadhan menemuinya kemudian keluar sebelum ia mendapatkan ampunan,” (HR. Tirmidzi)

Selanjutnya, tanda diterimanya amal seseorang sesudah bulan Ramadhan adalah keistiqamahan dalam beramal shalih. Berbagai amal yang sudah dilakukan di bulan suci, bisa dikerjakan secara kontinu pada bulan-bulan lainnya. Syekh Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab “Lathāifu al-Ma’ārif” (2004, I: 221) berkata:

فَإِنَّ اللهَ إِذَا تَقَبَّلَ عَمَلَ عَبْدٍ وَفَّقَهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ بَعْدَهُ

“Sesungguhnya, jika Allah menerima amal seorang hamba, (maka) dia diberi taufiq untuk (melakukan) amal shalih setelahnya.”

Sebagai contoh adalah puasa. Puasa sebulan penuh bulan Ramadhan berlanjut pada puasa-puasa sunnah yang dikerjakan setelah Ramadhan. Misalnya, puasa 6 hari pada bulan Syawal, Senin dan Kamis, Puasa Daud, Ayyāmul-Bīdh dan lain sebagainya. Intinya, amal puasa tetap dijalankan secara istiqamah di luar bulan Ramadhan.

Senada dengan makna ini, Ibnu Rajab juga mengutarakan perkataan salafush-shālih (ulama shalih terdahulu): “Pahala kebaikan adalah kebaikan (yang dikerjakan) setelahnya. Maka barangsiapa yang melakukan kebaikan kemudian diikuti dengan kebaikan, maka itu tanda bahwa kebaikan pertamanya diterima. Sebagaimana juga, orang yang telah mengamalkan kebaikan kemudian diikuti dengan keburukan (amal jelek) maka itu tanda bahwa kebaikan (pertamanya) ditolak.”

Begitu juga dengan membaca Al-Qur`an. Ibadah yang mulia ini bukan hanya dilakukan saat Ramadhan saja. Pada bulan-bulan berikutnya juga terus dibaca bahkan ditadabburi maknanya. Nabi pernah berpesan terhadap orang yang menanyakan amal yang paling dicintai oleh Allah:

«الحَالُّ المُرْتَحِلُ» . قَالَ: وَمَا الحَالُّ المُرْتَحِلُ؟ قَالَ: «الَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ القُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ»

“AL-HALLU dan AL MURTAHILU.” Dia bertanya: “Apakah yang dimaksud AL-HALLU dan AL MURTAHILU?” beliau menjawab: “Yaitu orang yang terus menerus menyambung (selalu mengkhatamkan) dari awal Al-Qur`an sampai akhir, seusai (menghatamkan Al Qur’an), dia memulainya lagi.” (HR. Tirmidzi) Artinya, setelah khatam terus membaca lagi dari awal hingga khatam lagi dan seterusnya. Ada kesinambungan amal dalam membacanya.

Apalagi jika amal shalih ini bisa kontinu hingga akhir hayat. Maka orang demikian disebut Nabi sebagai orang yang dikehendaki Allah mendapat kebaikan. Simak sabda beliau berikut ini:

«إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ» فَقِيلَ: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ المَوْتِ»

“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan menggunakannya.” Lalu ditanyakanlah pada beliau, “Bagaimanakah Allah menggunakannya wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Dia akan memberinya taufiq untuk beramal shalih sebelum dijemput kematian.” (HR. Tirmidzi)

Tanda lain yang bisa disebutkan dalam tulisan ini terkait diterimanya ibadah seseorang sesudah Ramadhan adalah rasa syukur kepada Allah yang tidak hanya terucap pada lisan, terpatri pada hati, bahka dimanifestasikan dalam perbuatan. Sebagai contoh di sini adalah shalat malam. Ibadah ini yang biasa disebut juga shalat Tarawih saat bulan Ramadhan, juga perlu dijaga kedawamannya di bulan lainnya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah.

Suatu ketika, A’isyah melihat Nabi shalat malam hingga kakinya bengkak. Maka istri tercintanya itu bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan ini padahal Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau bersabda: “Apakah aku tidak suka jika menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari) Perhatikan, bukan berarti ketika dosa-dosa yang telah lalu terampuni kemudian membuat diri berdiam saja tanpa melakukan ibadah. Justru Nabi malah giat shalat malam, hingga kakinya bengkak. Ketika ditanya alasannya, ternyata itu sebagai wujud rasa syukur beliau kepada Allah.

Ketika Wahab bin Al-Warad Rahimahullah ditanya tentang pahala dari suatu amal seperti thawaf dan semisalnya, maka respon beliau sangat menarik untuk diperhatikan. Katanya, “Janganlah kalian bertanya tentang pahalanya, tapi tanyakanlah apa yang dikerjakan oleh orang yang sudah diberi taufik untuk beramal, berupa rasa syukur karena telah diberi taufik dan pertolongan dalam melakukannya.” Ini berarti ada hal lebih penting setelah diberi taufik untuk beramal, yaitu rasa syukur kepada Allah yang dimanifestasikan dalam amalan-amalan shalih selanjutnya yang berkesinambungan.

Jadi, jika ingin tahu apa amal ibadah di bulan Ramadhan diterima oleh Allah, maka lihatlah 3 tanda ini: Pertama, mendapat ampunan Allah. Kedua, istiqamah beramal di bulan lainnya. Ketiga, melahirkan rasa syukur kepada Allah yang termanifestasi dalam amal shalih yang berkelanjutan. */Mahmud B Setiawan

HIDAYATULLAH

Doa Nabi Adam untuk Memohon Ampunan Allah

Nabi Adam Alahissalam dan istrinya ibu Hawa pernah berbuat dosa karena menuruti ajakan setan. Kemudian Nabi Adam memanjatkan doa sebagai penyesalan sekaligus untuk memohon ampunan Allah SWT.

Berikut ini adalah doa yang ducapkan Nabi Adam saat memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun.

رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ

Rabbanā ẓalamnā anfusanā wa illam tagfir lanā wa tarḥamnā lanakūnanna minal-khāsirīn(a).

Artinya, Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”

Doa yang dibaca Nabi Adam Alaihissalam tersebut terdapat dalam Alquran. Tepatnya pada Surah Al-A‘raf Ayat 23.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Al-A‘raf: 23).

Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, ayat ini menerangkan bahwa setelah Nabi Adam dan istrinya menyadari kesalahan yang diperbuatnya, yaitu menuruti ajakan setan dan meninggalkan perintah Allah, Nabi Adam segera bertobat, menyesali perbuatannya.

Kemudian Allah SWT mengajarkan kepada keduanya (Nabi Adam dan istrinya) doa untuk memohon ampun. Kemudian dengan segala kerendahan hati dan penuh khusyuk, mereka pun berdoa.

Keduanya (Nabi Adam dan istrinya) berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”

Berkat ucapan doa yang benar-benar keluar dari lubuk hatinya dengan penuh kesadaran disertai keikhlasan, maka Allah memperkenankan doanya, mengampuni dosanya dan melimpahkan rahmat kepadanya.

Firman Allah: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah: 37).

Dikutip dari Tafsir Kementerian Agama dan buku Kumpulan Doa Sehari-Hari yang dipublikasikan Subdit Publikasi Dakwah dan HBI pada Kementerian Agama, 2013.

IHRAM

Antara Peleburan Dosa di Dunia dan di Akhirat (Bag. 3)

Bismillah, wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Syarat-syarat tobat

Tobat adalah termasuk pelebur dosa yang terbesar. Tidak ada satu pun dosa yang sanggup berhadapan dengan tobat. Oleh karena itu, di bagian terahir dari serial tulisan ini, kami akan bawakan tujuh syarat agar tobat diterima oleh Allah Ta’ala:

Islam

Allah Ta’ala tidaklah menerima tobat jika pelakunya masih kafir. Karena kekafiran itu menggugurkan seluruh amal, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan seandainya mereka (para nabi) menyekutukan(-Nya), maka akan gugur dari mereka semua apa yang mereka lakukan.” (QS. Al-An’am: 88)

Demikian pula, dalam surah Ibrahim ayat 26 dengan tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa tidak diterima amal apapun jika disertai dengan kesyirikan (kekafiran) [1]. Sedangkan tobat itu sendiri adalah amalan saleh.

Ikhlas

Allah Ta’ala berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 146,

إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّه فَأُولَٰئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا

“Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka, mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.”

Menyesal

Berhenti dari dosa saat itu juga

Bertekad bulat untuk tidak mengulanginya

Dalil dari 3 syarat ini adalah firman Allah Ta’ala di surah Ali ‘Imran ayat 135 dan 136,

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan buruk yang mereka lakukan, sedangkan mereka mengetahui.”

أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.”

Syekh Bin Baz rahimahullah menjelaskan ayat di atas [2] bahwa maksud “tidak meneruskan perbuatan maksiat” adalah syarat sahnya tobat. Dan tidaklah bisa terlaksana hal ini, kecuali dengan meninggalkan maksiat dan berhenti darinya serta bertekad bulat tidak mengulanginya lagi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Menyesal adalah tobat.”  (HR. Ahmad, sahih)

Sebagian ulama menjelaskan bahwa tobat cukup terealisir dengan menyesal, karena menyesal berkonsekuensi seseorang berhenti dari dosa dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya. Keduanya tumbuh dari sikap menyesal. [3]

Sebelum sakaratul maut (sebelum roh sampai tenggorokan)

Firman Allah Ta’ala dalam surah An-Nisa’ ayat 18,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan keburukan (yang) hingga apabila datang sakaratul maut kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertobat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.”

Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الله عزَّ وجَلَّ يقْبَلُ توْبة العبْدِ مَا لَم يُغرْغرِ

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menerima tobat seorang hamba selama rohnya belum sampai ke tenggorokan.” (HR. At-Tirmidzi, hasan)

Maksudnya adalah apabila seseorang sudah merasakan sakitnya sakaratul maut karena proses pencabutan roh sudah sampai tenggorokan. Ketika itu, seseorang telah melihat malaikat maut dan telah yakin ia akan segera mati serta tak bisa kembali ke dunia lagi. Maka, tobat pada kondisi itu tidak diterima oleh Allah, karena yang dijadikan patokan adalah iman kepada perkara gaib. [4]

Sebelum matahari terbit dari tempat tenggelamnya (barat)

Firman Allah Ta’ala dalam surah Al-An’am ayat 158,

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya Kami pun menunggu (pula).’”

Maksud “datangnya ayat dari Tuhanmu” dalam firman Allah di atas adalah terbitnya matahari dari tempat tenggelamnya (barat), sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا ، تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari tempat tenggelamnya (barat), niscaya Allah akan terima tobatnya.” (HR. Muslim)

Salah satu saja dari ketujuh syarat ini tidak ada pada diri seseorang, maka tobatnya tidaklah diterima oleh Allah Ta’ala. Wallahu a’lam.

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84458-antara-peleburan-dosa-di-dunia-dan-di-akhirat-bag-3.html