Benarkah Rajab Bulan Istighfar?

Istilah “Rajab bulan istighfar” adalah ungkapan yang sering digunakan oleh sebagian orang Muslim untuk merujuk pada bulan Rajab sebagai waktu yang baik untuk meningkatkan aktivitas istighfar, yaitu memohon ampun kepada Allah. Meskipun tidak ada dalil yang secara khusus menyebutkan bahwa Rajab memiliki status istimewa untuk istighfar, namun istighfar merupakan praktik yang dianjurkan dalam agama Islam sepanjang tahun.

Sebagai manusia biasa yang tidak memiliki sifat ma`shum layaknya  para nabi tentu kita memiliki dosa. Dan dosa dosa itu bisa kita lebur dengan melazimkan bacaan istighfar sebagai bentuk taubat kita secara lisan. Karena makna istighfar itu sendiri adalah meminta ampunan Allah Swt. yang mana kata Allah Swt di dalam Al-Qur`an Ia akan mengampuni hamba-hamba-Nya yang meminta ampunan-Nya.

Sebagaimana di dalam surat An-Nisa` ayat 110;

وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا .

Artinya; “Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa dosa yang kita lakukan sebenarnya adalah suatu bentuk ketidakadilan terhadap diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita disarankan untuk memohon ampunan dari Allah Swt melalui istighfar sebagai usaha untuk membersihkan diri dari dosa tersebut.

Bulan Rajab saat ini dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memohon ampunan Allah Swt dengan rajin melazimkan bacaan istighfar. Terdapat banyak seruan dan ajakan yang mengingatkan kita untuk secara rutin menggunakan istighfar guna menghapus dosa-dosa kita dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Mangapa di bulan Rajab dianjurkan untuk memperbanyak istighfar, karena bulan Rajab adalah bualnnya Allah Swt yang mana kita sebagai hambanya dianjurkan untuk memperbaiki hubungan dengan-Nya dalam bentuk amaliyah-amaliyah baik, utamanya meminta ampuna-Nya atas dosa-dosa kita. sebagaimana Sabda Nabi Muhammad;

رجب شهر الله وشعبان شهري ورمضان شهر أمتي

Artinya; “Rajab adalah bulannya Allah, Sya`ban bulanku, dan Ramadhan bulannya umatku. (HR. Dailami).

Benarkah Rajab Bulan Istighfar ?

Menurut ulama, bulan Rajab disebut bulan maghfirah karena memang bulan inilah dikhususkan Allah SWT untuk mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya:

رجب شهر الإستغفار وشعبان شهر الصلاة على النبي المختار ورمضان شهر القرأن

Artinya; “Rajab bulan ampunan, Sya`ban bulan shalawat kepada Nabi Muhammad, Ramdhan bulan Al-Qur’an.”

Maka perbanyaklah kita beristighfar sesuai kemampuan kita di setiap saat bulan Rajab ini, sebab kita tidak tahu kapan ampunan Allah itu turun, karena jika bacaan istighfar kita bertepatan dengan turunnya maghfirah Allah maka niscaya dosa-dosa kita akan diampuni.

Imam Hasan Al-Basri berkata;

وَقَالَ الْحَسَنُ: ‌أَكْثِرُوا ‌مِنَ ‌الِاسْتِغْفَارِ فِي بُيُوتِكُمْ، وَعَلَى مَوَائِدِكُمْ، وَفِي طُرُقِكُمْ، وَفِي أَسْوَاقِكُمْ، وَفِي مَجَالِسِكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ، فَإِنَّكُمْ مَا تَدْرُونَ مَتَى تَنْزِلُ الْمَغْفِرَةُ.

Artinya; “Perbanyaklah beristighfar di rumah-rumah kalian, di jamuan-jamuan, di jalan-jalan, di pasar-pasar, dan di majelis di manapun kalian berada, karena sesungguhnya kalian tidak tahu kapan ampunan Allah diturunkan.” (HR. Ibnu Abid Dunya).

Itulah penjelasan sekaligus jawaban dari pertanyaan benarkah Rajab bulan Istighfar? Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Nasab Nabi Muhammad

Nasab Nabi Muhammad (saw) merujuk pada silsilah beliau, yaitu garis keturunannya hingga ke Nabi Adam (as). Ada dua jalur utama yang biasa digunakan untuk menyebutkan nasab beliau, yaitu dari pihak ayah dan pihak ibu.

Imam Ibnu Hisyam dalam kitab al-Sîrah al-Nabawiyyah, menulis nasab Rasulullah Muhammad. Salah satu aspek penting dari al-Sīrah al-Nabawiyyah adalah penyajian nasab atau silsilah keturunan Rasulullah Muhammad SAW.

Imam Ibnu Hisyam dengan cermat merinci keturunan Nabi SAW hingga ke Nabi Ibrahim AS. Nasab Nabi SAW ini dianggap suatu kehormatan dan merupakan bagian penting dalam mengetahui kedudukan beliau dalam garis keturunan para nabi sebelumnya.

هَذا كِتَابُ سِيْرَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عليه وسلّم، هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ — وَاسْمُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: شَيْبَةَ بن هَاشِمِ — وَاسْمُ هَاشِمِ: عُمَرُو بن عَبْدِ مَنَافِ — وَاسْمُ عَبْدِ مَنَافِ: المغِيْرَةُ بن قُصَيّ بن كِلَابِ بن مُرَّةَ بن كَعْبِ بن لُؤَيِّ بن غَالِبِ بْن فِهْرِ بن مالِكِ بن النَّضْرِ بن كِنَانَةَ بنِ خُزَيْمَةَ بن مُدْرِكَةَ — واسمُ مُدْرِكَةَ: عَامِرِ بن إِلْيَاس بن مُضَر بن نِزَار بن مَعَدِّ بن عَدْنَانَ بن أُدَّ — ويقالُ أُدَدَ بن مُقَوِّمِ بن نَاحُوْر بن تَيْرَح بن يَعْرُبَ بن يَشْجُبَ بن نَابَت بن إِسْمَاعِيْلَ بن إِبْرَاهِيْمَ — خليلُ الرَّحمنِ — بن تَارِح — وهوَ آزَر — بن نَاحُوْر بن سَارُوْغ بن رَاعُو بن فَالِخ بن عَيْبَر بن شَالِخ بن أَرْفَخْشَذ بن سَام بن نُوْح بن لَمَك بن مَتُّو شَلَخ بن أَخْنُوْخ — وَهو إِدْرِيْسُ النَّبِي — وَكانَ أَوَّلَ بَنِي آدَمَ أُعْطِي النُّبُوَّةَ وَخَطَّ بِالْقَلَمِ — ابن يَرْد بن مَهْلَيِل بن قَيْنَن بن يَانِش بن شِيْث بن آدَمَ عليه السلام

Artinya; Ini adalah kitab sejarah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib. Nama Abdul Muththalib adalah Syaibah bin Hasyim, dan nama Hasyim adalah Amiru bin Abd Manaf. Nama Abd Manaf adalah Al-Mughirah bin Qusai bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Al-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah.

Nama Mudrikah adalah ‘Amir bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma’add bin Adnan bin Udad, atau disebutkan juga Udad bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Yarrah bin Ya’rub bin Yashjub bin Nabit bin Isma’il bin Ibrahim, Khalilullah. Bin Tayrah, yang juga disebut Azar, bin Nahur bin Sarugh bin Ra’u bin Falaq bin ‘Ayyub bin Shalikh bin Arfakhshad bin Sam bin Nuh bin Lamak bin Mattushlakh bin Akhnukh. Dan beliau adalah Idris Nabi, yang pertama kali diberi kenabian dan menulis dengan pena. Bin Yarad bin Mahlayil bin Qainan bin Yanish bin Sheis bin Adam ‘alaihis salam.

Adapun dari jalur ibunya adalah sebagai berikut;

هِيَ آمِنَةُ بِنْتُ وَهْبٍ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ ) وَأُمُّهَا بَرَّةُ بِنْتُ عَبْدِ الْعُزَّي بن عُثْمَانَ بن عَبْدِ الدَّارِ بن قُصَيِّ بن كَلَاب(. وَأُمُّهَا أُمُّ حَبِيْبِ بنت أَسَد بن عَبْدِ الْعُزَّي بن قُصَيِّ بنِ كِلَاب

Artinya; Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah. [Ibunya Sayidah Aminah adalah Barrah binti Abdul ‘Uzza bin Utsman bin Abdul Dar bin Qushay bin Kilab. Ibunya Barrah binti Abdul ‘Uzza adalah Ummu Habib binti Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay bin Kilab.

Demikian penjelasan terkait Nasab Nabi Muhammad. Sosok yang sangat mulia dan penuh dedikasi pada umat.

BINCANG SYARIAH

Hikmah Penyandaran Nasab Kepada Ayah

Penyandaran nasab kepada ayah, atau pengakuan keturunan terhadap ayah, memiliki beberapa hikmah atau manfaat yang penting dalam konteks hukum, sosial, dan spiritual. Berikut adalah beberapa hikmah penyandaran nasab kepada ayah.

Nasab atau hubungan darah merupakan sesuatu yang sangat penting mulai dari zaman dahulu sampai dengan sekarang. Di dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan bahwa nasab merupakan  asal-usul manusia dan asal-usul keturunannya yang harus dijaga.

وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ مِنَ ٱلْمَآءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُۥ نَسَبًا وَصِهْرًا ۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.” (QS. Al-Furqan: 54).

Pentingnya persoalan nasab ini dikarenakan banyaknya hak-hak yang bersangkutan dengan hukum agama maupun hukum perdata dalam bernegara.

Di dalam agama nasab bisa menjadi penentu sah atau tidaknya suatu pernikahan, sebab salah satu rukun dalam pernikahan adalah adanya wali dari perempuan yang berupa ayah kandung yang memiliki hubungan darah secara langsung dengannya dan jika tidak, maka yang bisa menggantikannya adalah orang yang masih memiliki hubungan darah seperti kakek, paman ataupun yang lainnya.

Sementara dalam hukum agama dan negara, nasab juga menjadi penentu seseorang bisa mendapatkan hak-haknya, seperti harta waris, nafkah dan masih banyak yang lainnya. 

Nasab manusia selalu diidentikkan atau disandarkan kepada seorang ayah, kecuali anak yang dilahirkan dari hasil zina atau hubungan yang dilakukan tanpa ikatan pernikahan, sehingga anak ini tidak bisa mendapatkan hak-haknya dari seorang ayah. Rasulullah bersabda mengenai anak yang terlahir dari hasil zina:

لأهل أمه من كانوا

“(Anak hasil zina) adalah (disandarkan) kepada keluarga ibunya …” (HR. Abu Dawud).

Penyandaran nasab kepada seorang ayah memiliki hikmah tersendiri, yaitu berupa pembentukan elemen di dalam tubuh seperti tulang dan sendi-sendi seorang anak terbentuk dari air mani ayahnya. 

Hikmah tersebut dijelaskan di dalam kitab Hasyiyah al-Bujairomi dengan redaksi yang berbunyi:

فإن قيل: ما الحكمة في أن الولد ينسب إلى الأب دون الأم. قيل: لأن ماء الأم يخلق منه الحسن في الولد والسمن والهزال والشعر واللحم وهذه الأشياء لا تدوم في الولد بل تزول أو تتغير وتذهب وماء الرجل يخلق منه العظم والعصب والعروق والمفاصل وهذه الأشياء لم تفارقه إلى أن يفنى

“Jika dikatakan: Apa hikmahnya nasab seorang anak disandarkan kepada bapaknya (bukan ibunya)? Maka dikatakan: (Penyandaran tersebut) dikarenakan air mani ibu memberikan efek kecantikan, gemuk, kurus, rambut, dan daging pada anak, dan hal-hal ini tidak bertahan lama pada anak, melainkan akan hilang atau berubah dan lenyap. Sementara air mani laki-laki menciptakan tulang, saraf, urat, dan persendian pada anak, dan hal-hal itu tidak akan bisa dipisahkan sampai anak itu sudah tiada.”

Demikianlah penjelasan mengenai hikmah di balik penyandaran nasab kepada ayah. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa setiap hal-hal yang ditetapkan oleh syariat pasti terdapat hikmah di dalamnya, baik itu hikmah yang sudah diketahui maupun belum diketahui. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Mengapa Rajab Terpisah dari Bulan Haram Lainnya?

Bulan Rajab adalah salah satu dari empat bulan haram dalam Islam. Bulan haram adalah bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT dan memiliki keutamaan tersendiri. Bulan Rajab terletak di antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban. Tiga bulan haram lainnya, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, berurutan letaknya. Lantas bagaimana Rajab terpisah dari bulan Haram Lainnya?

Sebagaimana kita ketahui Allah menetapkan empat dari dua belas bulan Hijriah sebagai bulan haram. Bulan-bulan ini disebut bulan haram karena Allah menjadikannya bulan-bulan yang dihormati. Oleh karena itu, kita sangat ditekankan untuk tidak merusak kemuliaan bulan-bulan ini dengan kemaksiatan. Dia berfirman dalam Q.S. At-Taubah [9]: 36,

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ 

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan,(sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauhul mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu) (QS. At-Taubah [9]: 36).

Imam Thabari menjelaskan bahwa makna larangan menzalimi diri sendiri di ayat ini adalah berbuat maksiat, baik dalam bentuk melakukan larangan Allah, meninggalkan ketaatan kepada-Nya, maupun menghalalkan yang Allah haramkan dan sebaliknya. (Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an)

Sahabat Ibnu Abbas ra. menegaskan, larangan berbuat keburukan di keempat bulan ini lebih ditekankan, sampai-sampai nilai dosa atas maksiat dan nilai pahala atas amal kebaikan lebih besar daripada bulan-bulan lainnya, selain bulan Ramadhan.

Rajab Membuka Gerbang Menuju Sayyidus Syahr

Bulan Rajab sendiri bermakna bulan yang dimuliakan. Bulan ini terletak antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban. Sahabat Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa bulan-bulan haram adalah bulan untuk berlatih memperbanyak amal shaleh dan menjauhi maksiat, karena besarnya ganjaran pahala maupun dosa di bulan ini.Para ulama menjelaskan, di antara hikmah tiga bulan haram yang datang berturut-turut adalah untuk mengamankan perjalanan jamaah dan pelaksanaan ibadah haji hingga kepulangan mereka yang berlangsung di bulan Zulqaidah, Zulhijjah, dan Muharram. Sedangkan Bulan Rajab disebut sebagai bulan orang-orang datang untuk beribadah umrah ke tanah suci.

Namun, terpisahnya bulan Rajab dari bulan lain memiliki hikmah lain, yakni mempersiapkan diri menyambut bulan paling mulia, yaitu Ramadhan.Bulan Ramadhan ibarat waktu ujian, waktu kita untuk menunjukkan hasil dari latihan beramal selama sebelas bulan sebelumnya. Semakin dekat hari ujian itu, semakin ketat pula latihan yang dilakukan. Agar di hari ujian, kita siap dan kuat secara lahir batin menemui hari itu.Memasuki bulan Rajab ibarat membuka gerbang menuju bulan Ramadhan, di mana kekuatan jasmani dan rohani ditempa lebih keras, dan kebiasaan-kebiasaan dibangun lebih baik. Tujuannya agar kita siap tempur di bulan Ramadhan mengerahkan segala usaha dan upaya untuk memperbanyak ibadah kepada-Nya, lahir dan batin.Jika merujuk pada ayat yang membicarakan bulan haram dan ayat perintah puasa Ramadhan, ada sesuatu yang unik. Di dalam ayat yang membicarakan kemuliaan bulan haram, Allah berfirman dalam Q.S. At-Taubah [9]: 36,

وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. At-Taubah [9]: 36).Adapun di ayat perintah puasa Ramadhan, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 183,

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 183).Kedua ayat ini berjalan pada tujuan yang sama yaitu ketakwaan. Imam Thabari menjelaskan dalam tafsir ayat At-Taubah di atas bahwa di antara ciri-ciri orang bertakwa adalah yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, sesuai dengan spirit bulan haram.Amalan puasa Ramadhan juga demikian, perintah puasa bertujuan agar orang-orang mukim naik kelas menjadi orang-orang yang bertakwa. Kesamaan spirit ini juga menjadi alasan mengapa kita mesti memanfaatkan bulan Rajab sebaik-baiknya,Oleh karena itu, jangan sampai kita melewatkan bulan Rajab begitu saja, tanpa kesadaran akan kemuliaan akan bulan ini. Sebagaimana Allah memuliakan Rajab, maka muliakanlah Rajab dengan semangat mengerjakan kebaikan dan menjauhi maksiat. Selain itu, mari perbanyak amal shaleh sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah yang akan meningkatkan ketakwaan kita kepada-Nya.Demikian penjelasan terkait mengapa Rajab terpisah dari Bulan Haram lainnya? Semoga Allah hargai usaha setiap hamba yang bertaqarrub kepada-Nya, dan menyampaikan kita pada bulan mulia. Allahumma baarik lanaa fi Rajaba wa Sya’baana, wa ballighnaa Ramadhaana.

BINCANG SYARIAH

Terbangun Malam Hari? Segera Baca Doa dan Dzikir yang Disusun dari Ayat-Ayat Alquran Ini

Islam mengajarkan doa dan dzikir sepanjang hari

Islam mengajarkan agar dalam perputaran waktu 24 jam, umat Muslim tak lepas dari dzikir dan doa-doa agung. Termasuk ketika seorang Muslim terbangun di malam hari, dianjurkan untuk berdzikir dan berdoa.  

M Muinudinillah dalam buku 24 Jam Dzikir dan Doa Rasulullah menjabarkan mengenai dzikir dan doa ketika seorang Muslim terbangun di malam hari sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW.

Baca doa berikut: 

لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ أَسْتَغْفِرُكَ لِذَنْبِي وَأَسْأَلُكَ رَحْمَتَكَ اللَّهُمَّ زِدْنِي عِلْمًا وَلَا تُزِغْ قَلْبِي بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنِي وَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“La Ilaha Illa Anta subhanakallahumma astaghfiruka lidzanbi wa as’aluka rahmatakallahumma Zidni ‘Ilman Wa Laa Tuzigh Qalbi Ba’daidz Hadaitani Wa Habli Min Ladunka Rahmatan Innaka Antal Wahhab.”

Yang artinya, “Tiada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau ya Allah, aku meminta pengampunan kepada-Mu untuk dosaku, dan aku meminta rahmat-Mu. Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepadaku, jangan Engkau condongkan hatiku kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk. Dan karuniakanlah kepadaku rahmat dari sisi Engkau. Karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi karunia.”

Setelah membaca zikir ini, kemudian dilanjutkan dengan membaca Surat Ali Imran ayat 190 sampai 200:

Ayat 190:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِ

“Inna fī khalqis-samāwāti wal-arḍi wakhtilāfil-laili wan-nahāri la’āyātil li’ulil-albāb(i).”

Yang artinya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”

Ayat 191:

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًا سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ 

Al-lażīna yażkurūnallāha qiyāmaw wa qu‘ūdaw wa ‘alā junūbihim wa yatafakkarūna fi khalqis-samāwāti wal-arḍ(i), rabbanā mā khalaqta hāżā bāṭilā(n), subḥānaka fa qinā ‘ażāban-nār(i).”

Yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.”

Ayat 192:

رَبَّنَآ اِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ اَخْزَيْتَهٗ وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ

“Rabbanā innaka man tudkhilin-nāra faqad akhzaitah(ū), wa mā liẓ-ẓālimīna min anṣār(in).”

Yang artinya, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang yang zalim.”

 Ayat 193:

رَبَّنَآ اِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُّنَادِيْ لِلْاِيْمَانِ اَنْ اٰمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَاٰمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّاٰتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ    الْأَبْرَارِرِۚ

“Rabbanā innanā sami‘nā munādiyay yunādī lil-īmāni an āminū birabbikum fa āmannā, rabbanā fagfir lanā żunūbanā wa kaffir ‘annā sayyi’ātinā wa tawaffanā ma‘al-abrār(i).”

Yang artinya, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru pada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan.”

Ayat 194:

رَبَّنَا وَاٰتِنَا مَا وَعَدْتَّنَا عَلٰى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ

“Rabbanā wa ātinā mā wa‘attanā ‘alā rusulika wa lā tukhzinā yaumal-qiyāmah(ti), innaka lā tukhliful-mī‘ād(a).”

Yang artinya, “Tuhan kami, anugerahilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.”

Ayat 195:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى بَعْضُكُمْ مِّنْ بَعْضٍ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ 

“Fastajāba lahum rabbuhum annī lā uḍī‘u ‘amala ‘āmilim minkum min żakarin au unṡā, ba‘ḍukum mim ba‘ḍ(in), fal-lażīna hājarū wa ukhrijū min diyārihim wa ūżū fī sabīlī wa qātalū wa qutilū la’ukaffiranna ‘anhum sayyi’ātihim wa la udkhilannahum jannātin tajrī min taḥtihal-anhār(u), ṡawābam min ‘indillāh(i), wallāhu ‘indahū ḥusnuṡ-ṡawāb(i).”

Yang artinya, “Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka, orang-orang yang berhijrah, diusir dari kampung halamannya, disakiti pada jalan-Ku, berperang, dan terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai pahala dari Allah. Di sisi Allahlah ada pahala yang baik.”

Ayat 196:

لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِى الْبِلَادِ

“Lā yagurrannaka taqallubul-lażīna kafarū fil-bilād(i).”

Yang artinya, “Jangan sekali-kali kamu teperdaya oleh bolak-balik perjalanan orang-orang yang kufur di seluruh negeri.”

Ayat 197:

مَتَاعٌ قَلِيْلٌ ثُمَّ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Matā‘un qalīl(un), ṡumma ma’wāhum jahannam(u), wa bi’sal-mihād(u).”

Yang artinya, “(Semua itu hanyalah) kesenangan sementara, kemudian tempat kembali mereka ialah (neraka) Jahanam. Itulah seburuk-buruk tempat tinggal.”

Ayat 198:

لٰكِنِ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ لَهُمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا نُزُلًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ خَيْرٌ لِّلْاَبْرَارِ

“Lākinil-lażīnattaqau rabbahum lahum jannātun tajrī min taḥtihal-anhāru khālidīna fīhā nuzulam min ‘indillāh(i), wa mā ‘indallāhi khairul lil-abrār(i).”

Yang artinya, “Akan tetapi, orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, mereka akan mendapat surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya sebagai karunia dari Allah. Apa yang di sisi Allah itu lebih baik bagi orang-orang yang selalu berbuat baik.”

Ayat 199:

وَاِنَّ مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَمَنْ يُّؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِمْ خٰشِعِيْنَ لِلّٰهِ لَا يَشْتَرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ ثَمَنًا قَلِيْلًا اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ اِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

“Wa inna min ahlil-kitābi lamay yu’minu billāhi wa mā unzila ilaikum wa mā unzila ilaihim khāsyi‘īna lillāh(i), lā yasytarūna bi’āyātillāhi ṡamanan qalīlā(n), ulā’ika lahum ajruhum ‘inda rabbihim, innallāha sarī‘ul-ḥisāb(i).”

Yang artinya, “Sesungguhnya di antara Ahlulkitab ada yang beriman kepada Allah dan pada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka. Mereka berendah hati kepada Allah dan tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga murah. Mereka itu memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.”

Ayat 200:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ

“Yā ayyuhal-lażīna āmanuṣbirū wa ṣābirū wa rabiṭū, wattaqullāha la‘allakum tufliḥūn(a).”

Yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga di perbatasan (negerimu), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” 

Keutamaan dzikir

Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya, Madarij as-Salikin, di antara keutamaan dzikir yang dilakukan secara rutin dan istiqamah adalah sebagai berikut. Enam Keutamaan Dzikir kepada Allah SWT yaitu:

1. Mendapatkan banyak keberuntungan. Orang yang istiqamah mengamalkan dzikir akan mendapatkan keberuntungan secara terus menerus. Keberuntungan tersebut bisa berupa rahmat, kebaikan, dan lain-lain.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالاَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ المَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ.

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhuma, mereka berdua berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir (mengingat) Allah, melainkan mereka dikelilingi oleh para malaikat, diliputi oleh rahmat, diturunkan sakinah (ketenangan), dan mereka disebut oleh Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya.’” (HR Muslim, no 2700).

2. Mendapatkan pujian Allah SWT serta berita tentang surga-neraka. Orang yang istiqamah mengamalkan dzikir akan mendapatkan pujian dari-Nya. Berita tentang surga dan neraka juga Allah sediakan bagi orang yang senang berdzikir.

3. Mendapatkan pahala yang sangat besar. Dzikir merupakan ibadah yang pahalanya sangat besar. Pahala dzikir lebih besar dari segala sesuatu. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Ahzab ayat 35. إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ

وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al Ahzab: 35).

4. Kunci dan penutup amal shalih. Dalam setiap perbuatan amal shalih, dzikir berfungsi sebagai kunci dan sekaligus penutupnya. Dzikir adalah penutup amal-amal shalih dan juga sebagai kuncinya. Artinya, dzikir dapat menyempurnakan pahala dari setiap amal shalih.

5. Digolongkan sebagai orang-orang berakal. Keistimewaan dzikir berikutnya adalah bahwa orang yang berdzikir digolongkan dengan orang yang mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah SWT. Hanya golongan orang berakal yang dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah SWT. 6. Ruh dari amal saleh. Allah SWT menjadikan dzikir sebagai penyerta semua amal shalih dan sekaligus sebagai ruh amal saleh. Amal saleh yang kehilangan dzikir, ibarat jasad tanpa nyawa.

Demikianlah beberapa keistimewaan dzikir yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim. Allah SWT mengistimewakan amalan dzikir setiap hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam Alquran: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُ سَلَامٌ ۚ وَأَعَدَّ لَهُمْ أَجْرًا كَرِيمًا “Hai orang-orang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dia Mahapenyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah salam; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.” (QS Al Ahzab ayat 41-44) 

IQRA REPUBLIKA

Lakukan Sholat Hajat Saat Sedang Terhimpit Kesulitan, Ini Tata Cara dan Doanya

Orang yang mengalami kesulitan, hendaklah melakukan sholat hajat.

Salah satu sholat sunnah yang dianjurkan dilakukan oleh orang yang sedang mengalami kesusahan adalah sholat hajat. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain menjelaskan orang yang sedang mengalami kesempitan, berhajat untuk kemaslahatan agama dan dunianya, dan merasakan kesulitan, hendaklah melakukan sholat hajat.

Adapun cara melaksanakan sholat hajat adalah sebagaimana berikut. Dilansir dari laman resmi Kementerian Agama RI.

Tata Cara, Niat, dan Doa Sholat Hajat

1. Niat melaksanakan sholat hajat

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الحَاجَةِ رَكْعَتَيْنِ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى

Ushallî sunnatal ḫâjati rak‘ataini adâ‘an lillâhi ta‘âlâ.

“Aku sengaja sholat sunnah hajat dua rakaat tunai karena Allah SWT.”

2. Membaca Surat Al-Fatihah

Setelah itu, dilanjutkan dengan membaca surat-surat pendek (dianjurkan untuk membaca surat Al-Ikhlas dan ayat kursi).

3. Setelah selesai sholat, dianjurkan untuk membaca shalawat dan doa seperti ini

سُبْحَانَ الَّذِي لَبِسَ العِزَّ وَقَالَ بِهِ، سُبْحَانَ الَّذِي تَعَطَّفَ بِالمَجْدِ وَتَكَرَّمَ بِهِ، سُبْحَانَ ذِي العِزِّ وَالكَرَمِ، سُبْحَانَ ذِي الطَوْلِ أَسْأَلُكَ بِمَعَاقِدِ العِزِّ مِنْ عَرْشِكَ وَمُنْتَهَى الرَّحْمَةِ مِنْ كِتَابِكَ وَبِاسْمِكَ الأَعْظَمِ وَجَدِّكَ الأَعْلَى وَكَلِمَاتِكَ التَّامَّاتِ العَامَّاتِ الَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بِرٌّ وَلَا فَاجِرٌ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Subḫânal-ladzî labisal-‘izza wa qâla bihi. Subḫânal-ladzî ta‘aththafa bil-majdi wa takarrama bihi. Subḫâna dzil-‘izzi wal-kirami, subḫâna dzith-thauli as’aluka bimu‘âqidil-‘izzi min ‘arsyika wa muntahar-raḫmati min kitâbika wa bismikal-a‘dhami wa jaddikal-a‘la wa kalimâtikat-tâmmâtil-‘âmmâtil-latî lâ yujâwizuhunna birrun wa lâ fâjirun an tushalliya ‘ala sayyidinâ Muḫammadin wa ‘ala âli sayyidinâ Muḫammadin.

“Maha Suci Dzat yang mengenakan keagungan dan berkata dengannya. Maha Suci Dzat yang menaruh iba dan menjadi mulia karenanya. Maha Suci Dzat pemilik keagungan dan kemuliaan. Maha Suci Dzat pemilik karunia. Aku memohon kepada-Mu agar bershalawat untuk Sayyidina Muhammad dan keluarganya dengan garis-garis luar mulia Arasy-Mu, puncak rahmat kitab-Mu, dan dengan nama-Mu yang sangat agung, kemuliaan-Mu yang tinggi, kalimat-kalimat-Mu yang sempurna dan umum yang tidak dapat dilampaui oleh hamba yang taat dan durjana.”

Doa Sholat Hajat

Setelah itu, dianjurkan juga untuk membaca doa Rasulullah SAW sebagaimana riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الحَلِيمُ الكَرِيْمُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ العَلِيُّ العَظِيْمُ سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيْمِ والحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

Lâ ilaha illallâhul-ḫalîmul-karîmu, lâ ilaha illallâhul-‘aliyyul-adhîmu subḫânallâhi rabbil-‘arsyil-‘adhîmi wal-ḫamdulillâhi rabbil-‘alamîna.

“Tiada Tuhan selain Allah yang santun dan pemurah. Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Tinggi dan Agung. Maha Suci Allah, Tuhan Arasy yang megah. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam.”

Selanjutnya, orang yang sedang memiliki hajat tertentu bisa melanjutkan bacaan doa Rasulullah SAW sebagaimana riwayat Imam At-Tirmidzi.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مُوْجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيْمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لَا تَدَعْ لِيْ ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضىً إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allâḫumma innî as’aluka mûjibâti raḫmatika, wa ‘azâ’ima maghfiratika, wal-ghanîmata min kulli birrin, was-salâmata min kulli itsmin lâ tada‘ lî dzanban illâ ghafartahu, wa lâ hamman illâ farrajtahu, wa lâ ḫâjatan hiya laka ridlan illâ qadlaitahâ yâ arḫamar-râḫimîna.

“Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Lembut dan Maha Mulia. Maha Suci Allah, penjaga Arasy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta. Aku mohon kepada-Mu bimbingan amal sesuai rahmat-Mu, ketetapan ampunan-Mu, kesempatan meraih sebanyak kebaikan, dan perlindungan dari segala dosa. Janganlah Kau biarkan satu dosa tersisa padaku, tetapi ampunilah. Jangan juga Kau tinggalkanku dalam keadaan bimbang, karenanya bebaskanlah. Jangan juga Kau terlantarkan aku yang sedang berhajat sesuai ridha-Mu karena itu penuhilah hajatku. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Setelah doa-doa tersebut dipanjatkan, tahapan terakhir adalah memanjatkan doa dengan khusyuk memohon kepada Allah agar urusan atau hajat yang kamu inginkan itu bisa dikabulkan. Wallahu a‘lam.

Infografis Rahasia Surat Al Mulk – (Republika.co.id)Infografis Rahasia Surat Al Mulk – (Republika.co.id)

Hukum Jual Beli Mushaf Bertanda Wakaf

السؤال

تبيع بعض المحلات التجارية هنا في مصر مصاحف المدينة النبوية التي يصدرها مجمع الملك فهد في السعودية ، وبعض المصاحف مكتوب فيها تنبيهات مثل : هدية الملك لحجاج بيت الله الحرام ، وقف لله تعالى ولا يجوز بيعه ، فهل يجوز شراء هذه المصاحف على الرغم من وجود ما يشير إلى أنها ” هدية ووقف لا يجوز بيعه “ ؟

Pertanyaan:

Beberapa toko di Mesir menjual mushaf Madinah yang diterbitkan Kompleks Percetakan al-Quran Raja Fahad di Arab Saudi. Di sebagian mushaf itu tertulis peringatan, seperti “Hadiah Raja kepada para jemaah haji di Baitullah al-Haram. Wakaf untuk Allah, tidak boleh dijual.” Bolehkah membeli mushaf seperti ini meskipun sudah ada pemberitahuan bahwa itu adalah hadiah dan wakaf yang tidak boleh dijual?

ملخص الجواب

والحاصل : أن الإذن في شراء مثل هذه المصاحف الموقوفة مقيد بأن تبقى عنده وقفا ، وألا يغير شرط الواقف ، متى كان وقفها على جهة خاصة ، وأمكن تنفيذه ، وإلا جعله في أقرب مصرف إلى شرط الواقف الأول . فإن لم يعين جهة الوقف ، وهذا هو الغالب ، خاصة على الجديد منها : فله أن ينتفع بها بنفسه ، أو بغيره ، لكن على جهة الانتفاع بالوقف ، لا التملك . والله أعلم .

Ringkasan Jawaban:

Kesimpulannya, bahwa kebolehan membeli mushaf wakaf seperti ini terikat dengan keharusan untuk tetap menjadikan statusnya sebagai barang wakaf dan tidak boleh mengubah syarat yang ditetapkan oleh wakif yang pertama, jika memang wakafnya adalah untuk maksud tertentu dan bisa dijalankan. Jika tidak bisa, maka harus digunakan untuk maksud yang paling mendekati syarat yang ditetapkan oleh wakif yang pertama. Apabila maksud wakafnya tidak ditetapkan secara spesifik —dan umumnya seperti ini— khususnya pada mushaf-mushaf yang terbaru, maka ia boleh memanfaatkan mushaf itu untuk dirinya sendiri atau orang lain sesuai dengan maksud wakaf tersebut tanpa memilikinya. Allah Yang lebih Mengetahui.

الجواب

الحمد لله.

أولا :

من أحكام الوقف في الإسلام : أنه لا يجوز بيعه ، ويدل على هذا من السنة : أن النبي صلى الله عليه وسلم لما أشار على عمر بن الخطاب رضي الله عنه أن يوقف نصيبه من خيبر قال له : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ ، لَا يُبَاعُ ، وَلَا يُوهَبُ ، وَلَا يُورَثُ ، وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ ) رواه البخاري (3764) ، ومسلم (1633) .

قال النووي رحمه الله في شرح صحيح مسلم :

”وَفِي هَذَا الْحَدِيث : دَلِيل عَلَى أَنَّ الْوَقْف لَا يُبَاع وَلَا يُوهَب وَلَا يُورَث“ انتهى .

Jawaban:

Alhamdulillah. Pertama, bahwa di antara hukum wakaf dalam Islam adalah tidak boleh menjualnya. Hal ini ditunjukkan oleh Sunah ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengarahkan Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— untuk mewakafkan bagian tanahnya di Khaibar, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadanya, “Sedekahkah tanahnya, tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan, tetapi hasilnya yang dimanfaatkan.” (HR. Bukhari (3764) dan Muslim (1633)). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan dalam Syarah Shahih Muslim bahwa dalam hadis ini terdapat dalil bahwa wakaf tidak dapat dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Selesai kutipan.

وجاء في ” الموسوعة الفقهية “ (44/ 202) : ” يَحْرُمُ بَيْعُ الْوَقْفِ وَلا يَصِحُّ “ انتهى .

وسئل الشيخ عبد المحسن العباد حفظه الله :

” رأيت أحد الباعة يبيع كتاباً مكتوباً عليه : وقف لله تعالى ، فهل يجوز له ذلك ؟

فأجاب : لا يجوز بيع ما هو موقوف “ انتهى .

http://ar.islamway.net/fatwa/29820

Disebutkan dalam al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah (44/202) bahwa haram dan tidak sah hukumnya menjual wakaf. Selesai kutipan. Syekh Abdul Muhsin al-Abbad —Semoga Allah Menjaganya— pernah ditanya, “Saya pernah melihat seorang pedagang menjual kitab yang tertulis padanya ‘Wakaf untuk Allah Subẖānahu wa Taʿālā’, apakah dia boleh melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Tidak boleh menjual sesuatu yang diwakafkan.” Selesai kutipan. http://ar.islamway.net/fatwa/29820

ثانيا :

إذا تقرر أن المصاحف الموقوفة ، ومثلها الكتب ، وسائر أنواع ما يوقف : لا يجوز بيعها ولا شراؤها ؛ فالذي ينبغي هو نصح أصحاب هذه المحلات ، ويبين لهم أنه لا يجوز لهم المتاجرة في هذه المصاحف .

ونظرا لأن الواقف لهذه المصاحف أراد بذلك أن ينتفع المسلمون بالقراءة فيها ، فلا حرج على المسلم من شراء هذه المصاحف ، بنية استنقاذها ممن غصبها من مستحقها ، وتاجر فيها ، ولا حرج عليه في الاستفادة منها بنفسه ، أو إعطائها لغيره ممن يستفيد منها ؛ فإنه يحقق بذلك مقصود الواقف لها ، ولكنها تنتقل إلى المشتري لها على أنها وقف ، فلا يجوز له بيعها بعد ذلك ؛ بل ولا يجوز له أن يغير شرط الواقف لها إذا كان قد وقفها على جهة خاصة ، وأمكنه أن يرده إليها .

Kedua, jika sudah dipastikan bahwa mushaf-mushaf tersebut adalah wakaf, begitu juga dengan kitab-kitab dan semua hal lain yang diwakafkan, maka tidak boleh diperjualbelikan. Yang seyogianya dilakukan adalah menasihati pemilik toko tersebut dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka tidak boleh memperdagangkan mushaf-mushaf tersebut. Menimbang bahwa wakif mushaf-mushaf tersebut menginginkan agar umat Islam membacanya, maka tidak mengapa jika ada seorang muslim membeli mushaf ini dengan niat ‘menyelamatkannya’ dari ‘orang yang merampas’ hak wakaf itu kepada orang yang berhak menerimanya. 

Orang yang memperdagangkannya boleh memanfaatkannya untuk dirinya sendiri atau memberikannya kepada orang lain yang akan akan memanfaatkannya, karena dengan itu terpenuhi maksud yang diinginkan oleh si wakif. Hanya saja, perpindahan mushaf itu kepada pembeli tetaplah berstatus sebagai wakaf, dan setelah itu ia tidak boleh dijual lagi, bahkan dia tidak boleh mengubah syarat yang telah ditetapkan wakif, jika memang dia telah mewakafkannya untuk maksud tertentu dan masih mungkin untuk dilaksanakan demikian.

فإذا لم يمكنه أن يرده إلى الجهة المعينة التي وقفها عليها الواقف الأول ، فإنه يصرفها في أقرب الجهات إليها ؛ فإذا كان قد وقف المصحف على مسجد معين ـ مثلا ـ وجب عليه أن يرده إليه ، متى استنقذه من بائعه ؛ فإذا تعذر ذلك ، وضعها في مسجد آخر ، يحتاج إليها .

قال القاضي أبو يعلى ، رحمه الله :

” ويكون الشراء في الحقيقة استنقاذا وفداء وغير ممتنع أن يقع العقد على وجه الاستنقاذ ؛ فيكون جائزا في حق الباذل للعوض ، وهو ممنوع منه في حق الآخذ ، بدليل فك الأسير من أيدي المشركين بعوض يُبذل لهم ، فهو استنقاذ وفداء مباح من جهة الباذل ، ومحرم من جهة الآخذ“ انتهى، من ”الأحكام السلطانية“ (206) .

وينظر : ”الكافي“ (2/7) .

Jika ia tidak mampu mengembalikannya kepada maksud spesifik yang diinginkan si wakif pertama, maka ia harus mengalihkannya untuk maksud lain yang paling mendekati maksud tersebut. Jadi, jika dia si wakif mewakafkannya untuk masjid tertentu —misalnya— maka ia harus mengembalikannya ke masjid tersebut, setelah ia mendapatkannya dari si penjual. Jika dia tidak mungkin melakukannya, maka dia harus meletakkannya di masjid lain yang memerlukannya. 

Al-Qāḏī Abu Yaʿlā —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pembelian semacam ini hakikatnya adalah suatu bentuk ‘penyelamatan’ dan ‘penebusan’ (wakaf tersebut), dan sah-sah saja jika akad tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkannya, sehingga hukumnya boleh bagi orang yang membayar harganya untuk itu. Yang terlarang adalah bagi orang yang mengambilnya darinya. Dalilnya adalah bolehnya membebaskan tawanan perang dari tangan orang-orang musyrik dengan ganti rugi yang dibayarkan kepada mereka. Ini adalah penyelamatan dan penebusan yang dibolehkan bagi orang yang mengeluarkan ganti rugi tersebut, tetapi terlarang bagi orang yang mengambilnya. Selesai kutipan dari al-Aẖkām as-Sulṯāniyyah (206). Lihat: Kāfī (2/7).

وسئل ابن حجر الهيتمي الفقيه الشافعي رحمه الله عَنْ شَخْصٍ اشْتَرَى كِتَابًا مَثَلًا مِنْ شَخْصٍ مَعَ عِلْمِ الْمُشْتَرِي أَوْ غَلَبَةِ ظَنِّهِ بِقَرَائِنِ الْأَحْوَالِ أَنَّ هَذَا الْكِتَابَ مَوْقُوفٌ فَهَلْ يَصِحُّ شِرَاءُ هَذَا الشَّخْصِ الْمَذْكُورِ إذَا قَصَدَ بِشِرَاءِ هَذَا الْكِتَابِ اسْتِخْرَاجَهُ وَاسْتِنْقَاذَ الْوَقْفِ مِنْ الِاسْتِيلَاءِ عَلَيْهِ وَانْدِرَاسِهِ بِتَدَاوُلِ الْأَيْدِي عَلَيْهِ بِالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ …. إلخ ؟

فَأَجَابَ: ”إنْ عَلِمَ الْوَقْفَ كَانَ شِرَاؤُهُ افْتِدَاءً .

وَإِنْ ظَنَّهُ : صَحَّ شِرَاؤُهُ ظَاهِرًا وَأُدِيرَتْ عَلَيْهِ جَمِيعُ الْأَحْكَامِ ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْيَدِ الْمِلْكُ فَيُعْمَلُ بِهِ حَتَّى يُوجَدَ مَا يَرْفَعُهُ وَمُجَرَّدُ ظَنِّ الْمُشْتَرِي وَإِنْ اعْتَضَدَ بِقَرَائِنَ لَا يَرْفَعُهُ “ .

انتهى من ”الفتاوى الفقهية الكبرى“ (3/126) .

Ibnu Hajar al-Haitami —Semoga Allah Merahmatinya—, seorang ahli fikih mazhab Syafii, pernah ditanya tentang seseorang yang membeli kitab —misalnya— dari seseorang, sedangkan si pembelinya mengetahui —atau berdasarkan dugaan kuat dengan berbagai indikasi yang ada— bahwa kitab tersebut adalah wakaf, apakah sah orang tersebut membelinya jika dengan membeli kitab ini ia bermaksud untuk membebaskannya dan menyelamatkan harta wakaf tersebut dari kepemilikan orang dan kerusakan karena beralih tangan dalam jual beli … dan seterusnya? 

Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— menjawab bahwa jika memang diketahui itu barang wakaf, maka pembeliannya itu adalah penebusan. Adapun jika berdasarkan dugaan, maka pembelian jelas sah dan semua hukum-hukum yang terkait berlaku padanya, karena pada asalnya barang yang di tangan seseorang adalah miliknya, sehingga berlaku demikian sampai ada hal yang mengangkat status tersebut. Semata-mata dugaan pembeli, walaupun ada indikasi-indikasinya, tidak bisa mengangkat status tersebut. Selesai kutipan dari al-Fatāwā al-Fiqhiyyah al-Kubrā (3/126).

وقال الشيخ عبد الله العقيل ، رحمه الله :

” الوقف لا يجوز بيعه ولا شراؤه ، ولا يحل أخذ ثمنه ، لكن شراء الكتاب الموقوف ؛ استنقاذا لينتفع به لحاجته إليه ، بشرط بقائه على وقفيته وعدم تملكه ، ولا يمنعه أهله إذا استغنى عنه- أرجو أن لا بأس به بالنسبة للمشتري ، وأما البائع : فلا يحل له الثمن ، وليس هذا ببيع وشراء حقيقي ، ولكنه استنقاذ كما تقدم. واللَّه أعلم“ انتهى.

Syekh Abdullah al-ʿAqīl —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa wakaf tidak boleh diperjualbelikan dan tidak halal mengambil uang (hasil jual belinya). Namun membeli kitab wakaf dalam rangka menyelamatkannya agar bisa dimanfaatkan karena dia sendiri butuh, dengan syarat tetap menjaga statusnya sebagai barang wakaf dan tidak memilikinya secara pribadi, dan keluarganya tidak menghalanginya (untuk dimanfaatkan) jika dia sudah tidak membutuhkannya, maka saya berharap tidak ada dosa bagi si pembeli. Adapun bagi si penjual, maka uang (hasil jual belinya) tidak halal. Ini bukanlah jual beli secara hakiki, melainkan menyelamatkan (wakaf), seperti yang dijelaskan sebelumnya. Allah Yang lebih Mengetahui. Selesai kutipan.

Sumber:

islamqa.info/ar/answers/228079/حكم-بيع-وشراء-المصاحف-الموقوفة

PDF sumber artikel.

Menghadapi Pemilu dalam Kerangka Islam: Beda Pilihan, Tetap Toleran

Dalam Islam, menghadapi pemilihan umum (pemilu) adalah bagian dari kewajiban mengangkat seorang pemimpin. Memilih pemimpin adalah perintah dalam Islam karena kekosongan kepemimpinan adalah malapetaka. Karena itulah, Pemilu bukan sekedar instrument demokrasi, tetapi bagian penting dalam menjalankan perintah memilih pemimpin.

Namun, dalam menjalani Pemilu memerlukan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai agama. Islam mengajarkan konsep toleransi, menghargai perbedaan pendapat, dan memandang berbeda pilihan sebagai hal yang wajar dalam kehidupan berdemokrasi. Dalam demokrasi perbedaan adalah sebuah pilihan.

Dalam Islam, perbedaan adalah keniscayaan. Allah SWT menciptakan manusia dengan keunikan dan kebebasan berpikir. Sebagai hasilnya, perbedaan pendapat dan pilihan adalah keniscayaan yang diakui dan diterima dalam Islam. Firman Allah dalam Surat Al-Hujurat (49:13) menyatakan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”

Berbeda adalah fitrah manusia termasuk dalam pemikiran. Namun dalam berbeda kita mengenal prinsip untuk saling menghormati untuk tercapainya saling memahami.

Dalam konteks pemilu, Islam mengajarkan pentingnya tetap toleran dan menghargai perbedaan pendapat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat.” Hadist ini mengajarkan bahwa perbedaan pendapat bisa membawa kebaikan dan rahmat jika dielola dengan bijak.

Dalam Al-Quran, Allah menekankan pentingnya toleransi dan merawat persatuan. Surat Ali Imran (3:103) menyatakan, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah itu, bersaudara.”

Islam mengajarkan prinsip kemaslahatan bersama (maslahah), di mana kepentingan bersama diutamakan. Ketika menghadapi pemilu, kepentingan bersama harus diutamakan di atas perbedaan pilihan. Dalam kaidah fikih kemashalahatn ammah didahulukan dari kepentingan yang khusus.

Seiring dengan prinsip toleransi, Islam mendorong umatnya untuk terlibat dalam dialog dan diskusi yang sehat. Dalam mencapai tujuan bersama, saling mendengarkan, menghormati, dan berdiskusi secara konstruktif adalah prinsip-prinsip yang dianjurkan oleh agama.

Menghadapi pemilu, umat Islam diingatkan untuk memegang teguh nilai-nilai toleransi, menghormati perbedaan pendapat, dan merawat persatuan. Islam tidak hanya memahami realitas perbedaan, tetapi juga memberikan panduan tentang bagaimana mengelolanya dengan bijak, memastikan bahwa pemilu menjadi wahana bermartabat untuk mencapai kemaslahatan bersama. Mari hadirkan pemilu yang mencerminkan nilai-nilai Islam, yaitu beda pilihan, tetap toleran.

ISLAMKAFFAH

Apa Itu Hadis Hasan?

Apa itu hadis hasan? Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya tersambung, dengan perantara perawi yang adil, yang sedikit lemah hafalannya, tidak ada syadz (berbeda dengan hadis yang lebih shahih) dan illat (penyakit).

Al-hasan secara bahasa merupakan sifat musyabahah dari kata al-husna yang berarti al-jamal, yang baik / bagus. Secara istilah, ulama hadits berbeda pendapat mengenai definisi hadits hasan sebab tingkatan hadits hasan berada di pertengahan antara sahih dan daif.

Imam Tirmizi mendefinisikannya sebagai hadis yang perawinya tidak ada yang dicurigai pembohong, tidak bertentangan dengan hadis lain, dan diriwayatkan lebih dari satu sanad. Namun definisi yang lebih disepakati para ulama hadis adalah definisi yang disebutkan pada awal artikel, pengertian itu didapat berdasarkan pendapat Ibnu Hajar tentang hadis sahih.

Berdasarkan pengamalannya, sebagaimana hadits sahih, hadis hasan dapat dijadikan sebagai ranah penggalian hukum-hukum Islam sekalipun tidak sekuat hadits sahih, mayoritas para ahli fikih dan usul fikih menggunakannya sebagai landasan dalil kecuali para ulama yang tergolong mutasyaddid (keras).

Terkadang para ulama yang mutasahil (tidak terlalu ketat) seperti Ibnu Hibban, al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah menggolongkan hadis hasan sebagai hadis sahih.

Contoh hadis hasan ditemukan dalam Sunan Tirmidzi;

إن أبواب الحنة تحت ظلال السيوف

Artinya; Sesungguhnya pintu surga berada di bawah bayangan pedang. (HR. Tirmizi)

Menurut Imam Tirmizi, hadits ini adalah hadis hasan gharib. Gharib karena diriwayatkan oleh satu jalur perawi. Sementara hadis ini dinilai hasan karena empat perawinya tsiqah (terpercaya)  kecuali Ja’far bin Sulaiman al-Dha’i yang kekuatan hafalannya sedikit lemah sehingga hadis ini dari sahih turun derajatnya menjadi hasan.

Contoh Sanad Terbaik dalam Hadits Hasan

Tingkatan pertama sanad terbaik dalam hadits hasan adalah yang diriwayatkan dari Bahzu bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya dan Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dan Ibnu Ishaq dari al-Taimy. Ada yang berpendapat ini termasuk rantai sanad sahih, atau bisa dikatakan sanad terendah dalam tingkatan sanad hadis sahih.

Kemudian tingkatan kedua adalah perawi yang masih diperdebatkan apakah ia tsiqah atau tidak. Seperti hadisnya Harits bin Abdullah dan ‘Ashim bin Dhamrah dan Hajjah bin Arthah dan selainnya.

Maksud Perkataan Shahih al-Isnad dan Hasan al-Isnad

Ucapan hadza hadits shahiihu al-isnad berbeda dengan ucapan hadza haditsun shahihun. Demikian juga ungkapan hadza hadits hasanu al-isnad berbeda dengan hadza haditsun hasanun.

Hasanu al-isnad maksudnya sanadnya hasan tapi matannya belum tentu bebas dari syadz dan illat. Demikian pula perkataan haditsun shahihun berarti riwayat hadis tersebut memenuhi lima syarat yang harus dimiliki hadis sahih. Sedang shahihul isnad maksudnya, berarti hadis tersebut baru memenuhi tiga syarat hadis sahih (sanad tersambung, perawi adil dan perawi kuat hafalan) sedang dua syarat terkait matan (bebas dari syadz dan illat) tidak terpenuhi.

Kitab yang Memuat Hadits Hasan

Para ulama hadits tidak membukukan kitab khusus yang memuat hadis hasan sebagaimana mereka membukukan hadis sahih dalam satu kitab. Akan tetapi terdapat kitab yang sekiranya memuat banyak hadis hasan di dalamnya, di antaranya;

1. Kitab Jami’ al-Tirmidzi yang terkenal dengan nama Sunan al-Tirmidzi. Kitab ini merupakan sumber mengetahui tentang hadits hasan. Imam Tirmidzi dianggap yang telah memashurkan istilah hadis hasan dan memang beliau banyak menyebut itu dalam kitabnya.

2. Sunan Abi Dawud. Dalam suratnya kepada penduduk Makkah, Abu Dawud menuliskan bahwa dalam kitabnya itu ia menyebutkan hadis sahih dan yang serupa dengannya atau mendekatinya, juga yang terdapat cacat yang dia beri keterangan. Jika beliau tidak menyebutkan komentarnya berarti hadis itu salih. Maka jika terdapat dalam kitabnya hadis yang beliau tidak jelaskan kedhaifannya dan tidak ada keterangan tentang pendapat ulama yang mensahihkannya, maka bagi Abu Dawud hadis tersebut hasan.

3. Sunan al-Daruquthni, dalam kitab tersebut al-Daruquthni banyak menyebutkan hadits hasan.

BINCANG SYARIAH

Mengapa Banyak Istighfar Banyak Rezeki?

Istighfar akan mempermudah jalan seseorang.

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad memberikan pesan tentang khasiat beristighfar. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Nabi SAW bersabda:

 ( مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا ، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا ، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ) رواه أبو داود (1518) وابن ماجه (3819) ، وأحمد في “المسند” (1/248) ، والطبراني في “المعجم الأوسط” (6/240)، والبيهقي في “السنن الكبرى” (3/351) ، وغيرهم .

“Siapa saja yang butuh permohonan ampun (perlu beristighfar), niscaya Allah SWT memberi jalan keluar untuknya atas semua kesulitan, kelapangan atas semua keresahan, dan memberi rezeki-Nya dari tempat yang tidak diduga-duga.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dalam Al Musnad, At Thabrani dalam Al Mu’jam Al Awsath, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro, dan selainnya)

Dalam “Awn Al Ma’bud: Syarh Sunan Abi Daud”, disebutkan bahwa seseorang perlu minta ampunan kepada Allah SWT ketika melakukan perbuatan dosa, terjadi musibah yang melanda dirinya, dan ada dalam keadaan di mana dia terus-menerus melakukan perbuatan dosa.

Lantas mengapa perlu banyak beristighfar? Rasulullah SAW telah berpesan terkait hal ini, sebagaimana hadits berikut:

ولذا قال صلى الله عليه وسلم طوبى لمن وجد في صحيفته استغفارا كثيرا رواه بن ماجه

“Berbahagialah mereka yang di dalam catatan amalnya ditemukan istighfar yang banyak.” (HR Abu Daud)

Minta ampunan kepada Allah akan mempermudah jalan seseorang dalam menyelesaikan segala persoalan yang sedang dilewati. Dia akan diberi jalan keluar atas permasalahan yang dihadapinya. Jalan keluar ini ialah jalan menuju keberlimpahan rahmat Allah SWT.

Orang yang memohon ampun juga diberi kelapangan atas semua kekhawatiran, kecemasan maupun keresahan yang dirasakan. Kelapangan yang dimaksud merujuk pada keselamatan.

Adapun rezeki Allah SWT yang diberikan kepada orang-orang yang meminta ampunan, adalah rezeki yang halal dan thayyib. Rezeki akan diberi kepada orang yang meminta ampunan kepada Allah dengan cara yang tidak disangka-sangka, yaitu tidak terpikirkan olehnya dan di saat-saat yang tidak diharapkan.

Disebutkan pula dalam Syarh Sunan Abi Daud, bahwa hadits tersebut bersumber dari firman Allah SWT berikut ini:

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ اُولٰۤىِٕكَ جَزَاۤؤُهُمْ مَّغْفِرَةٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَجَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَنِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْنَۗ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” (QS. Ali Imran ayat 135-136)

sumber: https://s.id/20X8C