Amalan Bulan Rajab

Bagi umat Islam, tahun Hijriah dihiasi dengan bulan-bulan mulia yang penuh berkah. Salah satunya adalah bulan Rajab, yang jatuh pada urutan ketujuh dalam kalender Islam. Bulan ini kerap disebut sebagai “bulannya Allah” karena kemuliaan dan keistimewaan yang dimilikinya. Nah berikut amalan bulan Rajab untuk mendekatkan diri pada Allah.

Mengapa Bulan Rajab Disebut Mulia?

Ada beberapa alasan mengapa bulan Rajab dianggap sebagai bulan yang mulia. Pertama, Bulan Haram. Rajab termasuk salah satu dari empat bulan haram dalam Islam, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab sendiri. Pada bulan-bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah dan menghindari perbuatan maksiat, karena pahala kebaikan dilipatgandakan dan dosa dilipatgandakan pula.

Kedua, Peristiwa Isra Mikraj: Di bulan Rajab, tepatnya pada malam 27 Rajab, terjadi peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu Isra Mikraj. Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan spiritual dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, dan kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha untuk bertemu Allah SWT. Peristiwa ini menandai pentingnya shalat lima waktu yang menjadi kewajiban bagi umat Islam.

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT;

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ۝١

Artinya; Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [Q.S Al-Isra’ ayat 1]

Ketiga, bulan penaburan rahmat. Bulan Rajab dikaitkan dengan sifat Allah SWT yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Di bulan ini, Allah SWT melimpahkan rahmat dan keberkahan kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bertaubat.

Amalan yang Dianjurkan di Bulan Rajab

Pertama, puasa sunnah Rajab. Dalam hadis Rasulullah disebutkan bahwa sunnah hukumnya melaksanakan puasa di bulan haram. Rajab termasuk dari salah satu empat bulan haram [asyhurul hurum], Muharam, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Alasan sunnah puasa Rajab, karena di bulan ini terdapat kemuliaan yang digandakan pahala amal kebajikan.

صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ

Artinya: “Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah!” (HR Abu Dawud dan yang lainnya).

Kedua, saat malam bulan Rajab, seseorang disunnahkan untuk membaca doa bulan Rajab. Ini termasuk dalam dari bagian amalan bulan Rajab yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Adapun doa yang bisa dibaca adalah yang bersumber dari sahabat Ali bin Abi Thalib berikut ini:

اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَلِهِ مَصَابِيْحِ الْحِكْمَةِ, وَمَوَالِي النِّعْمَةِ, وَمَعَادِنِ الْعِصْمَةِ وَاعْصِمْنِي بِهِمْ مِنْ كُلِّ سُوْءٍ, وَلَا تَأْخُذْنِي عَلَى غِرَّةٍ, وَلَا عَلَى غَفْلَةٍ, وَلَا تَجْعَلْ عَوَاقِبَ أَمْرِيْ حَسْرَةً وَنَدَامَةً, وَارْضَ عَنِّي, فَإِنَّ مَغْفِرَتَكَ لِلظَّالِمِيْنَ, وَأَنَا مِنَ الظَّالِمِيْنَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ مَا لَا يَضُرُّكَ, وَأَعْطِنِيْ مَا لَا يَنْفَعُكَ, فَإِنَّكَ الْوَاسِعَةُ رَحْمَتُهُ, الْبَدِيْعَةُ حِكْمَتُهُ, فَأَعْطِنِي السَّعَةَ وَالدَّعَةَ وَالْأَمْنَ وَالصِّحَّةَ وَالشُّكْرَ وَالْمُعَافَاةَ وَالتَّقْوَى وَأَفْرِغِ الصَّبْرَ وَالصِّدْقَ عَلَيَّ وَعَلَى أَوْلِيَائِكَ, وَأَعْطِنِى الْيُسْرَ, وَلَا تَجْعَلْ مَعَهُ الْعُسْرَ, وَاعْمُمْ بِذَلِكَ أَهْلِي وَوَلَدِي وَإِخْوَانِي فِيْكَ, وَمَنْ وَلَدَنِي مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ, وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

Allāhumma shalli alā Muhammadin wa ālihi maṣābiḥil-ḥikmati, wa mawālī al-nimati, wa maādinil-ismati wa aṣimnī bihim min kulli suin, wa lā takhudhnīalā ghirratin, wa lā alā ghaflatin, wa lā tajal awāqiba amrī hasratan wa nadāmatan, wa ardhiannī, fa inna maghfirataka lil-ẓālimīna, wa anā minal-ẓālimīna.

Allāhumma ighfirlī mā lā yaḍurruka, wa aṭinī mā lā yanfauka, fa innaka al-wāsiata raḥmatuhū, al-badīata ḥikmatuhu, fa aṭinī al-siwāa wa al-dawata wa al-amni wa al-ṣiḥḥata wa al-syukra wa al-muāfāti wa al-taqwā wa afriqi al-ṣabr wa al-ṣidq alayya waalā auliyāika, wa aṭinī al-yusra, wa lā tajal maahu al-usra, waummu bi ḏālika ahli wa waladī wa ikhwānī fīka, wa man waladanī minal-muslimīna wal-muslimāti, wal-muminīna wal-mumināti.

Artinya; Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarganya, pelita-pelita hikmah, pemilik nikmat, dan sumber-sumber keutamaan. Lindungi aku dengan mereka dari segala keburukan. Jangan siksa aku dalam keadaan lengah dan lalai. Jangan jadikan akhir urusanku penyesalan dan penyesalan. Dan ridhoi aku, karena sesungguhnya ampunan-Mu adalah untuk orang-orang yang zalim, dan aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.

Ya Allah, ampunilah aku atas dosa-dosaku yang tidak merugikan-Mu. Dan berilah aku apa yang tidak bermanfaat bagi-Mu. Karena sesungguhnya Engkau Maha Luas rahmat-Nya, Maha Indah hikmat-Nya. Maka berilah aku kelapangan, kemudahan, keamanan, kesehatan, syukur, ampunan, dan ketakwaan.

Turunkan kesabaran dan kejujuran kepadaku dan kepada para wali-Mu. Dan berilah aku kemudahan, dan jangan jadikan bersamanya kesulitan. Dan umumkan dengan itu keluargaku, anak-anakku, saudara-saudaraku di dalam-Mu, dan orang yang melahirkanku dari kalangan orang-orang muslim dan muslimah, dan orang-orang mukmin dan mukminat.

Ketiga, bersedekah. Bulan Rajab adalah salah satu bulan haram yang memiliki keutamaan dan keistimewaan tersendiri. Bulan ini dimuliakan oleh Allah SWT dan dilipatgandakan pahala bagi orang-orang yang melakukan amalan-amalan kebaikan di dalamnya.

Bersedekah di bulan Rajab, mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Pada hadis Ibnu Majah menyebutkan bahwa pahala sedekah di bulan Rajab dilipatgandakan hingga seribu dinar. Din, pada masa Rasulullah SAW, nilainya setara dengan emas seberat 4,25 gram. Bayangkan betapa besar ganjaran yang menanti bagi yang gemar bersedekah di bulan ini.

Di sisi lain, ada hadis lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan, “Siapa yang bersedekah di bulan Rajab, Allah akan menjauhkannya dari api neraka sejauh jarak tempuh burung gagak yang terbang bebas dari sarangnya hingga mati.” Ini merupakan gambaran betapa besarnya rahmat Allah bagi orang yang gemar bersedekah di bulan Rajab.

Demikian amalan bulan Rajab. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kiai dan Godaan Politik

Di era sosial media yang mana semua berita bisa sangat transparan bahkan sangat telanjang, seharusnya para kiai dan yang dicap tokoh agama bisa lebih bijak dalam berperilaku dalam politik

Oleh: Muhammad Syafii Kudo

DI HALAMAN depan Masjid Al Akbar Surabaya, tepatnya di sekitaran kantor pengurus wilayah sebuah ormas Islam beberapa waktu ini banyak terdapat rangkaian karangan bunga yang dipasang berjajar dengan berbagai ucapan yang meskipun berbeda-beda rangkaian kalimatnya namun memiliki titik pesan yang sama, yakni keprihatinan para pengirimnya terhadap pemecatan sang ketua pengurus wilayah ormas Islam tersebut.

Seperti ramai diberitakan, tokoh tersebut diberhentikan karena dianggap berbeda pandangan politik dengan  para pengurus besar ormas Islam tersebut. Meskipun tidak disebutkan alasan pemecatan dalam Surat Keputusan pemberhentian si tokoh, dan para pengurus di kantor pengurus besar juga menyatakan ini hanya masalah internal organisasi, namun publik kadung membaca bahwa kasus ini tidak bisa lepas dari urusan politis belaka.

Dan hal itu diperkuat oleh pernyataan dari beberapa tokoh ormas itu di dalam berbagai wawancara di beberapa kanal berita.

Terlepas dari sengkarut yang terjadi di dalam tubuh ormas Islam tersebut, ada hal yang jelas sangat disayangkan oleh umat, yakni kian terperosoknya beberapa tokoh yang dianggap sebagai ulama ke dalam arus politik praktis yang ironisnya sangat ditentang oleh khittoh ormas tersebut.

Politik yang konon hendak diriang-gembirakan nyatanya masih membuat para tokoh rujukan umat kian terpolarisasi yang berimbas pada makin besarnya kebingungan umat.

Memang benar ulama juga manusia yang butuh meng-aktualisasi-kan diri dan perannya di masyarakat, namun harap diingat bahwa jika tidak hati-hati maka yang jatuh bukan hanya si ulama tersebut namun juga umat yang mengikutinya. Oleh karena itu dikatakan,

اِنََّ زَلَّۃَ الۡعَالِمِ كاَ السَّفِيۡنَۃِ تَغۡرَقُ وَيَغۡرَقُ مَعَهَا خَلۡقٌ كَثِيۡرٌ

“Sesungguhnya ketergelinciran seorang Alim itu seperti sebuah bahtera yang tenggelam. Niscaya akan ada banyak makhluk yang ikut tenggelam bersamanya.”

Jika ada pertanyaan apakah Kiai (ulama) tidak boleh berpolitik? Tentu sebagai warga negara yang berhak untuk memilih dan dipilih menjadi perwakilan rakyat, sah-sah saja jika Kiai berpolitik.

Baik itu politik praktis maupun sebagai pendorong di balik layar. Namun tentu corak politik Kiai berbeda dengan jalan politik non Kiai, karena ada etika moral (agama) yang harus dipatuhi oleh kalangan Kiai karena mereka adalah kaum yang dititipi warisan Rasulullah ﷺ yakni ilmu dan keberlanjutan dakwah Islam ini.

Dengan ini tentunya para Kiai harus lebih memikirkan mana yang lebih maslahat bagi agama dan umat di kondisi masing-masing mereka saat ini.

Membincangkan keterlibatan Kiai dalam ranah politik di negeri ini tentu sangat menarik sekali. Dr. Munawar Fuad Noeh mengatakan bahwa sejarah panjang politik Indonesia telah menunjukkan kuatnya relasi Kiai dengan kehidupan politik.

Sejak masa penjajahan Belanda sampai penjajahan Jepang, Kiai dengan komunitas santrinya telah menghiasi buku-buku sejarah sebagai kelompok sosial yang aktif menentang kekuasaan. Bahkan hingga pada proses kemerdekaan pun Kiai tetap menjadi unsur yang sangat diperhitungkan.

Sejarah keterlibatan Kiai tetap bertahan pada era Indonesia modern pasca kemerdekaan. Dalam setiap perhelatan politik di negeri ini, Kiai menunjukkan keterlibatan yang sangat tinggi.

Para Kiai bahkan menjadi bagian penting dalam proses perebutan politik kekuasaan. Keputusan-keputusan politik yang berujung pada kekuasaan, sejak Orde Lama hingga saat ini, selalu menghadirkan peran-peran politik Kiai. Peran politik Kiai ini merentang mulai dari skala lokal sampai nasional. (Dr. Munawar Fuad Noeh; Kiai Di Panggung Pemilu Dari Kiai Khos Sampai High Cost, Jakarta ,Penerbit renebook, 2014, hal.62-63).

Melihat peranan para kiai dan ulama yang demikian luasnya dalam mewarnai jejak perjalanan bangsa ini, tentu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara ini punya hutang besar kepada para Kiai.

Namun ironisnya karena nafsu serakah ingin berkuasa yang melanda hampir semua pemburu kursi, kini para Kiai banyak dimanfaatkan sebagai jurkam pendulang suara belaka dalam sistem politik transaksional. Banyak dari mereka (untuk tidak menyebut semua) mendekat ke Kiai dan pesantren di kala menjelang pemilu saja.

Politik dan Godaan Ulama

Politik adalah jalan juang untuk bisa menegakkan amar makruf nahi munkar secara legal konstitusional di dalam sebuah negara, demikian dalih beberapa kalangan Kiai yang memutuskan terjun ke dalam politik praktis. Haji Ali, salah seorang Kiai di Bondowoso pernah mengatakan,

“Dengan politik, apalagi jika partai politik yang kita ikuti menjadi pemenang dalam Pemilu, maka hal ini akan mempermudah tugas amar ma’ruf nahi munkar, yang memang menjadi tugas kami. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang memerintahkan kita untuk mengubah kemungkaran dengan kekuasaan, jika bisa. Kenapa begitu, karena merubah kemungkaran dengan kekuasaan menjadi lebih gampang, lebih cepat, lebih mudah dilakukan dan akan lebih luas pengaruhnya. Saya pikir semua Kiai yang terlibat dalam politik praktis pada awalnya mempunyai tujuan semacam ini, entah dalam kelanjutannya tujuan mulia ini berubah menjadi tujuan pragmatis untuk kepentingan dirinya masing-masing, itu soal berbeda. Namun, untuk tujuan awal, saya masih mempunyai keyakinan bahwa para Kiai mempunyai misi mulia.”(Saiful Bahar, Implikasi Konflik Politik, 46).

Sebagai umat akar rumput, kita tentu berbaik sangka bahwa para Kiai yang merupakan orang berilmu memiliki tujuan mulia saat memutuskan untuk terlibat di dunia politik baik sebagai pelaku politik itu sendiri maupun sebagai tim pemenangan, jurkam dan pendukung belaka.

Namun di era sosial media yang mana semua berita bisa sangat transparan bahkan sangat telanjang tersaji di depan mata para pemirsanya, seharusnya para Kiai ataupun yang kadung dicap sebagai tokoh agama bisa lebih bijak dalam berperilaku sebab bisa membahayakan hati umat.

Umat sangat paham bahwa daging ulama itu beracun sehingga tidak boleh menggibah mereka, namun harus dipahami pula bahwa tidak semua umat itu kuasa menahan jemarinya untuk tidak mengomentari apa yang tersaji di media sosial.

Seperti contoh video viral penceramah kondang yang bagi-bagi uang kemudian di sebelahnya ada seseorang yang memamerkan baju bergambar capres tertentu.

Penceramah seleb ini sebelumnya juga sempat viral saat mendatangi budayawan ludruk di Surabaya dengan membawa bungkusan tebal yang oleh warganet diduga sebagai uang yang coba diserahkan kepada si budayawan namun ditolak.

Inilah beberapa contoh kejadian yang harusnya tidak dilihat oleh umat dari kelakuan para ulama mereka. Apalagi di musim kampanye seperti ini, bagi-bagi uang, sekalipun di atas namakan sedekah bisa jadi dugaan money politics, karena perbuatan baik sekalipun jika dilakukan di waktu dan tempat yang salah maka akan menjadi sebuah bahan fitnah yang tidak baik.

Mari berkaca kepada para Salaf Soleh, dikisahkan bahwa beberapa orang pernah datang kepada Ibrahim bin Adham Rahimahullah dengan membawa harta (bantuan) dari penguasa di negeri itu.

Mereka meminta tolong kepada Ibrahim bin Adham agar harta tersebut dibagikan kepada para fakir miskin yang dia kenal. Kemudian Ibrahim bin Adham menolaknya seraya berkata; “Ketika kelak Allah menghisab para penguasa yang dholim di hari kiamat atas semua harta benda yang mereka miliki, para penguasa dholim itu akan berkata, ‘Aku telah memberikannya kepada Ibrahim bin Adham,’ maka mereka (penguasa dholim) akan kembali kepadaku untuk menyeretku agar seolah terlibat dalam kedholiman mereka dengan alasan itu semua.”

Imam Abdul Wahab As Sya’roni di dalam kitabnya menulis,

وكان الفضيل بن عياض رحمه الله تعالى يقول: لا يصلح أن يدخل على الأمراء ويخالطهم إلا مثل أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه، وأما أمثالنا فلا يصح له الدخول عليهم، لعجزه عن مواجهتهم بالنصح والإنكار عليهم فيما يراه منهم من الظلم والجور ونحوه   
“Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata, “Tidak patut masuk ke tempat para penguasa dan bercampur (berkumpul) dengan mereka kecuali dengan penguasa yang (kualitasnya) seperti Umar bin Khottob Radiyallahu Anhu. Dan adapun bagi orang-orang seperti kita, maka tidak patut baginya untuk masuk ke tempat para penguasa, karena lemahnya kemampuan kita untuk menghadapi mereka dalam rangka menasihati dan ingkar atas kedholiman mereka pada apa-apa yang kita lihat dari (kebijakan) mereka yaitu dari perbuatan dholim, kesewenang-wenangan dan yang semisalnya daripada perbuatan mereka.” (Imam Abdul Wahab As Sya’roni, Kitab Tanbihul Mughtarrin, cet. DKI, hal. 37).

Sekelas Imam Fudhail bin Iyadh bisa sangat tawadhu’ mengatakan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang sekelas beliau(وأما أمثالنا )untuk bercampur dengan para penguasa karena paham akan kelemahan mereka dalam melakukan amar makruf nahi munkar di hadapan para penguasa.

Bahkan beliau memberikan syarat yang berat jika ingin masuk ke tempat penguasa, yakni boleh masuk ke tempat mereka jika mereka sekualitas Khalifah Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu.

Apakah pendapat Imam Fudhail bin Iyadh ini berlebihan? Tidak, jika kita lihat dari kacamata kehati-hatian. Sebab mereka para Salaf Soleh tersebut selalu teringat kepada ancaman dari Rasulullah ﷺ yang mengatakan,

وقال صلى الله عليه وسلَّمَ : ( سيكون من بعدي أمراء يظلمون ويكذبون ، فمَنْ صدَّقَهُمْ بكذبهم ، وأعانَهُمْ على ظلمهم .. فليس مني ولستُ منه ، ولم يرد علي الحوض

Akan datang sepeninggalku para penguasa yang dholim dan tukang bohong. Maka barangsiapa yang membenarkan  kebohongan mereka  dan menolong (membantu) kedholiman mereka, maka bukanlah bagian dari umatku dan aku (Rasulullah) bukanlah golongannya. Mereka tidak bisa datang kepadaku di telaga surga nanti.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Imam al Ghazali di dalam kitabnya menulis,

وفي الخبر : ( خير الأمراء الذين يأتون العلماء ، وشر العلماء الذين يأتون الأمراء

روى الديلمي في ( مسند الفردوس ) ( ٥٦٦ ) من حديث عمر رضي الله عنه :

( إن الله عز وجل يحب الأمراء إذا خالطوا العلماء ، وإن الله يمقت العلماء إذا خالطوا الأمراء ؛

لأن العلماء إذا خالطوا الأمراء.. رغبوا في الدنيا ، وإن الأمراء إذا خالطوا العلماء

رغبوا في الآخرة )

Disebutkan di dalam Khobar bahwa, “Sebaik-baik penguasa adalah mereka yang mendatangi Ulama. Dan seburuk-buruk   Ulama adalah mereka yang  mendatangi para penguasa.  Ini diriwayatkan oleh Ad Dailami di dalam Musnad Al Firdaus halaman 566 dari hadis  Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah mencintai  para penguasa apabila mereka mau berkumpul dengan para Ulama. Dan Allah membenci para Ulama apabila mereka bercampur dengan para penguasa.  Karena sesungguhnya Ulama ketika  bercampur dengan penguasa maka akan menyebabkan mereka cinta kepada dunia.  Dan ketika para  penguasa bercampur dengan para Ulama akan menyebabkan mereka cinta kepada akhirat.

وفي الخبر : ( العلماء أمناء الرسل على عباد الله ما لم يخالطوا السلطان ، فإذا فعلوا ذلك .. فقد خانوا الرسل ، فاحذروهم واعتزلوهم ، ، رواه أنس رضي الله عنه

Dan di dalam Khobar disebutkan juga, “Ulama adalah kepercayaan (pemegang amanah) Rasulullah atas para hamba Allah selama mereka tidak bercampur dengan penguasa. Maka jika mereka bercampur dengan penguasa, sungguh mereka telah menghianati Rasul. (Jika demikian) maka berhati-hatilah dan jauhilah mereka.” Diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu Anhu. (Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya’ Ulumiddin Juz 3, cet. Darul Minhaj, hal 542-543).

Tentu para Kiai yang terlibat kegiatan politik dan bersentuhan dengan para penguasa adalah para ahli ilmu yang sangat paham pada fitnah penguasa dan kekuasaan.

Dan kita sebagai orang awam yang diwajibkan  takzim kepada para ulama harus berbaik sangka bahwa pilihan mereka terlibat di dalam kancah politik adalah sebuah Ijtihad yang dalil dan dalihnya sudah mereka siapkan, baik sebagai hujjah di hadapan umat apatah lagi kelak di hadapan Allah SWT dan Rasulullah ﷺ.

Semoga Allah selalu menjaga agar niat dan ijtihad mereka itu tetap lurus, sebab fitnah kekuasaan sangat besar sekali apalagi untuk para Ulama yang hidup di akhir zaman. Wallahu A’lam Bis Showab.*

Murid Kulliyah Dirasah Islamiyah Pandaan Pasuruan

HIDAYATULLAH

Keutamaan Bulan Rajab Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani

Syekh Nawawi Banten, dalam kitab Tafsir Marah Labib, jilid I, halaman 447, menjelaskan bahwa keutamaan bulan Rajab sangat agung. Pasalnya, Islam bulan Rajab termasuk bulan haram [asyuhurul hurum]. Dalam bulan tersebut terdapat keistimewaan, untuk itu umat Islam seyogianya tidak mengotorinya dengan amal keburukan.

Sebab, kata Syekh Nawawi Banten, menurut Syekh Nawawi Banten, dosa yang dilakukan di bulan haram, terutama Rajab, jauh lebih besar daripada di bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menghormati keistimewaan bulan haram dengan memperbanyak amal saleh dan menjauhi keburukan.

Sementara Ibnu Abbas memperluas larangan tersebut ke seluruh bulan sepanjang tahun. Inti pesannya adalah agar manusia senantiasa menjaga kesucian diri dan menghindari kerusakan, kapanpun dan dimanapun. Syekh Nawawi berkata;

من تلك الشهور الاثني عشر أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ هي ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم ورجب ذلِكَ أي عدة الشهور الدِّينُ الْقَيِّمُ أي الحساب الصحيح فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أي في الأربعة الحرم أَنْفُسَكُمْ بإتيان المعاصي فإنه أعظم وزرا كإتيانها في الحرم. وقال ابن عباس: فلا تظلموا في الشهور الاثني عشر أنفسكم، وذلك منع الإنسان عن إتيان الفساد في جميع العمر

Artinya: Dari dua belas bulan itu, empat bulan haram, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Itu, yaitu bilangan bulan, adalah agama yang lurus, yaitu perhitungan yang benar. Maka janganlah kamu menganiaya dirimu sendiri pada bulan-bulan itu, yaitu pada empat bulan haram, dengan melakukan dosa, karena sesungguhnya itu adalah dosa yang lebih besar, seperti melakukan dosa di tanah haram.

Ibnu Abbas berkata: Janganlah kamu menganiaya dirimu sendiri pada dua belas bulan, karena sesungguhnya itu mencegah manusia dari melakukan kerusakan di sepanjang usia. (Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, jilid I, (Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1417 H), halaman 447).

Pada sisi lain, Bulan Rajab merupakan bulan yang penuh dengan keutamaan dan keberkahan bagi umat Muslim. Anjuran beribadah di bulan Rajab pun banyak disampaikan oleh para ulama dan hadits, menjadikan bulan ini sebagai momentum untuk meningkatkan amal saleh dan memperbaiki diri.

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Artinya; dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, diantaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab yang biasa diagungkan Bani Mudlar yaitu antara Jumadil tsani dan Sya’ban.’

Demikian penjelasan keutamaan Bulan Rajab menurut Syekh Nawawi Al-Bantani. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 3)

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تُؤْخَذُ صَدَقَاتُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مِيَاهِهِمْ

“Sedekah (zakat) kaum muslimin itu diambil di sumber-sumber air mereka.” (HR. Ahmad 11: 343. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan sanad hadis ini hasan.)

Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَلَا تُؤْخَذُ صَدَقَاتُهُمْ إِلَّا فِي دُورِهِمْ

“Zakat mereka tidaklah diambil kecuali di kampung-kampung mereka.” (HR. Abu Dawud no. 1591 dan Ahmad 11: 288, sanadnya hasan.)

Kandungan hadis kelima

Hadis ini adalah dalil bahwa petugas zakat hendaknya mengambil zakat unta, kambing, atau harta zakat lainnya di sumber-sumber air (tempat hewan-hewan tersebut berkumpul untuk minum) atau di kampung-kampung tempat mereka tinggal. Di sini, Ibnu Hajar rahimahullah juga menyebutkan hadis riwayat Abu Dawud. Karena hadis riwayat Ahmad itu khusus berkaitan dengan zakat hewan ternak, yaitu agar petugas zakat mendatangi pemilik hewan ternak di sumber-sumber air di mana hewan ternak tersebut minum. Adapun riwayat Abu Dawud itu umum dan berlaku untuk semua jenis harta yang diambil zakatnya.

Ketika petugas zakat mengambil langsung harta zakat ke rumah pemiliknya, maka hal itu akan meringankan beban dan menghilangkan kesulitan orang yang terkena kewajiban zakat. Hal ini karena mereka tidak perlu repot dan kesusahan mendatangi baitul maal untuk membayar zakat.

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Hal ini akan memudahkan semuanya. Memudahkan pemilik harta, dan juga memudahkan petugas penarik zakat karena orang yang wajib membayar zakat berkumpul di sumber air atau mata air. Petugas zakat tidak perlu mencari mereka ke padang pasir, karena hal itu akan menyusahkan.” (Tashilul Ilmam, 3: 109)

Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu beliau mengutus petugas zakat untuk menarik zakat ke rumah-rumah orang yang memiliki kewajiban zakat, kemudian mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Sehingga hadis ini juga menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat bolehnya mendistribusikan pembagian zakat ke luar daerah asal jika terdapat maslahat tertentu. Karena petugas zakat tersebut bisa saja menarik zakat dari penduduk di luar kota Madinah.

Teks hadis keenam

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِي عَبْدِهِ وَلاَ فِي فَرَسِهِ

“Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada budaknya dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464 dan Muslim no. 982)

Kandungan hadis keenam

Hadis ini merupakan dalil tidak ada kewajiban zakat untuk harta seorang muslim yang dimanfaatkan untuk keperluan dirinya sendiri, dalam hadis ini disebutkan budak dan hewan kuda. Ibnul Mulaqin rahimahullah berkata, “Hadis ini adalah dalil pokok bahwa harta yang sifatnya tetap (tidak berkembang) itu tidak ada kewajiban zakatnya.” (Al-I’lam, 5: 53)

Hal ini karena harta tersebut dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, bukan harta yang berkembang dan mendatangkan keuntungan untuk pemiliknya. Sehingga ketentuan ini juga menjadi dalil adanya kemudahan syariat Islam.

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah menjelaskan, “Zakat hanyalah dikenakan untuk harta berkembang dan diperdagangkan. Harta yang berkembang adalah harta yang memang dikelola untuk terus bertambah atau berkembang biak. Sedangkan harta yang diperdagangkan adalah harta yang dikelola untuk jual beli atau mencari keuntungan. Sehingga harta yang tidak berkembang itu tidak ada kewajiban zakatnya, yaitu harta yang dikonsumsi atau harta yang digunakaan (dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari).” (Tashilul Ilmam, 3: 109)

Sehingga termasuk dalam hadis tersebut adalah semua benda yang digunakan atau dimanfaatkan secara khusus oleh pemiliknya, misalnya kendaraan (mobil, meskipun mobil mewah), pakaian, atau perabot rumah tangga. Demikian pula barang-barang yang dipakai oleh pemiliknya untuk menjual jasa atau bekerja, misalnya mobil yang disewakan, alat-alat pertukangan, baik tukang kayu atau pandai besi, alat-alat masak, atau sejenis itu. Barang-barang semacam itu tidak ada kewajiban zakatnya. Yang dikenai zakat adalah hasil sewa atau upah yang dihasilkan, itupun jika telah mencapai nishab dan haul, sebagai zakat mal.

Termasuk juga adalah makanan yang disimpan untuk dikonsumsi. Misalnya, seseorang menyimpan kurma atau bahan makanan lain dalam jumlah besar. Meskipun sudah mencapai haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Karena harta itu bukan harta yang dikembangkan, namun harta yang akan dikonsumsi.

Dalam hadis tersebut disebutkan kuda. Kuda tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Karena kuda itu digunakan sebagai alat transportasi dan mengangkut barang. Kuda juga digunakan untuk jihad fii sabilillah, sehingga tidak dikenai zakat. Hewan yang memiliki fungsi yang sama, misalnya keledai atau baghal (peranakan antara kuda dan keledai) juga tidak dikenai kewajiban zakat. Demikian pula, seseorang yang memiliki budak, tidak ada kewajiban zakat bagi si pemilik budak. Karena budak tersebut dipekerjakan untuk membantu pekerjaan tuannya, meskipun budak tersebut harganya mahal.

Dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa jika budak atau kuda tersebut diperdagangkan, maka ada kewajiban zakat atasnya. Karena jika diperdagangkan, harta benda tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung, akan tetapi yang menjadi tujuan adalah nilai (harga) harta tersebut dan keuntungan dari penjualannya.

Teks hadis ketujuh

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (berkaitan dengan zakat sapi),

وَلَيْسَ عَلَى الْعَوَامِلِ شَيْءٌ

“Tidak ada kewajiban zakat untuk (sapi) pekerja.” (HR. Abu Dawud no. 1572 dan Ad-Daruquthni 2: 103, sanadnya hasan)

Kandungan hadis ketujuh

Hadis ini juga menjadi dalil bahwa sapi yang dimanfaatkan untuk membajak atau mengairi sawah itu tidak ada kewajiban zakatnya. Karena sapi tersebut dimanfaatkan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu dan bukan termasuk harta yang berkembang yang ada kewajiban zakatnya.

Demikianlah serial pembahasan yang berkaitan dengan kewajiban zakat hewan ternak, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90567-zakat-hewan-ternak-bag-3.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

49 Jamaah Umroh Malang Tertipu, Kerugian Total Rp 1,9 Miliar

Jamaah tersebut hanya diberangkatkan hingga Kuala Lumpur, Malaysia.

Kepolisian Resor (Polres) Malang mengungkap kasus penipuan ibadah umroh yang dilakukan tersangka berinisial AA (34 tahun) terhadap 49 orang jamaah dengan total kerugian mencapai Rp 1,9 miliar.

Kasat Reskrim Polres Malang AKP Gandha Syah Hidayat mengatakan para korban penipuan tersebut, mengalami kerugian akibat tidak diberangkatkan ibadah umroh sesuai dengan yang dijanjikan oleh tersangka.

“Jadi ada kesepakatan jamaah akan berangkat umroh via Surabaya, Kuala Lumpur, Jeddah, Makkah dan Madinah. Namun, pada kenyataanya tidak seperti itu. Kerugian mencapai Rp 1,9 miliar,” kata Gandha, Selasa (9/1/2024).

Gandha menjelaskan total 49 korban penipuan tersebut memesan sejumlah paket umroh yang ditawarkan oleh pelaku melalui PT HJS dan PT UHK. Untuk mendapatkan calon jamaah, tersangka AA bekerja sama dengan agen umroh berinisial IWN yang merupakan pelapor.

Menurutnya, dari 49 jamaah umroh tersebut, sebanyak 42 orang mengambil paket dengan harga Rp 18,5 juta, dua orang mengambil paket dengan harga Rp 19,5 juta dan lima lainnya mengambil paket seharga Rp 24,5 juta untuk 11 hari perjalanan.

Saat itu, pada 27 November 2023, sebanyak 49 jamaah tersebut dijanjikan berangkat ibadah umroh dengan rute yang dimaksud. Namun, pada kenyataannya, jamaah tersebut hanya diberangkatkan hingga Kuala Lumpur, Malaysia.

“Pada pelaksanaannya, 49 jamaah umroh ini berangkat dari Surabaya ke Kuala Lumpur. Setelah di sana, sampai dua hari mereka tidak diberangkatkan. Jamaah mengeluh kepada pelapor,” katanya.

Ia menambahkan, pelapor berinisial IWN tersebut kemudian menyampaikan permasalahan itu kepada tersangka AA. Tersangka menyatakan uang jamaah tersebut sudah habis dan lebih baik kembali ke Indonesia serta tidak melaksanakan ibadah umroh.

“Akan tetapi, kesepakatan jamaah umroh dengan pelapor, mereka kemudian menggunakan uang pribadi untuk tetap melaksanakan ibadah umroh,” tambahnya.

Setelah dilakukan penyelidikan dan gelar perkara terhadap kasus tersebut, Polres Malang menetapkan AA sebagai tersangka. Tersangka ditahan di Rumah Tahanan Polres Malang sejak 27 Desember 2023.

Atas perbuatannya, tersangka yang merupakan warga Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar, Jawa Timur tersebut dijerat dengan Pasal 378 KUHP Tentang Penipuan dan Pasal 372 Tentang Penggelapan KUHP dengan ancaman hukuman penjara maksimal empat tahun.

sumber : Antara

Mau Dapat Syafaat di Hari Kiamat? Rajin-Rajin Lakukan Ini

Umat Islam mendambakan keselamatan dan hadirnya syafaat ketika kiamat.

Umat Islam mendambakan keselamatan dan hadirnya syafaat ketika kiamat. Maka salah satu caranya adalah jangan pernah bosan melakukan amalan shalih. 

Bahirul Amali dalam buku Agar Orang Sibuk Bisa Menghafal Alquran menjabarkan lima keistimewaan para pembaca Alquran. 

Pertama, menjadi hamba yang istimewa. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga dari golongan manusia.” Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka?” beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang dekat dengan Alquran. (Mereka adalah) keluarga Allah dan hamba istimewa.” (HR Ibnu Majah). 

Kedua, mendatangkan ketenteraman dan rahmat-Nya. Rasulullah bersabda, “Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah di antara rumah-rumah Allah (yaitu masjid) di mana mereka membaca dan mempelajari Alquran, melainkan turun ketentraman atas mereka, rahmat meliputi mereka, dan para malaikat memenuhi majelis mereka. Dan Allah menyebut-nyebut mereka pada siapa yang ada di sisi-Nya.” (HR Muslim). 

Ketiga, memberikan syafaat di hari kiamat. Rasulullah bersabda, “Bacalah Alquran karena ia adalah pemberi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Keempat, perbandingan keutamaan orang yang mahir dan terbata-bata. Sayyidah Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang membaca Alquran dengan terbata-bata karena sulit makana akan mendapatkan dua pahala.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Kelima, kebaikan yang berlipat ganda. Abdullah bin Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah (Alquran), maka dia mendapat satu kebaikan, dan satu kebaikan itu bernilai sepuluh kebaikan semisalnya, aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, akan tetapi alif itu satu huruf, lam itu satu huruf, dan mim itu satu huruf.” (HR Tirmidzi). 

IQRA

Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi

Tajuk: Betapa dahsyatnya makna bacaan zikir pagi dan petang. Tidak ada tameng yang lebih kuat dari bacaan zikir tersebut. Di dalamnya, terkandung doa-doa hebat sebagai pertanda kebergantungan seorang hamba kepada Rabb-Nya.

Kita mungkin sering mendengar istilah meditasi. Sebuah aktivitas yang sering diklaim sebagai bagian dari rutinitas orang-orang sukses, baik dari aspek bisnis, karir, maupun aspek duniawi lainnya. Kadangkala, kita pun yang mengikuti tren ini, mencoba untuk menggali lebih dalam apa itu meditasi.

Jika ditelisik dari berbagai sumber, meditasi adalah praktik yang melibatkan fokus pikiran pada satu pemikiran, frase, objek, atau aktivitas. Melibatkan kombinasi teknik mental dan fisik. Tujuannya adalah mencapai keadaan mental yang jelas dan emosional yang tenang serta stabil. Meditasi dianggap sebagai bagian penting dari rutinitas pagi yang ‘wajib’ dilakukan seseorang jika ingin sukses. Karena apabila dipraktikkan, maka mental dan emosional akan lebih teratur sehingga aktivitas keseharian bisa lebih produktif dan penuh inovasi.

Wajar saja jika kita tertarik untuk mempraktikkannya. Namun, sebagai seorang muslim, tidakkah terbesit di pikiran kita untuk mencari tahu apakah dalam syariat ada rutinitas pagi yang jauh lebih dahsyat dan berefek dalam kehidupan kita, baik duniawi maupun ukhrawi?

Jawabannya ada, yaitu zikir pagi. Mengawali pagi hari dengan zikir pagi merupakan rutinitas yang semestinya menjadi kebiasaan (habit) seorang muslim. Banyak dalil yang memerintahkan untuk melaksanakan zikir pagi. Di antaranya firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً. وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (kepada) Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَعَالَى مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ : أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ ، وَلَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ : أَحَبُّ إِلَيَّ مَنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً

Aku duduk bersama orang-orang yang berzikir kepada Allah Ta’ala mulai dari (waktu) salat Subuh hingga terbit matahari lebih aku cintai daripada memerdekakan empat orang budak dari putra Nabi Isma’il. Dan aku duduk bersama orang-orang yang berzikir kepada Allah mulai dari (waktu) salat Asar sampai terbenam matahari lebih aku cintai daripada memerdekakan empat orang budak.” (HR. Abu Dawud no. 3667 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Syekh Al-Albani)

Zikir pagi merupakan amalan sunah yang dianjurkan kepada setiap muslim. Bukan sekadar rutinitas, tetapi sebuah bentuk kebergantungan seorang hamba kepada Rabb-Nya. Dalam bacaan ini, terdapat doa-doa hebat yang mencerminkan kehendak dan perlindungan dari Allah Ta’ala. Sebagai penjelasan, mari kita pahami makna dari bacaan zikir ini.

أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ

Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah. Segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah), kecuali Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allahlah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dialah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Wahai Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di neraka dan siksaan di alam kubur.” (HR. Muslim no. 2723)

Berdasarkan makna dari kalimat zikir di atas, ada 4 hal permohonan doa yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita untuk kita minta kepada Allah, yaitu:

Penghambaan kepada Allah

أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ.

Saudaraku, perhatikanlah betapa indahnya awal kalimat zikir ini dengan pujian kepada Allah Ta’ala di waktu pagi. Pujian kepada Allah ini dilanjutkan dengan kalimat syukur “Segala puji hanya milik Allah”. Kemudian, ditegaskan pula pernyataan bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi, kecuali Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, serta milik-Nyalah kerajaan dan pujian, dilanjutkan dengan pengakuan bahwa Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Kepasrahan kita sebagai hamba Allah terurai lengkap dan sempurna dalam kalimat zikir ini. Dengan kata lain, sebelum memulai hari dengan beragam aktivitas, kita bersaksi melalui lisan dan keyakinan bahwa hanya Allah pemilik kerajaan alam semesta.

Rezeki yang kita cari dengan beragam profesi telah Allah Ta’ala tentukan kadarnya, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhulmahfuz).” (QS. Hud: 6)

Subhanallah! Seharusnya, tiada kekhawatiran bagi seorang muslim tentang masa depan. Karena ia menyadari bahwa Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Tugas kita hanya berikhtiar sesuai dengan tuntunan syariat, serta senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah.

Mudah-mudahan dengan sebab iman dan takwa, Allah akan membukakan keberkahan-Nya yang luasnya tidak terbatas untuk kita hamba-hamba-Nya.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)

Permohonan kebaikan dan perlindungan dari kejahatan

رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ  “رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ”

Sebagai bentuk ikhtiar, tentunya dalam setiap ucapan, tutur kata, tingkah laku, dan perbuatan kita sebagai seorang muslim hendaklah selalu dijaga. Namun, sebagai manusia yang cenderung melakukan kekhilafan, akibat dari kekeliruan kita dalam menjaga diri, ada saja cobaan yang datang menimpa kita dari segala arah yang mungkin kita tidak pernah mengira.

Persoalan dalam rumah tangga, misalnya. Kita tidak pernah merencanakan permasalahan, tapi kadangkala masalah itu datang dengan sendirinya, baik karena kekhilafan kita atau karena belum bijaknya kita dalam menghadapi permasalahan. Begitu pula dalam perkara pekerjaan, untung dan rugi adalah persoalan yang selalu menjadi fokus utama seorang pedagang atau pebisnis. Kesehatan mental dan kelayakan upah menjadi persoalan para pekerja. Semua ini dapat menjadi kebaikan bisa juga menjadi keburukan yang menimpa seorang individu.

Maka dari itu, kita memohon kepada Allah Ta’ala pada waktu pagi. Saat semuanya hendak dimulai, mudah-mudahan Allah memberikan kita kebaikan pada hari itu dan hari sesudahnya dari segala aspek kehidupan. Sehingga, dengannya kita dapat lebih dekat dengan Allah dan diberikan kemudahan untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang beruntung.

Keberanian menghadapi tantangan tua dan kemalasan

رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ

Malas adalah sifat buruk yang sangat merugikan jika terus dipelihara. Baik malas dalam beribadah, bekerja, bermuamalah, belajar, dan melakukan kebajikan, serta amalan-amalan saleh lainnya. Padahal, Allah Ta’ala telah menjanjikan kehidupan yang baik bagi mereka yang istikamah dalam melaksanakan kebajikan.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Oleh karenanya, melalui zikir ini, kita memohon perlindungan kepada Allah dari sifat malas yang menjadi penghambat dalam upaya kita menggapai kesuksesan dunia dan akhirat.

Begitu pula, keburukan di hari tua. Pastinya, kita menginginkan agar kelak di hari tua kita, Allah Ta’ala senantiasa memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya kepada kita agar terbiasa bertakwa kepada-Nya, dimudahkan dalam melaksanakan ibadah dengan kondisi kesehatan fisik dan mental yang terjaga. Tidak pula menjadi beban, bahkan justru dapat menebar manfaat kepada orang banyak, hingga pada akhirnya menjadi sebaik-baik manusia dan wafat dalam kondisi husnulkhatimah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, atau mengangkat kesusahan dari orang lain, atau membayarkan utangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh, aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beriktikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13280, 12: 453 dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jami’ no. 176)

Perlindungan dari siksaan akhirat

رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Menjaga diri dan keluarga dari api neraka adalah perintah Allah dan merupakan kewajiban bagi orang-orang yang beriman. Lihatlah, berapa banyak orang yang memaksakan logikanya dalam menyikapi konteks keimanan ini. Mereka –wal’iyadzubillah– tidak meyakini hari akhir, tidak percaya siksa kubur, bahkan mengingkari eksistensi Allah Ta’ala.

Maka, alangkah beruntungnya kita mendapatkan anugerah keimanan yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Sehingga, dengan haqqul yaqin, kita beriman yang diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, serta dibuktikan dengan amalan-amalan fisik kita. Untuk itu, dengan zikir ini, kita memohon perlindungan kepada Allah dari segala potensi dosa-dosa, dari pengaruh bisikan-bisikan, baik yang bersumber dari jin maupun manusia.

Saudaraku, disadari atau tidak, kita kadangkala cenderung lebih tertarik untuk mengikuti pola hidup dan pola pikir barat dengan pernak pernik sains yang diklaim bersamaan dengannya. Padahal, apabila kita telisik lebih dalam, sangat mudah bagi kita untuk mendapatkan sumber ilmu yang serupa, bahkan jauh lebih luas dalam agama kita sendiri, yaitu Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Dalam ajaran agama Islam, contoh yang telah diteladankan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita dapat menemukan prinsip-prinsip dalam persoalan bagaimana membentuk pola hidup dan pola pikir yang lebih bermanfaat.

Meditasi alias zikir pagi selayaknya menjadi rutinitas kita sebagai muslim sejati. Mudah-mudahan dengan melazimkannya kita dapat memperoleh kesuksesan dunia dan akhirat, serta menggapai keridaan Allah Ta’ala.

Wallahu a’lam bisshawab

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/90657-mendalami-makna-zikir-pagi.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Apakah Matinya Teroris Termasuk Syahid ?

Mati syahid termasuk kematian yang dibanggakan oleh banyak orang. Sebab ada banyak kemulyaan yang dijanjikan Allah swt bagi orang yang mati syahid. seperti ia masuk syurga tanpa hisab dan sebagainya. Nabi saw bersabda:

تَضَمَّنَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِى سَبِيلِهِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ جِهَادًا فِى سَبِيلِى وَإِيمَانًا بِى وَتَصْدِيقًا بِرُسُلِى فَهُوَ عَلَىَّ ضَامِنٌ أَنْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ أَرْجِعَهُ إِلَى مَسْكَنِهِ الَّذِى خَرَجَ مِنْهُ نَائِلاً مَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ. وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا مِنْ كَلْمٍ يُكْلَمُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَهَيْئَتِهِ حِينَ كُلِمَ لَوْنُهُ لَوْنُ دَمٍ وَرِيحُهُ مِسْكٌ وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْلاَ أَنْ يَشُقَّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ مَا قَعَدْتُ خِلاَفَ سَرِيَّةٍ تَغْزُو فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَبَدًا وَلَكِنْ لاَ أَجِدُ سَعَةً فَأَحْمِلَهُمْ وَلاَ يَجِدُونَ سَعَةً وَيَشُقُّ عَلَيْهِمْ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنِّى وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوَدِدْتُ أَنِّى أَغْزُو فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَأُقْتَلُ ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَلُ ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَلُ

Artinya: “ “Allah menjamin bagi orang yang berperang di jalan_Nya, tidak ada yang mendorongnya keluar kecuali karena ingin jihad di jalan_Ku, ia iman dengan Aku dan membenarkan para rasul_Ku, maka Aku menjamin akan memasukkannya ke dalam surga atau mengembalikannya pulang ke rumahnya dengan membawa kemenangan berupa pahala dan ghanimah. Demi dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan_Nya, tidak ada seseorang pun yang terluka dalam perang fi sabilillah, melainkan kelak di hari Kiamat ia akan datang dalam keadaan luka seperti semula, warna warna darah dan baunya bau minyak kesturi. Demi dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan_Nya, sekiranya tidak memberatkan kaum Muslimin, sungguh selamanya aku tidak ingin tertinggal di belakang ekspedisi berperang menegakkan agama Allah, namun saya tidak mampu untuk menanggung biaya mereka, sedangkan mereka juga tidak memiliki kelapangan, padahal mereka merasa kecewa tidak ikut berperang bersamaku. Demi dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan_Nya, sesungguhnya saya ingin sekali berperang fi sabilillah, kemudian saya terbunuh, lalu saya berperang lagi lalu saya terbunuh, setelah itu saya berperang lagi dan terbunuh.”

Jaminan dan keutamaan-keutamaan ini yang menjadi pegangan para teroris di Indonesia sehingga mereka berani melakukan bunuh diri. Dan ini diakui beberapa mantan teroris Indonesia.

Namun apakah benar matinya mereka sebagai teroris termasuk mati syahid ?

Menjawab pertanyaan tersebut yang pertama harus mengetahui apa yang dimaksud dengan mati syahid. Di dalam kitab Fathul Qarib, dijelaskan:

مَنْ مَاتَ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ بِسَبَبِهِ، سَوَاءٌ قَتَلَهُ كَافِرٌ مُطْلَقًا أَوْ مُسْلِمٌ خَطَأً، أَوْ عَادَ سِلَاحُهُ إِلَيْهِ أَوْ سَقَطَ عَنْ دَابَّتِهِ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ

Artinya: “(mati syahid adalah) orang yang mati dalam peperangan melawan orang kafir sebab berperang. baik dibunuh oleh orang kafir, atau orang Islam yang salah sasaran, atau senjatanya kembali kepadanya atau terjatuh dari kendaraannya, atau sesamanya”

Sebab itu, orang yang mati bukan berperang melawan orang kafir tidak disebut mati syahid. Bahkan sekalipun melawan pemberontak negara, selama ia masih Islam, tetap kematiannya tidak disebut mati syahid.

فَإِنْ مَاتَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْقِتَالِ بِجَرَاحَةٍ فِيْهِ يَقْطَعُ بِمَوْتِهِ مِنْهَا فَغَيْرُ شَهِيْدٍ فِي الْأَظْهَرِ. وَكَذَا لَوْ مَاتَ فِيْ قِتَالِ الْبُغَاةِ

Artinya: “Jika orang tersebut mati setelah selesai peperangan yang disebabkan luka pada saat berperang yang dapat dipastikan akan kematiannya, maka tidak termasuk mati syahid menurut pendapat yang adzhar. Begitu juga seandainya mati berperang melawan pemberontak (tidak disebut mati syahid)”

Begitu juga tentang orang kafir yang harus diperangi, harus orang kafir yang memang boleh diperangi. Artinya, jika yang diperangi adalah kafir dzimmi atau kafir mu’ahad maka tidak termasuk mati syahid. Sebab mereka orang kafir yang harus dijaga haknya oleh Islam.

Jika demikian, apalagi memerangi yang jelas-jelas Islam, seperti apa yang dilakukan oleh teroris Indonesia. Jelas tidak termasuk mati syahid. Karena bukan mati dalam memerangi kafir yang halal diperangi, tetapi justru membunuh sesama muslim.

ISLAMKAFFAH

Etika Berkomunikasi yang Diajarkan Rasulullah, Apa Saja?

Komunikasi merupakan salah satu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai makhluk sosial cenderung terlibat dalam percakapan, baik itu untuk memecahkan masalah, memahami pandangan orang lain, atau sekadar bertukar informasi. Rasulullah Muhammad SAW, sebagai sosok teladan dalam agama Islam, memberikan contoh yang luar biasa dalam berkomunikasi dengan kata-kata yang baik dan penuh hikmah.

Berbicara tentang kehidupan Rasulullah, kita tidak hanya menyaksikan seorang pemimpin agama dan sosok panutan dalam ibadah, tetapi juga seorang tokoh yang mahir dalam berkomunikasi. Tentu, ini menjadi sebuah pelajaran berharga yang dapat kita terapkan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bersama-sama.

Dalam berbagai riwayat hadits, terlihat bagaimana Rasulullah senantiasa memilih kata-kata dengan bijak dalam setiap kesempatan. “Muslim sejati adalah orang yang kaum muslimin lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan Allah telah menekankan tentang pentingnya menjaga hubungan sesama manusia di dalam al-Qur’an sebagaimana ayat: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh syaitan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia.’” (QS. Al-Isra: 53)

Santun dan Lembut dalam Bicara

Salah satu kiat utama Rasulullah dalam komunikasi adalah kelembutan dan kesantunan dalam berbicara. Beliau senantiasa menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak menyakiti perasaan orang lain. Ketika berhadapan dengan perbedaan pendapat atau konflik, Rasulullah tidak pernah memilih kata-kata yang merendahkan atau menyakiti hati lawan bicara. Sebaliknya, beliau selalu berusaha menyelesaikan perbedaan dengan damai.

Contoh dari kelembutan Rasulullah sebagaimana dalam sabdanya, “Orang yang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR Thabrani dan Daruquthni)

Kemudian dalam hal menghargai orang lain, Rasulullah juga mengajarkan pentingnya mendengarkan dengan penuh perhatian. Beliau tidak hanya bicara, tetapi juga memberikan perhatian kepada pendapat dan pandangan orang lain. Sikap ini menciptakan suasana saling menghormati dan memperkuat hubungan antar individu.

Di beberapa hadits, terlihat bahwa Rasulullah juga selalu memberikan perhatian kepada setiap orang yang berbicara, baik itu anak-anak, perempuan, atau laki-laki. Dengan mendengarkan secara penuh perhatian, Rasulullah memberikan pesan bahwa setiap pendapat memiliki nilai dan pantas dihormati.

Menjauhi Kata-Kata Kasar dan Menerima Kritik

Rasulullah sangat menekankan untuk menjauhi penggunaan kata-kata kasar dan sumpah serapah dalam berbicara. Beliau memberikan contoh bahwa kata-kata yang kasar hanya akan merusak hubungan dan menciptakan ketegangan di antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan atau diskusi.

Rasulullah mengingatkan bahwa seorang mukmin, yang seharusnya menjadi teladan dalam berbicara, harus menjaga lidahnya agar tidak melibatkan diri dalam perkataan yang merendahkan. Ia juga menunjukkan sikap lapang dada dalam menerima kritik. Beliau tidak pernah merasa terhina atau marah ketika dikritik oleh sahabat-sahabatnya.

Sebaliknya, beliau menerima kritik sebagai sarana untuk memperbaiki diri. Menanggapi kritik dengan positif dalam segala situasi. Sikap ini menunjukkan bahwa Rasulullah mengajarkan untuk menerima kritik dengan lapang dada.

Dengan mengambil contoh dari kiat-kiat Rasulullah dalam berkomunikasi, kita dapat merajut hubungan dengan kata-kata baik. Kelembutan, mendengarkan dengan penuh perhatian, menjauhi kata-kata kasar, menerima kritik dengan lapang dada, dan memberikan motivasi positif adalah beberapa aspek penting yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang penuh kebaikan, saling pengertian, dan memperkuat hubungan antarindividu dalam masyarakat.

Melalui sikap Rasulullah pula, kita dapat menyimpulkan bahwa kiat beliau dalam berkomunikasi memberikan landasan kuat bagi kita untuk membangun hubungan yang harmonis. Semoga kita bisa tetap menjaga hubungan kepada manusia dengan kata-kata baik, menciptakan lingkungan yang penuh kasih, dan memperkuat persatuan dalam keberagaman.

ISLAMKAFFAH

Memahami Islam dan Fitrah Manusia

Sebenarnya, kata fitrah dalam pembahasan ini mempunyai hubungan arti dengan kata yang terdapat pada: “Hari Raya Fitrah” dan “Zakat Fitrah”. Arti fitrah itu adalah watak hakiki dan asli dari tiap-tiap manusia. Dengan demikian, maka pembahasan Islam dan fitrah manusia adalah untuk memberikan keterangan yang pasti tentang kepercayaan asli manusia dalam sejarahnya.

Lalu, apakah manusia itu lahir atau titik-tolak sejarahnya dari jiwa monoteisme ke politeisme atau sebaliknya, yaitu dari jiwa politeisme ke monoteisme? Atau manusia itu lahir dari ateisme ke teisme?

Persoalan ini perlu sekali mendapatkan penjelasan dan ketegasan, baik secara ilmu maupun secara agama, guna menjernihkan kesimpangsiuran anggapan orang-orang terhadap kepercayaan dasar manusia. Karena persoalan kepercayaan adalah hak milik agama, maka sekaligus akan menyingkapkan hakikat agama itu, apakah ia tumbuh dari monoteisme ke bukan monoteisme atau sebaliknya.

Perdebatan agama-agama 

Syahdan. Dalam lapangan Ilmu Pengetahuan Agama, kita akan menemukan persoalan ini dalam beberapa aliran. Bahwa, dari aliran-aliran itu adalah evolusionisme berkata: agama timbul dari bukan monoteisme menuju ke kesempurnaan adalah monoteisme.

Monoteisme adalah bentuk terakhir dan sempurna daripada kepercayaan dan agama umat manusia. Demikianlah, maka Max Muller berpendapat bahwa asal usul agama itu ialah penyembahan alam yang henoteistik nurun menjadi politeisme turun lagi ke fetishisme, lalu meningkat ke bentuk panteisme atau teisme.

Rupanya, E.B. Tylor, diikuti oleh Andrew Lang mengkritik teori Max Muller itu. Tylor berpendapat bahwa asal-usul kepercayaan itu ialah animisme. Hipotesa evolusionisme ini disambut oleh Herbert Spencer. Kemudian kiranya hipotesa ini demikian merata, bukan hanya di kalangan penulis-penulis yang dalam peninjauan asal-usul agama dalam segi kepercayaan.

Tetapi, hingga penulis-penulis Kristen pun mempunyai anggapan tentang benarnya teori evolusionisme itu. Akhirnya, orang mendapat asal-usul agama adalah paralel, kalau tidak terpengaruh oleh teori Darwin. Binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia dengan segala macam gejalanya diselidiki dengan kunci evolusionisme.

Akan tetapi, kemudian muncul suatu aliran yang menggembirakan, yaitu aliran oermonotheisme (monoteisme asli). Aliran ini berpendapat bahwa agama tidak melalui evolusi dari bertuhan banyak menjadi bertuhan satu, tetapi agama sejak dari dulu adalah monoteisme dan bertuhan satu. Penulis modern yang pertama-tama menekankan akan adanya monoteisme di kalangan masyarakat primitif adalah Andrew Lang.

Dengan lahirnya aliran baru ini yang berdasar atas penelitian ilmiah, maka berangsur-angsur gelombang evolusionisme menjadi reda, dan tampillah ke depan sarjana-sarjana agama, terutama di Eropa Barat, yang menolak hipotesa evolusionisme sebagai kunci untuk memahami sejarah agama. Di antara sarjana-sarjana yang terkemuka tercatat nama Wilhem Schemidt (1868).

Dalam penyelidikannya yang mendalam, dia kemudian mengambil kesimpulan bahwa ide Tuhan tidaklah datang dengan evolusi. Tetapi dengan revelation (wahyu). Kesimpulan ini diambilnya setelah menyelidiki pelbagai macam kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat primitif. 

Ternyata, dalam penyelidikannya, dia mendapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif itu ialah monoteisme, dan monoteisme ini tidak lain karena ajaran wahyu dari Tuhan. Penyelidikan tersebut adalah jauh dari sandaran pasal-pasal dalam Bible, tetapi semata-mata suatu pembahasan dalam arena ilmiah.

Alasan-alasannya itu disandarkan kepada data-data yang dikumpulkan oleh berpuluh-puluh penyelidik dan sarjana yang mengalami hidup bersama-sama dengan masyarakat primitif. Penyelidikan Wilhem Schemidt terhadap masyarakat primitif itu adalah demikian luas dan merata, yang meliputi pelbagai macam golongan dan suku.

Dari penyelidikannya yang intensif itu, dia mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan tentang adanya Tuhan Maha Agung dan Esa adalah bentuk yang tertua yang ada sebelum ada elemen-elemen yang lain, seperti naturisme, fetishisme, penyembahan setan, animisme, totemisme atau magisme, elemen-elemen yang dipergunakan oleh orang aliran evolusioner dalam teorinya tentang asal-usul agama. Kemudian pendapat W. Schemidt ini mendapat dukungan yang luas sekali dari sarjana-sarjana di Barat.

Maka, uraian yang dikemukakan di atas itu adalah bukti ilmiah dari kebenaran akidah dan ajaran Islam. Empat belas abad yang lalu, Nabi Muhammad Saw. mengajarkan kepada manusia bahwa kepercayaan dasar manusia adalah monothisme yang diistilahkan oleh Islamologi dengan Tauhid. Akidah tauhid itulah yang menjadi fitrah manusia. Maka risalah Nabi ialah memperbaiki dan meluruskan penyelewengan-penyelewengan manusia dalam akidah itu agar kehidupan manusia tetap serasi dengan fitrahnya.

Jadi menurut Islam, kepercayaan asli manusia adalah tauhid. Ajaran tauhidullah yang menjadi akidah manusia pertama (Adam As.) yang diterimanya dari Allah mulai saat penciptaannya, dan akidah itulah yang diajarkan kemudian kepada anak cucunya. Kemudian, di antara anak cucunya itu ada yang menyimpang dari ajaran tauhid sehingga timbul keonaran dan kemaksiatan.

Maka, akhirnya Allah mengutus Rasul lagi untuk mengembalikan lagi kepercayaan manusia pada tauhid, di samping membawa syari’ah sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengatur hidup dan kehidupannya. Setelah masa Rasul itu berlalu, terjadi pula penyimpangan pada umatnya. Maka Allah mengutus lagi seorang Rasul untuk memperbaiki kepercayaan dan kehidupan manusia. Demikianlah seterusnya, Rasul diutus satu sesudah yang lain untuk memberi peringatan dan petunjuk, hingga sampai kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai Nabi dan Rasul. Allah Swt. berfirman:

كَانَ النَّا سُ اُمَّةً وَّاحِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَـقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ اِلَّا الَّذِيْنَ اُوْتُوْهُ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۚ فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَـقِّ بِاِذْنِهٖ ۗ وَاللّٰهُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Artinya: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah [2]: 213).

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Manusia adalah satu kesatuan 

Kedua ayat tadi menegaskan bahwa manusia itu merupakan satu kesatuan umat dan akidah, berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Kemudian dari kedua manusia itu berkembang menimbulkan bangsa-bangsa dan kabilah-kabilah. Adanya bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa itu bukan untuk saling bermusuhan, tetapi untuk kenal-mengenal dengan baik. Pertentangan dan permusuhan terjadi karena manusia telah tidak sadar akan asal kejadiannya, lupa akan kesatuan kemanusiaannya dan menyeleweng dari petunjuk-petunjuk Allah. Mereka telah menyimpang dari kesetiaan akidah, yaitu akidah tauhid.

Bahwa Tauhid adalah keyakinan akan keesaan Allah, Maha Pencipta dan Maha Agung, tidak ada Tuhan melainkan Dia, yaitu Allah Swt. Akidah tauhid bukan hasil evolusioner, tetapi ia adalah fitrah manusia sendiri. Selain dalil dari manusia pertama, Adam dan Hawa; dalil lainnya karena al-Qur’an menerangkan bahwa sesungguhnya manusia telah bertauhid sejak ia di alam arwah. Allah Swt. berfirman:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْۤ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰۤى اَنْفُسِهِمْ ۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۗ قَالُوْا بَلٰى  ۛ  شَهِدْنَا  ۛ  اَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَ 

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS. Al-A’raf [7]: 172).

Dengan demikian, betapapun ateisnya atau musyriknya seseorang misalnya, dia adalah seorang bertauhid asalnya, karena berdasar ikrar rohnya dahulu kepada Allah. Kalau sekarang ia menyatakan dirinya ateis atau musyrik, semata-mata adalah pengkhianatan dan pelanggaran ikrar yang telah pernah diucapkannya di hadapan Allah Swt. Karena itu pula dia berhak menerima azab dan siksaan dari Allah atas perbuatannya itu.

Maka sebelum hukuman Allah datang, baik di dunia maupun di akhirat nanti, akidah yang telah rusak itu harus segera diluruskan ke jalan tauhid yang benar, agar dia tetap berkekalan dengan fitrahnya. Mengembalikan atau meluruskan akidah tauhid manusia sebagai fitrahnya, itulah yang menjadi inti dakwah, tugas fardhu ain bagi tiap-tiap muslim.

Tauhid sebagai fitrah manusia 

Tauhid sebagai fitrah manusia berarti bahwa naluriah manusia adalah makhluk yang selalu cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran. Dhamir (hati nuraninya) selalu mendendangkan dan merindukan kebenaran, dan kebenaran itu tidak akan didapat melainkan dengan Allah Swt. sebagai kebenaran mutlak dan terakhir.

Al-Qur’an menerangkan bahwa Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan kodrat yang hanief, sebagaimana juga agama Islam diciptakan Allah atas kodrat yang hanief. Artinya, memihak kepada kebenaran. Sebab, itulah Islam sesuai dengan fitrah manusia, cocok dengan naluriah manusia. Allah Swt. berfirman:

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا ۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَـلْقِ اللّٰهِ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ۙ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ 

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 30).

Atas dasar ini, Islam mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk yang baik, hadapilah semua manusia dengan persangkaan yang baik, jangan menghadapinya dengan jiwa curiga dan purbasangka. Maka secara hukum, seseorang tidak boleh ditahan apalagi dihukum sebelum dibuktikan bahwa dia memang bersalah. Tidak seperti yang sementara ini, bahwa seseorang telah ditahan bahkan dihukum, kemudian dibebaskan karena terbukti bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Ini adalah suatu aniaya besar!

Pengetahuan tentang dhamir manusia yang hanief, menyingkapkan tabir rahasia mengapa agama Islam merupakan agama yang mudah diterima oleh manusia dan akan tetap mudah diterima sepanjang masa buat segala tingkatan intelek. Pengetahuan ini adalah penting bagi setiap petugas dakwah dalam rangka membimbing dan mengajak manusia ke jalan Allah.

Memang iya harus pula diakui, bahwa di antara manusia terdapat golongan yang sesat jalan, golongan yang menolak dan bahkan memusuhi Islam. Apa sebabnya? Bukan karena dasar nalurinya yang sesat dan kafir, tidak ada manusia dilahirkan atas dasar ini.

Dalam hal ini, sebab-sebab seseorang menjadi sesat, menolak atau membenci Islam adalah: Pertama, orang itu tidak mendapat tuntunan rohaniah agama dan pendidikan tauhid. Kedua, orang itu mendapat pengaruh lingkungan yang buruk dari kalangan rumah tangganya, tetangganya, masyarakatnya dan pergaulannya. Atau informasi yang keliru tentang Islam yang sampai kepadanya.

Dan, untuk membangun masyarakat, manusia itulah yang harus dibangun lebih dahulu, membangun manusia pembangunan yang akan membangun. Kedua faktor di atas adalah mendasar dalam usaha membangun manusia itu. Untuk itulah, maka risalah Islam perlu dipahami dengan sebaik-baiknya, kemudian mengusahakan dan memperjuangkan penerapannya dalam semua macam lapangan hidup dan kehidupan manusia.

 Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH