Manusia Berasal dari Kera?

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:

Seperti yang telah diketahui, bahwa sebagian manusia menduga bahwa mereka berasal dari hewan, karena mereka setuju dengan teori orang barat (baca: teori evolusi). Bagaimana pendapat Anda dalam hal tersebut?

Jawaban:

نظرية دارون تقول الإنسان أصله قرد وأن ابن آدم حيوان ينطق وكلنا حيوان، فالله خلق لابن آدم حياة وجعل له عقلاً ونطقاً

“Teori Darwin berbunyi bahwa manusia berasal dari kera. Teori tersebut mengklaim bahwa anak keturunan Adam adalah hewan yang bisa berbicara, dan setiap manusia adalah hewan. Padahal, Allah Ta’ala telah menciptakan anak keturunan Adam kehidupan dan menjadikan mereka memiliki akal dan dapat berbicara.”

ولكن هذه النظرية الخبيثة باطلة بإجماع أهل العلم، فالقردة أمة من الأمم والكلاب أمة من الأمم والخنازير أمة من الأمم والقطط أمة من الأمم وهكذا الأسود والنمور والفهود وغيرها، أما الإنسان فهو حيوان مستقل ناطق عاقل خلقه الله من ماء مهين، وأبونا آدم عليه الصلاة والسلام خلقه الله من طين

“Teori yang buruk ini adalah sebuah kesalahan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu. Kera adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup [1]. Demikian juga anjing adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup. Babi adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup. Kucing adalah satu jenis tersendiri dari sekian banyak jenis makhluk hidup. Seperti itu pula dari singa, harimau, citah, dan lain-lain. Adapun manusia, maka ia adalah jenis makhluk hidup tersendiri. Ia dapat berbicara, berakal, dan diciptakan Allah Ta’ala dari air yang hina. Bapak kita adalah Adam ‘Alaihi Ash-Sholatu Wassalaam. Allah Ta’ala menciptakan beliau dari tanah.”

فهو حيوان مستقل وأمة من الأمم قائمة وهم بنو آدم، والجن أيضاً أمة قائمة خلقوا من مارج من نار، وكل نوع من الحيوان أمة قائمة حتى النمل أمة.

“Maka, manusia adalah jenis makhluk hidup yang tersendiri. Salah satu jenis dari sekian banyak jenis makhluk hidup yang ada. Mereka adalah Bani Adam (anak keturunan Adam). Golongan jin juga demikian. Mereka diciptakan dari nyala api. Setiap jenis dari makhluk hidup tersebut adalah sebuah umat tersendiri. Bahkan semut adalah satu umat tersendiri. [2]

***

Penulis: Muhammad Fadhli

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki: [1] Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُم

“Tidaklah setiap makhluk yang berjalan di muka bumi, demikian juga burung-burung yang terbang dengan dua sayapnya, kecuali mereka semua adalah umat-umat seperti kalian” (QS. Al An’am: 38). [2] Dikutip dari As’ilatul Hujjaj tahun 1407 H Kaset no.1, Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu Ta’ala (http://iswy.co/e1048p).

Sumber: https://muslim.or.id/71915-manusia-berasal-dari-kera.html

Wazi’ Perilaku Manusia dalam Islam

K.H. Afifuddin Muhajir menyebutkan salah satu keunggulan undang-undang syariat dibandingkan dengan undang-undang positif adalah memiliki pengendali Agama (wazi’ qurani) dan kekuasaan (wazi’ sulthani) sekaligus.

Sementara undang-undang positif hanya memiliki pengendali kekuasaan (wazi’ sulthani). Syekh Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya Maqhasidus Syariah Islamiyah [367-370] mengatakan bahwa syariat islam di dalam menerapkan undang-undang pensyariatannya memberikan suatu otoritas legalitas formal untuk mengendalikan tindak-tanduk manusia dalam mensukseskan penerapan syariat Islam.

Pengendali atau dalam istilah lain adalah wazi’ (yang mengawal/mendekti/mengendalikan prilaku manusia) dalam islam diklasifikasi tiga bagian. Pertama wazi’ jibilly. Kedua, wazi’ qurani. Ketiga wazi’ sulthani.

Wazi’ jibillyi/ fitrah manusia

merupakan pengendali secara fitrah manusia atau karakter kemanusiaan. Pertama-tama, syariat berpegangan terhadap pengendali fitrah kemanusiaan untuk mengawal tindak-tanduk manusia.

Oleh karena itu, syariat hanya memberikan warning kepada manusia untuk melakukan sesuatu karena mengandung kemaslahatan yang secara hati nurani digandrungi atau disenangi.

Sebaliknya, syariat cukup memberikan peringatan untuk menghindar dari hal-hal yang negatif secara fitrah. Dengan demikian, syariat tidak perlu mewajibkan sesuatu untuk dilaksanakan maupun dihindari karena mencukupkan dengan wazi jibilly ini. dengan kaidah

الوازع الجِبِلّي يغني عن ايجاب الشرع

“Pengendali fitah kemanusian mencukupkan diri dari mewajubkannya syari’at”

Contoh dalam hal ini semisal makan, berpakaian, ingin melakukan hubungan seksual dan lain sebgainya. Oleh karena itu, syariat tidak sampai mewajibkan pernikahan karena secara fitrah manusia pasti ingin melakukannya. Hanya saja, syariat mengatur dan melembagakan hubungan seksual dalam pernikahan agar tetap sesuai dengan undang-undang syariat.

Wazi’ sulthani atau pengendali kekuasaan

Pada dasarnya dilegitimasi oleh syariat untuk mengawal prilaku individual maupun anggota msyarakat agar tetap sesuai dengan tuntunan syariat. Pada biasanya, peran pengendali ini ketika pengendali secara rohani dan qurani sudah melemah dan hal yang mendorong untuk melanggar aturan syariat mulai menguat.

Syekh Ibnu Asyur menegaskan;

فمتى ضعف الوازع الديني، في زمن أو قوم أو في أحوال يُظَنُّ أن الدافع إلى مخالفة الشرع في مثلها أقوى على أكثر النفوس من الوازع الديني، هنالك يُصار إلى الوازع السلطاني، فيناطُ التنفيذُ بالوازع السلطاني.

“Ketika suatu waktu dan pada kaum tertentu pengendali Agama sudah melemah, atau situasi dan kondisi sosial yang menyalahi aturan syariat tidak dapat dibendung maka disanalah peran pengendali kekuasaan. Dengan demikian, pelaksanaan undang-undang syariat dikatkan dengan pengendali kekuasaan”

Hal yang senada dikatakan oleh Khulafa Al-Rayidin Sayyidina Utsman;

: “يزع الله بالسلطان ما لا يزع بالقرآن”

“Allah memberikan tali pengendali dengan kekuasaan di dalam hal yang tidak dikendalikan dengan Al-Quran”

Wazi’ Al-Qur’ani/agama

Pada dasarnya, seluruh ketentuan-ketentuan syariat secara garis besar pelaksanaannya dikaitkan dengan pengendali agama yaitu keimanan yang benar yang melahirkan rasa pesimis dan optimis kepada Tuhan seacara proporsional.

Dua pengendali di atas, yaitu pengendali Nurani dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dengan pengendali Agama. Sebab tiga pengendali ini secara berkelindan satu sama lain untu mengawal prilaku sosial maupun individual dalam penerapan syariat islam.

Hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Syeh Ibnu Asyur;

واعلم أن الوازع الديني ملحوظٌ في جميع أحوال الاعتماد على نوعي الوازع. فإن الوازع السلطاني تنفيذ للوازع الديني، والوازع الجبلي تمهيد للوازع الديني

“ketahuilah, bahwa pengendali Agma dijega dalam segala kondisi yang ditopang dengan kedua pengendali lainnya. Karena pengendali kekuasaan menerapkan tugas pengendali Agama sedangkan pengendali rohani sebagai pengenal untuk pengendali Agama”

Wazi’ ijtima’iyah

Itulah tiga pengendali atau tiga hal yang mendikte tindak-tanduk manusia yang diberikan oleh Allah kepada seluruh manusia agar mengendalikan dirinya di dalam penerapan syariat Islam.

Namun, menurut Dr. K.H. Imam Nakhe’i, ada satu pengendali lagi yaitu wazi’ ijtima’iyah kendali sosial karena banyak seorang individu ingin melakukan sesuatu namun tidak bisa karena memandang terhadap sosialnya.

Misalnya perzinahan seseorang tidak melakukan perzinahan bukan karena Negara maupun keagamaan melainkan justru karena sosial sebab sosialnya orang yang berzina dipandang buruk.

Demikian, orang berbaju dengan menggunakan kerudung bukan krena agama maupun negara namun karena sosialnya memandang buruk orang yang tidak menggunakan kerudung sehingga sang individu tetap menggunakan kerudung dengan pertimbangan sosialnya. Wallhu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Makna Sumpah Allah “Demi Masa”

“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur”. (al Furqan: 62).

Makna ayat ini, seperti termaktub dalam tafsir al Thabari, Allah hendak mengingatkan kepada umat Islam bahwa siang dan malam yang selalu datang silih berganti memberikan kesempatan untuk melakukan amal kebaikan pada salah satunya. Amal kebaikan yang tidak sempat dilaksanakan pada malam hari hendaklah dilakukan pada siang hari. Demikian juga sebaliknya. Pengertian yang sama dijelaskan dalam Tafsirnya Ibnu Katsir dan Tafsir al Wasith li Thanthawi.

Lebih jauh, Allah sebenarnya mengingatkan supaya tidak menyia-nyiakan umur yang diberikan kepada kita. Dalam ayat-ayat yang lain Allah seringkali bersumpah atas nama masa atau waktu; demi masa, demi waktu dhuha, demi malam dan seterusnya.

Sumpah-sumpah Allah ini merupakan alarm peringatan supaya tidak menyia-nyiakan umur yang diberikan. Keuntungan dan kerugian ditentukan oleh waktu yang kita jalani. Apakah kita termasuk orang yang beruntung atau celaka sangat ditentukan oleh seberapa optimal memanfaatkan waktu untuk mengerjakan amal kebaikan.

Allah mengajak kita semua untuk menghitung berapa lama umur kita di dunia dan diisi dengan kegiatan apa? Rata-rata umur umat Nabi Muhammad, seperti dijelaskan sendiri oleh beliau dalam sebuah hadis riwayat Imam Turmudzi berkisar antara 60-70 tahun.

Perhitungannya, kalau seseorang berumur 60 tahun; 20 tahun dari umurnya tersebut digunakan untuk tidur dengan hitungan satu hari rata-rata tidur selama 8 jam, 15 tahun sebelum baligh dan 5 tahun untuk makan dan minum. Otomatis sisa waktu dari umurnya adalah 20 tahun. Dengan demikian, hakikinya hanya hidup selama 20 tahun. Pertanyaannya, sisa waktu selama 20 tahun tersebut digunakan untuk apa?

Tentu kita bisa menghitung sendiri berapa waktu yang digunakan untuk ibadah dan amal kebaikan, serta berapa waktu yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berguna; permainan, maksiat dan lain-lain. Kemudian ditotal harapan tahun ibadah kita kepada Allah?

Inilah makna sumpah Allah; demi masa, demi malam, demi waktu dhuha dan seterusnya. Tidak lain tujuannya supaya kelak setelah meninggalkan dunia kita membawa bekal yang cukup sehingga hidup bahagia di akhirat. Karenanya, mari renungkan seberapa banyak waktu yang terbuang percuma dan berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk kemaksiatan dan perbuatan dosa? Jawabannya ada diri kita masing-masing.

ISLAM KAFFAH

Pemahaman Hadis Al Wala’ Wal Bara’ Muhammad Sa’id Al-Qahthani Tidak Sejalan dengan Islam rahmatan lil ‘alamin

Al-Wala’ Wal-Bara’ merupakan sikap loyal terhadap sesama Muslim dan berlepas diri dari hal-hal yang bersifat kekufuran. Cukup banyak tokoh yang mengkaji konsep Al-Wala’ Wal-Bara’ ini. Salahsatu tokoh yang mengkaji ialah Muhammad Sa’id Al-Qahthani. Al-Qahthani merupakan salahseorang tokoh berkebangsaan Saudi Arabia, lahir pada tahun 1956 M.

Selain berkarir di bidang akademik di Universitas Ummul Qura, Al-Qahthani juga melakukan dakwah di beberapa negara seperti Belanda dalam rangka menyebarkan ajaran-ajaran salafi. Al-Qahthani termasuk salahsatu tokoh yang cukup produktif, hal ini terbukti dari beberapa karyanya. Salah satu karya monumental Al-Qahthani ialah “Al-Wala’ wa Al-Bara fi Al-Islam”, yang merupakan hasil disertasi Al-Qahthani. Senada dengan judulnya, kitab tersebut menjelaskan tentang bagaimana konsep Al-Wala’ wa Al-Bara’. Al-Qahthani meyakini bahwa Al-Wala’ wa Al-Bara’ merupakan salahsatu keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap Muslim.

Al-Wala’ wa Al-Bara’ bagi Al-Qahthani merupakan konsekuensi dari kalimat tauhid. Sehingga kalimat tauhid menjadi pondasi utama konsep Al-Wala’ wa Al-Bara’. Ketika seorang Muslim yang telah meyakini kalimat tauhid, maka ia harus memiliki Al-Wala’ wa Al-Bara’ dalam dirinya sebagai representasi dari kalimat tauhid. Al-Qahthani menganggap bahwa meyakini kalimat tauhid tidak cukup di dalam hati, namun perlu dipraktikkan dalam perbuatan.

Sikap Wala’ hanya boleh diberikan kepada sesama Muslim, seperti membantu, menolong dan mendukung sesama. Sementara Bara’ harus diberikan kepada kelompok non-Muslim bahkan Muslim itu sendiri yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Bahkan lebih dari itu, Al-Qahthani mengharuskan seorang Muslim menunjukkan permusuhan secara lahir maupun batin. Sikap Bara’ yang didasari pada sifat benci dapat dilakukan dengan beberapa hal yakni jihad fi sabilillah dan hijrah dari negara non-Muslim.

Dalil-dalil Al-Wala’ wa Al-Bara’ terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Diantara ayat al-Qur’an yang menjelaskan Al-Wala’ wa Al-Bara’ ialah Qs. Ali ‘Imran ayat 28, 31-32; Qs. Al-Nisa’ ayat 89; Qs. Al-Ma’idah ayat 52 dan 54. Selain itu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al-Thabrani, Nabi bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ لأَبِي ذَرٍّ: ” أَيُّ عُرَى الإِيمَانِ أَظُنُّهُ قَالَ: أَوْثَقُ؟ ” قَالَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ” الْمُوَالاةُ فِي اللَّهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللَّهِ، وَالْحُبُّ فِي اللَّهِ، وَالْبُغْضُ فِي اللَّهِ ”

“…dari Ibn ‘Abba>s ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tali ikatan iman yang paling kuat adalah menolong karena Allah, memusuhi karena Allah, cinta dan benci karena Allah”

Ayat Al-Qur’an dan hadis diatas dipahami Al-Qahthani secara literal, terbukti dalam kitabnya, Al-Qahthani meniadakan ayat-ayat dan hadis perdamaian. Namun sebaliknya, ia mewarnai karyanya dengan ayat dan hadis ekstrem seperti jihad, hijrah bahkan qital. Selain hadis tersebut, hadis utama yang mendasari sekaligus mendukung pemikiran Al-Wala>’ wa al-Bara>’ ialah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan juga Imam Muslim tentang persaudaraan dalam Sahih Bukhari dan senada dengan redaksi dalam Sahih Muslim.

” لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ”

“Tidaklah (sempurna) iman salahseorang diantara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”

Bagi Al-Qahthani, hadis diatas merupakan hadis yang hanya boleh diberlakukan untuk sesama Muslim saja, bukan non-Muslim. Dari sini dapat diketahui bahwa penggunaan hadis dan ayat ekstrem dilakukan tentunya untuk mendukung konsep Al-Wala’ wa Al-Bara’ yang diyakini. Sehingga audiens maupun readers terpengaruh oleh pandangan Al-Qahthani untuk melakukan hal-hal yang ekstrem. Padahal Rasulullah mengajarkan perdamaian diantara sesama makhluq. Beberapa hadis Nabi juga menjelaskan bagaimana Nabi menghormati non-Muslim seperti menjenguk dan berdiri ketika jenazah orang Yahudi lewat di hadapan Nabi Muhammad saw.

” كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ، وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ وَهُوَ يَقُولُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ

“Ada seorang anak kecil Yahudi yang bekerja membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menderita sakit. Maka Nabi menjenguknya dan beliau duduk di sisi kepalanya lalu bersabda: “Masuklah Islam”. Anak kecil itu memandang kepada bapaknya yang berada di dekatnya, lalu bapaknya berkata: “Ta’atilah Abu Al-Qasim Shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka anak kecil itu masuk Islam. Kemudian Nabi keluar sambil bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka.”

Hadis diatas tentunya menunjukkan bagaimana sikap damai-nya Rasulullah saw. terhadap sesama. Sehingga pemahaman Al-Wala’ wa Al-Bara’ Al-Qahthani tidak sesuai dengan sikap Nabi yang selalu menyebarkan perdamaian. Bahkan lebih parahnya, Al-Wala’ wa Al-Bara’ Al-Qahthani ini tidak sejalan dengan Tauhid Rahamutiyah. Salahsatu keyakinan bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta mewajibkan sifat rahmah selalu ada dalam diri-Nya. Bahkan beberapa hadis Nabi menunjukkan sifat rahmah Allah ditetapkan sebelum ‘proses penciptaan’. Sebagaimana Hadis Nabi riwayat Bukhari Muslim,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ كِتَابًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي فَهُوَ مَكْتُوبٌ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ ”

“Sesungguhnya Allah menetapkan satu ketetapan sebelum mencipta penciptaan ‘Rahmat-Ku lebih mendahului kemurkaan-Ku, dan itu tercatat di sisi-Nya di atas ‘arsy.”

Segala sesuatu yang diciptakan Allah swt tentu berdasarkan atas sifat rahmah-Nya. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa ciptaan Allah swt. berupa keindahan dan ketenangan, bukan berupa permusuhan yang menyebabkan kerusakan di muka bumi. Melihat sikap damai Rasulullah dan sifat rahmah Allah swt, maka Al-Wala’ wa Al-Bara’ Al-Qahthani tidak sejalan dengan keduanya, mengingat pandangan Al-Qahthani konsep ini perlu untuk melakukan tindakan memusuhi para musuh Islam dengan cara ekstrem.

ISLAM KAFFAH

Bolehkah Memegang Al-Qur’an Terjemahan Tanpa Wudhu?

Untuk membaca Al-Qur’an yang merupakan kitab suci, memegangnya pun diharuskan dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun besar. Kemudian muncul pertanyaan, apakah  Al-Qur’an terjemahan statusnya sama dengan Al-Qur’an tanpa terjemah? Bolehkah memegang Al-Qur’an terjemahan tanpa wudhu?

Mengenai kewajiban seseorang dalam keadaan suci disaat menyentuh atau membawa Al-Quran, telah ditegaskan dalam firman Allah dan sabda Nabi. Hal ini dikarenakan Al-Quran merupakan kalamullah, yang mencakup  keagungannya dan keutamaannya di atas segalanya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT, Surat Al-Waqi’ah, ayat 79 berikut,

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Artinya : “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” 

Begitu juga dengan sabda Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak berikut,

لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ

Artinya : “Tidak boleh menyentuh Al–Quran kecuali engkau dalam keadaan suci.”

Melalui ayat dan hadis tersebut, mayoritas ulama mengharamkan menyentuh dan membawa Al-Qur’an tanpa wudhu. Pasalnya, membawa, menyentuh, dan membaca  Al-Qur’an harus ada wudhu. 

Kendati demikian, para  ulama masih memberikan dispensasi dalam tafsir Al–Quran ketika di dalamnya lebih dominan penafsiran Al-Qur’an dari pada teks asli Al-Qur’an dalam segi hurufnya.Sehingga diperbolehkan untuk menyentuhnya meski tanpa wudhu, sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf Al-Qur’an tapi beralih menjadi kitab Tafsir.

Namun demikian, terjemah Al-Qur’an tidak berstatus sama seperti tafsir Al-Qur’an. Sebab dalam tafsir sendiri isinya adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli yakni bahasa Arab atau dengan bahasa yang lain. Baik penjelasan tersebut secara global ataupun dengan cara penafsiran secara rinci. 

Dalam tafsir sendiri juga mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an, berbeda dengan terjemah Al-Qur’an yang hanya menerjemahkan lafad dari Al-Qur’an saja.

Hal ini sebagaimana keterangan Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, dalam kitab Manahil al-Irfan, Juz 2, Halaman 80 berikut;

 وان التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل )اللغة العربية (أم بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على بعضها دون بعض 

Artinya : “Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran yang rinci, mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an ataupun meringkas dengan sebagian makna dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain” 

Berdasarkan penjelasan diatas, terjemahan Al-Qur’an tidak bisa disamakan hukumnya dengan tafsir Al-Qur’an. Hal ini karena terjemah Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. 

Oleh sebab itu, maka orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an terjemahan. Sebagaimana dalam keterangan Muhammad Nawawi al-Bantani, dalam kitab Nihayah az-Zain juz 1, Halaman 33 berikut,

 أما ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان 

Artinya : “Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang ditulis dibawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya, hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan.” 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa terjemahan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. 

Oleh sebab itu, maka orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an terjemahan.  Pendek kata, memegang Al-Qur’an terjemahan tanpa wudhu tidak diperbolehkan. Mesti dalam keadaan ada wudhu/suci. 

Demikian penjelasan mengenai hukum memegang Al-Qur’an terjemahan tanpa wudhu. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kemenag Mulai Mengatur Jumlah Jamaah Umroh

Kementerian Agama (Kemenag) terus memantau keberangkatan sampai kepulangan jamaah umroh. Pemantauan tersebut untuk memastikan umroh di masa pandemi berjalan lancar.

“Kita atur tiap hari,” kata Direktur Bina Umroh dan Haji Khusus Nur Arifin saat dihubungi Republika, Jumat (21/1/2022).

Nur Arifin tidak menjelaskan seperti apa teknis pengaturannya itu, namun ia memastikan, sampai saat ini masih ada keberangkatan jamaah umroh dari bandara Soekarno Hatta.

“Yang berangkat sekitar 500 jamaah,” katanya.

Nur Arifin mengatakan, jumah 500 ini merupakan hasil dari jumlah yang dibatasi Kemenag. Pembatasan jumlah ini untuk menghindari penumpukan jamaah saat keberangkatan di Bandara Soekarno Hatta yang menyebabkan jamaah terpapar Covid-19.

“Iya 500 ini jumlah yang dibatasi kemenag,”

Pada kesempatan ini, Nur Arifin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada Kemenag. Sehingga sampai saat ini Kemenag masih dipercaya sebagai pihak yang mengatur usaha di sektor umroh.

“Kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan pada Kemenag sebagai regulator perjalanan umrah,” katanya.

Kemenag, memastikan siap meningkatkan pelayanannya kepada jamaah umroh, sejak keberangkatan ke tanah suci sampai kembali lagi di tanah air. Peningkatan pelayanan agar jamaah tidak terpapar covid varian baru umicron.

“Dengan senang hati dan kami menyatakan siap untuk meningkatkan layanan keberangkatan dan pemulangan jamaah umrah agar jamaah semakin tertib dan terhindar dari penyebaran omicron,” katanya.

Saat ini asrama haji menjadi tempat karantina bagi jamaah haji yang berangkat dan pulang umroh. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan Menteri Agama Menag Yaqut Cholil Qoumas saat rapat di DPR.

“Juga kami berterima kasih Asrama Haji dipercaya menjadi tempat karantina,” katanya.

Bahkan kata Nur Arifin, asrama haji ini kelaikannya sudah disurvei oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB menyatakan asrama haji ini laik menjadi tempat karantina.

“Saat ini kami sedang rapat membahas kesiapan asrama haji sebagai tempat karantina agar sesuai standar,” katanya.

IHRAM

Buah dari Ketulusan

Ketegaran dan kebahagiaan lahir dari besarnya sebuah ketulusan.

Kebaikan menjadi pelipur segala kecemasan. Kebijaksanaan menjadi simbol ketegasan. Maka sungguh ketegaran dan kebahagiaan pun lahir dari besarnya sebuah ketulusan.

Telah menceritakan Abu at-Thahir Ahmad bin Amru bin Sarh, telah menceritakan Ibnu Wahab dari Usamah bahwa dia mendengar Abu Sa’id dari Abdullah bin Amir bin Kuraiz dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat kepada ketulusan hati kalian” (HR Muslim).

Pertama, ketenangan. Hati menjadi pusat kendali pada diri. Dengan ketulusan yang tak henti terpahat pada diri, hal tersebut akan senantiasa menjadi jembatan untuk selalu mengingat Sang Ilahi.

Allah SWT berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS ar-Ra’d: 28).

Kedua, jaminan diterimanya amal. Capaian terbesar tak selalu tentang kedudukan yang tinggi dan banyaknya pujian. Capaian terbesar terletak pada beribu-ribu buih cinta yang disimbolkan pada setiap ketulusan dan padad saat itu pula Allah tak segan-segan untuk memberikan cinta-Nya secara kontan. Semua itu tersaji atas dasar kekuatan iman dan takwa yang senantiasa menjadi pelengkap perjalanan kehidupan.

Dari Abu Umamah al-Bahili RA ia berkata bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW lalu berkata, “Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang berjihad mengharapkan upah dan sanjungan, apakah yang ia peroleh?

Rasulullah SAW menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa,”  lalu ia mengulanginya tiga kali, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.”Kemudian beliau bersabda, “Allah tidak menerima amalan kecuali jika dilakukan dengan ikhlas dan mengharapkan wajah-Nya (keridhaan-Nya)” (HR an Nasa’i).

Ketiga, pahala yang melimpah. Ketulusan menjadi pintu utama dalam menggapai limpahan pahala. Dengan ketulusan, kita akan senantiasa mendapatkan anugerah kebaikan dari-Nya.

Dari Sa’ad bin Abu Waqash RA mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah (tulus mengharap ridha Allah) kecuali kamu akan diberi pahala termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu” (HR Bukhari).

Ibarat lantunan melodi indah yang diperdengarkan. Ketulusan menjadi sumber ketenangan. Jalan istimewa untuk menggapai kebahagiaan. Tanpanya, kehidupan tampak tak elegan. Lewat ketulusan, keridhaan-Nya pun didapatkan.

Wallahu a’lam.

OLEH MUHAMAD YOGA FIRDAUS

KHAZANAH REPUBLIKA

Mualaf Nana, Tertarik Masuk Islam Setelah Dengar Adzan Subuh

Muala Nana merasakan teduhnya panggilan adzan subuh

Fauzan Nana Sudiana terlahir dengan nama Rafael Nana Sudiana. Pria berumur 27 tahun itu lahir dan tumbuh di tengah keluarga Non-Muslim yang taat. Tak hanya keluarganya, namun lingkungan tempat tinggalnya juga mayoritas Non-Muslim.

Meski demikian, pria yang akrab disapa Nana itu memiliki banyak teman Muslim di luar lingkungan tempat tinggalnya. Karenanya, nuansa keislaman sudah tak asing baginya. Hatinya pun merasa syahdu setiap kali mendengar lantunan suara adzan, terutama adzan subuh. Ada kedamaian yang menelisik dalam ruang kalbunya. 

Hidayah Allah SWT pun datang. Semakin sering mendengar adzan, Nana semakin merasa tertarik pada Islam. Dia pun banyak bertanya pada teman-teman muslimnya mengenai Islam. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan Ustadz Syahri, yang menjadi pembimbing para mualaf di Yayasan Mualaf Ikhlas Madani Indonesia (Mukmin) Kabupaten Kuningan. 

Ustadz Syahri mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Nana tentang Islam. Hingga akhirnya, dia merasa mantap untuk memeluk Islam. Dengan dituntun Ustadz Syahri, dia mengucapkan dua kalimat syahadat. 

Pilihan Nana untuk meninggalkan agamanya yang dulu dan beralih pada Islam tentu mendapat penolakan dari keluarganya. Meski demikian, dia tetap membulatkan tekad untuk tetap berpegang teguh pada agama Allah SWT.  

Untuk menghindari intrik dengan keluarga, Nana memutuskan meninggalkan rumahnya yang ada di Desa Rambatan, Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan. Dia kemudian memilih tinggal di rumah singgah mualaf yang dikelola oleh Yayasan Madani Kabupaten Kuningan. 

Sudah setahun Nana tinggal di rumah singgah mualaf yang beralamat di Jalan Raya Babatan Bayuning, RT 04 RW 01 Desa Bayuning, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan. Di tempat tersebut, dia tinggal bersama beberapa orang mualaf lainnya, yang mengalami kondisi hampir sama dengannya. 

Meski demikian, Nana berusaha untuk tetap menjaga hubungan baik dengan orang tua dan keluarganya. Hal itu setelah dia mendapat nasihat dari Ketua Yayasan Madani Kabupaten Kuningan, Ade Supriadi. Walau berbeda keyakinan, Islam mengajarkan setiap anak untuk tetap berbuat baik kepada kedua orang tua.  

‘’Saya kemudian sering mengajak Pak Ade ke rumah untuk menemui ibu dan keluarga saya. Akhirnya mereka tahu bahwa Islam bukan seperti yang mereka pikirkan. Islam adalah agama yang damai dan penuh rahmat,’’ kata Nana kepada Republika.co.id, Kamis (20/1).  

Nana bersyukur, keluarganya akhirnya bisa menerima keislamannya. Meski memang, mereka masih belum mendapat hidayah untuk mengikuti jejaknya memeluk Islam 

Di rumah singgah mualaf itu, Nana belajar lebih dalam tentang akidah Islam. Dia juga belajar tentang pelaksanaan ibadah, termasuk solat dan mengaji. Setiap bakda Magrib, dia belajar membaca Alquran bersama para mualaf lainnya. 

Tak hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara mandiri, para mualaf di rumah singgah juga memiliki aktivitas ekonomi. Mereka memilih berjualan, termasuk Nana. 

Nana berjualan angkringan yang diproduksi sendiri oleh para mualaf di rumah singgah. Selain nasi bakar, ada juga makanan lainnya khas angkringan, seperti nasi kucing, susu jahe, berbagai macam sate, kopi seduh dan lainnya. ‘’Alhamdulillah, walau sambil berjualan, saya tidak pernah ketinggalan untuk belajar agama,’’ tutur Nana. 

Semula, hasil penjualan angkringan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di rumah singgah. Namun, pandemi Covid-19 yang berujung pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), telah memaksa usaha angkringan menjadi terhenti. 

Modal yang ada pun tergerus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di rumah singgah.

Kini, seiring membaiknya pandemi dan bergeliatnya ekonomi masyarakat, para mualaf membutuhkan bantuan modal untuk memulai kembali usaha mereka. ‘’Saya ingin sekali menambah modal untuk memulai usaha kembali,’’ tutur Nana. 

Selain berjualan angkringan, Nana juga sedang membuat produk kerajinan tangan yang nantinya bisa dijual. Namun untuk itu, dia kembali terbentur pada kesulitan modal. Dia berharap, ada uluran tangan dari para hamba Allah untuk membantunya dan para mualaf lainnya di rumah singgah agar bisa berdaya ekonomi. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Bacaan Shalawat Hajjiyyat Agar Dimudahkan Naik Haji

Semua orang Islam pastinya ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima, yakni menunaikan ibadah haji ke baitullah. Oleh sebab itu, banyak cara pun mereka lakukan, baik usaha lahir dengan menabung sebagian rezekinya maupun usaha batin dengan cara berdoa.

Syekh Ahmad Qusyairi di dalam kitab Al-Wasiilah Al-Hariyyah fi Al-Shalawat Ala Khairil Bariyyah telah menuliskan sebuah doa agar dapat menunaikan ibadah haji dalam bentuk shalawat yang disebut dengan shalawat hajjiyat sebagaimana berikut,

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُبَلِّغُنَا بِهَا حَجَّ بَيْتِكَ الْحَرَامِ وَزِيَارَةَ قَبْرِ نَبِيِّكَ عَلَيْهِ أَفْضْلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ فِيْ لُطْفٍ وَعَافِيَةٍ وَسَلَامَةٍ وَبُلُوْغِ الْمَرَامِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهٖ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ.

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin tuballighunaa bihaa hajja baitikal haraam wa ziyaarata qabri nabiyyika alaihi afdhalus shalaatu was salaamu fi luthfin wa ‘aafiyatin wa salaamatin wa bulughil maraam wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa barik wa sallim.

Ya Allah, limpahkanlah rahmat atas junjungan kami Muhammad dengan berkah shalawat yang dapat menyampaikan kami dengannya untuk berkunjung ke rumah Mu yang mulia dan mengunjungi makam nabi-Mu, atasnya shalawat dan salam yang paling utama dalam kelembutan, sehat, selamat, dan tercapai cita-citanya, serta berkahilah dan salam untuk keluarganya dan sahabat-sahabatnya.

Demikianlah shalawat hajjiyat yang diajarkan oleh Imam Ahmad Qusyairi di dalam kitabnya. Shalawat tersebut dapat kita amalkan sebagai bentuk doa atau harapan kita kepada Allah swt. agar dengan izinNya melalui shalawat hajjiyat ini kita dapat menunaikan ibadah haji. Aamiin. Wa Allahu a’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH

Doa Saat Dizalimi Orang Lain

Ketika dizalimi seseorang, dalam Islam kita dianjurkan untuk mendoakan orang yang berbuat zalim. Doa ketika dizalimi, sebagai alternatif dari pada membalas dendam. 

Pasalnya, dendam tak akan pernah usai. Dendam yang melekat di dalam hati, hanya akan melahirkan dendam yang lain lagi. Begitu seterusnya. Untuk itu, ulama menyatakan Jika manusia diuji dengan kezaliman orang, maka kita dianjurkan untuk tidak membalas perlakukan orang tersebut dengan perbuatan serupa. 

Sebaliknya, kita dianjurkan untuk memaafkan orang tersebut dan memohon kepada Allah agar perbuatan zalimnya kepada kita diampuni. Di antara doa ketika dizalimi, yang bisa dibaca sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ اعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَنِيْ اَللَّهُمَّ اعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَنِيْ اَللَّهُمَّ اعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَنِيْ

Allohumma’fu ‘amman dzolamanii. Allohumma’fu ‘amman dzolamanii. Allohumma’fu ‘amman dzolamanii. 

Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku. Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku. Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku.

Doa ini pernah dibaca oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri ketika ada seseorang yang telah menzaliminya. Beliau membaca doa ini dengan harapan agar beliau mendapatkan pahala yang banyak di sisi Allah sebagaimana telah difirmankan dalam surah Al-Syura ayat 40 berikut;

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.

Ini sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Baththal dalam kitab Syarh Shahih Al-Bukhari berikut;

كان الحسن البصري رحمه الله يدعو ذات ليلة: اللهم اعف عمن ظلمني فأكثر في ذلك. فقال له رجل: يا ابا سعيد لقد سمعتك الليلة تدعو لمن ظلمك حت تمنيت ان اكون ممن ظلمك فما دعا الى ذلك قال: قوله تعالى فمن عفا واصلح فاجره على الله

Di suatu malam, Imam Al-Hasan Al-Bashri banyak membaca doa; Allohumma’fu ‘amman dzolamanii.  Lalu ada seseorang yang bertanya kepada beliau; Wahai Abu Sa’id, malam ini aku mendengar kamu banyak berdoa ampunan untuk orang yang telah mendzalimi mu hingga aku berharap akulah yang berbuat zalim pada mu itu. 

Apa yang telah mendorongmu melakukan hal itu? Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata; Yaitu firman Allah; Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.

Demikian penjelasan terkait doa saat dizalimi. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH