Hukuman untuk Mereka yang Menolak Membayar Zakat
Diriwayatkan dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فِي كُلِّ سَائِمَةِ إِبِلٍ فِي أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ، وَلَا يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا – قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ مُؤْتَجِرًا بِهَا – فَلَهُ أَجْرُهَا، وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ، عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ، لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ
“Pada setiap empat puluh unta saimah (unta yang digembalakan) terdapat zakat satu unta bintu labun (unta yang memiliki umur dua tahun), dan unta tidak boleh dipisahkan dari hitungannya. Barangsiapa yang membayar zakat karena mengharapkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan membayarnya, maka kami akan mengambilnya dan (juga mengambil) setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla. Dan keluarga Muhammad tidak berhak sedikit pun dari harta zakat tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1575, An-Nasa’i no. 2444, Ahmad 33: 220, dan Al-Hakim 1: 398)
Hakim bin Hazm adalah seorang perawi yang statusnya diperbincangkan oleh para ulama hadis. Abu Hatim berkata, “Syaikh, haditsnya dicatat, namun tak dapat digunakan sebagai hujjah.” Asy-Syafi’i berkata, “Bukan hujjah.” Ibnu Ma’in berkata, “Tsiqqah.” Demikian pula yang dikatakan oleh An-Nasa’i. (Lihat Tahdzibut Tahdzib, 1: 437)
Ibnu Hibban berkata, “Dia kadang salah (meriwayatkan hadis). Adapun Imam Ahmad dan Ishaq bin Ibrahim rahimahumallah berhujjah dengannya dan meriwayatkan hadis darinya. Sedangkan sejumlah imam kami meninggalkan (tidak meriwayatkan hadis darinya). Seandainya bukan karena hadis, “Kami akan mengambilnya dan setengah hartanya; sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban Allah ‘Azza wa Jalla”, maka kami akan memasukkan beliau dalam Ats-Tsiqat. Beliau salah satu perawi yang saya beristikharah kepada Allah dalam menilainya (maksudnya, beliau ragu-ragu tentang statusnya, pent.).” (Al-Majrukhin, 1: 222)
Adz-Dzahabi berkata, “Tidak ada seorang ulama pun yang meninggalkan riwayatnya. Mereka hanyalah tawaquf (abstain) untuk berhujah dengan riwayatnya.” (Al-Mizan, 1: 354)
Ibnu Katsir berkata. “Mayoritas ulama berhujah dengannya, seperti Ahmad, Ishaq, Ali bin Al-Madini, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i … “ (Al-Irsyad, 1: 266)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Shaduq.”
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Sanad hadis ini hasan, berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang Bahz bin Hakim dan bapaknya. Mereka berdua adalah perawi yang berderajat shaduq.” (Minhatul ‘Allam, 4: 408). Hadis ini juga dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani.
Faedah hadis
Faedah pertama, bagian pertama hadis ini berkaitan dengan zakat hewan ternak berupa unta. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik tentang surat dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengenai zakat (HR. Bukhari no. 1454) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki unta sebanyak 36 sampai 45 ekor, maka wajib mengeluarkan zakat berupa 1 bintu labun, yaitu unta betina yang sudah berumur 2 tahun. Oleh karena itu, redaksi hadis tersebut sesuai, bahwa orang yang mempunyai 40 ekor unta, maka kewajibannya adalah 1 bintu labun, karena angka 40 masih berada pada rentang 36 sampai 45.
Dalam hadis Anas bin Malik tersebut, juga dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki unta 121 ekor ke atas, maka kewajiban zakatnya adalah 1 bintu labun setiap kelipatan 40. Sehingga hadis ini juga bisa dimaknai bahwa kewajiban 1 bintu labun tersebut adalah mereka yang memiliki unta sebanyak 121 ekor ke atas.
Faedah kedua, dalam hadis tersebut terdapat larangan memisahkan harta yang pada asalnya bercampur dalam rangka menghindari kewajiban zakat. Contohnya, nishab zakat unta adalah minimal 5 ekor. Kewajiban zakat untuk unta sebanyak 5 sampai 9 ekor adalah 1 ekor kambing. Lalu ada dua orang yang berserikat dalam kepemilikan enam ekor unta. Ketika petugas zakat datang, mereka memisahnya menjadi seolah-olah masing-masing memiliki 3 ekor unta (sehingga masih di bawah nishab). Akal-akalan semacam ini, untuk menghindar dari kewajiban zakat, tidaklah diperbolehkan.
Faedah ketiga, hadis tersebut merupakan dalil bahwa siapa saja yang mengeluarkan (membayar) zakat dengan kerelaan hatinya dan dalam rangka mengharap pahala dari Allah Ta’ala, maka baginya pahala dari Allah Ta’ala. Dan siapa saja yang menolak (enggan) untuk membayar zakat, maka dia berhak mendapatkan hukuman. Hal ini karena dia telah menghancurkan salah satu rukun Islam, yaitu zakat. Sedangkan hisabnya ada di sisi Allah Ta’ala.
Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Siapa saja yang mengeluarkan zakat dalam rangka mengharap pahala (dari Allah), makanya baginya pahala. Di dalam hadis ini terdapat motivasi kepada orang-orang yang memiliki harta untuk mengeluarkan zakat dengan kerelaan hatinya, mengharap pahala dari Allah, dengan gembira dan bahagia. Dia tidak menganggap zakat sebagai denda hukuman atau kerugian, atau pengurangan hartanya. Tidak demikian. Bahkan sebaliknya, zakat adalah penambahan, pengembangan, penyucian, dan keberkahan. Kalaulah tidak ada kewajiban zakat, maka tidak akan ada keberkahan dalam hartanya. Maka hatinya pun rela (mengeluarkan zakat) dan mengharapkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.” (Tashilul Ilmam, 3: 111)
Faedah keempat, dalam hadis ini juga terdapat dalil boleh bagi penguasa untuk mengambil zakat tersebut secara paksa dari orang-orang yang enggan membayar zakat. Hal ini berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama.
Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Adapun orang yang enggan membayar zakat, wajib bagi ulil amri untuk mengambilnya secara paksa, karena zakat adalah kewajiban atasnya. Jika dia enggan mengeluarkan zakat karena pelit, maka ulil amri boleh melakukan tindakan (intervensi) dan mengambilnya secara paksa. Ketika sebagian orang menolak membayar zakat pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka beliau dan para sahabat memerangi mereka dan memaksa mereka untuk membayar zakat.” (Tashilul Ilmam, 3: 111)
Faedah kelima, hadis ini merupakan dalil bagi sebagian ulama yang berpendapat bolehnya menerapkan hukuman ta’zir terhadap harta bagi mereka yang enggan membayar zakat. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan ukurannya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Diambilnya setengah harta (tidak terbatas hanya sejumlah harta yang harus dikeluarkan zakatnya) dari orang yang enggan membayar zakat itu dinilai sebagai hukuman ta’zir yang dikenakan pada harta seseorang. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Farkhun dari ulama Malikiyah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 28: 113-118, 29: 294; Tahdzhib Mukhtashar As-Sunan, 2: 192)
Sehingga ulil amri mengambil secara paksa sejumlah harta yang seharusnya wajib dibayarkan sebagai zakat, dan ditambah lagi dengan hukuman dalam bentuk setengah harta bendanya pun diambil. Hal ini sebagai hukuman karena dia enggan membayar zakat sehingga didenda dengan jumlah yang besar.
Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, keduanya menguatkan pendapat pertama, yaitu bolehnya memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta (penolak zakat) jika ulil amri melihat adanya maslahat. (Jika ada maslahat), maka ulil amri boleh mengambil secara paksa atau merampas sebagian hartanya sebagai hukuman untuk orang tersebut. Inilah pendapat yang lebih mendekati (kebenaran), wallahu a’lam.” (Tashilul Ilmam, 3: 112-113)
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh memberikan hukuman ta’zir dengan mengambil harta. Karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil yang menunjukkan kehormatan harta seorang muslim sehingga tidak boleh diambil tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. (Lihat Al-Mughni, 12: 526; Syarh Fathul Qadir, 5: 345; Hasyiyah Ad-Dasuqi, 4: 355)
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لايحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة نفسه
“Tidaklah halal (mengambil) harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad no. 15488)
Sedangkan dalam kasus ini, harta tersebut diambil tanpa kerelaan si pemilik harta; dia pun tidak rida hartanya diambil. Oleh karena itu, tidak boleh merampas setengah harta orang yang enggan membayar zakat. Yang dirampas atau diambil paksa hanyalah sesuai kadar harta yang wajib dizakati, tidak boleh lebih dari itu. Ulil amri boleh menghukum dalam bentuk lain, misalnya dipukul, dipenjara, atau bentuk hukuman ta’zir yang lain. Adapun merampas harta melebihi jumlah yang wajib dizakati, hal itu tidak diperbolehkan.
Para ulama tersebut juga mengatakan bahwa hadis ini (yang menjadi dalil bagi ulama yang membolehkan) diperbincangkan statusnya oleh ulama jarh wat ta’dil. Mereka membicarakan tentang Bahz bin Hakim, apakah beliau merupakan perawi yang riwayatnya layak dijadikan hujjah atau tidak.
Kita tidak boleh mengambil setengah harta seseorang kecuali dengan dalil yang kuat, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Meskipun sebagian ulama memberikan tautsiq kepada Bahz bin Hakim, akan tetapi kandungan hadis yang dibawakannya dalam masalah ini, sangat bertentangan dengan hukum asal harta seorang muslim yang haram diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan.
Selain itu, tidak ada perawi lain yang bisa menjadi mutaba’ah sehingga menguatkan riwayat Bahz bin Hakim. Dan bisa jadi setengah harta itu jumlah yang sangat besar bagi orang tertentu, sehingga mengambilnya tidak boleh didasarkan pada hadis semacam ini, apalagi bertentangan dengan hukum asal dan mengandung syubhat.
Yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini, wallahu Ta’ala a’lam, adalah penguasa (ulil amri) menghukum dengan suatu hukuman yang betul-betul bisa memberikan efek jera bagi penolak zakat. Adapun mengambil (merampas) harta penolak zakat, sebaiknya tidak diterapkan atau tidak dilakukan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani. (Lihat Subulus Salam, 2: 245)
Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.
***
@Kantor Pogung, 14 Jumadil awal 1445/ 28 November 2023
Penulis: M. Saifudin Hakim
Sumber: https://muslim.or.id/90424-hukuman-untuk-mereka-yang-menolak-membayar-zakat.html
Copyright © 2024 muslim.or.id
Jangan Malu Terlihat Miskin
Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 3)
Faedah 6. Persiapan iman dan ilmu
Di antara perkara yang penting untuk diketahui oleh seorang muslim adalah bahwa amal ibadah dibangun di atas iman dan ilmu. Beribadah tanpa iman, maka tidak akan diterima; sebagaimana beramal tanpa ilmu, akan tersesat.
Termasuk di dalamnya adalah persiapan untuk menghadapi bulan Ramadan, bulan yang penuh dengan kebaikan. Dibutuhkan pondasi-pondasi iman dan kekuatan tauhid agar amal yang dilakukan bisa terangkat menuju Allah. Diperlukan pengokohan ilmu dan pemahaman mengenai makna dan kandungan ibadah itu sendiri.
Ibadah puasa bukanlah suatu ibadah yang berdiri sendiri. Ia ditopang oleh akidah sebagaimana termuat dalam dua kalimat syahadat dan rukun-rukun iman. Tidak diragukan bahwa puasa adalah ibadah yang sangat agung di antara rukun Islam. Meskipun demikian, orang yang menjalankan puasa dalam keadaan memiliki akidah yang rusak dan menyimpang, sungguh amal yang dia lakukan berisiko besar, justru tidak akan diterima di sisi Allah.
Hal ini sebagaimana pernah kita dengar dalam riwayat Muslim ketika Abdullah bin Umar menanggapi ada sebagian penduduk Bashrah yang berkeyakinan bahwa takdir itu tidak ada dan segala sesuatu terjadi secara tiba-tiba (dalam artian Allah tidak mengetahui sesuatu, kecuali setelah terjadinya). Ibnu Umar pun dengan tegas mengatakan, “Seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia infakkan, maka Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim)
Ucapan beliau ini menunjukkan bahwa orang yang mengingkari takdir (yang masyhur disebut dengan kaum Qadariyah) telah keluar dari Islam akibat menolak salah satu rukun iman, yaitu iman kepada takdir. Karena imannya batal, maka semua amalnya tidak bernilai. Sungguh mengenaskan!
Oleh sebab itu pula, para ulama selalu mengingatkan tentang pentingnya akidah tauhid karena ia menjadi syarat diterimanya semua amalan dan pondasi amal-amal ketaatan. Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah berkata, “Bahwa ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah, kecuali bersama dengan tauhid. Maka, apabila syirik mencampuri suatu ibadah, menjadikan ibadah itu rusak; sebagaimana hadas apabila menimpa pada taharah.”
Adapun persiapan bekal ilmu mengenai aturan ibadah, maka itu menjadi perkara yang secara luas telah diketahui oleh umat Islam, meskipun dalam kenyataannya tidak sedikit orang yang cenderung meremehkan dan seolah menganggap ibadah puasa sebagai suatu rutinitas tahunan dan kebiasaan semata. Sehingga belajar tentang fikih puasa menjadi kurang urgen bagi mereka.
Sungguh menakjubkan perkataan para ulama terdahulu, “Ibadahnya orang yang ghaflah (lalai) hanya berubah menjadi tradisi (kebiasaan), sementara adat (kebiasaan) orang yang yaqdhah (berilmu) dan menyadari hakikat ibadahnya, justru bisa berubah bernilai ibadah.”
Baca juga: Memahami Tafsir Tauhid
Faedah 7. Kandungan Islam
Para ulama menjelaskan tentang makna Islam, bahwa Islam itu merupakan sikap pasrah kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya.
Pengertian ini pada dasarnya merupakan kesimpulan dan rangkuman dari berbagai dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebagaimana telah diketahui bahwa seluruh nabi dan rasul berada di atas satu akidah dan satu agama, yaitu Islam. Mereka semua mengajak kepada tauhid.
Allah berfirman,
وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami utus seorang pun rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Allah berfirman,
مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ
“Dan barangsiapa yang taat kepada rasul itu, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80)
Allah berfirman,
وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰلِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ
“Dan mereka tidaklah diperintahkan, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama (amal) untuk-Nya dengan hanif (bertauhid), dan supaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Allah berfirman,
وَمَن یَبۡتَغِ غَیۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِینࣰا فَلَن یُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ
“Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)
Allah berfirman,
إِنَّهُۥ مَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِینَ مِنۡ أَنصَارࣲ
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)
Allah berfirman,
وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Benar-benar jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)
Allah berfirman,
قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةࣱ فِیۤ إِبۡرَ ٰهِیمَ وَٱلَّذِینَ مَعَهُۥۤ إِذۡ قَالُوا۟ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَ ٰۤ ؤُا۟ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ
“Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang bersamanya. Yaitu, ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah…’. ” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Allah berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنࣲ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥۤ أَمۡرًا أَن یَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِیَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن یَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلࣰا مُّبِینࣰا
“Dan tidak pantas bagai seorang mukmin lelaki maupun perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Allah berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا یُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ یُحَكِّمُوكَ فِیمَا شَجَرَ بَیۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا یَجِدُوا۟ فِیۤ أَنفُسِهِمۡ حَرَجࣰا مِّمَّا قَضَیۡتَ وَیُسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمࣰا
“Sekali-kali tidak, demi Rabbmu, mereka belumlah beriman sampai mereka menjadikan kamu (Rasul) sebagai hakim (pemutus) perkara dalam apa-apa yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati dalam hati mereka rasa sempit terhadap keputusan yang telah kamu berikan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Faedah 8. Pondasi iman
Sebagaimana telah diketahui bahwa iman mencakup ucapan, perbuatan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang akibat kemaksiatan. Iman memiliki pokok-pokok dan cabang-cabang. Ada bagian dari iman yang jika ditinggalkan, iman menjadi menyusut, dan ada pula yang jika ditinggalkan, iman menjadi hilang.
Dalam hadis Jibril, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan enam perkara yang biasa disebut dengan istilah rukun iman. Yaitu, iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir. Keenam perkara ini merupakan pokok-pokok keimanan. Barangsiapa yang mengingkari salah satunya, maka dia bukan termasuk golongan umat Islam.
Di antara para ulama yang memiliki perhatian besar dalam hal ini adalah para ulama hadis seperti Imam Al-Bukhari rahimahullah. Di dalam kitab Sahih-nya, beliau membuat bab-bab khusus seputar iman di bawah pembahasan Kitabul Iman.
Bahkan, pada bagian akhir kitab Sahih-nya, beliau juga membuat pembahasan khusus tentang iman kepada Allah dalam Kitab Tauhid. Salah satu hadis yang dibawakan di dalamnya adalah hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma yang mengisahkan pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan,
فليكن أول ما تدعوهم إلى أن يوحِّدوا الله
“Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari)
Tauhid kepada Allah merupakan kandungan dari rukun iman yang pertama. Makna tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah hak Allah atas setiap hamba. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا
“Hak Allah atas segenap hamba adalah mereka harus beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu)
Iman kepada Allah juga mencakup keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa, dan pengatur alam semesta. Inilah yang biasa disebut oleh para ulama akidah dengan tauhid rububiyah. Iman kepada Allah juga mengandung keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Ini yang biasa disebut dengan tauhid ibadah atau tauhid uluhiyah. Adapun keimanan kepada Allah dalam hal kesempurnaan nama dan sifat-Nya, ini dikenal dengan nama tauhid asma’ wa shifat.
Ilmu tauhid dan akidah ini sudah mendapatkan perhatian besar dari para ulama sejak dahulu kala. Oleh sebab itu, banyak kita temukan para ulama menyusun pembahasan khusus mengenai hal itu, sebagaimana sudah kita sebutkan, yaitu Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya. Sebelum itu ada juga Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menyusun kitab Ushul As-Sunnah yang juga menjelaskan pokok-pokok keyakinan dan jalan beragama kaum muslimin. Ada banyak ulama yang menjelaskan masalah akidah dengan judul kitab yang beraneka ragam. Ada yang berjudul ‘Iman’. Ada juga yang diberi nama At-Tauhid. Ada juga yang diberi nama Asy-Syari’ah. Ada juga As-Sunnah. Dan sebagainya.
Dengan mempelajari akidah inilah, kita akan bisa terhindar dari berbagai pemahaman sesat dan menyimpang, semacam Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, Syi’ah, Murji’ah, Qadariyah, dan sebagainya. Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, begitu banyak pemikiran dan ideologi yang dipasarkan dengan mengatasnamakan kebebasan dan demokrasi. Apabila seorang muslim tidak membekali dirinya dengan akidah yang lurus, niscaya ia akan hanyut dan tenggelam dalam berbagai bentuk aliran pemikiran yang sesat dan menyesatkan.
Ketika banyak orang terseret dalam pemahaman yang menyimpang, sementara akidah yang lurus banyak tidak dikenali kaum muslimin, maka pada saat itulah orang yang berpegang teguh dengan ajaran Islam yang murni akan mengalami keterasingan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بدأ الإسلام غريباً وسيعود غريباً كما بدأ فطوبى للغرباء
“Islam itu datang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana datangnya. Maka, beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim)
Orang yang rajin salat berjamaah di masjid dituduh sebagai radikal. Orang yang rajin ikut pengajian sunnah dianggap sebagai penganut aliran sesat. Orang yang berupaya kembali kepada pemahaman para sahabat dianggap sebagai perusak tatanan masyarakat. Orang yang berpegang teguh dengan syariat dinilai jumud dan kaku. Sementara orang yang larut dalam hawa nafsu dianggap sebagai bentuk kemajuan dan menjunjung tinggi Hak Asasi.
Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى
“Semua umatku pasti akan masuk surga, kecuali yang enggan.”
Para sahabat pun heran dan bertanya,
يا رسول الله ومن يأبى؟
“Wahai Rasulullah siapakah orang yang enggan itu?”
Beliau menjawab,
من أطاعني دخل الجنة ومن عصاني فقد أبى
“Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia itulah orang yang enggan.” (HR. Bukhari)
Wallahu a’lam bish-shawaab.
Lanjut ke bagian 4: Bersambung Insyaallah
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Sumber: https://muslim.or.id/90773-untaian-23-faedah-seputar-tauhid-dan-aqidah-bag-3.html
Copyright © 2024 muslim.or.id
Riba
Metode Sastra Khalafullah Sebagai Cara Pandang Baru untuk Memahami al-Qur’an
Sebagai pedoman kehidupan, memahami ayat-ayat dari al-Qur’an adalah suatu hal yang penting. Sebab, selain menjadi bukti kebenaran Islam, dalam ayat-ayat tersebut mengandung nilai-nilai kehidupan yang universal. Dalam setiap ayatnya, terkandung hikmah dan panduan yang relevan dengan beragam konteks kehidupan, mengajarkan prinsip-prinsip moral, etika, dan tata cara hidup yang islami. Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya membantu memperkuat keyakinan umat, tetapi juga memberikan landasan kuat untuk menjalani kehidupan dengan penuh makna dan nilai-nilai yang luhur.
Salah satu upaya dalam memahami dan mendalami makna al-Qur’an adalah melalui penafsiran. Muhammad Ahmad Khalafullah adalah salah satu sarjana Muslim yang naik daun berkat pemikiran dan penafsirannya yang kontroversial terhadap ayat-ayat al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat kisah. Hal ini muncul ketika Khalafullah mengajukan proposal disertasi berjudul al-Fann al-Qashasi fi al-Qur’an al-Kariim. Disertasi tersebut membahas mengenai gagasannya tentang metode sastra sebagai langkah relevan untuk memahami al-Qur’an di abad ini.
Menurut Khalafullah, penafsiran-penafsiran yang ada saat itu terlalu banyak disibukkan dengan unsur-unsur untuk mencari fakta sejarah. Padahal ada hal yang lebih penting dari sekedar mengetahui kebenaran peristiwa yang diceritakan al-Qur’an yaitu hikmah dan pesan yang terkandung. Khalafullah berargumen bahwa kisah yang diulang dengan menggunakan redaksi ayat yang berbeda tidak mungkin dimaksudkan hanya untuk diketahui fakta sejarahnya. Atas dasar itulah, ia kemudian mulai menelisik makna al-Qur’an dari jalan sastra.
Khalafullah mencontohkan perbedaan penggunaan redaksi ular dalam al-Qur’an yang digunakan untuk menggambarkan mukjizat Nabi Musa. Dalam al-Qashash ayat 31 redaksi yang digunakan adalah al-jann. Sedangkan dalam Thaha ayat 30 digunakan kata hayyah. Adapun dalam as-Syu’ara ayat 32 kata tsu’ban digunakan untuk menggambarkan tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular.
Perbedaan redaksi yang digunakan dalam tiga ayat tersebut menurut Khalafullah bukan digunakan untuk mengetahui fakta sejarah bahwa itu terjadi. Penggunaan kata al-Jann adalah untuk menimbulkan perasaan takut Nabi Musa yang pernah membunuh bangsa Qibti yang sampai membuatnya lari dari bukit. Dalam konteks manusia sekarang, kata itu digunakan untuk menimbulkan ketakutan dalam hati pembaca.
Sedangkan penggunaan kata Hayyah dalam konteks Thaha ayat 30 adalah untuk menghibur Nabi Muhammad dan menghilangkan perasaan sedihnya yang digambarkan dalam awal surah ini. Kisah ini ditampilkan untuk menghibur Nabi Muhammad yang sedih sebab perilaku orang-orang kafir, sehingga redaksi yang lebih halus dipilih untuk menggambarkan peristiwa tersebut.
Adapun penggunaan kata tsu’ban menurut Khalafullah adalah sebab kondisi pada saat itu. Dalam surah ini diceritakan kisah Nabi Musa yang berdakwah kepada Fir’aun. Fir’aun dan golongannya sedang diliputi keraguan akan ajaran yang dibawa Nabi Musa. Maka kata tsu’ban dipakai untuk menggambarkan bahwa ular Nabi Musa harus menjadi ular besar yang benar-benar nyata. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepuasan kepada lawan sebab keraguannya.
Dalam merumuskan metode penafsiran dengan pendekatan sastra, Khalafullah menyusun lima langkah dalam menafsirkan ayat-ayat kisah. Pertama, mengumpulkan ayat-ayat yang memiliki tema serupa. Kedua, menyusun kronologi kisah. Pada langkah kedua ini, Khalafullah memakai Qur’an Maliki untuk mempermudah penyusunan kronologi kisah. Ketiga, interpretasi teks. Pada tahap ini, dibutuhkan pemahaman tekstual dan sastra sekaligus. Pemahaman tekstual berkaitan dengan pemahaman kata, bentuk kalimat, dan hubungan antar kata maupun kalimat. Sedangkan pemahaman sastra berkaitan dengan kemampuan penafsir dalam mengapresiasi sisi psikologis, seni, dan logika yang dimiliki teks.
Adapun langkah keempat yaitu membagi dan menyusun bab yang sesuai dengan tujuan kisah tersebut. Hal ini diperlukan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi kandungan. Langkah terakhir yaitu orisinalitas dan taqlid. Pada langkah kelima ini dilakukan agar dapat diketahui dari mana asal teks serta unsur mana saja yang merupakan hasil adopsi dari karya lain.
Niat Berubah
Mengejar Dunia untuk Kepentingan Akhirat?
“Kejarlah akhirat, maka dunia akan mengikuti”,ucapan yang sering digaungkan di kalangan masyarakat maupun dunia maya. Hanya saja sepertinya belum sedikit di antara umat islam yang keliru dalam menafsirkan ungkapan “Mengejar akhirat dunia akan mengikuti” ini. Jika sekiranya tidak keliru menafsirkan pun, niscaya umat islam tidak menjadi umat terbelakang.
Sebuah data yang dimuat oleh kompas.com menyajikan tujuh orang terkaya di dunia, mirisnya dalam data tersebut, sama sekali tidak ada nama orang islam yang tercantum. Tujuh orang terkaya yang dimaksud semuanya didominasi kalangan kafir.
Jika demikian adanya, maka orang-orang islam kemana, dan apa yang sedang mereka lakukan? Apakah shalat? ngaji?, dengan argumen bahwa mengutamakan akhirat jauh lebih baik ketimbang dunia. Nampaknya penafsiran seperti ini perlu diluruskan. Mengejar akhirat tidak sesempit hanya shalat, ngaji, maupun ibadah mahdhah lainnya saja.
Kontribusi dalam bidang yang berbau keduniaan juga diperlukan untuk kemajuan umat. Dalam bidang pendidikan yang bersifat saintifik misalnya, umat islam perlu berkontibusi disana, yakni mempelajari dasar-dasar ilmu umum, melakukan observasi, kemudian menyimpulkan. Bahkan lebih keren lagi jika hasil observasi itu dihubungkan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-qur’an.
Hal demikian dapat membuka peluang untuk meluruskan pemahaman yang masih keliru tentang Al-qur’an, bahwa kalam Tuhan yang satu ini sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis mitologis, sehingga sebagian umat Islam menganggap Al-qur’an hanya sebagai mantra pengusir setan, tidak dijadikan sebagai referensi dalam mencari kebesaran Tuhan melalui ayat kauniyah, dan kemudian dibuktikan dengan observasi (Kajian ilmiah). Dengan begitu umat islam bakal lebih percaya diri, mengikuti perkembangan zaman yang identik dengan keilmuan-keilmuan yang bersifat saintifik.
Selain kontribusi dalam hal keilmuan, kontribusi dalam hal finansial juga sangat diperkukan. Sebab menjadi sesuatu yang sulit untuk dielak, bahwa uang bukan segalanya, namun segala sesuatu sudah pasti membutuhkan uang. Termasuk dalam persoalan ibadah, shalat pun membutuhkan uang. Shalat akan sah jika pelakunya menutup aurat dengan sempurna, zaman sekarang penutup aurat yang digunakan ketika shalat dikenal dengan sebutan mukenah untuk perempuan, dan sarung, atau gamis, atau baju kokoh untuk laki-laki. Kain penutup aurat yang digunakan demi kesempurnaan shalat itu, tidak mungkin didapatkan dengan cuma-cuma, tentu ada proses akad jual beli antara penjual mukenah dengan pembeli, sementara jual beli akan terlaksana apabila barang yang dibeli itu dibayar, nah bayarnya pakai apa kalau bukan pakai uang?. Contoh lain nya adalah melakukan ibadah haji demi kesempurnaan rukun islam, modal kesiapan tenaga atau niat yang baik saja belum cukup, jika belum ditopang oleh finansial yang memadai.
Membangun generasi yang berkualitas, merupakan sebuah tindakan yang membutuhkan banyak modal. Terbentuknya generasi berkualitas dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satu di antara faktor utamanya adalah gizi yang cukup. Kecukupan gizi dapat diperoleh dari makanan yang menjadi sumber gizi seperti daging sapi, ikan salmon, sayuran segar, telur, dan masih banyak lagi. Pada umumnya makanan yang menjadi sumber gizi memiliki harga yang cukup fantastis bagi golongan menengah kebawah, namun seperti itu lah kenyataan berkata. Sebagian besar sesuatu yang ada di dunia ini hampir tidak ditemukan ke gratis an dalam perolehannya, kecuali dengan pengorbanan tenaga, waktu, bahkan dengan uang, apalagi untuk mencetak generasi umat berkualitas yang nantinya diharapkan mampu mengangkat kembali derajat umat ini hingga benar-benar murni menjadi umat terdepan, umat rahmatan lil ‘alamin yang peradabannya tak lagi tertinggal jauh oleh umat lain, tentu membutuhkan perjuangan, dan pengorbanan yang lebih ekstra.
Penguasaan ilmu dan harta sejatinya dapat menjadi ladang amal. Dengan ilmu setidaknya kita telah memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim, menyelamatkan diri dan sesama muslim dari sifat kebodohan, maupun ketidaktahuan sedangkan kecukupan harta akan menghindarkan kita dari perilaku meminta-minta, bukannkah Islam mengajarkan kepada umat nya agar senatiasa menjaga iffah?
Untuk itu Islam juga mengajarkan kepada umat nya agar memposisikan akhirat pada hati, sedangkan dunia diposisikan dalam genggaman, bukan malah meninggalkan salah satu nya. Jika sekiranya Al-qur’an berpesan kepada pembacanya untuk lebih mencondongkan diri pada dunia atau akhirat saja (berat sebelah antara dunia dan akhirat), lantas apa gunanya kalimat Robbana aatina fiddunya hasanah wa fil akhirati khasanah waqina ‘adzaabannar yang sering diucapkan sebelum menutup doa?
Dosa
Hadits Ini Berisi Bacaan Doa Sebelum Ibadah Pasutri
Hadits itu mengandung sebuah doa yang ditujukan kepada para suami.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas RA, terkandung bacaan doa untuk para suami sebelum melaksanakan ibadah ranjang bersama istri. Hadits ini ada dalam Shahih Bukhari.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
” لو أن أحدكم إذا أراد أن يأتي أهله قال: باسم الله، اللهم جنبنا الشيطان وجنب الشيطان ما رزقتنا، فإنه إن يقدر بينهما ولد في ذلك لم يضره شيطان أبداً “
“Bila salah satu dari kalian ingin mendatangi istri (untuk berhubungan intim), maka ucapkanlah:
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺟَﻨِّﺒْﻨَﺎ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﻭَﺟَﻨِّﺐِ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﻣَﺎ ﺭَﺯَﻗْﺘَﻨَﺎ
Latin: “Bismillahi Allahumma jannibna asy-syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa.”
Terjemahan: “Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan yang mengganggu apa yang Engkau rezekikan kepada kami.”
Kemudian Nabi SAW bersabda kembali, “Sesungguhnya jika dikaruniai anak dari hubungan keduanya, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak itu.” (HR. Bukhari)
Hadits itu mengandung sebuah doa yang ditujukan kepada para suami, supaya pada saat melakukan ibadah ranjang bersama istri dijauhkan dari dari malapetaka dan mendapat perlindungan dari bahaya godaan setan.
Di akhir hadits, Nabi Muhammad SAW mengabarkan apa fadhilah yang diperoleh jika membaca doa tersebut. Keutamaan membaca doa itu yakni apabila Allah SWT menetapkan lahirnya anak dari hubungan suami-istri itu, maka anak itu nantinya akan ada dalam lindungan Allah SWT, dan terlindung dari godaan setan.
Setan tidak akan mampu mengendalikan anak tersebut, karena Allah SWT memberikan perlindungan kepada hamba-Nya yang senantiasa berdoa untuk diri mereka dan keturunan mereka.
Dalam Alquran, Allah SWT berfirman:
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” (QS. Al Baqarah ayat 223)
Selain itu, Rasulullah SAW juga memberi pesan ihwal adab yang perlu dilakukan setelah melaksanakan ibadah ranjang, yaitu mandi junub. Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda:
” إذا جلس بين شعبها الأربع ثم جهدها فقد وجب عليه الغسل وإن لم ينزل”
Bila seseorang duduk di antara empat cabang, kemudian bersungguh-sungguh, maka wajib mandi meski tidak keluar (mani). (HR. Muslim)
Sumber: