Nasihat untuk Mereka yang Terjerumus dalam Judi Online

Dalam era modern ini, perjudian online telah menjadi salah satu bentuk hiburan yang sangat digemari oleh banyak orang. Namun, di balik daya tariknya, hal ini membawa dampak yang sangat merusak bagi individu dan masyarakat. Islam telah dengan tegas melarang praktik judi dalam berbagai bentuknya. Artikel ini bertujuan untuk memberikan nasihat kepada mereka yang terjerat dalam lingkaran kecanduan judi, serta mengingatkan kita semua akan bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkannya.

Harta merupakan fitnah

Harta merupakan fitnah, ujian dan cobaan, sedikit sekali yang selamat dari tanggung jawab dan konsekuensinya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 28)

Harta telah melimpah pada banyak orang di zaman ini, dalam jumlah yang besar hingga tidak bisa mereka kendalikan. Allah membantu mereka dalam tanggung jawab dan konsekuensinya.

Dalam hadis disebutkan,

لا تزالٌ قدم عبدي حتى يُسأل عن أربع … وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه.

Kaki seorang hamba tidak akan bergeser hingga ia ditanya tentang empat perkara: (di antaranya tentang) … hartanya, dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa ia membelanjakannya?” (HR. Tirmidzi no. 2417, hasan-shahih)

Maka, ia akan ditanya dua pertanyaan:

Pertama: Dari mana ia mendapatkannya? Apakah dari sumber yang halal dan transaksi yang baik, ataukah dari yang haram seperti riba, pencurian, penipuan, kecurangan, suap, judi, dan sejenisnya dari cara-cara yang haram? Ia akan ditanya tentang setiap dirhamnya. [1]

Kedua: Untuk apa ia membelanjakannya? Jika ia mendapatkannya dari yang halal, ia selamat dari masuknya harta haram padanya. Akan tetapi, masih ada pertanyaan dalam apa ia membelanjakannya? Jika ia membelanjakannya dalam ketaatan kepada Allah, dalam hal-hal yang diperbolehkan (mubah), atau dalam kebaikan, maka ia selamat dari akibat keluar dan pembelanjaan hartanya. Namun, jika ia gagal dalam salah satu dari dua hal ini, ia akan binasa. Bagaimana lagi jika ia gagal dalam keduanya, mendapatkan harta dari yang haram dan membelanjakannya dalam yang haram, masuk dan keluarnya menjadi dosa baginya. Banyak orang tidak memperhatikan hal ini. [2]

Judi termasuk dosa besar

Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, ketahuilah bahwasanya judi termasuk dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيهَا الَّذين آمنُوا إِنَّمَا الْخمر وَالْميسر والأنصاب والأزلام رِجْس من عمل الشَّيْطَان فَاجْتَنبُوهُ لَعَلَّكُمْ تفلحون إِنَّمَا يُرِيد الشَّيْطَان أَن يُوقع بَيْنكُم الْعَدَاوَة والبغضاء فِي الْخمر وَالْميسر ويصدكم عَن ذكر الله وَعَن الصَّلَاة فَهَل أَنْتُم مُنْتَهُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran minuman keras dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat, maka berhentilah kamu.” (QS. Al-Ma’idah: 90-91)

Adz-Dzahabi rahimahullah, setelah memberikan judul “Dosa Besar Kedua Puluh, yaitu Judi”, dan membawakan dalil ayat di atas, beliau mengatakan,

وَالْميسر هُوَ الْقمَار بِأَيّ نوع كَانَ نرد أَو شطرنج أَو فصوص أَو كعاب أَو جوز أَو بيض أَو حَصى أَو غَيره وَهُوَ من أكل أَمْوَال النَّاس بِالْبَاطِلِ الَّذِي نهى الله عَنهُ …

Dan maysir (perjudian) adalah segala bentuk perjudian, baik itu menggunakan dadu, catur, kerikil, biji-bijian, kacang, telur, atau batu, atau yang lainnya. Ini adalah termasuk dalam memakan harta orang lain dengan cara yang batil yang Allah larang.… [3]

Judi online adalah ‘perangkap’

Pembaca yang dirahmati Allah, ketahuilah bahwasanya judi online merupakan sesuatu yang buruk dan berbahaya, lagi berakibat kerugian, namun dihiasi-hiasi oleh setan. Setan menampakkan judi sebagai suatu keberuntungan, padahal Allah Ta’ala menyatakan bahwa keberuntungan dicapai dengan menjauhinya. Allah Ta’ala berfirman,

… فَاجْتَنبُوهُ لَعَلَّكُمْ تفلحون

Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah 90)

Menurut Isam Ghanem, seorang konsultan teknologi informasi dan transformasi digital, banyak situs judi merupakan perangkap yang sering menjebak pemuda yang ingin cepat kaya. Awalnya, mereka menawarkan keuntungan materi, hingga seseorang terbiasa dan akhirnya kecanduan. Namun, seiring waktu, keuntungan tersebut berubah menjadi kerugian besar. Permainan ini didasarkan pada iming-iming dan dorongan untuk bertaruh lebih besar pada setiap taruhan baru. Akhirnya, uang mereka hilang dan menjadi keuntungan bagi peserta baru.

Pendaftaran di permainan ini dilakukan melalui nomor telepon dan pengguna harus menyetor sejumlah uang ke dompet elektronik mereka untuk mendaftar, yang merangsang mereka untuk berpartisipasi lebih cepat. [4]

Perjudian menyebabkan hilangnya rezeki

Ketahuilah bahwasanya dosa memiliki efek buruk yang tercela dan merugikan hati serta tubuh, baik di dunia maupun di akhirat, yang hanya Allah yang mengetahuinya. Di antaranya adalah hilangnya rezeki. Disebutkan dalam sebuah hadis,

إنَّ العَبدَ ليُحرَمُ الرِّزقَ بالذَّنبِ يُصيبُه

Seorang hamba bisa kehilangan rezekinya karena dosa yang dilakukannya.” (HR. Ibnu Majah no. 4022) [5]

Sebagaimana takwa kepada Allah menarik rezeki, meninggalkan takwa menarik kemiskinan. Rezeki Allah tidak didapatkan dengan cara meninggalkan ketaatan. Maka, bagaimana bisa Anda mengharapkan rezeki dari-Nya, dengan cara berjudi yang merupakan kemaksiatan besar??

Perjudian menyebabkan keterasingan

Tidak ada seorang pun dari kita yang senang untuk diasingkan, bahkan ini merupakan bentuk ‘siksaan’. Maka, ketahuilah bahwasanya di antara dampak dari dosa (termasuk di antaranya adalah judi, yang merupakan salah satu dosa besar) adalah keterasingan antara pelaku dosa dengan Allah, dengan keluarganya, dan dengan orang-orang di sekitarnya.

Keterasingan dengan Allah

Dosa menyebabkan perasaan keterasingan antara pelaku dosa dengan Allah, yang tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan duniawi. Meski semua kenikmatan dunia terkumpul padanya, tidak akan mampu menghilangkan perasaan keterasingan tersebut.

Keterasingan dengan keluarga dan orang baik di sekitarnya

Dosa juga menyebabkan keterasingan antara pelaku dosa dengan keluarganya, dan dengan orang-orang di sekitarnya, terutama orang-orang baik. Pelaku dosa merasakan keterasingan yang semakin kuat hingga ia menjauhi mereka dan tidak dapat menikmati berkah dari bergaul dengan mereka. Ia akan semakin dekat dengan kelompok setan, sejauh mana ia menjauh dari kelompok Allah. Keterasingan ini bisa mencapai puncaknya sehingga terjadi antara dirinya dan istri, anak-anak, kerabat, bahkan dengan dirinya sendiri.

Waki’ meriwayatkan dari Zakariya dari ‘Amir yang berkata, Aisyah menulis kepada Muawiyah,

أما بعد : فإن العبد إذا عمل بمعصية الله عد حامده من الناس ذاما

Adapun setelah ini, sesungguhnya seorang hamba ketika melakukan dosa kepada Allah, maka orang-orang yang memujinya akan berbalik mencelanya.”

Abu Nu’aim meriwayatkan dari Salim bin Abi Al-Ja’d dari Abu Darda yang berkata, “Hendaklah seseorang berhati-hati agar tidak dilaknat oleh hati orang-orang beriman tanpa ia sadari.” Kemudian ia berkata, “Tahukah kamu, apa penyebabnya?” Saya menjawab, “Tidak.” Ia berkata,

إن العبد يخلو بمعاصي الله فيلقي الله بغضه في قلوب المؤمنين من حيث لا يشعر

Sesungguhnya seorang hamba melakukan dosa secara sembunyi-sembunyi, maka Allah tanamkan kebencian terhadapnya di hati orang-orang beriman tanpa ia sadari.‘” [6]

Segera bertobat sebelum masalah menumpuk

Mari segera bertobat, sebelum perkara menjadi rumit, dan masalah menjadi bertumpuk-tumpuk.

Ketahuilah bahwasanya Allah menerima tobat hamba-Nya. Allah berfirman,

وَهُوَ الَّذِى يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُواْ عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Asy-Syura: 25)

Dan ketahuilah bahwasanya dengan tobat, kita akan mendapatkan kesudahan yang penuh kebahagiaan dan kesenangan. Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata,

أنّ كلّ تائب لا بدّ له في أوّل توبته من عَصرة وضَغطة في قلبه، من همّ أو غمّ أو ضيق أو حزن، ولو لم يكن إلّا تألّم بفراق محبوبه، فينضغط لذلك وينعصر قلبه، ويضيق صدره؛ فأكثرُ الخلق رجعوا من التوبة ونُكِسوا على رؤوسهم لأجل هذه المحنة. والعارف الموفّق يعلم أنّ الفرحة والسرور واللذّة الحاصلة عقيبَ التوبة تكون على قدر هذه العصرة، فكلّما كانت أقوى وأشدّ كانت الفرحة واللذّة أكمل وأتمّ.

Bahwa setiap orang yang bertobat pasti mengalami suatu bentuk kesulitan dan tekanan di hatinya pada awal tobatnya, berupa: kegundahan, kesedihan, atau kesulitan. Bahkan, jika hanya berupa rasa sakit karena berpisah dengan sesuatu yang dicintai, sehingga hatinya tertekan dan dadanya sesak, sebagian besar orang kembali dari tobat dan terjerumus kembali karena ujian ini. Dan seorang yang berilmu yang beruntung mengetahui bahwa kebahagiaan, kesenangan, dan kenikmatan yang diperoleh setelah tobat akan sebanding dengan kesulitan tersebut. Semakin besar dan berat kesulitannya, semakin lengkap dan sempurna kebahagiaan dan kenikmatannya. [7]

Demikian, semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua.

***

Rumdin PPIA Sragen, 13 Muharram 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Sumber: https://muslim.or.id/96641-nasihat-untuk-yang-terjerumus-dalam-judi-online.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hukum Bersedekah Sebelum Membayar Utang

Artikel ini akan menjelaskan hukum bersedekah sebelum membayar utang. Belakangan ini marak kasus masyarakat terlilit pinjaman online. Akses yang mudah untuk melakukan transaksi tersebut, membuat tak sedikit orang memiliki utang. Menambah rumitnya permasalahan utang-piutang. 

Di sisi lain, dengan ragam motivasi seseorang ingin tampil paling religius di publik antara lain misal memberikan santunan atau sedekah. Pertanyaannya, bagaimana hukum bersedekah sebelum membayar hutang?

Hukum Bersedekah Sebelum Membayar Utang

Dalam kitab Fathur Rahman (hal: 464) Imam Syihabuddin al-Ramli menulis hukum haramnya bersedekah sebelum membayar utang.

وكذا يحرم عليه التصدق بما يحتاجه لدين لا يرجو له وفاء؛ لأن كلا منهما حق واجب فلا يترك لسنة، 

“Demikian pula haram bersedekah dengan harta yang dibutuhkan untuk membayar utang yang mana tidak ada harapan melunasi tanpa harta tersebut. Karena keduanya (nafkah dan utang) adalah hak kewajiban yang tak boleh dikorbankan demi kesunahan”.

Keterangan yang mirip juga bisa dijumpai dalam kitab Fathul Muin (hal: 258) karya Syekh Zainuddin al-Malibari sebagai berikut.

لا يسن التصدق بما يحتاجه بل يحرم بما يحتاج إليه… أو لوفاء دينه ولو مؤجلا وإن لم يطلب منه ما لم يغلب على ظنه حصوله من جهة أخرى ظاهرة لان الواجب لا يجوز تركه لسنة

“Tidak sunah bersedekah dengan harta yang dibutuhkan bahkan haram hukumnya bersedekah dengan harta yang dibutuhkan … untuk membayar utang meski utang yang akan datang, dan meski tidak ditagih. Selama tidak memiliki dugaan bahwa ia akan membayar utang dari harta lainnya yang jelas. Karena hal yang wajib tak boleh diabaikan demi hal yang sunah”.

Dari keterangan Syekh Zainuddin al-Malibari bisa dipahami bahwa keharaman bersedekah sebelum membayar hutang ketika orang yang bersedekah tersebut tidak sanggup bayar utang kecuali dengan harta yang disedekahkan. Artinya, uang yang disedekahkan itulah satu-satunya yang bisa melunasi hutang. Mafhumnya, tidak haram bersedekah ketika ada harta lain yang bisa menyauri utang. 

Dalam ungkapan Imam Syihabuddin al-Ramli menegaskan dalam kitab Fathu al-Rahman (hal: 464).

فإن رجا وفاءه من جهة أخرى واستند ذلك إلى سبب ظاهر .. فلا بأس بالتصدق،

“Maka bilamana berharap bisa melunasi utang dari harta lain (selain yang disedekahkan) dan ia bersandar pada sebab yang jelas maka tidak apa-apa bersedekah walaupun belum membayar utang”.

Haram Secara Mutlak Ketika Hutang Sudah Ditagih

Namun demikian, keharaman bersedekah sebelum membayar utang berlaku secara mutlak dalam arti baik bisa membayar utang dengan harta lainnya tatkala utang itu sudah jatuh tempo atau sudah ditagih. 

Syekh Khatib al-Syarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj juz 4 halaman 197 bertutur.

وَقَدْ وَجَبَ وَفَاءُ الدَّيْنِ عَلَى الْفَوْرِ بِمُطَالَبَةٍ أَوْ غَيْرِهَا، فَالْوَجْهُ وُجُوبُ الْمُبَادَرَةِ إلَى إيفَائِهِ وَتَحْرِيمُ الصَّدَقَةِ بِمَا يَتَوَجَّهُ إلَيْهِ دَفْعُهُ فِي دَيْنِهِ كَمَا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ

“Kadang wajib segera nyaur utang sebab ditagih atau lainnya maka wajib bersegera membayar utang dan haram bersedekah dengan harta yang bisa melunasi hutangnya sebagaimana perkataan Imam al-Adra’i”.

Sedangkan dalam Kitab Nihayah al-Muhtaj juz 6 halaman 175 Imam al-Ramli dengan lugas memvonis keharamannya secara mutlak sebagai berikut.

نَعَمْ إنْ وَجَبَ أَدَاؤُهُ فَوْرًا لِطَلَبِ صَاحِبِهِ لَهُ أَوْ لِعِصْيَانِهِ بِسَبَبِهِ مَعَ عَدَمِ رِضَا صَاحِبِهِ بِالتَّأْخِيرِ حَرُمَتْ الصَّدَقَةُ قَبْلَ وَفَائِهِ مُطْلَقًا: كَمَا تَحْرُمُ صَلَاةُ النَّفْلِ عَلَى مَنْ عَلَيْهِ فَرْضٌ فَوْرِيٌّ

Iya tetapi jika membayar utannya wajib segera lantara sudah ditagih atau bermaksiatnya seseorang sebabnya serta tak ada restu sari pemilik piutang untuk ditunda maka hukumnya haram secara mutlak bersedekah sebelum membayar utang tersebut sebagaimana haram shalat sunnah atas orang yang wajib shalat fardu dengan segera”.

Alasan Keharaman Bersedekah Sebelum Membayar Utang

Adapun alasan mengapa utang harus dibayar lebih dulu ketimbang bersedekah yang menyebabkan hukumnya menjadi haram. Yakni, membayar utang hukumnya wajib sementara bersedekah hukumnya sunnah. Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dijelaskan.

وَأَمَّا تَقْدِيمُ الدَّيْنِ فَلِأَنَّ أَدَاءَهُ وَاجِبٌ فَيَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَسْنُونِ،

“Adapun mendahulukan utang (ketimbang sedekah) yaitu karena membayar utang hukumnya wajib sehingga didahulukan dari pada (sedekah) yang sunnah”.

Hal ini – sebagaimana analogi Imam al-Ramli – sama dengan keharaman shalat sunnah atas orang yang wajib shalat fardhu dengan segera. Wallahu a’lam. 

BINCANG SYARIAH

Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima

Apa rahasia yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap pagi yang menjadi kunci keberkahan dan keberhasilan hidup? Sebuah doa yang penuh makna dan kekuatan, yang diajarkan langsung oleh beliau kepada kita untuk memulai hari dengan permohonan kepada Allah Ta’ala agar diberikan ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima. Doa yang mungkin belum banyak kita ketahui, tetapi memiliki kekuatan dahsyat dalam membentuk kehidupan sehari-hari kita menjadi lebih bermakna dan lebih berkah.

اللَّهُمَّ إنِّي أسألُكَ عِلمًا نافعًا، ورِزقًا طيِّبًا، وعَملًا مُتقَبَّلًا

“ALLAHUMMA INNI AS’ALUKA ‘ILMAN NAFI’AN WA RIZQAN THAYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQABBALAN.” (Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.”) [1]

Penjelasan makna doa

Doa ini mencakup tiga permohonan utama yang sangat penting bagi kehidupan seorang muslim, baik di dunia maupun di akhirat:

Pertama: Ilmu yang bermanfaat (عِلمًا نافعًا)

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memberikan manfaat tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Ilmu yang membawa kebaikan dunia dan akhirat, meningkatkan ketakwaan, dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan pentingnya ilmu yang bermanfaat dalam banyak kesempatan, salah satunya dalam doa ini. Ilmu yang bermanfaat juga mencakup pengetahuan agama yang diamalkan, seperti pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Ketahuilah bahwa ilmu yang bermanfaat juga akan terus memberikan pahala meskipun pemiliknya telah tiada, karena manfaatnya yang terus dirasakan oleh orang lain. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Allah Ta’ala juga berfirman,

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadalah: 11)

Maka, betapa pentingnya usaha dalam mencari ilmu karena Allah akan memberikan kemudahan bagi mereka yang berusaha menuntut ilmu. Sebagaimana sabda  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)

Kedua: Rezeki yang baik (رِزقًا طيِّبًا)

Rezeki yang baik adalah rezeki yang halal, bersih, dan penuh berkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk mencari rezeki dari sumber yang halal dan baik. Rezeki yang baik tidak hanya mencakup kekayaan materi, tetapi juga mencakup kesehatan, kebahagiaan, dan ketenangan hati.

Untuk memahami lebih dalam mengenai konsep rezeki yang baik, mari kita renungi beberapa dalil yang menjelaskan betapa pentingnya memperoleh rezeki dari sumber yang halal dan bersih.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُوا۟ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعْمَلُوا۟ صَٰلِحًا ۖ إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51)

Lebih lanjut, dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ

Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Mahabaik (thayyib), tidak menerima, kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul.” (HR. Muslim no. 1015)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menekankan pentingnya mencari rezeki yang halal melalui usaha sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud ‘alaihis salam dahulu bekerja pula dengan hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072)

Ketiga: Amal yang diterima (عَملًا مُتقَبَّلًا)

Amal yang diterima adalah amal ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai dengan tuntunan syariat. Amal yang diterima adalah amal yang memiliki niat yang benar dan dilakukan sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa amal yang diterima harus memenuhi dua syarat, yaitu: ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syariat.

Niat adalah faktor kunci dalam menentukan apakah suatu amal diterima oleh Allah atau tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Selain niat, ikhlas dalam beramal ditunjukkan dengan tekad dan azam yang kuat bahwa semua amalan kita dilakukan semata-mata untuk mencari rida Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah,

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS: Al-Bayyinah: 11)

Setelah memaksimalkan niat dan keikhlasan, hal yang tidak kalah pentingnya juga adalah ittiba’, yaitu mengikuti petunjuk dan tata cara ibadah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena amal yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah tidak akan diterima. Sebagaimana sabdanya,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Doa sebagai kunci kehidupan

Doa ini merupakan kunci kehidupan yang penuh makna bagi setiap muslim. Dengan memohon ilmu yang bermanfaat, kita tidak hanya mengejar pengetahuan duniawi, tetapi juga hikmah ilahi yang mendekatkan kita kepada-Nya. Ilmu yang bermanfaat adalah pencerah hati yang mengarahkan kita pada jalan yang benar, membimbing langkah kita dalam kegelapan, dan menuntun kita menuju surga. Betapa besar pahala yang menanti bagi mereka yang mengamalkan ilmu ini, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas bahwa ilmu yang bermanfaat akan terus mengalirkan pahala, meskipun pemiliknya telah tiada.

Lebih dari itu, rezeki yang baik adalah rezeki yang tidak hanya mengisi perut, tetapi juga menenangkan hati. Rezeki yang halal dan thayyib membawa keberkahan dalam setiap detik kehidupan kita, memberikan kesehatan, kebahagiaan, dan ketenangan jiwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan betapa pentingnya mencari rezeki dari sumber yang halal dan bersih, menjadikan setiap butir makanan yang kita konsumsi sebagai jalan menuju rida Allah. Mudah-mudahan dengan rezeki yang baik, kita dimudahkan untuk melakukan amalan-amalan saleh yang diterima oleh-Nya, memenuhi perintah-Nya dalam setiap langkah kehidupan kita.

Terakhir, amal yang diterima adalah amal yang dipersembahkan dengan niat tulus dan ikhlas karena Allah semata. Hanya dengan niat yang benar dan mengikuti syariat, amal kita akan diterima dan diberkahi. Setiap amal yang kita lakukan, sekecil apa pun, jika dilandasi dengan keikhlasan dan kesesuaian dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menjadi investasi abadi di akhirat. Marilah kita mengamalkan doa ini dalam setiap harapan kita, dan biarkan maknanya yang dalam meresap ke dalam hati kita, memberikan kekuatan dan keberkahan dalam setiap aspek kehidupan kita. Amin. Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/96500-doa-memohon-ilmu-rezeki-dan-amal-yang-diterima.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Konflik Tokoh Al-Irsyad dengan Kalangan Ba’alawi Tahun 1936

oleh: Mahmud Budi Setiawan

Konflik antara kalangan Ba’alawi dengan tokoh-tokoh Islam modernis pada masa sebelum kemerdekaan sudah biasa terjadi. Hanya saja, konflik waktu itu bukan pada penggugatan pada nasab tapi lebih ke tingkah laku yang tak sesuai dengan nilai Islam yang mengajarkan di antaranya nilai kesetaraan.

Di antara konflik-konflik yang terekam dalam lembaran sejarah adalah yang diberitakan oleh majalah terbitan Persis: Al-Lisaan. Pada edisi nomor 8 (25 Juli 1936 M/6 Jumadil Awwal 1355 H), dimuat suatu tajuk “Fitnah Al-Irsjad dan Baa ‘Alawi”.

Melalui berita ini, didapatkan informasi bahwa pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 1355 H, di Betawi diterbitkan kitab kecil berjudul “Titel Kemoeliaan Dalam Islam” yang dianggit oleh Soelaiman Nadji dan diterbitkan oleh An-Naadil-Islaami”.


Sebagai informasi, berdasarkan buku “Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa” (1996) karya H. Hussein Badjerei, disebutkan bahwa Sulaiman Naji nama lengkapnya Umar bin Sulaiman Naji merupakan anak didik Syekh Syurkati. Beliau termasuk murid yang lulus angkatan pertama.

Beliau pernah memimpin Madrasah Al-Irsyad di Pekalongan; Redaktur Surat Kabar Asy-Syifa Pekalongan; Penasihat HB. Al-Irsyad tahun 1938; Wakil Ketua HB. Al-Irsyad ke-26 (1941). Intinya, beliau ini termasuk tokoh penting dalam Al-Irsyad yang didirikan Syekh Syurkati.

Kembali ke berita majalah Al-Lisaan. Menanggapi tulisan Soelaiman Nadji (Sulaiman Naji), kalangan Ba’alawi di Pekalongan menulis selebaran pada bulan Juni 1936 berjudul “Oemar Membikin Onar”. Dari judulnya saja, sudah menggambarkan bantahan pedas terkait karya Sulaiman Naji yang berjudul “Titel Kemoeliaan Dalam Islam”.

Majalah Al-Lisaan menggambarkan betapa kasar diksi yang dipakai dalam selebaran itu. Sampai ada kata-kata “Onar Soelaiman Nadjis” sebagai padanan dari nama lengkap tokoh Al-Irsyad itu yaitu Umar bin Sulaiman Naji. Selebaran itu diterbitkan kalangan Ba’alawi Pekalongan dengan nama “Pemadam Fitnah”.

Menariknya, dengan berusaha seobyektif mungkin, redaksi majalah Al-Lisaan menganalisis dua karya yang lahir dari dua pihak yang berseberangan ini.

Di antara pertanyaan kritis yang diajukan:
Pertama, apa sebab tuan Soelaiman Nadji karang kitab itu?
Kedua, Apa sebab komite Pemadam Fitnah memadamkan fitnah dengan api?

Dilihat dari sejarah berdirinya Al-Irsyad hingga lahir karya Sulaiman Naji itu, dijelaskan bahwa yang menyebabkan Tuan Sulaiman Naji mengarang kitab kecil itu karena kaum Ba’alawi memakai titel sayid yang dengan sebab itu banyak menimbulkan fakta-fakta yang tidak mengenakkan di lapangan.

Fakta-fakta itu misalnya: kalangan Ba’alawi merasa lebih mulia dari semua manusia, walau orang lain lebih bertakwa, dan mereka Ba’alawi lebih mulia walau ahli maksiat.

Selain itu ada fenomena mencium tangan sayid, dan itu dilakukan oleh orang sudah tua yang bukan sayid kepada anak kecil yang sayid.

Di samping itu ada fakta lain bahwa kalangan Ba’alawi bisa menikah dengan siapa saja yang disukainya, sementara non Ba’alawi tidak boleh menikah dengan perempuan dari Ba’alawi.

Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh di lapangan yang menurut penjelasan majalah Al-Lisaan, “Jang timboel dan djadi lantaran bermegah2 dengan bangsa dan pangkat bikinan sendiri itoe.”

Lebih lanjut dijelaskan, “Toean Oemar Nadji memboeat kitab itoe, ialah soepaja orang ramai taoe dan sedar, bahwa titel warisan itoe semoea omong kosong. Manoesia tidak ada beda antara satoe dengan lain, melainkan dengan taqwaa.

Jika ide dan pemikiran Tuan Sulaiman Naji tersiar di kalangan masyarakat, maka itu akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit pada kalangan Ba’alawi yang sudah dihormati sedemikian rupa oleh masyarakat.

Dalam konteks inilah lahir selebaran buku dari Komite Pemadam Fitnah dari kalangan Ba’alawi Pekalongan untuk mencegah supaya mereka tidak mengalami kerugian.

**
Tuan A. Hassan dengan menggunakan inisial M.S. pada berita Al-Lisaan ini, memberikan catatan menarik.

Kata beliau, “Pada pandangan saja, bahwa kaoem Baa ‘Alawi bermegah2 diri dengan titel dan toeroenan itoe, satoe fitnah jang besar dalam Islam.”

Lebih lanjut beliau menerangkan, “Kitab jang di-terbitkan oleh An-Naadil-Islaami itoe, maoe menghilangkan itoe fitnah. Djadi boleh kita nama-kan kitab itoe Pemadam fitnah.”

Sedangkan untuk selebaran yang diitulis Komite Pemadam Fitnah dari kalangan Ba’alawi Pekalongan, Tuan A. Hassan berkomentar, “Selebaran dari Pekalongan itoe, njata hendak menghalangi orang jang memadamkan fitnah. Boleh dinamakan ‘Selebaran Fitnah’.”

Selain itu, A. Hassan menandaskan, “Tiap-tiap orang Islam perloe batja kitab ketjil jang harga sepoeloeh cent itoe, soepaja taoe sendiri siapa jang membikin fitnah dan siapa jang memadamkannja.” (SELESAI NUKILAN)

Dari nukilan berita majalah Al-Lisaan tahun 1936 ini, ada beberapa poin menarik yang bisa disimpulkan:

  1. Pada waktu itu, ketika ada konflik antar umat Islam, semangat literasi dan spirit ilmiah itu yang dihidupkan. Karya dibalas dengan karya; buku dilawan dengan buku bahkan bila perlu diadakan perdebatan ilmiah. Bukan main hakim sendiri dengan melakukan persekusi.
  2. Secara umum, memang yang menimbulkan konflik kala itu adalah bukan terutama menyinggung nasab Ba’alawinya tapi perilaku yang menyalahi syariat yang diagung-agungkan. Superioritas nasab yang diunggulkan walau menjadi pelaku maksiat tetap merasa lebih utama, sebagai contoh yang sering digaungkan.
  3. Meski karya dibalas dengan karya, terlihat betapa kasarnya diksi yang dipakai oleh Komite Pembela Fitnah terhadap Sulaiman Naji. Umar diganti Onar dan Nadji (Naji) diganti Najis.
  4. Meski secara khusus nasab Ba’alawi tidak menjadi pembahasan utama kala itu, tapi dari beberapa diksi majalah Al-Lisaan dalam berita tersebut mengisyaratkan ketidakpercayaan pada nasab Ba’alawi yang tersambung ke Nabi Muhammad. Sebagai contoh ungkapan, “Toean Oemar Nadji memboeat kitab itoe, ialah soepaja orang ramai taoe dan sedar, bahwa titel warisan itoe semoea omong kosong. Manoesia tidak ada beda antara satoe dengan lain, melainkan dengan taqwaa.” Titel warisan sayid itu disebut omong kosong.

    Bahkan lebih tegas A. Hassan menyatakan, “Pada pandangan saja, bahwa kaoem Baa ‘Alawi bermegah2 diri dengan titel dan toeroenan itoe, satoe fitnah jang besar dalam Islam.” Jadi gelar itu justru disebut gitnah yang besar, yang menunjukkan ada ‘indikasi’ ketidakpercayaan pada nasab mereka. Meski demikian, beliau tetap obyektif agar para pembaca tetap kritis dan bisa membaca langsung dari masing-masing karya itu, sehingga bisa mengambil keputusan mana yang benar dan salah dalam hal ini.
  5. Dengan membaca sejarah-sejarah seperti ini, seharusnya umat bisa menjadi lebih dewasa dalam menghadapi konflik. Konflik seperti ini jangan sampai memecah belah umat, justru memperkaya kajian ilmiah dan menghidupkan budaya literasi dalam tubuh umat Islam sebagaimana pada masa itu. Dengan adanya konflik seperti ini, masing-masing pihak bisa menjadikannya sebagai bahan instrospeksi diri.*

HIDAYATULLAH

Jaga Kemabruran Haji

Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Debarkasi Medan meminta kepada jamaah haji asal Sumatra Utara (Sumut) untuk menjaga kemabruran haji setelah kembali ke daerah masing-masing.

“Bapak dan ibu yang telah melaksanakan rangkaian ibadah haji, kami minta menjaga kemabruran haji di daerah,” ujar Sekretaris PPIH Debarkasi Medan Zulfan Efendi ketika menyambut jamaah haji Kloter 20, di Asrama Haji Medan, Selasa.

Sebab, lanjut dia, perjuangan cukup panjang dari Tanah Air sampai ke Tanah Suci, lalu melaksanakan rangkaian ibadah baik di Madinah dan Makkah hanya ingin memperoleh haji mabrur dan mabrurah.

Pihaknya mengharapkan para jamaah haji asal Sumatera Utara menjaga kemabruran haji tersebut antara lain dengan senantiasa menjadi pribadi yang baik.

“Menjadi teladan dan menciptakan suasana aman dan tentram di keluarga maupun masyarakat menuju bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur,” tutur dia.

Zulfan yang juga menjabat Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kanwil Kemenag Sumatera Utara mengatakan salah satu ciri-ciri haji mabrur dan mabrurah yakni meningkatnya amal ibadah setelah berada kembali ke Tanah Air.

“Selain itu meningkatnya amal ibadah setelah melaksanakan ibadah haji serta meningkatnya kepedulian sosial dengan membantu orang lain, dan menjadi sosok yang selalu dirindukan di masyarakat,” kata Zulfan.

Data PPIH Debarkasi Medan menyebutkan 358 peserta haji Kloter 20 menggunakan pesawat Garuda Indonesia tiba di Bandara Internasional Kualanamu Deli Serdang, Selasa (16/7/2024) pukul 12.03 WIB.

Kloter 20 Debarkasi Medan ini terdiri atas tiga kabupaten/kota di Sumatera Utara yakni Padangsidempuan 345 orang, Serdang Bedagai empat orang, Deli Serdang dua orang, dan petugas haji tujuh orang.

Tercatat dua haji wafat di Tanah Suci atas nama Sahaya Sihombing binti Jasinggolan Sihombing (69) dari Kota Padangsidimpuan saat di Jamarat Mina pada 16 Juni 2024. Kedua,  atas nama Syahrial Abdul Razak bin Abdul Razak (58) dari Kota Padangsidimpuan wafat di Rumah Sakit Arab Saudi Makkah pada 20 Juni 2024

Data PPIH Debarkasi Medan menyatakan sebanyak 7.138 jamaah haji asal Sumatera Utara atau 82,07 persen telah kembali ke Asrama Haji Medan dan langsung dipulangkan ke kampung halaman.

“Kami mohon maaf, jika ada pelayanan kami yang kurang berkenan, baik saat pemberangkatan dan pemulangan jemaah haji tahun ini,” ucap Zulfan.

IHRAM

Kisah Thalhah bin Ubaidillah (Bag. 2): Sifat Mulia dan Syahidnya Beliau

Sifat mulia Thalhah

Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan sahabat mulia yang telah dikabarkan akan syahidnya. Ia juga merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Thalhah juga merupakan sahabat yang membersamai dan melindungi Rasulullah di perang Uhud ketika kaum musyrikin membalikkan keadaan dan mengepung kaum muslimin.

Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu merupakan seorang sahabat dengan adab yang mulia terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adab Thalhah yang mulia tersebut sangat tampak ketika perang Uhud terjadi. Syekh Mahmud Al-Mishri dalam kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ’alaihi wasallam berkata,

يظهر ذلك جليًا أثناء انسحاب رسول الله ﷺ أحد ؛ قال ابن إسحاق : نهض رسول الله إلى الصخرة من الجبل ليعلوها ، وكان قد بدن وظاهر بين درعين، فلما ذهب لينهض لم يستطع، فجلس تحته طلحة بن عبيد الله حتى استوى عليها لقد أصاب العرج إحدى رجلى طلحة رضى الله عنه أثناء دفاعه عن النبي ﷺولما حمل طلحة النبي ﷺ

كلف استقامة المشى أدباً مع رسول الله ﷺ ، لئلا يشق على النبي ﷺ

فاستوت رجله العرجاء لهذا التكلُّف، فشفى من العرج

Hal tersebut (adab Thalhah) tampak dengan jelas ketika Rasulullah mundur dari peperangan Uhud. Ibnu Ishaq berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit menuju batu besar di bukit untuk menaikinya. Ketika itu, tubuh beliau sudah melemah dan mengenakan dua lapis baju besi. Ketika berusaha menaikinya, beliau tidak mampu. Maka, duduklah Thalhah bin Ubaidillah di bawahnya hingga beliau bisa menaiki bukit tersebut. Ketika itu, salah satu kaki Thalhah radhiyallahu ’anhu terluka ketika melindungi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Ketika Thalhah membawa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, ia paksakan untuk berjalan dengan normal sebagai adab terhadap Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam, agar tidak memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Thalhah paksakan untuk berjalan normal ketika kakinya sakit, maka kakinya malah sembuh dari rasa sakit.’

Selain merupakan seorang sahabat yang merupakan pejuang yang gigih di medan perang dan selalu berusaha mencari syahid di setiap peperangan, Thalhah juga memiliki sifat-sifat mulia lainnya yang patut diteladani. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah satu sahabat yang terkenal dermawan dan selalu menginfakkan hartanya. Thalhah merupakan seorang yang hatinya tidak tenang ketika di tangannya ada harta yang banyak hingga ia menyedekahkan sebagian besar dari hartanya.

Syekh Mahmud Al-Mishri menyebutkan beberapa kisah kedermawanan Thalhah di kitab Ashabu Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wasalam,

عن موسى عن أبيه) طلحة (أنه أتاه مال من حضرموت سبع مئة ألف، فبات ليلته يتململ فقالت له زوجته :ما لك؟ قال تفكرت منذ الليلة، فقلت: ما ظن رجل بربه يبيت وهذا المال في بيته؟ قالت: فأين أنت عن بعض أخلائك فإذا أصبحت، فادع بجفان وقصاع فقسمه فقال لها : رحمك الله إنك موفقة بنت موفق، وهي أم كلثوم بنت الصديق، فلما أصبح، دعا بجفان، فقسمها بين المهاجرين والأنصار، فبعث إلى على منها بجفنة، فقالت له زوجته :أبا محمد ! أما كان لنا في هذا المال من نصيب؟ قال: فأين كنت منذ اليوم؟ فشأنك بما بقى قالت: فكانت صرة فيها نحو ألف درهم

“Dari Musa, dari ayahnya (Thalhah) bahwasanya ia telah membawa harta dari Hadramaut sebanyak tujuh ratus ribu (dirham). Ketika malam hari, ia gelisah tidak bisa tidur, maka istrinya berkata padanya, ‘Ada apa denganmu?’ Thalhah berkata, ‘Aku terpikirkan suatu hal sejak malam.’ Aku (Thalhah) berkata, ‘Apa dugaan seorang hamba terhadap Rabbnya, ia bermalam sementara harta ini ada di rumahnya?’ Maka, istrinya berkata, ‘Apakah engkau lupa pada sahabat-sahabatmu? Ketika pagi tiba, mintalah nampan dan mangkuk besar dan bagikanlah.’ Maka, Thalhah berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya kamu adalah orang yang diberi taufik, anak perempuan dari orang yang diberi taufik.’ Dia adalah Ummu Kultsum binti As-Shiddiq. Tatkala pagi tiba, ia meminta nampan-nampan dan membagikan harta tersebut kepada para Muhajirin dan Anshar. Ia mengirimkan satu nampan untuk Ali (bin Abi Thalib). Istrinya berkata pada Thalhah, ‘Abu Muhammad! Apakah kita dapat bagian dari harta ini?’ Thalhah berkata, ‘Ke mana saja engkau hari ini? Bagianmu apa yang tersisa.’ Ia berkata, ‘Yang tersisa adalah sebuah kantong yang isinya seribu dirham.’”

Beliau juga menyebutkan kisah lain tentang kedermawan Thalhah,

وعن سعدى بنت عوف المرية قالت: دخلت على طلحة يوما وهو خاثر فقلت: ما لك؟ لعل رابك من أهلك شيء؟ قال: لا والله ونعم خليلة المسلم أنت، ولكن مال عندى قد غمنى. فقلت: ما يَغُمك ؟ عليك بقومك، قال: يا غلام !ادع لی قومی فقسمه فيهم فسألت الخازن كم أعطى؟ قال: أربع مئة ألف

“Dari Su’da binti Auf Al-Muriyyah, ia berkata, ‘Suatu hari aku menemui Thalhah dan ia dalam keadaan tidak bersemangat.’ Maka, aku berkata, ‘Ada apa denganmu? Barangkali ada sesuatu dari keluargamu yang membuatmu bimbang?’ Thalhah berkata, ‘Demi Allah tidak ada, sebaik-baiknya teman seorang muslim adalah kamu, akan tetapi harta yang ada padaku yang membuatku gelisah.’ Aku bertanya, ‘Untuk apa kamu gelisah? Bagikan saja pada kaummu.’ Thalhah berkata, ‘Wahai pelayan! Panggilkan kaumku.’ Lalu, ia membagikan harta tersebut pada mereka. Maka, aku bertanya pada pelayan, ‘Berapa yang diberikan?’ Ia berkata, ‘Empat ratus ribu.’ “

Kisah kedermawanan Thalhah lainnya yang Syekh sebutkan adalah,

وعن الحسن البصرى أن طلحة بن عبيد الله باع أرضاً له بسبع مئة ألف. فبات أرقا من مخافة ذلك المال، حتى أصبح ففرقه

Dari Hasan Al-Bashri bahwasanya Thalhah bin Ubaidilah menjual tanah miliknya seharga tujuh ratus ribu. Maka, ia tidak bisa tidur karena harta tersebut, hingga pada pagi hari ia membagikannya.

Itulah beberapa sifat mulia yang dimiliki Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu yang sepatutnya untuk ditiru oleh kaum muslimin.

Syahidnya Thalhah

Setelah Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu terbunuh, kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok Aisyah radhiyallahu ’anha yang menuntut terhadap darah Utsman dan kelompok Ali bin Abi Thalib yang memilih untuk menunda tuntutan tersebut karena keadaan yang belum stabil dan banyaknya jumlah pembunuh Utsman.

Ketika dua kelompok tersebut bertemu untuk berunding, para pemberontak yang membunuh Utsman melakukan makar karena mereka merasa tidak aman. Hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman di antara dua kelompok tersebut sehingga terjadilah perang Jamal.

Ketika perang tersebut terjadi, Thalhah dan Zubair bin Awwam radhiyallahu ’anhuma memutuskan untuk tidak ikut perang tersebut karena melihat Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu berada di barisan Ali bin Abi Thalib. Keduanya teringat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ammar radhiyallahu ’anhu.

تقتلك الفئة الباغية

“Engkau akan terbunuh oleh kelompok pemberontak.” (HR. Muslim)

Akan tetapi, ketika Thalhah dan Zubair mundur dari peperangan keduanya terbunuh. Zubair terbunuh oleh Amr bin Jurmuz yang membunuh Zubair dengan cara yang licik ketika Zubair bin Awwam mundur dari peperangan. Adapun Thalhah, ia terkena panah oleh Marwan bin Hakam. Thalhah terkena panah pada lututnya dan lukanya terus mengalirkan darah hingga Thalhah bin Ubaidillah pun syahid ketika itu.

Gugurnya Thalhah bin Ubaidillah pada insiden ini membuat Ali bin Abi Thalib dan Aisyah radhiyallahu ’anhuma menyesal atas kejadian tersebut. Dari Thalhah bin Mutharif,

أن عليا انتهى إلى طلحة وقد مات، فنزل عن دابته وأجلسه ومسح الغبار عن وجهه ولحيته، وهو يترحم عليه، وقال:ليتني مت قبل هذا بعشرين سنة

“Ali mendekati Thalhah dan ia telah meninggal. Ia pun turun dari tunggangannya, lalu mendudukkan Thalhah, lalu mengusap debu dari wajah dan janggutnya. Ali pun mendoakan rahmat untuknya. Ali berkata, “Seandainya aku mati dua puluh tahun sebelumnya.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dan sanadnya hasan)

Dengan ini, berakhirlah kisah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ’anhu, seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia.

[Selesai]

***

Penulis: Firdian Ikhwansyah

Sumber: https://muslim.or.id/96517-kisah-thalhah-bin-ubaidillah-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Kisah Thalhah bin Ubaidillah (Bag. 1): Awal Kehidupan dan Kisah Thalhah di Perang Uhud

Ini adalah kisah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, seorang syahid yang meletakan kakinya di muka bumi dalam keadaan ia telah mengetahui bahwasanya ia adalah penghuni surga. Dialah Thalhah bin Ubaidillah Al-Qurasyi At-Taimi Abu Muhammad radhiyallahu ’anhu.

Ia merupakan salah satu sahabat dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَبُو بَكْرٍ فِى الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِىٌّ فِى الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِى الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِى الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِى الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِى الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِى الْجَنَّةِ

وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِى الْجَنَّةِ

Abu Bakar di surga. Umar di surga. Utsman di surga, Ali di surga. Thalhah di surga. Zubair di surga. ‘Abdurrahman bin ‘Auf di surga. Sa’ad di surga. Said di surga. Abu Ubaidah bin Jarrah di surga.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Thalhah juga merupakan salah satu dari delapan sahabat yang pertama masuk Islam. Thalhah juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang masuk Islam dengan perantara Abu Bakar As-Shidiq. Ia juga merupakan salah satu dari enam sahabat yang menjadi Ashabu Syura yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Singkatnya, beliau adalah salah satu sahabat Rasulullah yang mulia dan memiliki banyak keutamaan.

Masa Kecil dan Awal Thalhah Masuk Islam

Thalhah bin Ubaidilah lahir di Makkah. Ia merupakan keturunan dari keluarga yang terkemuka di Makkah. Ayahnya adalah Ubaidillah. Ia adalah termasuk pemuka Makkah dan orang yang terhormat di Makkah. Ibunya adalah Sha’bah binti Abdullah. Kakeknya adalah Wahab bin Abdullah yang merupakan orang dermawan dan murah hati.

Thalhah tumbuh dan dididik di bawah pengasuhan kedua orang tuanya. Ia dididik dan belajar dari kedua orang tuanya berbagai akhlak mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Ia menghabiskan masa kecilnya di Makkah. Thalhah juga pandai memanah dan pandai menggunakan tombak. Ia juga sangat mengenali berbagai penjuru kota Makkah, mulai dari pegunungan dan perbukitannya.

Setelah tumbuh dewasa, ia menikahi Hamnah binti Jahsy, saudarinya Zainab binti Jahsy yang merupakan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seiring dengan tumbuh menjadi dewasa, Thalhah merasa kota tempat ia tumbuh menjadi terasa sempit dan memutuskan menjadi seorang pedagang, hingga ia pun mengenal daerah Syam dan Basra. Thalhah pun dikenal sebagai pedagang yang jujur dan murah hati.

Ketika Thalhah mendengar kabar tentang diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rasul dan Abu Bakar beriman kepada Rasulullah, tanpa ragu Thalhah pun langsung meyakini bahwa apa yang disampaikan oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kebenaran. Bagaimana tidak? Rasulullah merupakan seorang yang amanah yang tidak mungkin berdusta, lalu Abu Bakar juga merupakan orang yang amanah juga. Bagaimana mungkin dua orang yang mulia ini bersatu dalam kemungkaran? Sehingga Thalhah pun tanpa ragu bersyahadat dan masuk Islam.

Kabar Syahidnya Thalhah

Di antara keutamaan Thalhah adalah telah dikabarkan sebagai seorang syahid sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di bukit Hira, lalu berguncang, lalu beliau bersabda,

اسكن حراء! فما عليك إلا نبى أو صديق أو شهيد، وعليه النبي ﷺ وأبو بكر وعمر وعثمان وعلى وطلحة والزبير وسعد بن أبي وقاص رضى الله عنهم

Diamlah Hira! Sesungguhnya di atasmu ada seorang Nabi, ada shidiq, dan syahid.” Dan di atasnya ada Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqash radiyallahu‘anhum.” (HR. Muslim)

Sejak mendengar kabar syahid tersebut, Thalhah pun terus mencari syahidnya di setiap pertempuran. Ia mengikuti semua pertempuran bersama Rasulullah, kecuali pertempuran Badr. Ketika itu, ia sedang melakukan misi pengintaian terhadap Kafilah dagang Quraisy sehingga terlewatlah kesempatan Thalhah untuk mengejar syahidnya di perang Badr.

Perang Uhud

Ketika perang Uhud, Thalhah seperti biasanya berusaha mencari syahid di perang Uhud. Sebagaimana perang sebelumnya, muslimin yang kalah jumlah dari prajurit kaum musyrikin bisa memukul mundur pasukan musyrikin dan bisa memenangkan perang tersebut. Akan tetapi, kali ini pasukan kaum muslimin melakukan kesalahan yang menyebabkan kalahnya kaum muslimin di perang Uhud.

Pasukan pemanah yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk mempertahankan posisi di bukit meninggalkan posisinya. Mereka tergoda dengan ghanimah kaum musyrikin yang berkilauan sehingga meninggalkan posisinya. Hingga tinggal tersisa sepuluh orang saja yang berjaga di atas bukit. Melihat kesempatan ini, Khalid bin Walid (yang ketika itu belum masuk Islam) melihat kesempatan untuk menyerang dan membalikkan keadaan.

Imbas dari serangan balik dari Khalid ini adalah pasukan musyrikin yang sudah kalah melakukan serangan balik dan membalikan keadaan. Banyak dari pasukan kaum muslimin yang syahid ketika itu. Rasulullah pun terkepung oleh pasukan musyrikin. Kaum muslimin terkepung dan kaum musyrikin mengepung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga tersisa beberapa orang saja yang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أن رسول الله ﷺ أفرد يوم أحد في سبعة من الأنصار ورجلين

من قريش فلما رهقوه؛ قال: من يردّهم عنا وله الجنة؟» أو «هو رفيقي في

الجنة فتقدم رجل من الأنصار فقاتل حتى قتل، ثم رهقوه أيضا فلم يزل كذلك

حتى قتل السبعة، فقال رسول الله ﷺ لصاحبيه – أي القرشيين -: «ما أنصفنا

أصحابنا

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang Quraisy. Ketika mereka (pasukan musyrikin) menyerang Rasulullah, ia berkata, ‘Barangsiapa yang menghadapi mereka, maka baginya surga.’ atau ‘Ia bersamaku di surga.’ Maka, majulah salah seorang dari kalangan Anshar dan berperang hingga terbunuh, lalu mereka kembali menyerang. Hal tersebut berlangsung hingga terbunuhlah tujuh orang (Anshar). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepada dua sahabatnya, yaitu dua orang Quraisy, “Kita tidak berbuat Adil pada sahabat-sahabat kita.”

Dua orang sahabat yang tersisa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash.

Pada pertempuran tersebut, Thalhah berjuang untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga ia mendapatkan banyak luka di seluruh tubuhnya. Thalhah menerima sekitar tiga puluh hingga tiga puluh lima luka di seluruh badannya. Kepalanya terluka, urat nadinya terpotong, dan jari telunjuk dan jari tengahnya lumpuh.

Walaupun Thalhah dalam keadaan terluka hingga tidak sadarkan diri, ia tetap melindungi Rasulullah. Setiap kali pasukan musyrikin datang, Thalhah melawannya. Thalhah membawa Rasulullah mundur, hingga akhirnya ia menyandarkan Rasulullah di sebuah bukit.

Akibat perjuangan Thalhah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

أوجب طلحة حين صنع برسول الله ما صنع

Thalhah berhak mendapatkan surga karena apa yang telah ia perbuat untuk Rasulullah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

من أحب أن ينظر إلى شهيد يمشي على وجه الأرض فلينظر إلى طلحة بن عبيدالله

Barangsiapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.”

Sungguh besar jasa dan pengorbanan Thalhah di perang Uhud. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berbicara tentang perang Uhud, ia berkata,

ذلك اليوم كله لطلحة

Hari itu (Perang Uhud) semuanya untuk Thalhah.”

Itulah kisah perjuangan dan pengorbanan Thalhah ketika perang Uhud. Kisah seorang syahid yang berjalan di muka bumi berjuang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

***

Penulis : Firdian Ikhwansyah

Sumber: https://muslim.or.id/95934-kisah-thalhah-bin-ubaidillah-bag-1.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Fikih Badal Haji (Bag. 2)

Fatwa-Fatwa Terkait Badal Haji

Kelompok pembahasan terakhir dalam artikel ini adalah fatwa-fatwa dari para ulama terkait dengan badal haji. Semoga Allah merahmati mereka dan membalas kebaikan mereka dengan balasan yang paling baik.

Wajib Dihajikan dari Harta yang Ditinggalkannya, Baik Ia Berwasiat atau Tidak

Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajibannya, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak.

Dalam fatwanya, Lajnah Da’imah (11: 100) mengatakan,

إذا مات المسلم ولم يقض فريضة الحج وهو مستكمل لشروط وجوب الحج وجب أن يحج عنه من ماله الذي خلفه سواء أوصى بذلك أم لم يوص

Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum melaksanakan haji wajib, padahal telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji, maka wajib dihajikan dari harta yang ditinggalkannya, baik ia berwasiat atau tidak.

Kemudian, mereka melanjutkan, “Jika orang lain yang sah melaksanakan haji telah berhaji untuk dirinya sendiri, maka hajinya untuk orang yang meninggal tersebut sah dan menggugurkan kewajiban haji dari orang yang meninggal tersebut. Adapun mengenai nilai haji seseorang untuk orang lain, apakah sama dengan hajinya untuk dirinya sendiri, atau lebih rendah, atau lebih tinggi, hal itu dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Tidak diragukan lagi bahwa yang wajib baginya adalah menyegerakan haji jika mampu sebelum meninggal dunia, berdasarkan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan hal tersebut. Dan dikhawatirkan ia berdosa karena menunda-nunda.” [23]

Lebih Utama Anak Berhaji untuk Orang Tuanya

Anak berhaji untuk orang tuanya lebih utama daripada mewakilkan orang lain untuk berhaji.

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

“Ibu saya meninggal dunia ketika saya masih kecil, dan beliau telah menyewa seseorang yang terpercaya untuk berhaji untuknya. Ayah saya juga meninggal dunia dan saya tidak mengenal siapa pun dari mereka, namun saya mendengar bahwa salah seorang kerabat saya telah berhaji. Apakah boleh saya menyewa orang lain untuk berhaji untuk ibu saya, atau saya harus berhaji sendiri untuknya? Begitu juga dengan ayah saya, apakah saya harus berhaji untuknya padahal saya mendengar bahwa ia sudah berhaji? Mohon penjelasannya, terima kasih.”

Beliau rahimahullah menjawab,

إن حججت عنهما بنفسك، واجتهدت في إكمال. حجك على الوجه الشرعي فهو الأفضل، وإن استأجرت من يحج عنهما من أهل الدين والأمانة فلا بأس. والأفضل أن تؤدي عنهما حجا وعمرة، وهكذا من تستنيبه في ذلك، يشرع لك أن تأمره أن يحج عنهما ويعتمر، وهذا من برك لهما وإحسانك إليهما، تقبل الله منا ومنك.

Jika Anda berhaji sendiri untuk mereka dan berusaha menyempurnakan haji Anda sesuai dengan syariat, maka itu lebih utama. Namun, jika Anda menyewa orang lain yang beragama dan dapat dipercaya untuk berhaji untuk mereka, maka tidak mengapa. Lebih utama lagi jika Anda melaksanakan haji dan umrah untuk mereka. Begitu juga, dengan orang yang Anda wakilkan. Disyariatkan bagi Anda untuk memerintahkannya agar berhaji dan berumrah untuk mereka berdua. Ini merupakan bentuk kebaikan dan berbuat baik kepada mereka. Semoga Allah menerima dari kita dan dari Anda.[24]

Mendahulukan Ibu daripada Ayah

Hal ini lebih utama karena hak ibu lebih besar

Dalam kesempatan yang lain, Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

“Ayah saya meninggal dunia lima tahun yang lalu, dan dua tahun setelahnya ibu saya meninggal dunia, sebelum keduanya menunaikan ibadah haji. Saya ingin berhaji untuk mereka berdua sendiri, namun saya mendengar sebagian orang berkata, ‘Anda harus berhaji untuk ibu Anda terlebih dahulu karena haknya lebih besar daripada hak ayah.’ Sebagian lain berkata, ‘Berhajilah untuk ayah Anda terlebih dahulu karena ia meninggal sebelum ibu Anda.’ Saya bingung siapa yang harus saya dahulukan. Mohon penjelasannya. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.”

Jawaban beliau rahimahullah,

“Haji Anda untuk keduanya adalah bentuk kebaikan yang disyariatkan oleh Allah ‘Azza Wajalla, bukan kewajiban bagi Anda, namun dianjurkan, disunahkan, dan ditekankan karena termasuk berbakti kepada keduanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih ketika ditanya oleh seorang laki-laki, “Apakah masih ada bentuk bakti kepada orang tua yang bisa saya lakukan untuk mereka?” Beliau menjawab,

نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما

Ya, mendoakan mereka, memohonkan ampun untuk mereka, menunaikan janji mereka setelah mereka tiada, memuliakan teman mereka, dan menyambung silaturahmi yang tidak tersambung kecuali karena mereka.[25]

Maksudnya, termasuk berbakti kepada keduanya setelah wafat adalah menunaikan haji untuk mereka. (… sampai beliau berkata,)

فالمشروع لك يا أخي أن تحج عنهما جميعا وأن تعتمر عنهما جميعا، أما التقديم فلك أن تقدم من شئت، إن شئت قدمت الأم، وإن شئت قدمت الأب، والأفضل هو تقديم الأم؛ لأن حقها أكبر وأعظم ولو كانت متأخرة الموت وتقديمها أولى وأفضل؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم سئل فقيل له: يا رسول الله، من أبر؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أمك، قال ثم من؟ قال: أباك ، فذكره في الرابعة.

Maka, dianjurkan bagi Anda, saudaraku, untuk berhaji dan berumrah untuk keduanya. Adapun mengenai mendahulukan, Anda boleh mendahulukan siapa saja yang Anda inginkan. Jika Anda mau, dahulukan ibu, atau jika Anda mau, dahulukan ayah. Namun, yang lebih utama adalah mendahulukan ibu karena haknya lebih besar, meskipun ia meninggal belakangan. Mendahulukan ibu lebih utama dan lebih baik karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak saya berbakti?’ Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ditanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” [26] Beliau menyebutkan ayah pada urutan keempat.[27]

Tidak Wajib Berangkat Haji dari Kota Orang yang Diwakilkan

Orang yang mewakilkan tidak wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan, melainkan dari miqat.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,

ويجب قضاؤه عنه ‌من ‌الميقات لان الحج يجب ‌من ‌الميقات

Dan wajib mengqada haji untuknya dari miqat, karena haji wajib dimulai dari miqat.[28]

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

“Jika orang yang mewakilkan untuk berhaji berada di kota lain selain kota orang yang diwakilkan, dan kota tersebut lebih dekat daripada kota orang yang diwakilkan, apakah ia wajib berangkat haji dari kota orang yang diwakilkan?”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Tidak wajib baginya. Cukup baginya berihram dari miqat, meskipun ia berada di Makkah dan berihram dari sana untuk haji. Itu sudah mencukupi karena Makkah adalah miqat bagi penduduknya untuk haji.” [29]

Tidak Disyaratkan Mengetahui Namanya

Cukup bagi orang yang mewakilkan untuk berniat haji untuk orang yang diwakilkan, meskipun tidak menyebut namanya secara lisan. Jika ia lupa nama dan nasabnya, ia berniat untuk orang yang memberikan uang kepadanya untuk berhaji untuknya. [30]

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

“Ayah saya meninggal dunia dan belum menunaikan ibadah haji wajib. Saya memahami bahwa wajib bagi saya untuk berhaji untuknya. Saya telah sepakat dengan seseorang untuk berhaji untuknya, tetapi ketika ia menanyakan nama ayah saya dan nama ibu saya yang sudah meninggal, kami tidak tahu nama ibu saya. Apakah cukup hanya dengan nama almarhum tanpa nama ibunya?”

Jawaban beliau,

الحج عن الغير يكفي فيه النية عنه، ولا يلزم فيه تسمية المحجوج عنه، لا باسمه فقط ولا باسمه واسم أبيه أو أمه، وإن تلفظ باسمه عند بدء الإحرام أو أثناء التلبية أو عند ذبح دم التمتع إن كان متمتعا أو قارنا – فحسن

Dalam haji untuk orang lain, cukup dengan niat untuknya, dan tidak wajib menyebutkan nama orang yang dihajikan, baik hanya namanya saja, atau namanya beserta nama ayah atau ibunya. Namun, jika disebutkan namanya saat memulai ihram, atau saat talbiyah, atau saat menyembelih hewan dam tamattu’ jika ia melakukan haji tamattu’ atau qiran, maka itu lebih baik.[31]

Mewakilkan dalam Haji untuk Satu Orang

Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang.

Lajnah Da’imah pernah mendapatkan pertanyaan,

“Apakah boleh berhaji sebagai wakil untuk orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup? Seorang teman saya, ayahnya meninggal dunia dan ia ingin berhaji untuknya sebagai wakil. Apakah hal itu diperbolehkan dan apakah keduanya mendapatkan pahala? Begitu juga dengan ibunya yang tidak bisa naik kendaraan, baik mobil maupun pesawat, namun tidak sakit. Apakah boleh ia berhaji satu kali dan dianggap berhaji untuk ayah dan ibunya sekaligus, atau harus berhaji untuk masing-masing dari mereka secara terpisah, atau tidak boleh sama sekali? Maksud saya, berhaji untuk mereka berdua.”

Jawaban yang diberikan,

تجوز النيابة في الحج عن الميت وعن الموجود الذي لا يستطيع الحج، ولا يجوز للشخص أن يحج مرة واحدة ويجعلها لشخصين، فالحج لا يجزئ إلا عن واحد، وكذلك العمرة، لكن لو حج عن شخص واعتمر عن آخر في سنة واحدة أجزأه إذا كان الحاج قد حج عن نفسه واعتمر عنها

“Mewakilkan dalam haji diperbolehkan untuk orang yang sudah meninggal, dan untuk orang yang masih hidup, namun tidak mampu berhaji. Tidak boleh seseorang berhaji satu kali dan meniatkannya untuk dua orang. Haji hanya sah untuk satu orang, begitu juga dengan umrah. Namun, jika ia berhaji untuk satu orang dan berumrah untuk orang lain dalam satu tahun, maka hal itu sah jika orang yang berhaji tersebut telah berhaji dan berumrah untuk dirinya sendiri.” [32]

Perempuan Boleh Berhaji untuk Laki-Laki, Sebagaimana Laki-Laki Boleh Berhaji untuk Perempuan

Mewakilkan dalam haji diperbolehkan dengan syarat-syarat sebelumnya, baik yang mewakilkan adalah laki-laki maupun perempuan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. [33]

Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Da’imah no. 1265,

فإن نيابة المرأة في الحج عن المرأة وعن الرجل جائزة؛ لورود الأدلة الثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك

Mewakilkan perempuan dalam haji, baik untuk perempuan maupun laki-laki, diperbolehkan, karena adanya dalil-dalil yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal tersebut.

Hendaknya Memilih Orang yang Dipercaya dan Beragama untuk Diwakilkan

Masih dari pertanyaan yang sama, Lajnah Da’imah melanjutkan,

لكن ينبغي لمن يريد أن ينيب في الحج أن يتحرى في من يستنيبه أن يكون من أهل الدين والأمانة؛ حتى يطمئن إلى قيامه بالواجب

Namun, bagi yang ingin mewakilkan dalam haji, hendaknya memilih orang yang dipercaya dan beragama agar yakin bahwa ia akan melaksanakan kewajiban tersebut dengan baik.[34]

Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah mencakup pembahasan-pembahsan paling penting tentang badal haji. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

[Selesai]

***

14 Zulhijah 1445 H, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Sumber: https://muslim.or.id/95862-fikih-badal-haji-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Fikih Badal Haji (Bag. 1)

Segala puji bagi Allah, selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabat beliau seluruhnya.

Berikut ini pembahasan-pembahasan ringan, namun mencakup semua pembahasan-pembahasan paling penting, insyaAllah, terkait dengan badal haji.

Artikel ini terdiri dari 3 kelompok pembahasan, yaitu:

Pertama: Fikih dasar haji

Kedua: Fikih khusus badal haji

Ketiga: Fatwa-fatwa terkait badal haji

Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.

Fikih Dasar Haji

Untuk mendapatkan gambaran yang benar tentang badal haji, terlebih dahulu kita perlu mengetahui fikih dasar terkait dengan haji.

Haji dan Kedudukannya

Haji secara bahasa berarti ( القصد ) ‘menuju’.

Secara syariat, haji adalah,

التعبد لله بأداء المناسك في مكان مخصوص في وقت مخصوص، على ما جاء في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Ibadah kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan manasik di tempat dan waktu tertentu, sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Haji merupakan salah satu rukun Islam dan kewajiban yang agung, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Dan bagi Allah, kewajiban manusia adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1]

Serta hadis, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, yang marfu‘,

بني الإسلام على خمس … منها الحج

“Islam dibangun di atas lima…, (dan salah satunya adalah haji).”

Umat Islam telah sepakat mengenai kewajiban haji bagi yang mampu, satu kali seumur hidup. [2]

Haji Wajib Hanya Sekali, Selebihnya adalah Haji Sunah

Haji hanya wajib satu kali seumur hidup. Ini biasa disebut haji wajib, atau haji Islam. Jika lebih dari itu, maka hukumnya sunah. Yang kedua ini kadang disebut haji sunah atau haji tathawwu’.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أيها الناس! قد فرض الله عليكم الحج فحجوا

“Wahai manusia! Allah Ta’ala telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah!

Lalu, seorang bertanya, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,

لو قلت: نعم لوجبت، ولما استطعتم

“Jika aku katakan ‘ya’, niscaya akan menjadi wajib, dan kalian tidak akan mampu.” [3]

Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri hanya berhaji satu kali setelah hijrah ke Madinah. Para ulama sepakat bahwa haji hanya wajib satu kali bagi yang mampu. [4]

Kewajiban Menyegerakan Pelaksanaan Haji Jika Syarat-Syaratnya Terpenuhi

Seorang muslim hendaknya menyegerakan pelaksanaan haji jika syarat-syaratnya telah terpenuhi. Menunda haji tanpa alasan yang dibenarkan adalah dosa, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

تعجلوا إلى الحج؛ فإن أحدكم لا يدري ما يَعْرِضُ له

“Segerakanlah pergi haji, karena salah seorang di antara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya.” [5]

Lima Syarat Wajib Haji

Permasalahan yang masih perlu untuk diketahui tentang haji adalah syarat wajibnya. Jika ada salah satu syarat tersebut yang tidak terpenuhi pada seseorang, maka haji tidak wajib atasnya. Terdapat lima syarat wajib haji, yaitu:

Pertama: Islam

Haji tidak wajib bagi orang kafir dan tidak sah jika dilakukan oleh mereka, karena Islam adalah syarat sah ibadah.

Kedua: Berakal

Haji tidak wajib bagi orang gila dan tidak sah jika dilakukan dalam keadaan gila, karena akal adalah syarat untuk memikul beban syariat, dan orang gila tidak termasuk dalam kategori tersebut. Beban syariat diangkat darinya sampai ia sadar. Sebagaimana dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يفيق

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sadar.” [6]

Ketiga: Balig

Haji tidak wajib bagi anak kecil, karena ia belum termasuk dalam kategori yang memikul beban syariat dan beban syariat diangkat darinya sampai ia balig berdasarkan hadis sebelumnya.

Keempat: Merdeka

Haji tidak wajib bagi budak, karena ia adalah milik orang lain dan tidak memiliki apa-apa.

Kelima: Mampu (Istitha’ah)

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Dan bagi Allah, kewajiban manusia adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” [7]

Orang yang tidak mampu secara finansial, misalnya tidak memiliki bekal yang cukup untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, atau tidak memiliki kendaraan untuk pergi ke Makkah dan kembali, atau secara fisik, misalnya sudah tua renta, sakit dan tidak mampu naik kendaraan serta menanggung kesulitan perjalanan, atau jika jalan menuju haji tidak aman, seperti adanya perampok, wabah penyakit, atau hal lain yang membuat khawatir akan keselamatan diri dan harta, maka ia tidak wajib berhaji sampai ia mampu. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [8]

Kemampuan (istitha’ah) termasuk dalam kategori kelapangan yang disebutkan oleh Allah. [9]

Fikih Khusus Badal Haji

Setelah kita memahami dengan benar pembahasan-pembahasan di atas, berikut ini pembahasan khusus tentang badal haji.

Maksud Badal Haji dan Keadaan-Keadaannya

Dalam kitab-kitab fikih, badal haji ( بدل الحج ) biasa juga diistilahkan dengan niyabah dalam haji ( النيابة في الحج ), yaitu,

القيام مقام الغير في أداء الحج

“melaksanakan haji atas nama orang lain.”

Terdapat 5 keadaan badal haji [10], dengan rincian ringkas sebagai berikut:

Pertama: Seseorang yang wajib berhaji, namun tidak mampu melakukannya sendiri.

Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa seseorang boleh mewakilkan orang lain untuk melaksanakan haji wajib dengan syarat-syarat tertentu. Kondisi inilah yang akan kita bahas di sini.

Kedua: Seseorang yang wajib berhaji dan mampu melaksanakannya sendiri.

Dalam kondisi ini, ia tidak boleh mewakilkan orang lain untuk berhaji atas namanya, berdasarkan kesepakatan para ulama fikih.

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

أجمع أهل العلم على أن من عليه حجة الإِسلام وهو قادر على أن يحج لا يجزئ عنه أن يحج عنه غيره

Para ulama sepakat bahwa seseorang yang wajib berhaji dan mampu melakukannya sendiri tidak boleh mewakilkan orang lain untuk berhaji atas namanya.[11]

Ketiga: Haji yang dilakukan adalah haji sunah, sedangkan haji wajibnya belum dilaksanakan.

Dalam kondisi ini, ia tidak boleh mewakilkan orang lain untuk melaksanakan haji sunah, karena tidak sah melaksanakan ibadah sunah sebelum ibadah wajib dilaksanakan sendiri. Maka, tidak sahnya ibadah sunah dari orang yang mewakilkannya lebih utama.

Keempat: Seseorang telah melaksanakan haji wajib, namun tidak mampu berhaji lagi sendiri.

Kelima: Seseorang telah melaksanakan haji wajib dan mampu berhaji lagi sendiri.

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai dua kondisi terakhir ini. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah memilih pendapat bahwa niyabah hanya diperbolehkan dalam haji wajib. [12]

Dalil-Dalil Kebolehan Badal Haji

Kebolehan seseorang mewakilkan orang lain dalam melaksanakan haji wajib, didasarkan pada banyak dalil [13]. Di antaranya:

Pertama: Hadis dari Abu Razin radhiyallahu ‘anhu.

Dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,

يا رسول الله إن أبي شيخ لا يستطيع الحج ولا العمرة ولا الظعن

Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua dan tidak mampu melaksanakan haji, umrah, maupun bepergian.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

حج عن أبيك واعتمر

Lakukanlah haji dan umrah untuk ayahmu.” [14]

Kedua: Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Seorang wanita dari suku Khath’am berkata,

يا رسول الله، إن فريضة الله على عباده في الحج أدركت أبي شيخًا كبيرًا لا يستطيع أن يثبت على الراحلة. أفأحج عنه؟

Wahai Rasulullah, kewajiban Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam hal haji telah menimpa ayahku yang sudah tua dan tidak mampu duduk tegak di atas kendaraan. Bolehkah aku berhaji untuknya?

Beliau menjawab, ( نعم ) “Ya,” dan itu terjadi pada Haji Wada’. [15]

Ketiga: Hadis dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu.

Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,

يا رسولَ اللهِ إنَّ أمِّي ماتت ولم تحُجَّ أفأحُجُّ عنها ؟

Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan belum berhaji. Bolehkah aku berhaji untuknya?” Beliau menjawab,

نعم حُجِّي عنها

Ya, berhajilah untuknya.” [16]

Keempat: Selain itu, karena haji adalah ibadah yang jika ditinggalkan wajib membayar dam (denda), maka boleh bagi orang lain untuk menggantikannya, seperti puasa yang jika tidak mampu dapat diganti dengan fidyah.

Syarat-Syarat Bolehnya Badal Haji

Para ulama yang membolehkan badal haji atau niyabah (mewakilkan) dalam haji wajib, mensyaratkan beberapa hal, yaitu:

Pertama: Orang yang wajib berhaji tidak mampu melakukannya sendiri, baik karena sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh, atau halangan lain yang tidak bisa diharapkan hilang, atau meninggal dunia. Adapun jika sakit atau halangan tersebut bisa diharapkan sembuh atau hilang, maka tidak boleh mewakilkan orang lain menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, namun diperbolehkan menurut Hanafiyah. Jika ia sembuh, maka wajib baginya berhaji sendiri dan dianggap sah menurut mereka.

Kedua: Orang yang tidak mampu melaksanakan haji wajib memiliki harta yang cukup untuk membiayai orang lain yang mewakilkannya, baik semasa hidupnya atau dari harta yang ditinggalkannya setelah meninggal. [17]

Syarat-Syarat untuk Orang yang Mewakilkan dalam Haji

Orang yang mewakilkan dalam haji, harus terpenuhi padanya beberapa syarat, yaitu:

Syarat pertama: Orang yang mewakilkan harus sudah melaksanakan haji wajib untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Jika belum, maka haji tersebut dianggap untuk dirinya sendiri dan tidak sah untuk orang yang diwakilkan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Al-Auza’i, dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumullah.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki mengucapkan talbiyah untuk Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,

من شبرمة؟

“Siapa Syubrumah?”

Ia menjawab, “Kerabatku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi,

هل حججت قط؟

“Apakah engkau sudah pernah berhaji?”

Ia menjawab, “Belum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فاجعل هذه عن نفسك ثم احجج عن شبرمة

“Jadikanlah haji ini untuk dirimu sendiri, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” [18]

Selain itu, karena ia berhaji untuk orang lain sebelum berhaji untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut tidak sah untuk orang yang diwakilkan, seperti halnya jika ia masih anak-anak.

Syarat kedua: Orang yang mewakilkan haruslah seorang muslim yang berakal sehat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih. [19]

Menyewa Orang Lain untuk Badal Haji

Misalnya, seseorang menyewa orang lain untuk berhaji untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain (dengan ketentuan-ketentuan di atas).

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Imam Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa boleh menyewa orang lain untuk berhaji karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أحق ما أخذتم عليه أجرًا كتاب الله

Hal yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.[20]

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengambil upah untuk meruqyah dengan Kitabullah dan memberitahukan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau membenarkan mereka. [21]

Dan karena boleh mengambil nafkah untuk itu, maka boleh menyewa orang lain untuk melakukannya, seperti membangun masjid dan jembatan.

Komisi Fatwa Tetap di Arab Saudi juga telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan menyewa orang lain untuk berhaji, sebagaimana tercantum dalam fatwa nomor (5228). [22]

***

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Sumber: https://muslim.or.id/95860-fikih-badal-haji-bag-1.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

5 Metode Menghafal Al-Quran dengan Cepat dan Benar

Al-Quran adalah kitab suci yang menjadi pedoman hidup setiap Muslim. Kemurnian isi Al-Quran telah dijamin oleh SWT dan tetap terpelihara keasliannya. Allah berfirman:

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Salah satu cara yang dapat dilakukan umat Muslim untuk menjaga keaslian ayat-ayat Al-Quran adalah menghafalnya. Mengutip buku Kemukjizatan Menghafal Al-Quran oleh Muhammad Makmun Rasyid, ulama sepakat hukum menghafal Al-Quran atau tahfidzul Qur’an adalah fardu kifayah. Artinya, kewajiban itu gugur jika sudah dilaksanakan oleh sebagian orang.

Meski demikian, umat Muslim tetap dianjurkan untuk mempelajari dan menghafal Al-Quran. Sebab, ada banyak keutamaan yang menanti mereka setelah amalan itu dilakukan.

Namun, menghafal Al-Quran bukan suatu perkara yang mudah. Sebagian orang mungkin kesulitan menghafal 6.236 ayat yang terangkum dalam 114 surat Al-Quran.

Agar lebih mudah melakukannya, ada beberapa metode menghafal Al-Quran yang dapat dipraktikkan. Apa saja metode-metode tersebut? Simak penjelasannya dalam artikel berikut.

Metode Menghafal Al Quran

1. Thariqah Tasalsuli

Metode menghafal Al-Quran yang pertama adalah thariqah tasalsuli, yaitu membaca ayat yang akan dihafal secara berulang-ulang. Metode ini dilakukan dengan cara membaca satu ayat pertama-tama, kemudian diulang-ulang untuk dihafalkan.

Setelah ayat pertama berhasil dihafalkan, dilanjutkan dengan ayat kedua, ayat ketiga, keempat, dan seterusnya hingga lancar dan melekat dalam ingatan.

Menurut buku Mitos-Mitos Metode Menghafal al-Qur’an tulisan Abdulwaly, metode thariqah tasalsuli banyak dipraktikkan oleh para ulama. Mereka tidak akan melanjutkan hafalannya sebelum mengulang ayat yang sedang dihafalkan hingga beberapa kali.

2. Thariqah Jam’i

Thariqah jam’i dilakukan dengan menghafal rangkaian-rangkaian kalimat dalam setiap ayat. Hafalan dimulai dari ayat pertama sampai lancar, dilanjutkan pada ayat kedua sampai lancar hingga batas hafalan yang telah disusun. Setelah sudah sampai pada batas tersebut, hafalan diulang dari ayat pertama sampai terakhir beberapa kali hingga lancar tanpa kendala.

3. Thariqah Muqassam

Dalam metode thariqah muqassam, seorang penghafal Al-Quran akan membagi hafalan pada beberapa bagian sesuai makna lafadz maupun kalimatnya. Hasil hafalan tersebut kemudian dituangkan ke atas kertas dan diberi sub judul pada setiap bagiannya. Selanjutnya, bagian-bagian itu dihafalkan secara kumulatif dan digabungkan.

4. Khitabah

Pada metode khitabah, penghafal akan menulis terlebih dahulu ayat-ayat Al-Quran yang akan dihafalkan. Setelah itu, ayat tersebut dibaca hingga lancar dan benar, lalu dihafalkan.

Erlin Rosalina dalam jurnal Penerapan Metode Gabungan Wahdah dan Kitabah dalam Peningkatan Kompetensi Tahfidz Al-Quran menjelaskan, metode ini dinilai cukup praktis dan efektif. Sebab selain membaca dengan lisan, menulis ayat-ayat membantu mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam benak.

5. Sima’i

Metode sima’i dilakukan dengan cara mendengarkan suatu bacaan, misalnya dengan murottal. Karena sering mendengarkannya, ayat-ayat tersebut secara otomatis melekat dalam ingatan. Metode ini cocok dipraktikkan kepada anak-anak yang masih di bawah umur dan belum mengenal baca tulis Al-Quran.

KUMPARAN