Injil Sebut Nabi Isa AS Menanti Kedatangan Rasulullah SAW?

Terdapat isyarat dari Injil menyebutkan Nabi Isa nantikan Muhammad SAW.

Dalam teologi Islam, kemunculan Rasulullah SAW sejatinya telah dinubuatkan semua nabi. Bahkan Allah SWT sendiri telah mengambil sumpah dari para nabi untuk beriman dan menolong nabi Muhammad.


وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ ۚ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَىٰ ذَٰلِكُمْ إِصْرِي ۖ قَالُوا أَقْرَرْنَا ۚ قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (QS Ali Imran: 81). 

Para nabi benar-benar memenuhi janji yang telah mereka nyatakan di hadapan Allah. Mereka pun menjalani misi kenabian demi menggenapi janji tersebut. Termasuk Nabi Isa yang telah menanti kehadiran Rasulullah.   

“Sesungguhnya aku pergi agar sang Penghulu Zaman datang,” (Yohanes 16:8). Dalam Injil terjemahan Indonesia ayat ini berbunyi “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika aku pergi. Sebab, jikalau aku tidak pergi, penghibur itu tidak akan datang kepadamu,” (Yohanes 16:7).  

Menurut cendekiawan Muslim Turki, Muhammad Fethullah Gulen bunyi petikan ayat pada injil menjelaskan Isa mengajak manusia menunggu kedatangan Rasulullah.   

Dengan sabdanya ini, Nabi Isa tentu mengajak umat manusia untuk menunggu kedatangan sang Nabi Agung,” jelas Fethullah Gulen dalam bukunya yang sudah diterjemahkan dalam buku Cahaya Abadi Muhammad SAW Kebanggaan Umat Manusia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Mendoakan Non-Muslim (Bag. 1)

Motif dan perasaan orang beriman harus ditimbang dengan syarak (syariat). Karena itulah orang yang jujur keimanannya akan mengesampingkan perasaan, hawa nafsu, dan keinginan ketika syarak telah menetapkan suatu hukum. Mereka mengedepankan dan menuruti perintah Allah, tidak mempedulikan segala hal yang bertentangan dengan perintah itu. Apa yang terbayang di benak mereka adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al-Ahzab : 36).

Betapa indah apa yang dikatakan Sufyan bin ‘Uyainah,

إن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم هو الميزان الأكبر؛ فعليه تُعرَض الأشياء، على خُلقه وسيرته وهَديه، فما وافقها فهو الحق، وما خالفها فهو الباطل

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan neraca utama. Berdasarkan hal itu, semua perkara ditimbang berdasarkan akhlak, sikap, dan petunjuk beliau. Apa yang sesuai, maka itu merupakan kebenaran dan apa yang menyelisihi, maka itu merupakan kebatilan” (al-Jaami’ li Akhlaaq ar-Raawi wa Aadaab as-Saami’ 1/79).

Melalui tulisan ini kami ingin menjelaskan secara singkat pembahasan terkait hukum mendoakan non-muslim, baik ketika masih hidup atau telah meninggal, dengan harapan kaum muslimin bisa mengetahui batasan yang tepat dalam berinteraksi dengan non-muslim.

Hukum mendoakan non-muslim dapat dibagi menjadi empat kondisi, yaitu: (1) mendoakan ampunan dan rahmat, (2) mendoakan petunjuk, (3) mendoakan keburukan, (4) mendoakan agar memperoleh kebaikan dunia. Kondisi pertama akan kami jelaskan pada artikel ini, dan setelahnya akan kami jelaskan pada artikel kedua insyaallah.

Kondisi pertama: mendoakan ampunan dan rahmat

Mendoakan ampunan dan rahmat kepada non-muslim yang sudah meninggal

Ulama tidak berselisih pendapat terkait hukum mendoakan non-muslim yang meninggal di atas kekufuran.

An-Nawawi mengatakan,

الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة : حرام بنص القرآن والإجماع

“Menyalati dan mendoakan ampunan bagi non-muslim haram berdasarkan nash Al-Quran dan ijma” (al-Majmu’ 5/199).

Ibnu Taimiyah menyampaikan,

فإن الاستغفار للكفار لا يجوز بالكتاب والسنَّة والإجماع

“Memohon ampunan bagi non-muslim tidak diperbolehkan berdasarkan al-Quran, al-Hadits, dan ijmak” (Majmu’ al-Fataawaa 12/489).

Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ

“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja,’ kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya, ‘Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, namun aku sama sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah terhadapmu.’ (Ibrahim berkata), ‘Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkau kami bertawakal dan hanya kepada Engkau kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,’” (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Terkait ayat di atas, Ibnu Katsir menyampaikan bahwa memang terdapat teladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan pengikutnya, kecuali perbuatan Ibrahim yang memintakan ampunan bagi ayahnya. Hal itu tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Ketika telah nampak bahwa sang ayah adalah musuh Allah, beliau pun berlepas diri. Dan dahulu sebagian kaum muslimin masih mendoakan dan memohon ampunan bagi orang tua mereka yang wafat di atas kekufuran. Mereka beralasan dengan perbuatan Ibrahim tersebut, namun Allah pun menurunkan ayat di atas sebagai penjelasan kepada mereka (Tafsir Ibnu Katsir).

Memohonkan ampunan bagi non-muslim ketika mereka meninggal di atas kekufuran adalah perbuatan yang keliru dan tak bermanfaat. Ketika seorang meninggal di atas kesyirikan dan kekufuran, atau diketahui ia wafat dalam kondisi tidak beragama Islam, maka sungguh azab telah dipastikan atas dirinya dan ia kekal di dalam neraka, sehingga setiap syafaat yang dipanjatkan tak akan bermanfaat, begitu pula permohonan ampun (Tafsir As-Sa’di).

Mendoakan rahmat dan ampunan bagi non-muslim yang masih hidup

Terdapat sejumlah perkataan ulama yang membolehkan untuk mendoakan rahmat dan ampunan pada non-muslim yang masih hidup. Al-Qurthubi mengatakan,

وقد قال كثير من العلماء : لا بأس أن يدعوَ الرجل لأبويه الكافرين ويستغفر لهما ما داما حيَّيْن ، فأما من مات : فقد انقطع عنه الرجاء فلا يُدعى له

“Banyak ulama yang menyatakan bahwa tidak apa-apa seorang mendoakan kebaikan dan memintakan ampunan bagi kedua orang tua non-muslim selama mereka masih hidup” (Tafsiir al-Qurthubiy 8/274).

Namun bukan berarti kebolehan itu mencakup memohonkan ampunan atas diri non-muslim jika ia wafat di atas kesyirikan dan kekufurannya, atau agar Allah merahmatinya ketika ia menemui-Nya meski dalam kondisi non-muslim. Akan tetapi doa itu dimaknai agar sebab yang mendatangkan rahmat dan ampunan bagi non-muslim itu terpenuhi. Inilah salah satu sisi yang disebutkan oleh ulama ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala,

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ ۖ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي ۖ وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ibrahim: 36).

Ibnu al-Qayyim menjelaskan,

أي : إن تغفر لهم وترحمهم بأن توفقهم للرجوع من الشرك إلى التوحيد ومن المعصية إلى الطاعة كما في الحديث (اللهُمَّ اِغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ)

“Artinya, jika Engkau mengampuni dan menyayangi mereka, itu karena Engkau memberikan taufik kepada mereka untuk kembali menuju tauhid dari syirik, kembali menuju ketaatan dari kemaksiatan. Hal ini seperti ucapan nabi yang terdapat dalam hadis, ‘Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sungguh mereka tidak tahu’” (Madaarijus Saalikin 1/36).

Senada perkataan Ibnu al-Qayyim di atas, Badr ad-Diin al-Ainiy menjelaskan maksud doa nabi dalam hadis itu,

معناه : اهدهم إلى الإسلام الذي تصح معه المغفرة ؛ لأن ذنب الكفر لا يُغفر ، أو يكون المعنى : اغفر لهم إن أسلموا

“Artinya, tunjuki mereka agar memeluk Islam yang menjadi sebab turunnya ampunan, karena dosa kekufuran tak akan diampuni; atau artinya, ampunilah mereka jika mereka telah memeluk agama Islam” (Umdah al-Qaariy Syarh Shahiih al-Bukhaari 23/19).

Dalam hal ini, ringkasnya seperti yang disampaikan oleh al-Aluusiy bahwa memohonkan ampun bagi non-muslim yang masih hidup dan belum diketahui akhir kehidupannya, dalam artian meminta agar ia diberi petunjuk agar beriman, merupakan sesuatu yang tidak terlarang secara akal maupun agama. Sebaliknya memohonkan ampunan bagi non-muslim yang diketahui hatinya keras dan tertutup, atau Allah mengabarkan ia tak akan beriman, atau ia sama sekali tidak layak dimohonkan ampunan, merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan secara akal maupun agama (Ruuh al-Ma’aaniy 16/101).

Namun, lebih utama adalah mendoakannya agar mendapatkan petunjuk sebagai upaya menghindari perdebatan dan perselisihan pendapat antar ulama. Hal ini ditunjukkan dalam sejumlah dalil di antaranya adalah hadis Abu Musa Radhiallahu ‘anhu,

كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُم اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

“Dahulu Kaum Yahudi biasa berpura-pura bersin di dekat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, mereka berharap beliau mau mengucapkan doa untuk mereka ‘yarhamukallah (semoga Allah merahmati kalian)’, namun beliau mendoakan dengan ucapan, ‘yahdikumullah wa yushlih baalakum (semoga Allah memberikan petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian).’” (HR. Ahmad 32/356, Abu Dawud no. 5038, at-Tirmidzi no. 2739. Dinilai hasan sahih oleh al-Albani).

As-Sindiy menjelaskan,

والحديث يدل على أن الكافر لا يدعى له بالرحمة، بل يدعى له بالهداية، وصلاح البال

“Hadis ini menunjukkan bahwa non-muslim tidak didoakan untuk mendapatkan rahmat, tapi didoakan untuk mendapatkan petunjuk dan agar kondisi mereka diperbaiki” (Musnad Ahmad cetakan ar-Risalah 32/357).

Insyaallah, kondisi kedua hingga keempat akan kami lanjutkan pada artikel berikutnya.

[Bersambung]

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/60061-hukum-mendoakan-non-muslim-bag-1.html

Solusi Saat Tidak Melakukan Sujud Tilawah: Dari Membaca Ayat hingga Lafaz Zikir

Ibnu Abidin, ulama besar dari mazhab Hanafi menukil dari sebagian ulama terkait solusi saat tidak melakukan sujud tilawah karena ada halangan tertentu jika seseorang membaca ayat sajdah, atau mendengarkannya. Maka sebagai pengganti sujud tilawah tersebut, dia dianjurkan membaca ayat berikut;

سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Sami’naa wa atho’naa ghufroonaka robbanaa wa ilaikal mashiir.

Kami mendengarkan dan kami taat, ampunilah kami wahai Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

وَنَقَل ابْنُ عَابِدِينَ عَنِ التتارخانية أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلتَّالِي أَوِ السَّامِعِ إِذَا لَمْ يُمْكِنْهُ السُّجُودُ أَنْ يَقُول: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Ibnu Abidin dari ulama Tatarkhoniyah bahwa disunnahkan bagi orang yang membaca atau mendengarkan (ayat sajdah) dan dia tidak bisa melakukan sujud tilawah untuk membaca ayat; Sami’naa wa atho’naa ghufroonaka robbanaa wa ilaikal mashiir (Kami mendengarkan dan kami taat, ampunilah kami wahai Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali).

Adapun menurut kebanyakan para ulama, terutama di kalangan ulama Syafiiyah, jika tidak melakukan sujud tilawah karena sebab-sebab tertentu, dianjurkan cukup mengganti dengan membaca dzikir berikut sebanyak empat kali;

سُبْحَانَ الله وَالْحَمْد لله وَلَا إِلَه إِلَّا الله وَالله أكبر وَلَا حول وَلَا قُوَّة إِلَّا بِاللَّه الْعلي الْعَظِيم

Subhanallah wal hamdulillah wala ilailaha illahu wallahu akbar wala hawla wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Nihayatu az-Zayn karya Syekh Nawawi bin ‘Umar al-Bantani al-Jawi berikut;

فَإِن لم يتَمَكَّن من فعلهَا لشغل قَالَ أَربع مَرَّات سُبْحَانَ الله وَالْحَمْد لله وَلَا إِلَه إِلَّا الله وَالله أكبر وَلَا حول وَلَا قُوَّة إِلَّا بِاللَّه الْعلي الْعَظِيم

Jika tidak mungkin melakukan sujud tilawah karena kesibukan, maka membaca; ‘Subhanallah wal hamdulillah wala ilailaha illahu wallahu akbar wala hawla wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.

BINCANGSYARIAHcom

Menelusuri Akar Pemikiran Liberalisme

Liberalisme telah masuk ke dalam semua kelompok masyarakat manusia. Tidak terkecuali kaum muslimin. Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam pun demikian. Pengaruh liberalisme telah merasuk ke dalam semua lini kehidupan banyak masyarakat kaum muslimin di negeri ini.

Selain faktor internal kaum muslimin yang lemah dari sisi komitmen mereka terhadap agamanya, terutama persoalan yang berkaitan dengan akidah, tersebarnya aliran pemikiran liberalisme tidak lepas dari peran Barat yang sangat giat menyebarkannya melalui kekuatan politik, ekonomi dan teknologi informasi yang mereka miliki. Dan disinyalir, kaum muslimin adalah sasaran utama dari invasi pemikiran ini. Karena, sebagaimana yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Clash Of Civilization” (Benturan Peradaban), setelah jatuhnya aliran Komunisme, maka tantangan Barat selanjutnya adalah Islam. Menurutnya, “bahaya Islam” lebih berat dari peradaban-peradaban yang lain seperti Cina, Jepang dan negeri-negeri Asia Utara yang lain.

Selain itu, keyakinan Barat terhadap konsep liberal di antaranya juga diinspirasi oleh tesis Francis Fukuyama dalam “The End Of History” (Akhir Sejarah) yang menyebutkan bahwa demokrasi liberal adalah titik akhir dari evolusi sosial budaya dan bentuk pemerintahan manusia.[1]

Sebagai umat Islam, tentu kita tidak ingin peradaban Islam yang di bangun diatas akidah dan nilai-nilai agama Allah ini dirusak oleh orang-orang kafir dengan pemikiran-pemikiran luar itu. Islam adalah agama yang sempurna dengan ajaran yang bersumber dari wahyu Allah, Pencipta yang Maha Mengetahui segala kebutuhan makhluk-makhluk-Nya. Karenanya Islam tidak membutuhkan isme-isme dan ideologi dari luar. Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5]: 3)

Sejarah Liberalisme

Sejarah kemunculan liberalisme terbentang dari sejak abad ke-15, saat Eropa memulai era kebangkitan (Renaissance) mereka sampai sekitar abad ke-18 masehi, setelah sebelumnya dari sejak abad ke-5, orang-orang Eropa hidup dalam era kegelapan (Dark Ages).[2]

Dr. Abdurrahim Shamâyil mengatakan, “Liberalisme secara teori politik, ekonomi dan sosial tidak terbentuk dalam satu waktu dan oleh satu tokoh pemikir, akan tetapi ia dibentuk oleh sejumlah pemikir. Liberalisme bukan pemikiran John Luke (w 1704), bukan pemikiran Rousseau (1778), atau pemikiran John Stuart Mill (w 1873), akan tetapi setiap dari mereka memberikan kontribusi yang sangat berarti untuk ideologi liberalisme.”[3]

Sejarah liberalisme dimulai sebagai reaksi atas hegemoni kaum feodal pada abad pertengahan di Eropa. Sebagaimana diketahui, Kristen adalah agama yang telah mengalami perubahan dan penyimpangan ajaran. Pada tahun 325 M, Imperium Romawi mulai memeluk agama Kristen yang telah mengalami perubahan tersebut, yaitu setelah agama Kristen merubah keyakinan tauhid menjadi trinitas dan penyimpangan-penyimpangan yang lainnya.

Pada saat yang sama, sistem politik yang dianut oleh penguasa untuk memerintah rakyatnya ketika itu adalah feodalisme; sistem otoriter yang zalim, menekan dan memasung kebebasan masyarakat. Sistem feodal berada pada puncaknya di abad ke-9 Masehi ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan dan hilangnya pemerintahan pusat. Kaum feodal terbagi menjadi tiga unsur ketika itu; (1) intitusi gereja, (2) kaum bangsawan dan (3) para raja. Semuanya memperlakukan rakyat yang bermata pencaharian sebagai petani dengan otoriter, zalim dan sewenang-wenang.[4]

Kehidupan beragama di bawah institusi gereja juga sarat dengan penyimpangan. Tersebarnya peribadatan yang tidak memiliki landasan dalam kitab suci dan merebaknya surat pengampunan dosa adalah diantaranya. Paus Roma, ketika mereka membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas Gereja, mereka menerbitkan surat pengampunan dosa dan menghimbau masyarakat untuk membelinya dengan iming-iming masuk surga. Pendapat-pendapat tokoh agama pun bersifat absolut dan tidak boleh digugat. Alquran juga menyebutkan di antara penyimpangan mereka:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At Taubah [9]: 34)

Penyimpangan keyakinan, ditambah dengan sistem politik otoriter inilah faktor utama yang kemudian melahirkan pemikiran liberal. Saat masyarakat tertekan dan hidup dalam kezaliman, muncullah reaksi yang bertujuan kepada kebebasan hidup. Hal yang telah menjadi sunnatullah.[5]

Kesadaran masyarakat Eropa yang ingin bebas dari segala bentuk tekanan itu mengharuskan mereka untuk melakukan transformasi pemikiran. Diantara proses transformasi pemikiran ini adalah reformasi agama. Pada akhir abad ke-15, muncul seorang tokoh Gereja asal Jerman bernama Martin Luther (w 1546), kemudian diikuti oleh John Calvin (w 1564), lalu John Nouks (w 1572). Mereka melakukan perlawanan terhadap Gereja Katolik yang kemudian mereka beri nama Protestan.[6]

Gerakan reformasi agama yang dilakukan oleh Luther ini memiliki pengaruh besar dalam sejarah liberalisme selanjutnya. Rumusan pemikiran Luther dapat disimpulkan menjadi beberapa poin berikut:

  1. Otoritas agama satu-satunya adalah teks-teks Bible dan bukan pendapat tokoh-tokoh agama.
  2. Pengingkaran terhadap sistem kepausan gereja yang berposisi sebagai khalifah almasih.
  3. Menegasikan keyakinan pengampunan atau tidak diampuni (dari institusi gereja).
  4. Ajakan kepada liberalisasi pemikiran, keluar dari tirani tokoh agama dan monopoli mereka dalam memahami kitab suci, klaim rahasia suci serta pengabaian peran akal atas nama agama.[7]

Gerakan ini disebut sebagai gerakan liberal karena ia bersandar kepada kebebasan berpikir dan rasionalisme dalam menafsirkan teks-teks agama.[8]

Perlawanan terhadap gereja dan feodalisme terus berlanjut di Eropa. Runtuhnya feodalisme menutup abad pertengahan dan abad selanjutnya disebut dengan abad pencerahan (Enlightment). Beberapa tokoh pemikiran muncul. Di Perancis, Jean Jacues Rousseau (w 1778) dan Voltaire (w 1778) adalah di antara pemikir yang perannya sangat berpengaruh. Karya-karya mereka berdua menjadi inspirasi gerakan politik Revolusi Perancis pada tahun 1789, puncak dari perlawanan terhadap hegemoni feodal.

Namun, gerakan yang tadinya sebagai reformasi agama, pada perkembangan selanjutnya perlawanan terhadap gereja mengarah kepada atheisme. Para pemikir dan filsuf Perancis rata-rata adalah para atheis yang tidak mengakui keberadaan agama. Sejarah panjang agama Kristen dari sejak penyimpangan dan perubahan ajaran hingga perang agama yang meletus akibat reformasi Luther memunculkan kejenuhan yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap agama. Kebebasan rasional (akal) secara mutlak akhirnya menjadi ciri utama dari gerakan ini.[9]

Dr. Abdulaziz al Tharify mengatakan, “Pengagungan terhadap akal semakin nampak pada waktu-waktu revolusi. Mereka mengangkatnya dan mempertuhankannya. Sebagian mereka bahkan mengatakan bahwa ini adalah penyembahan terhadap akal. Para tokoh revolusi mengajak orang-orang untuk meninggalkan agama, terkhusus agama katolik, mereka memutuskan hubungan Perancis dengan Vatikan. Dan pada tanggal 24 November 1793 M, mereka menutup gereja-gereja di Paris, merubah sekitar 2400 fungsi gereja menjadi markaz-markaz rasionalisme dan untuk pertama kalinya digagas soal kebebasan kaum wanita.”[10]

Intinya, titik tolak liberalisme berangkat dari perlawanan terhadap penguasa absolut raja dan institusi gereja yang mengekang kebebasan masyarakat.[11]

Pengertian Liberalisme

Secara etimologi, Liberalisme (dalam bahasa inggris Liberalism) adalah derivasi dari kata liberty (dalam bahasa inggris) atau liberte (dalam bahasa Perancis) yang berarti “bebas”. Adapun secara terminologi, para peneliti mengemukakan bahwa Liberalisme adalah terminologi yang cukup sulit untuk didefinisikan. Hal itu karena konsep liberalisme yang terbentuk tidak hanya dalam satu generasi, dengan tokoh pemikiran yang bermacam-macam dan orientasi yang berbeda-beda.

Dalam al Mawsû’ah al ‘Arabiyyah al Âlamiyyah dikatakan, “Liberalisme termasuk terminologi yang samar, karena makna dan penegasannya senantiasa berubah-ubah dalam bentuk yang berbeda dalam sepanjang sejarahnya.”[12]

Namun demikian, liberalisme memiliki esensi yang disepakati oleh seluruh pemikir liberal pada setiap zaman, dengan perbedaan-perbedaan trend pemikiran dan penerapannya, sebagai cara untuk melakukan reformasi dan menciptakan produktivitas. Esensi ini adalah, bahwa liberalisme meyakini kebebasan sebagai prinsip dan orientasi, motivasi dan tujuan, pokok dan hasil dalam kehidupan manusia. Ia adalah satu-satunya sistem pemikiran yang hanya menghendaki untuk mensifati kegiatan manusia yang bebas, menjelaskan dan mengomentarinya.[13]

Dr. Sulaiman al Khurasyi mengatakan, “Liberalisme adalah aliran pemikiran yang berorientasi kepada kebebasan individu, berpandangan wajibnya menghormati kemerdekaan setiap orang, meyakini bahwa tugas pokok negara adalah melindungi kebebasan warganya seperti kebebasan berpikir dan berekspresi, kepemilikan swasta dan yang lainnya. Aliran pemikiran ini membatasi peran penguasa dan menjauhkan pemerintah dari kegiatan pasar. Aliran ini juga dibangun diatas prinsip sekuler yang mengagungkan kemanusiaan dan berpandangan bahwa manusia dapat dengan sendirinya mengetahui segala kebutuhan hidupnya.

Dalam Academic American Encyclopedia dikatakan, “Sistem liberal yang baru (yang termanifestasi dalam pemikiran abad pencerahan) memposisikan manusia sebagai tuhan dalam segala hal. Ia memandang bahwa manusia dengan seluruh akalnya mampu memahami segala sesuatu. Mereka dapat mengembangkan diri dan masyarakatnya melalui kegiatan rasional dan bebas.”[14]

Karakteristik Liberalisme

Walaupun liberalisme bukan terdiri dari satu trend pemikiran, namun kita dapat mengenali aliran ini dengan karakteristik khusus. Karakter paling kuat yang ada dalam aliran ini adalah:

– Kebebasan Individu

Setiap orang bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan siapa pun, termasuk negara. Fungsi negara adalah melindungi dan menjamin kebebasan tersebut dari siapapun yang mencoba untuk merusaknya. Oleh karena itu, liberalisme sangat mementingkan kebebasan dengan semua jenisnya. Kebebasan berkreasi, berpendapat, menyampaikan gagasan, berbuat dan bertindak, bahkan kebebasan berkeyakinan adalah tema yang mereka ingin wujudkan dalam kehidupan ini.

Kebebasan dalam pandangan mereka tidak berbatas, selama tidak merugikan dan bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Kaidah kebahasaan mereka berbunyi, “Kebebasan Anda berakhir pada permulaan kebebasan orang lain.”[15]

– Rasionalisme

Penganut liberalisme meyakini bahwa akal manusia mampu mencapai segala kemaslahatan hidup yang dikehendaki. Standar kebenaran adalah akal atau rasio. Karakter ini sangat kentara dalam pemikiran liberal. Rasionalisme diantaranya nampak pada:

Pertama, keyakinan bahwa hak setiap orang bersandar kepada hukum alam. Sementara hukum alam tidak dapat diketahui kecuali dengan akal melalui media indera/materi atau eksperimen. Dari sini kita mengenal aliran filsafat materialisme (aliran filsafat yang mengukur setiap kebenaran melalui materi) dan empirisme (aliran filsafat yang menguji setiap kebenaran melalui eksperimen).

Kedua, negara harus bersikap netral terhadap semua agama. Karena tidak ada kebenaran yang bersifat yakin atau absolut, yang ada adalah kebenaran yang bersifat relatif. Ini yang dikenal dengan “relativisme kebenaran”.

Ketiga, perundang-undangan yang mengatur kebebasan ini semata-mata hasil dari pemikiran manusia, bukan syariat agama.[16]

Perspektif Islam

Dari latar belakang sejarah liberalisme yang telah dipaparkan di atas, kita dapat menilai bahwa liberalisme jelas sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sejarah kemunculannya yang sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politik dan problem teologi Kristen ketika itu dapat kita jadikan alasan bahwa Islam tidak perlu, dan tidak akan perlu menerima liberalisme. Karena sepanjang sejarahnya, Islam tidak pernah mengalami problem sebagaimana yang dialami oleh agama Kristen. Oleh karena itu, tidak ada alasan mendasar bagi Islam untuk menerima konsep liberalisme dengan semua bentuknya.

Apalagi jika ditilik dari konsep pokoknya, pemikiran liberalisme sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang mencederai akidah Islam, ajaran paling pokok dalam agama ini. Liberalisme mengajarkan kebebasan menuruti semua keinginan manusia, sementara Islam mengajarkan untuk menahannya agar tidak keluar dari ketundukan kepada Allah. Hakikat kebebasan dalam ajaran Islam adalah, bahwa Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk, kepada penghambaan kepada Rabb makhluk.

Begitu pun dengan otoritas akal sebagai sumber nilai dan kebenaran dalam ‘ajaran’ liberalisme. Sumber kebenaran dalam Islam adalah wahyu, bukan akal manusia yang terbatas dalam mengetahui kebenaran. Dengan demikian, menerima liberalisme berarti menolak Islam, dan tunduk kepada Islam berkonsekuensi menanggalkan paham liberal.

Wallâhu ‘alam wa shallallâhu ‘ala nabiyyinâ Muhammad.

Riyâdh, KSA 11 Rajab 1433 H/2 Juni 2012 M

Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc
Artikel Muslim.Or.Id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/9360-menelusuri-akar-pemikiran-liberalisme.html

Cara Shalat Jumat Bagi Makmum Masbuk

Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa tata cara pelaksanaan shalat Jumat bagi makmum masbuk berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat fardhu lainnya. Disebutkan bahwa ada dua tata cara pelaksanaan shalat Jumat bagi makmum masbuk.

Pertama, makmum masbuk yang masih bisa menemui dan mengikuti rukuknya imam di rakaat kedua. Misalnya, sebelum imam rukuk di rakaat kedua, makmum sudah takbiratul ihram dan bisa mengikuti rukuk imam di rakaat kedua dengan sempurna.

Makmum masbuk jenis ini dinilai telah mengikuti satu rakaat shalat Jumat secara berjemaah bersama imam. Karena itu, setelah imam salam, dia cukup menambah satu rakaat saja namun dengan syarat bacaannya harus dinyaringkan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Minhaj Al-Qawim berikut;

وَلَا تُدْرَكُ الْجُمُعَةُ إِلَّا بِرَكْعَةٍ ) لِمَا مَرَّ مِنْ أَنَّهُ يُشْتَرَطُ الْجَمَاعَةُ وَكَوْنُهُمْ أَرْبَعِيْنَ فِيْ جَمِيْعِ الرَّكْعَةِ الْأُوْلَى فَلَوْ أَدْرَكَ الْمَسْبُوْقُ رُكُوْعَ الثَّانِيَةِ وَاسْتَمَرَّ مَعَهُ إِلَى أَنْ يُسَلِّمَ أَتَى بِرَكْعَةٍ بَعْدَ سَلَامِ الْإِمَامِ جَهْرًا وَتَمَّتْ جُمُعَتُهُ

Jumat tidak dapat diraih kecuali dengan satu rakaat, karena keterangan yang lampau bahwa disyaratkan berjemaah dalam pelaksanaanya serta jamaah Jumat berjumlah 40 orang dalam keseluruhan rakaat pertama. Dengan demikian, apabila makmum masbuk menemui rukuk kedua dan berlanjut mengikuti imam sampai salam, maka ia menambahkan satu rakaat setelah salamnya imam dengan membaca keras dan Jumatnya dinilai sempurna.

Kedua, makmum masbuk yang tidak bisa menemui dan mengikuti rukuknya imam di rakaat kedua. Misalnya, setelah imam selesai rukuk di rakaat kedua, makmum baru melakukan takbiratul ihram, atau makmum takbiratul ihram pada saat imam sujud di rakaat kedua atau pada saat imam tasyahud akhir.

Makmum masbuk jenis ini tetap melakukan niat shalat Jumat saat takbiratul ihram, namun setelah imam salam, dia melakukan shalat empat rakaat sebagai shalat Dhuhur karena dia dinilai tidak mengikuti shalat Jumat secara berjemaah bersama imam.

 الجمعة – على الاصح – وإن كانت الظهر هي اللازمة له -.وقيل: تجوز نية الظهر

Dan wajib bagi makmum yang datang setelah rukuk di rakaat kedua untuk melakukan niat shalat Jumat, menurut pendapat yang lebih shahih, meskipun yang wajib baginya adalah shalat Dhuhur. Ada yang mengatakan bahwa boleh baginya niat melakukan shalat Zuhur.

BINCANGSYARIAHcom

Hukuman Bagi Yang Berpaling dari Allah Swt

Sebab utama yang akan mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat adalah kepasrahan kepada Allah dan komitmen dalam memegang syariat-Nya.

Adapun sebab utama bagi kesengsaraan seseorang di dunia dan adzab di akhirat adalah berpalingnya dia dari Allah dan keengganannya dalam menyembah-Nya dan penolakannya untuk tunduk kepada-Nya.

Al-Qur’an banyak sekali menyebutkan contoh-contoh tentang mereka yang berpaling dari Allah dan menampakkan kesombongan dihadapan-Nya. Dan Al-Qur’an pun juga menyebutkan hukuman-hukuman dahsyat yang menimpa mereka, di dunia dan di akhirat kelak.

Nah, kali ini kita akan menyebutkan sebab-sebab turunnya bencana di dunia dan tercabutnya keselamatan serta berubahnya kenikmatan menjadi bencana.

Seperti yang Allah ceritakan tentang Kaum Saba’ yang sebelumnya bergelimang kenikmatan dunia, lalu seketika kondisi mereka berubah dari kenikmatan menjadi bencana, karena mereka berpaling dari Allah Swt.

Allah Swt Berfirman :

فَأَعۡرَضُواْ فَأَرۡسَلۡنَا عَلَيۡهِمۡ سَيۡلَ ٱلۡعَرِمِ وَبَدَّلۡنَٰهُم بِجَنَّتَيۡهِمۡ جَنَّتَيۡنِ ذَوَاتَيۡ أُكُلٍ خَمۡطٖ وَأَثۡلٖ وَشَيۡءٖ مِّن سِدۡرٖ قَلِيلٖ

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Asl dan sedikit pohon Sidr. (QS.Saba’:16)

Itu adalah satu contoh hukuman yang diberikan kepada Allah kepada suatu kaum yang berpaling dari-Nya. Namun, hukuman terbesar yang menimpa orang-orang yang berpaling adalah sebagai berikut :

1). Hatinya tertutup sehingga dzikir tak mampu menyadarkannya dan matanya tak mampu memandang kebenaran. Seperti Firman Allah Swt :

وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِۦ فَأَعۡرَضَ عَنۡهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتۡ يَدَاهُۚ إِنَّا جَعَلۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ أَكِنَّةً أَن يَفۡقَهُوهُ وَفِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرٗاۖ وَإِن تَدۡعُهُمۡ إِلَى ٱلۡهُدَىٰ فَلَن يَهۡتَدُوٓاْ إِذًا أَبَدٗا

“Dan siapakah yang lebih zhalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sungguh, Kami telah menjadikan hati mereka tertutup, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka. Kendatipun engkau (Muhammad) menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya.” (QS.Al-Kahfi:57)

2). Salah satu hukuman yang amat dahsyat bagi seorang yang berpaling dari Allah adalah bahwa Allah Swt juga memalingkan perhatian-Nya dari mereka. Allah menyerahkan urusan hidup mereka kepada diri mereka sendiri sehingga dikuasi oleh nafsu dan merasa perilaku bejat mereka adalah kebaikan. Sehingga mereka semakin terjerumus dalam kesesatan.

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.An-Nisa’:115)

3). Ada ancaman balasan yang menanti bagi mereka yang berpaling dari Allah. Dan siapakah yang lebih dzalim, celaka dan lebih hina dari orang yang mendapat ancaman balasan dari Allah ?

Allah Swt Berfirman:

وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِۦ ثُمَّ أَعۡرَضَ عَنۡهَآۚ إِنَّا مِنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَ مُنتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia berpaling darinya? Sungguh, Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS.As-Sajdah:22)

4). Dan salah satu hukuman terbesar yang menimpa orang-orang yang berpaling dari Allah adalah sempitnya kehidupan. Mereka merasakan kegelisahan yang dahsyat walau berada ditengah berbagai kenikmatan. Tidak ada ketenangan dalam hati mereka sehingga semua kenikmatan itu tiada artinya.

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS.Tha-Ha:124)

Adapun adzab akhirat bagi mereka yang berpaling dari Allah Swt sangatlah pedih. Di dalam Al-Qur’an disebutkan :

وَقَدۡ ءَاتَيۡنَٰكَ مِن لَّدُنَّا ذِكۡرٗا – مَّنۡ أَعۡرَضَ عَنۡهُ فَإِنَّهُۥ يَحۡمِلُ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وِزۡرًا – خَٰلِدِينَ فِيهِۖ وَسَآءَ لَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ حِمۡلٗا

“Dan sungguh, telah Kami berikan kepadamu suatu peringatan (Al-Qur’an) dari sisi Kami. Barangsiapa berpaling darinya (Al-Qur’an), maka sesungguhnya dia akan memikul beban yang berat (dosa) pada hari Kiamat, mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan sungguh buruk beban dosa itu bagi mereka pada hari Kiamat.” (QS.Tha-Ha:99-101)

Itulah beberapa hukuman bagi mereka yang berpaling dari Allah Swt. Semoga kita selalu terjaga di jalan Allah hingga akhir hayat.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Ketika Alquran Jadi Perisai Bagi Pembacanya di Akhirat

Alquran akan menjadi perisai bagi para pembacanya kelak di akhirat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA Keutamaan membaca Alquran juga dapat melindungi para pembacanya dari siksa pada hari kiamat. Melindungi di sini berarti menjadi perisai yang membuatnya nyaman atas apa yang telah diperbuatnya dengan Alquran. Rasulullah SAW bersabda: 

اقْرَؤُوا القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ “Iqra-uul-Qur’ana fa innahu ya-ti yaumal-qiyamati syafi’an li-ash-habihi.” 

Yang artinya: “Bacalah kalian semua Alquran, sesungguhnya (bacaan) itu nanti dapat menjadi perisai yang menemani sahabatnya.” 

Keutamaan membaca Alquran juga dapat dirasakan terhadap psikologis jiwa dan hati para pembacanya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

ما اجتمَعَ قومٌ في بيتٍ من بيوتِ اللَّهِ يتلونَ كتابَ اللَّهِ، ويتدارسونَهُ فيما بينَهم إلَّا نزلَت عليهِم السَّكينةُ، وغشِيَتهُمُ الرَّحمةُ، وحفَّتهُمُ الملائكَةُ، وذكرَهُمُ اللَّهُ فيمَن عندَهُ 

“Maa-jtama’a qaumun fi baitin min buyutillahi yatluna kitaballahi, wa yatadaarasunahu bainahum illa nazalat alaihim as-saknatu wa ghasyiyathum ar-rahmatu wa haffathumul-malaikatu wa dzakarahumullahu fi man indahu.”.

Yang artinya: “Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Alquran, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat. Serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat yang berada di sisi-Nya.”

Ketulusan serta keimanan kepada Allah dalam membaca Alquran juga tak luput dari perhatian Allah SWT kepada setiap hamba-Nya. Rasulullah SAW bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال:  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا قَرَأَ ابنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطانُ يَبْكِي، يقولُ: يا ويْلَهُ، وفي رِوايَةِ أبِي كُرَيْبٍ: يا ويْلِي، أُمِرَ ابنُ آدَمَ بالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الجَنَّةُ، وأُمِرْتُ بالسُّجُودِ فأبَيْتُ فَلِيَ النَّارُ. وفي رواية: فَعَصَيْتُ فَلِيَ النَّارُ

“Idza qara-a ibnu Adama as-sajdata fasajada I’tazala as-syaithaanu yabki, yaqulu: ya waylah, wa fi riwayati Abi Kuraibin; ya wayli, umara ibnu Adama bi-sujudi fasajada falahu al-jannatu wa umirtu bissujudi fa ubaitu faliyannaru. Wa fi riwayati: fa’ashaitu faliyannari.”

Yang artinya: “Jika anak Adam membaca ayat Sajadah, lalu dia sujud maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata: celakalah aku. Di dalam riwayat Abu Kuraibin: celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan bersujud, namun aku enggan sehingga aku pantas menjadi penghuni neraka.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Ambillah yang Halal dan Tinggalkanlah yang Haram dan Syubhat

Agama telah mengatur umatnya dengan larangan-larangan yang harus ditinggalkan dan perintah-perintah yang harus dilakukan. Namun, ada pula hal-hal yang masih samar halal dan haramnya yang disebut juga dengan syubhat. Lalu apa yang harus kita lakukan dengan hal-hal yang samar atau syubhat itu? Berikut penjelasannya dari Rasulullah saw. di dalam hadisnya.

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمًا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ؛ فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ كَرَاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ؛ أَلاَ وَإِنَّ لِكلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ إِنَّ حِمَى اللهِ فِيْ أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. (رواه البخاري ومسلم)

Dari An-Nu’man bin Basyir, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, di antara keduanya terdapat hal yang syubhat (samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa menjaga diri dari hal-hal yang samar, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang jatuh dalam perkara yang samar, maka ia telah jatuh dalam wilayah yang haram. Seperti penggembala kambing yang berada di sekitar daerah terlarang, dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya.

Ketahuilah, bahwa setiap raja mempunyai daerah larangan. Ketahuilah, bahwa daerah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkanNya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, bila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw. di dalam hadis tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang halal menurut agama Islam itu sudah jelas. Seperti halnya roti, susu, buah-buahan, madu, kambing, sapi, ayam, dan semua makanan, minuman, serta ucapan yang halal itu telah jelas dan tidak diragukan kehalalannya, maka kita boleh untuk mengkonsumsinya.

Ada pula hal-hal yang telah jelas keharamannya, seperti babi, anjing, minuman keras, bangkai, serta makanan atau minuman yang haram dikonsumsi. Atau tindakan yang jelas keharamannya seperti membunuh, berzina, menggosip, dan berbohong. Maka, tugas kita juga jelas, yakni meningggalkan perkara haram tersebut.

Namun ada juga hal-hal yang masih samar (syubhat) kehalalan dan keharamannya, sehingga masih banyak orang yang belum tahu hukumnya dengan jelas. Maka, jika perkara syubhat tersebut memang belum ada dalil secara sharih di dalam Al-Qur’an dan hadis, serta belum ada ulama yang berijtihad melalui metode qiyas maupun ijma tentang hal itu, maka perkara itu sama dengan perkara haram yang tugas kita adalah meninggalkannya.

Sehingga ketika kita mampu meninggalkan hal-hal yang syubhat atau masih sama kehalalan dan keharamannya tersebut, maka berarti kita telah mampu menjaga agama dan kehormatan kita dari perkara yang belum jelas halal haramnya itu.

Di dalam sabdanya yang terakhir, Rasulullah saw. mengingatkan kita bahwa hati adalah raja di dalam tubuh kita. Hatilah yang mampu menggerakkan tubuh kita untuk mampu menahan diri dari hal-hal yang haram serta syubhat atau tidak. Dan hatilah yang mampu menggerakkan tubuh kita untuk mampu mengambil semua hal-hal yang telah jelas kehalalannya. Oleh karena itu, ketika hati itu buruk, maka buruklah seluruh tubuh kita, dan ketika hati itu baik maka baiklah seluruh tubuh kita.

Dengan demikian, kunci utama adalah hati. Senantiasalah bersihkan hati Anda dengan rajin beribadah, beramal shalih, dan berdoa agar seluruh aktifitas yang dilakukan menjadi baik. Dan ketika hati baik, maka ia akan mendorong kita untuk mengambil dan melakukan hal-hal yang jelas halalnya, meninggalkan hal-hal yang jelas haramnya ataupun yang belum jelas halal haramnya. Wa Allahu A’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH

Saudara-Saudara Nabi Yusuf Bukanlah Nabi

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad hafizhahullah Ta’ala [1]

Pertanyaan:

Apakah saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alaihis salaam adalah para Nabi?

Jawaban:

الإجابة: نص الإجابة: ليسوا بأنبياء، وقد ذكر ذلك ابن كثير وغيره، ومعلوم أن الصفات التي ذكرها الله عنهم في القرآن تدل على أنهم ليسوا بأنبياء

Mereka bukanlah Nabi. Ibnu Katsir [2] dan ulama lain Rahimahumullah telah menyebutkan perkara ini. Telah diketahui bersama bahwa sifat-sifat mereka yang telah difirmankan Allah Ta’ala menunjukkan bahwa mereka bukanlah Nabi.

[Selesai]

Sumber: http://iswy.co/e42ls

Penerjemah: Muhammad Fadhli, ST.

Muslim.or.id

_________________________

Catatan kaki:

[1] Beliau adalah seorang ahli hadis, ahli fikih, pengajar di masjid Nabawi asy-Syarif. Beliau juga rektor Universitas Islam Madinah periode 1384-1399 H.

[2] Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan,

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَقُمْ دَلِيلٌ عَلَى نُبُوَّةِ إِخْوَةِ يُوسُفَ، وَظَاهِرُ هَذَا السِّيَاقِ يَدُلُّ عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَزْعُمُ أَنَّهُمْ أُوحِيَ إِلَيْهِمْ بَعْدَ ذَلِكَ، وَفِي هَذَا نَظَرٌ. وَيَحْتَاجُ مُدّعي ذَلِكَ إِلَى دَلِيلٍ، وَلَمْ يَذْكُرُوا سوَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ} [الْبَقَرَةِ: 136] ، وَهَذَا فِيهِ احْتِمَالٌ؛ لِأَنَّ بُطُونَ بَنِي إِسْرَائِيلَ يُقَالُ لَهُمُ: الْأَسْبَاطُ، كَمَا يُقَالُ لِلْعَرَبِ: قَبَائِلُ، وَلِلْعَجَمِ: شُعُوبٌ؛ يَذْكُرُ تَعَالَى أَنَّهُ أَوْحَى إِلَى الْأَنْبِيَاءِ مِنْ أَسْبَاطِ بَنِي إِسْرَائِيلَ، فَذَكَرَهُمْ إِجْمَالًا لِأَنَّهُمْ كَثِيرُونَ، وَلَكِنَّ كُلَّ سِبْطٍ مِنْ نَسْلِ رَجُلٍ مِنْ إِخْوَةِ يُوسُفَ، وَلَمْ يَقُمْ دَلِيلٌ عَلَى أَعْيَانِ هَؤُلَاءِ أَنَّهُمْ أُوحِيَ إِلَيْهِمْ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

“Ketauilah bahwa tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan kenabian dari saudara-saudara laki-laki Nabi Yusuf Alaihissalam. Zahir dari rangkaian ayat-ayat ini (dalam surat Yusuf, red.) bahkan menunjukkan yang sebaliknya. Ada di antara ulama yang mengklaim bahwasanya mereka -para saudara laki-laki Nabi Yusuf Alaihissalam- diberi wahyu setelah itu. Pembawa argumen ini dituntut untuk mendatangkan dalil. Dan mereka tidaklah membawakan dalil kecuali firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan Al-Ashbath” (QS. Al-Baqarah: 136).

Terdapat beberapa probabilitas di sini. Karena suku-suku Bani Israil memang disebut dengan al-Ashbath. Sebagaimana suku-suku Arab disebut dengan al-Qaba’il (kabilah-kabilah). Dan di kalangan ‘ajam (non-Arab) disebut dengan syu’ub. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia menurunkan wahyu kepada para Nabi dari al-Ashbath di kalangan Bani Israil. Maka di sini, Allah Ta’ala menyebutkannya secara umum saja. Dikarenakan jumlah al-Ashbath itu yang banyak. Dan setiap orang dari kalangan al-Ashbath itu memang termasuk saudara Nabi Yusuf Alaihissalam. Tapi tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa setiap individu dari mereka diberi wahyu. Wallahu a’lam.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 4: 327, Asy-Syamilah)

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 4)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.

Dahulu, manusia bersatu di atas tauhid

Pada awalnya, manusia itu umat yang satu, karena mereka bersatu di atas agama tauhid. Allah Ta’ala berfirman,

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan” (QS. Al-Baqarah: 213).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كان بين نوح وآدم عشرة قرون كلهم على شريعة من الحق فاختلفوا فبعث الله النبيين مبشرين ومنذرين

“Antara Nabi Adam (Nabi dan manusia pertama) dan Rasul Nuh (Rasul pertama) ada 10 abad. Mereka semua berada di atas syariat dari Al-Haq (Allah). Kemudian mereka saling berselisih [1]. Kemudian Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan [2].”

Ikrimah Rahimahullah berkata,

كان بين آدم ونوح عشرة قرون كلهم على الإسلام

“Antara Nabi Adam dan Rasul Nuh ada 10 abad. Mereka semua berada di atas Islam (Tauhid) [3].”

Sebab kesyirikan pertama di muka bumi

Tahukah Anda, apa penyebab kesyirikan pertama kali yang terjadi di muka bumi ini?

Penyebabnya adalah karena mereka bersikap melampaui batas (ghuluw) terhadap orang-orang saleh pada kaum Rasul Nuh Alaihis salaam.

Dalam Shahihain, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah Ta’ala,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’” (QS. Nuuh: 23).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata,

هذه أسماء رجال صالحين من قوم نوح، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون فيها أنصابا، وسموها بأسمائهم، ففعلوا. ولم تعبد حتى إذا هلك أولئك ونُسي العلم عُبدت

“Ini adalah nama-nama orang-orang saleh di kaum Nabi Nuh Alaihis salam. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan godaannya kepada kaum mereka,’Dirikanlah patung-patung di majelis-majelis yang dahulu didatangi orang-orang saleh itu, dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.’ Kemudian kaum itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut. Dan sewaktu itu, patung-patung tersebut belumlah disembah. Sampai orang-orang yang mendirikan patung tersebut telah mati dan (ketika itu) ilmu (tentang tauhid dan tujuan awal pembuatan patung) telah dilupakan, akhirnya disembahlah patung-patung tersebut.”

Ibnul Qayyim Rahimahullah Ta’ala menjelaskan, lebih dari seorang Salafusshalih yang mengatakan,

لما ماتوا عكفوا على قبورهم، ثم صوروا تماثيلهم، ثم طال عليهم الأمد فعبدوهم

“Tatkala orang-orang shalih itu meninggal dunia, mulailah orang-orang berlama-lama berdiam diri di makam mereka. Kemudian mereka membuat patung-patung orang-orang saleh tersebut. Berlalulah masa yang panjang, hingga mereka pun menyembah orang-orang shalih tersebut.”

Dari kutipan di atas, nampak bahwa pakar tafsir di kalangan sahabat Radhiyallahu ‘anhum, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, menafsirkan ayat di atas bahwa kaum Nabi Nuh Alaihis salam berwasiat agar manusia terus menyembah tuhan-tuhan selain Allah tersebut. Padahal Nabi mereka, Nuh Alaihis salam, telah melarang mereka berbuat syirik.

Dan pada asalnya, tuhan-tuhan mereka itu adalah orang-orang saleh di kalangan mereka. Namun setan menggoda kaum tersebut agar bersikap melampaui batas terhadap orang-orang saleh itu setelah mereka meninggal dunia. Berawal dari sikap berlebihan dengan cara mendirikan patung-patung mereka, sampai akhirnya keturunan kaum pendiri patung itu menyembah orang-orang saleh tersebut.

Sekilas tahapan kesyirikan pertama di muka bumi

Tahap Pertama

Kaum Rasul Nuh Alaihis salam, mereka turun temurun berasal dari keturunan Nabi Adam Alaihis salam. Sedangkan keturunan Nabi Adam Alaihis salam berada di atas tauhid hingga kehadiran orang-orang saleh yang taat kepada Allah Ta’ala, yaitu Wadd, Suwa’, Yaghuuts, Ya’uuq, dan Nasr.

Kemudian ketika mereka meninggal dunia, tersebar di tengah-tengah manusia sikap cinta dunia dan jauh dari mengingat akhirat. Sehingga banyak orang-orang ketika itu – jika ingin menambah semangat dalam beribadah – mereka pergi ke makam orang-orang saleh tersebut, berlama-lama berdiam diri, merenung, dan menangis di sisi makam tersebut, lalu menjadi bertambahlah semangat manusia dalam beribadah sepulang dari makam tersebut.

Suatu saat setan pun datang di makam tersebut dan membisiki mereka agar membuat patung dari orang-orang saleh itu, lalu orang-orang itu pun membuat patung-patung tersebut dan mereka letakkan di makam-makam mereka. Memang awal mulanya mereka tidak menyembah patung-patung tersebut. Mereka sebatas memandang patung-patung itu, sehingga mereka mengenang kembali kesalehan orang-orang saleh yang dipatungkan tersebut.

Tahap Kedua

Umur kaum Rasul Nuh Alaihis salam itu panjang, sehingga setan memiliki kesempatan untuk membuat tipu daya pada tahapan tipu daya yang kedua, yaitu agar mereka meletakkan patung-patung tersebut di rumah-rumah mereka, agar semangat mereka dalam beribadah bisa semakin mudah terdorong, seperti ibadahnya orang-orang saleh tersebut. Lalu mereka pun memindahkan patung-patung itu di rumah-rumah mereka, bahkan terkadang mereka pun membawanya ketika sedang safar.

Jadi, pada tahapan awal patung-patung tersebut tidaklah disembah, namun sekedar untuk mengenang kesalehan orang-orang saleh tersebut. Sehingga diharapkan bisa mendorong semangat mereka dalam beribadah.

Tahap Ketiga

Masa panjang pun berlalu. Ketika ilmu tauhid sudah banyak hilang dan hilang pula (ilmu tentang) maksud awal pembuatan patung di dada-dada banyak manusia, lalu orang-orang yang tidak memiliki ilmu itu pun beranggapan bahwa tidaklah kakek moyang kami membuat patung-patung itu kecuali karena patung-patung tersebut adalah sesembahan yang layak untuk disembah atau karena patung-patung tersebut dikeramatkan.

Akhirnya, mereka pun berdoa kepada patung-patung tersebut dengan anggapan ruh-ruh orang-orang saleh itu bisa memperantarai diri mereka dan menyampaikan kebutuhan mereka kepada Allah. Mereka menyembah patung-patung tersebut.

Dengan sebab inilah mereka terjatuh dalam kesyirikan akbar [4].

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Muslim.or.id