Masa Remaja Nabi SAW

Umat Islam patut terus menggali sirah Rasulullah dari berbagai aspek dan masa.

Pada masa kecil, Rasulullah SAW  tumbuh sangat pesat. Malahan, dikatakan bahwa pertumbuhannya sehari setara dengan sebulan manusia biasa. Ketika berumur dua tahun, beliau tumbuh menjadi anak yang kuat dalam pangkuan Halimah As-Sa’diah. 

Memasuki usia empat tahun, terjadi peristiwa Syaqqus Shadr (pembelahan dada) oleh malaikat Jibril. Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengatakan dalam kitabnya,  Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah, kejadian ini merupakan salah satu indikasi kenabiannya dan bukti bahwa Allah SWT. memilih dan menyiapkannya untuk mengemban tugas yang agung kelak (HR. Muslim). 

Setelah kejadian tersebut, Halimah pun merasa khawatir akan terjadi hal-hal lain padanya. Lalu, dia bergegas mengembalikan Muhammad kepada  ibunda Siti Aminah. Namun Sang Ibunda juga tak begitu lama membersamainya. Saat Muhammad berusia enam tahun,  Siti Aminah wafat, dan meninggalkan Muhammad hidup tanpa kehangatan kedua orang tuanya. 

Selepas kepergian ibunda, ia diasuh oleh kakeknya,  Abdul Muthalib. Ia sungguh mencintai dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi, ketika usia Muhammad  tepat  delapan tahun dua bulan dan sepuluh hari, kakeknya pun wafat. Kemudian pengasuhan Muhammad  beralih kepada pamannya,  Abu Thalib.

Pada masa pengasuhan Abu Thalib inilah, beliau menjalani masa remaja. Ketika Muhammad  berusia 12  tahun, Abu Thalib mengajaknya pergi ke Syam (sekarang meliputi Suriah, Palestina, Yordania dan Lebanon) untuk berbisnis. 

Tatkala kafilahnya sampai di Bushra, mereka berjumpa dengan seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira. Dia mulai memperhatikan Muhammad,  menghampiri dan berbicara dengannya. Tak lama, ia menengok ke Abu Thalib dan bertanya “Apa hubunganmu dengan anak kecil ini ?” “Ia anakku,” jawabnya. “Ia bukan anakmu, dan semestinya anak itu tidak memiliki ayah yang masih hidup,” kata Buhaira. 

Abu Thalib pun mengakui bahwa dia adalah keponakannya. Pendeta itu lalu meminta kepada Abu Thalib untuk membawanya  pulang kembali, takut akan orang-orang Yahudi yang hendak menyakitinya. Lantas ia pun membawanya kembali ke Mekkah. 

Setelahnya, Ahmad (nama lain Nabi SAW)  menjalani masa remajanya dengan menggembala kambing, kendati upah yang didapat hanya beberapa qirath (satu qirath:  0,2 g berlian) (HR. Bukhari). Tidak lain kecuali untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu paman yang menanggung banyak anak. 

Layaknya remaja zaman itu, banyak sekali yang rusak akibat perbuatan maksiat. Tapi dengan izin Allah, Ahmad muda nan gagah terjaga dari perbuatan yang merugikan kebanyakan kawan sebayanya. Sampai suatu ketika Nabi bercerita tentang dirinya, bahwa dia pernah dua kali duduk mendengarkan pesta perkawinan ketika zaman jahiliah, tapi Allah tutup telinganya hingga tertidur dan terbangun esoknya dengan terik matahari. “Setelah itu, aku tidak pernah lagi berniat (mengikuti) perbuatan buruk.” (HR. Thabrani).

Ketika Muhammad menginjak usia 20  tahun, di Mekkah terjadi peristiwa Harbul Fijar (Peperangan Fijar). Perang yang meletup antara Kabilah Quraisy bersama Bani Kinanah melawan Qais dan ‘Aylan. Beliau pun ikut berperang dengan paman-pamannya dan menyiapkan anak panah untuk mereka.

Pasca kemenangan Kabilah Quraisy  dalam peperangan tersebut, disepakatilah perjanjian yang diabadikan dengan istilah Halful Fudhul. Bertambahlah pengalamannya dalam masalah diplomasi dan negosiasi. Sedemikian terkesannya, beliau berkata — setelah diutus menjadi Rasul — “Aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jad’an perjanjian yang lebih aku sukai daripada unta merah [kendaraan elit waktu itu], dan sekiranya aku diundang pada momen yang sama pada hari ini, tentu aku memenuhinya.”

Menjelang usia dewasa yang matang, Muhammad  semakin menekuni dunia bisnis. Menurut Syeikh Mubarikfuri dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum,  Nabi berdagang dengan mitra terbaiknya Saib bin Abi Saib. Barulah ketika berumur dua puluh lima tahun, Muhammad menjalin kerja sama bisnis dengan Siti Khadijah, wanita kaya raya nan mulia.  

Mengenal lebih jauh pribadi Nabi SAW  bukan hanya ketika peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan 12 Rabiul Awwal setiap tahun. Namun, kewajiban kita sebagai umatnya patut terus menggali sejarah kehidupannya (sirah) dari berbagai aspek dan masa.  

Kiranya, gambaran masa remaja Rasulullah tersebut dapat menguatkan hati kita untuk lebih mencintai  dan menjadikannya panutan dalam merangkai kehidupan. Juga menceritakannya kepada keluarga dan sanak saudara serta masyarakat luas. Apalagi disaat Rasulullah dinistakan oleh Presiden Perancis Macron dan para pembeci Islam beberapa waktu lalu. 

Allahu a’lam bishowab.

Oleh Ihza Aulia Sururi Tanjung

KHAZANAH REPUBLIKA

Menghormati Keturunan Nabi?

Di tengah-tengah arus media sosial yang kian hari kian gencar. Muncul isu-isu baru yang melanda dunia sosial. Yaitu isu tentang pro-kontra terhadap sikap seorang Habib di negara yang demokrasi ini. Gelagat demikian tentu sangat krusial yang oleh umat muslim harus disikapi sebaik mungkin. Sebab, membiarkannya malah justru akan menimbulkan kubu perpecahan.

Habib atau yang dalam bahasa Arabnya dikenal dengan Zurriyatun Nabi adalah mereka yang secara garis keturnanannya berasal dari Nabi. Tepatnya dari Fatimah (putri Nabi) dengan Sayyidina Ali. Jadi siapapun mereka yang lahir dari keturunan keduanya (Hasan dan Husein) disebutlah seorang Habib. Lalu pertanyaanya, bagaimana kewajiban kita sebagai umat Muslim terhadap Habib?

Dalam kitab Syarhu al-Aqidah at-Thaháwiyah lil a-Barak, bab Minhaj Ahlisunnah fi Azwaji an-Nabi, juz 1, halaman 377, diterangkan bahwa kewajiban kita sebagai umat Muslim adalah menjaganya, atau sekurang-kurangnya menghormati sebegitu hormatnya, tanpa menyakiti, apalagi melecehkan satu sama lainnya. Sebab mereka yang lahir dari keturunan Nabi, tentu dipastikan hasil dari benih yang suci dari segala ketidakbaikan (ar-rijsu). Tapi sekali lagi, kesucian para keturuan Nabi tersebut bukan secara mutlak. Sebab bisa jadi, meski keturunan Nabi, ada juga yang katakanlah tidak berpibadi baik ala Nabi (maaf tanpa mengurangi rasa hormat saya) seperti suka mencaci orang lain, mendoakan orang lain tidak baik, bersikap angkuh dan sombong merendahkan fisik orang lain, dan lain-lain. Jelasnya, begini menurut Imam at-Thaháwi dalam kitabnya tersebut:

قال الطحاوي: (وذرِّيَّاته المقدسين من كل رجس) ليس على إطلاقه؛ لأن فيهم المحسن والمسيء،

Dari ibarat di atas ini tentu menunjukkan kepada kita, bahwa di antara keturuan Nabi sekalipun, bukan lantas kemudian dinyatakan baik. Tetapi ada juga keturunan Nabi yang secara sikap bisa dikatakan tidak baik sepertihalnya Nabi. Tidak lembut tuturnya, tidak menyayangi umat manusia, atau apalah yang menjadi teladan dari semua sosok Nabi. Maka konsukuensinya, tidak boleh kemudian menisbahkan ketidakbaikan Habib tersebut (yang secara nasab bersambung kepada Nabi namun secara perilaku tidak sama sekali) kepada keturunan Nabi. Atau dengan bahasa lain, menisbatkan tipikal demikian, jelas bukan suatu yang dibenarkan. Lebih jelasnya, berikut ibarah tersebut:

وقال: [وذرياته المقدسين من كل رجس] ، وهذا ليس ثابتاً لكل ذرية النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، إنما المقصود أن من عرف منهم بالتقوى والإيمان فإنه هو الذي يُحسن فيه القول، وأما من استوجب القول السيئ فإنه يثبت له، لكن من دون أن ينال من نسبه ولا من اتصاله بالنبي صلى الله عليه وسلم.

Maaf pendek kata, teks di atas ini sekurang-kurangnya mengajarkan kepada kita bahwa perilaku yang sama sekali melenceng dari kepribadian baik Nabi, bagi penulis, bukan hal sepenuhnya disandarkan kepada predikat penyematan keturunan Nabi. Sebab sudah menjadi aksioma, Nabi adalah sosok teladan manusia sedunia. Lelaki yang sangat penuh kasih sayang terhadap segala umat manusia. Bukan suka membenci, menghardik, apalagi mencaci maki sesama umatnya.

Hal ini selaras dengan pendapat Dr. Rasyid bin Hasan al-Alma’ei dalam kitabnya, Man Hum Ahlu al-Bait? Yang mengatakan begini:

وأهل السنة يحبونهم ويكرمونهم؛ لأن ذلك من محبة النبي -صلى الله عليه وسلم- وإكرامه، وذلك بشرط أن يكونوا مستقيمين على الملة، كما كان عليه سلفهم كالعباس وبنيه وعلي وبنيه، أما من خالف السنة ولم يستقم على الدين فإنه لا تجوز موالاته ولو كان من أهل البيت

Artinya: Ahlusunnah mencintai dan memuliakan para Ahlu al-Bait (keturunan Nabi), karena mencintai Ahlul al-Bait termasuk mencintai Rasul dan memuliakanya.  Dengan syarat, mereka (Ahlu al-Bait) tetap berada di agamanya, sebagaimana para pendahulunya seperi Abbas dan keturunan-keturunannya. Dan jika mereka tidak berada di sunnah-sunnah Nabinya, (meski keturunan Nabi) maka tidak boleh mengikutinya.

Ulama kontemporer Mesir memaknai kata “Muwálah” dengan bersahabat. Sebagian ada yang memberikan makna dengan “menolong, atau membantu”. Ringkasnya, jika ketidakbaikan itu muncul meski dari keturunan Nabi, maka kita sebagai umat Islam harus benar-benar pintar jeli dan teliti. Bukan malah membantu terhadap ketidakbaikan tersebut, kemudian menyulutkan api kebenciaan di tengah-tengah persaudaran seagama ini dengan bentuk caci-mencaci. Apakah kita masih mau menghormati keturunan nabi yang suka mencaci-maki?

ALIF.id

Rasulullah Mendamaikan Umat Manusia dengan Islam: Tafsir QS. Ali ‘Imran [3]: 103

Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam Manhaj Al-Salaf fi Fahmi Al-Nushush baina Al-Nadhriyyah wa Al-Tathbiq (tt., 9) menyebutkan bahwa Islam datang untuk mengajak umat manusia agar saling asih, mencintai, menyayangi, dan melarang untuk saling berpecah belah. Bahkan beliau menyebutkan bahwa bercerai berai adalah menjadi sebab segala fitnah dan musibah. Lebih lanjut, bercerai berai melahirkan permusuhan dan kebodohan.

Upaya untuk menelaah pandangan para mufassir sangat penting untuk mendapatkan rumusan pemahaman yang tidak terputus dari wacana-wacana terkait dengan pemahaman para ulama dalam bidang al-Qur’an dan tafsir. Meskipun sebenarnya, argumen Sayyid Muhammad al-Maliki di atas telah menggunakan pendekatan wacana para mufassir, namun dalam kesempatan kali ini adalah untuk membuka lebih jelas lagi.

Persaudaraan, persatuan, dengan kerangka berfikir Sayyid Muhammad al-Maliki di atas, adalah poin penting dalam ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 103 disebutkan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُون

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali ‘Imran [3]: 103)

Menurut keterangan dari Al-Zamakhsyari (467-538 H) dalam Tafsir Al-Kasysyaf (1998: Vol. 1, 601), ayat ini adalah sebuah larangan untuk bercerai-berai sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyyah, yaitu saling bermusuhan satu sama lain hingga terjadi peperangan di antara mereka. Ayat ini juga adalah larangan untuk mengucapkan kata-kata yang menyebabkan perpecahan.

Dalam sejarah Arab, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Baidhawi, disebutkan bahwa suku Aus dan Khazraj adalah dua saudara namun anak keturunannya mengalami pemusuhan hingga terjadi peperangan antara keduanya selama 120 tahun sampai Allah memadamkan api peperangan dan kebencian diantara mereka dengan perantara agama Islam (Al-Qaujawi: 1999, Vol, 3, 136).

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan banyak riwayat terkait dengan pembahasan ayat ini, diantaranya adalah riwayat dari Qatadah bahwa maksud dari ayat “wadzkuru ni’matallah ‘alaikum idzkuntuntum a’da’an fallafa baina qulubikum” adalah yang terjadi pada masyarakat Arab pada waktu itu adalah saling membunuh, orang-orang yang kuat akan menindas yang lemah sehingga. dengan datangnya Islam melalui perantara Nabi mereka berubah menjadi saudara yang saling mengasihi satu sama lain, demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya saling mengasihi adalah rahmat dan perpecahan adalah adab (Al-Qurthubi: 2001, Vol. 5, 650).

Di sini jelaslah bagi kita bahwa Islam ketika awal kemunculannya adalah untuk menjadi solusi dan sarana menyatukan puing-puing komponen masyarakat yang saling berserakan dan terpecah belah. Yang diungkapkan oleh Sayyid Muhammad di atas adalah otentisitas Islam, yaitu sebagai agama yang melarang dan membendung sikap dan tindakan yang bisa menimbulkan atau menyebabkan perpecahan. Karena perbedaan bukan menjadi alasan untuk bertikai dan berpecah belah, melainkan, sebagaimana dalam istilah al-Qur’an, adalah untuk saling mengenal satu sama lain.

Sejarah yang disampaikan oleh Chaiwat Satha-Anand tentang sikap Nabi ketika mengajak perwakilan dari setiap suku untuk mengangkat bersama-sama sorban yang di atasnya terdapat hajar aswad, sebagai dasar argumentasi aktivia nir-kekerasan adalah sangat beralasan dan kredibel. Bahkan Satha Anand tidak hanya melihat dari perspektif Islam dalam menggelorakan semangat nir-kekerasan, melainkan dari kombinasi berbagai ajaran agama.

Kesimpulannya adalah bahwa Islam secara dasariah adalah perdamaian. Pandangan diatas dan informasi bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin menjadi penting untuk disadari terutama oleh umat muslim Indonesia maupun dunia. Bahkan rahmat Nabi juga sangat banyak tersebar di berbagai keterangan perihal kemuliaan sifat Nabi dalam kitab-kitab shirah al-nabawiyyah.

Sehingga semestinya arah pemahaman memurnikan agama adalah dengan menjadikan agama sebagai amunisi untuk berdamai dengan orang lain bukan malah dengan agama memecah belah persaudaraan dan kesatuan. Tekanan untuk beragama dalam konteks Indonesia adalah agar setiap warganya menjalin persaudaraan dan menjaga persatuan bukan membenturkan satu sama lain dengan nama agama. Sehingga, trauma yang dirasakan oleh yang menolak untuk beragama terobati, karena agama telah kembali kepada asalnya sebagai juru damai dan pemersatu umat manusia.

MADANINEWS

Makan dan Minum yang Sehat Menurut Islam

Makanan dan minuman era milineal serba cepat tapi belum tentu sehat apalagi halal dan thayyib. Lantas bagaimana kita bersikap terhadap makan dan minuman yang ideal?  

Meski lahir lebih 14 abad, Islam telah mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, yang ujungnya bermanfaat bagi manusia. Tidak hanya cara bersuci, bahkan cara makan pun Islam mengajarkan.

Sebagai muslim ataupun muslimah, ada cara yang sebenarnya memang telah menjadi bagian dalam lingkup syariat Islam. Kita sendiri kadang tidak menyadarinya. Padahal Rasulullah ﷺ sudah memberikan bocorannya sejak berabad-abad lalu.

Tidaklah sekali-sekali manusia penuhi suatu wadah juga yang lebih beresiko dari perutnya. Cukuplah untuk anak Adam sebagian suap makanan untuk menegakkan badannya. Bila ia mesti mengisinya, maka sepertiga ( sisi lambung) untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, serta sepertiga lagi untuk nafasnya ( hawa).” (HR Tirmidzi)

Untuk selalu terjaga terkait makan dan minum serta diberkahi oleh Allah, maka ada beberapa adab yang perlu dilakukan, diantaranya:

Pertamaniatkan makan minum itu datangnya rezeki dari Allah yang dibarakahi

Luruskanlah niat sebelum melakukan makan dan minum. Niatkan hanya kepada Allah subhna hua ta’ala agar  tubuh kita lebih sehat dan jauh dari berbagai macam penyakit. Selain itu pola makan kita juga akan lebih terjaga baik waktunya maupun kuantitas makanan yang dikonsumsinya menjadi sesuai dengan kebutuhan tubuh dan tidak berlebihan.

Kedua, melaksanakan Puasa Wajib dan Sunah

Puasa wajib adalah ibadah puasa yang dilakukan saat datangnya bulan Ramadhan. Sedangkan puasa sunnah adalah ibadah puasa yang dilakukan dihari-hari tertentu seperti puasa Senin dan Kamis maupun puasa Daud. Namun jangan pernah menitik beratkan niat ibadah puasa hanya untuk menurunkan berat badan. Niatkanlah murni karena Allah subhana hua ta’ala.

Puasa adalah cara terefektif untuk mengatur pola makan dan sebagai treatment untuk mengistirahatkan organ pencernaan kita sehingga setidaknya dengan berpuasa tumpukan lemak-lemak penyebab kelebihan berat badan dapat kita minimalisir.

Ketiga, makan secukupnya

Makanlah makanan secukupnya saja, jangan berlebihan karena islam sendiripun tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Bahkan dalam Islam sendiri menganjurkan untuk makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Karena ketika lapar kita akan cenderung makan dalam jumlah yang banyak, begitupun jika makan harus menunggu sampai perut terasa kenyang terlebih dahulu sebelum berhenti. Padahal bagian perut kita tidak hanya harus menmpung makanan saja, tapi harus disisakan untuk menampung air beserta udara untuk mencerna makanan dan memfungsikan organ tubuh lainnya.

Mengenai hal ini, Allah berfirman dalam Alquran surat Al-Araf ayat 31 yang artinya:

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS:  Al-A’raf: 31)

Keempat, memakan makanan halal dan sehat

Dalam surat an-Nahl ayat 114 Allah berfirman tentang perintah untuk mengkonsumsi makanan halal.

فَكُلُوا۟ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَٱشْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Makanlah makanan yang halal lagi baik dari yang Allah telah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS:  An Nahl: 114)

Keempat, tidak tidur setelah makan berat

Kebiasan buruk yang sering kali dilakukan oleh manusia adalah tidur setelah melahap banyak makanan. Hal ini memang saling berkaitan saat kelaparan kita akan makan dengan jumlah yang lebih banyak karena perut menuntut diisi hingga penuh atau kenyang, namun kemudian akibatnya adalah perut menjadi terlalu kenyang dan mata berat atau mengantuk, lalu seterusnya adalah setan yang membujuk untuk istirahat dan tidur.

Kelima, selalu bersyukur kepada Allah Subhanahua Ta’ala

Ikhtiar dan doa adalah dua hal yang tak boleh dipisahkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Termasuk dalam hal bersyukur atas nikmat yang telah diberkahi Allah dengan segala hal yang telah kita makan dan minum.

Lebih lanjut dalam makanan dan minuman itu agar berkah, maka Islam memberikan adabnya pula; diantaranya:

  1. Minum Sambil Duduk

Terlepas dari perbedaan pendapat yang sudah dijelaskan oleh para ulama tentang hukum makan atau minum sambil berdiri, setidaknya secara medis sudah dijelaskan bahwa minum sambil duduk itu dianggap lebih baik daripada minum sambil berdiri atau sambil tiduran.

Bahkan secara adat-istiadat, di sebagian tempat mungkin makan dan minum sambil berdiri itu dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan.

2. Mengucapkan Basmalah

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu’anha, “Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia mengucapkan Bismillah (menyebut nama Allah Ta’ala). Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaknya ia mengucapkan: “Bismillahi awwalahu wa aakhirotu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Tirmidzi).

3. Makan dan Minum dengan Tangan Kanan

Dari Umar bin Abi Salamah, ia berkata, “Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah ﷺ, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai Ghulam, sebutlah nama Allah (bacalah “Bismillah”), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada dihadapanmu.” Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu.” (HR. Bukhari, dalam kitab Al-Ath’imah Bab At-Tasmiyyah ‘ala Ath-Tha’am wa Al-Akhlu bi Al-Yamin).

4. Tidak Meniup Makanan atau Minuman

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma dijelaskan tentang larangan meniup untuk mendinginkan makanan atau minuman yang masih panas, “Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi Muhammad Saw melarang pengembusan nafas dan peniupan (makanan atau minuman) pada bejana,” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

5. Minum dengan Tiga Tegukan

Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kalian minum seperti minumnya hewan. Tetapi minumlah kalian dengan dua atau tiga kali, dan jika kalian minum sebutlah nama Allah (membaca basmallah), kemudian pujilah Dia (membaca hamdalah), ketika kalian mengangkatkan (selesai minum).” (HR: At-Tirmidzi).

6. Menuangkan Air Ke Gelas Secukupnya

Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma, “Rasulullah melarang minum langsung dari mulut qibrah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya.” (HR Bukhari no. 5627).

7. Mengucapkan Hamdallah

Sebagaimana yang sudah dipraktikkan Rasulullah, ketika beliau selesai dari makan atau minum, beliau membaca, “Puji syukur kepada Allah yang telah memberi makan dan memberi minum kepada kami serta menjadikan kami termasuk orang-orang Islam.” (HR. Abu Dawud).

Ini adalah sebagian dari petunjuk dan tuntunan dalam hal makan dan minum menurut ajaran Islam. Islam memberikan tuntunan agar bisa dijalankan manusia agar terhindar dari kemurkaan dan selalu terjaga rezeki dan keberkahan makan dan minumannya.

MADANINEWS

Sahabat Nabi yang Termasuk Assabiqunal Awwalun

Assabiqunal Awwalun adalah sebutan untuk sahabat-sahabat yang dahulu dan pertama menerima dakwah Nabi Saw dan mereka masuk Islam mendahului lainnya. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sahabat yang termasuk Assabiqunal Awwalun. Imam Al-Dzahabi menyebutkan lima puluh sahabat, sementara Ibnu Ishaq hanya menyebutkan dua puluh satu sahabat.

Namun demikian, yang disepakati para ulama sebagai Assabiqunal Awwalun adalah sembilan sahabat. Yaitu, Sayidah Khadijah binti Khuwailid, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Al-Shiddiq, Utsman bin Affan, Al-Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Sirah Al-Nabawiyah berikut;

السابقون الأولون فئة من المسلمين والمسلمات بادرت إلى الاستجابة لدعوة النبي صلى الله عليه وسلم، فآمنت برسالته وصدقته. وأولهم زوج النبي صلى الله عليه وسلم أم المؤمنين خديجة بنت خويلد رضي الله عنها، وحِبُّه زيد بن حارثة، وابن عمه علي بن أبي طالب رضي الله عنهما، وكان صبيًا يعيش في كفالة الرسول صلى الله عليه وسلم، وصديقه الحميم أبو بكر الصديق رضي الله عنه . كل هؤلاء أسلموا في بداية الدعوة النبوية  وبفضل جهد أبي بكر رضي الله عنه في الدعوة أسلم عثمان بن عفان، والزبير بن العوام، وعبد الرحمن بن عوف، وسعد بن أبي وقاص، وطلحة بن عبيد الله رضي الله عنهم. وهؤلاء هم الرعيل الأول لا خلاف في ذلك أما غيرهم فقد اختلف رواة السيرة في تعيينهم وحصر عددهم

Assabiqunal Awwalun adalah sekolompok sahabat dari kalangan laki-laki dan perempuan yang segera menerima dakwah Nabi Saw, kemudian mereka beriman kepada kerasulan dan kejujuran beliau. Yang pertama adalah Sayidah Khadijah binti Khuwailid, kesayangan Nabi Saw Zaid bin Haritsah, anak paman Nabi Saw Ali bin Abi Thalib, ia sejak kecil diasuh oleh Nabi Saw, dan teman Nabi Saw Abu Bakar Al-Shiddiq.

Mereka semua masuk Islam di awal dakwah kenabian. Kemudian dengan kegigihan Abu Bakar dalam berdakwah, Sayidina Ustman masuk Islam, juga Al-Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka adalah generasi pertama yang masuk Islam, tidak ada perbedaan dalam hal itu. Adapun selain mereka, maka ulama sirah berbeda pendapat mengenai penentuan dan jumlah mereka.

BINCANG SYARIAH

Mahakarya Hamka dari Penjara

Dari penjara, Hamka melahirkan mahakarya.


Dari balik jeruji penjara, seorang ulama menyelesaikan sebuah karya besar. Tafsir Al-Azhar. Itulah salah satu mahakarya dari Buya Hamka, yang ia kerjakan di dalam penjara. Karya tersebut dihargai dengan gelar profesor dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Tafsir 30 juz isi Alquran dengan bahasa yang ringan sehingga mudah dipahami. Menakjubkan, karena ia menyelesaikannya di dalam penjara.

Tanpa melalui pengadilan, ia dipenjara oleh sahabatnya, Bung Karno. Seorang presiden dan juga panglima besar revolusi Indonesia. Buya dipenjara karena tidak setuju dengan pemikiran Soekarno soal Nasakom, atau kepanjangan dari nasionalisme, agama (Islam), dan komunisme. “Bagi saya, agama Islam tak dapat dicampur dengan komunis. Tidak mungkin,” kata Buya Hamka. Ia pun menentang keras pemikiran Soekarno melalui kampanye terbuka, baik saat berdakwah maupun dalam pertemuan-pertemuan terbuka.

Buya Hamka juga terus-menerus mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) waktu itu. Majalah yang dibentuknya, Panji Masyarat, pun pernah dibredelSoekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.

Sampailah pada suatu ketika, saat sedang memberikan pengajian kepada ratus an ibu-ibu pada bulan Ramadhan, ia ditangkap aparat keamanan atas perintah Presiden Soekarno. Pengalaman itu menerbitkan rasa pahit pada Hamka. Namun, ia mudah memaafkan dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Ia tetap menjalin silaturahim dengan keluarga Bung Karno.

Ketika Bung Karno wafat, Buya Hamka memberanikan diri untuk menjadi imam shalat jenazah bagi masyarakat yang telah berduyun-duyun memadati Wisma Yoso (Kini Museum Satria Mandala, Jakarta). Ia tak dendam pada Bung Karno yang pernah memenjarakannya tanpa pengadilan. Ia juga tak takut pada pemerintahan baru pimpinan Jenderal Soeharto. Saat ada yang bertanya, mengapa dia mau memimpin shalat jenazah bagi orang yang pernah menzaliminya? Buya Hamka menjawab, “Karena Bung Karno sahabat saya.”

Hamka memang bukan sekadar ulama besar, ia juga sastrawan dan wartawan. Karyanya, antara lain, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj, dan Merantau ke Deli. Banyak karya Hamka tidak hanya dipublikasikan oleh penerbit nasional seperti Balai Pustaka dan Pustaka Bulan Bintang, tetapi juga diterbitkan di beberapa negara asing. Bahkan, dirilis juga di berbagai situs, blog, dan media informasi lainnya.

Siapa pun tak bakal menyangka jika seorang yang pada awalnya belajar secara otodidak, belakangan justru banyak menda patkan gelar profesor dan doktor honoris causa dari beberapa perguruan tinggi terkemuka. Karya-karyanya terutama di bidang sastra telah melambungkan nama bangsa dan mengharumkan nusantara hingga ke mancanegara.

Hamka merupakan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada 1975- 1981. Dia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Hamka menolak mendapat gaji sebagai ketua umum MUI. Mantan menteri agama Mukti Ali mengatakan, “Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri.”

Ia turut mengisi tempat yang penting di dalam perjuangan kemerdekaan nasional di Sumatra Barat. Pada 1950-an, dia aktif dalam Dewan Pimpinan Masyumi. Salah satu statemen yang melukiskan muruah (martabat) sebagai pemimpin umat antara lain tatkala politik menjadi panglima sekitar 1950-an, dia mengatakan, “Kursi-kursi banyak dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi, kursiku adalah buatanku sendiri.”

Sebagai pengawal akidah umat, Hamka sebagai ketua umum MUI menyampaikan masukan kepada Presiden Soeharto soal toleransi antarumat beragama. Menurutnya, kalau hendak menciptakan kerukunan antarumat beragama, orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk propaganda agama yang lain.

Sampailah suatu masa, ketika Hamka menulis surat kepada Menteri Agama Letjen Alamsyah Ratuperwiranegara, tertanggal 21 Mei 1981. Isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI.

Apa alasan Hamka? Ia mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharamkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menghadiri perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain, misa, kebaktian, dan sejenisnya.

Fatwa itu sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai menteri. Fatwa itu sebenarnya wajar saja, namun keburu bocor dan heboh. Melihat kehebohan itu karena ada desakan pencabutan fatwa, Hamka bersikap. “Tidak tepat kalau Saudara Menteri Agama yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh. Sayalah yang bertanggung jawab atas beredarnya fatwa tersebut. Jadi, sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka.

Dua bulan setelah itu, ulama besar Hamka wafat di Jakarta pada Jumat, 24 Juli 1981 (22 Ramadhan 1401 H) dalam usia 73 tahun. Buya Hamka, seorang ulama, pemimpin, pujangga, pengarang, sejarawan, dan pendidik dalam arti yang luas, sudah lama meninggalkan kita. Namun, pengabdian, karya, dan sumbangannya dalam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa tetap dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi masa kini.

Kemarin, akhirnya pemerintah menobatkan tujuh pahlawan nasional. Tiga di antaranya tokoh Islam ternama, yakni Buya Hamka, Sjafruddin Prawiranegara dan Idham Chalid. Buya Hamka bukan cuma dikagumi di dalam negeri, di Malaysia, misalnya, ia menjadi anutan bagi pemuka-pemuka agama. Bahkan, Museum Hamka di tanah kelahirannya, justru dibangun oleh Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), bukan oleh pemerintah negeri ini. Ironis.

Begitulah sosok seorang Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA, ulama besar kelahiran Negeri Sungai Batang, di pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau, Sumatra Barat. Seorang ulama yang hingga kini menjadi ikon pendakwah besar yang tak mau digaji oleh pemerintah dan berani menentang dua presiden, Soekarno dan Soeharto.

Oleh Selamat Ginting / Jurnalis Senior Republika

KHAZANAH REPUBLIKA

Bangkai yang Tidak Termasuk Najis

Apa saja yang tidak termasuk bangkai yang najis?

Yang tidak termasuk bangkai najis

Sekalipun mati tanpa melalui proses yang syari, tidak termasuk bangkai.

Apa saja itu?

Pertama: Ikan dan seluruh hewan yang hidup di air saja. Bangkainya halal dikonsumsi dan tidak najis. Kura-kura menurut madzhab Syafii tidak halal karena hidup di dua malam. Haditsnya: air laut itu suci dan bangkainya halal.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

‎سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ».

Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. Abu Daud, no. 83; An Nasai no. 59; Tirmidzi, no. 69. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Yang termasuk bangkai yang suci lagi adalah belalang. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah, no. 3314. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Kedua: Hewan darat yang kecil bila dipotong anggota tubuhnya tidak mengalirkan darah (laysa lahu nafsun sailah). Seperti lalat, nyamuk, lebah, cacing, kalajengking, siput darat, semut, bila mati tanpa disembelih, tidak termasuk bangkai najis. Haditsnya: hadits lalat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ ، فَإِنَّ فِى إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالأُخْرَى شِفَاءً

Jika seekor lalat jatuh dalam minuman salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah, lalu buanglah lalat tersebut karena di salah satu sayapnya terdapat racun dan sayap lainnya terdapat penawarnya.” (HR. Bukhari, no. 3320).

Namun, tidak berarti jika suci, jadi halal. Boleh menjual cacing, yang ditaruh di mata kail untuk memancing ikan. Jika menjual hewan kecil karena ada kemanfaatan dan suci, berarti boleh dan jual belinya sah.

Ketiga: Para ulama sepakat bahwa hewan yang boleh dimakan (sapi, kambing) bila disembelih, kulitnya tidak najis dan boleh digunakan untuk tujuan apa pun.

Semoga bermanfaat.

RUMAYSHO

Guru Besar Setan

Setan juga punya Guru Besar yang berpengalaman dan memahami seluk beluk hati manusia.

Dahulu, ketika penciptaann Nabi Adam AS telah disempurnakan, Allah SWT menyuruh seluruh mahkluk bersujud sebagai penghormatan. Lalu, para Malaikat pun bersujud kecuali Iblis. Inilah pembangkangan yang pertama kepada Allah SWT yang disebabkan kedengkian dan keangkuhan.

Akibatnya, Iblis pun diusir dari surga sebagai makhluk terkutuk. Hal tersebut tidak membuatnya sadar, akan tetapi semakin pongah. Ia pun bertekad menggoda keturunan Adam AS hingga akhir zaman (QS 7: 11-17, 15: 29-40).

Tekad Iblis menghalangi manusia dari jalan yang lurus (shirat al-mustaqiim) dilakukan dari empat arah, yakni dari depan, belakang, kanan dan kiri. Artinya, ia akan menempuh segala cara dan mengemas kesesatan dalam berbagai bentuk dan warna bagi manusia, sehingga terjerumus ke dalam berbagai kemaksiatan (Muhammad Nasib Ar-Rifai, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2).

Berbagai strategi jitu terus diajarkan kepada keturunannya, yakni setan. Pembinaan di kalangan dunia setan pun berjalan sangat baik, sehingga melahirkan setan-setan yang piawai.

Layaknya pendidikan tinggi, mereka juga punya Guru Besar yang berpengalaman dan memahami seluk beluk hati manusia. Melalui pembinaan tersebut ditentukan siapa dan rayuan macam apa yang digunakan untuk menggoda setiap manusia.

Penulis Tafsir Al-Misbah, Prof Muhammad Quraish Shihab menyebut bahwa Guru Besar Setan selalu memberikan pembekalan kepada Setan Pemula agar sukses menggoda manusia yakni; Pertama, suatu kekeliruan ketika menduga bahwa kegembiraan adalah jerat untuk menjerumuskan manusia. Harus dibedakan mana kegembiraan yang dirahmati Tuhan dan yang menimbulkan hura-hura.

Kedua, tidak perlu memberikan perhatian besar kepada manusia yang beragama ketika hatinya dipenuhi keraguan akibat peperangan atau bencana. Tetapi, ketika keyakinannya goyah, maka ia akan terjerumus sendiri.

Ketiga, jangan berputus asa menghadapi para penganjur kebajikan yang bangga dengan diri mereka. Sikap mereka itu sebenarnya telah mendekati apa yang diharapkan oleh setan.

Keempat, menanamkan kebencian tanpa harus melihat nama-nama yang disandangnya. Sebab, tidak ada perbedaan antara faham-faham apa pun selama jiwa manusia sepi dari rasa cinta serta dipenuhi kebencian dan permusuhan.

Kelima, kesuksesan setan ketika manusia memandang alam raya itu kosong dari keajaiban atau menilainya sekadar himpunan dari peristiwa biasa yang sama dan berulang-ulang.

Jika sedemikian rupa setan menggoda manusia, masihkah kita mampu terlepas darinya? Mereka membisikkan kepada penguasa bahwa kebijakannya benar padahal menyengsarakan rakyat. Begitu pun kepada pejabat negara yang korupsi dikemas seakan tampak sebuah kelaziman. Pun, kepada alim ulama diembuskan kesombongan dan ujub hingga merasa paling benar.

Boleh jadi kita tengah terperangkap oleh rayuan setan, tapi tak menyadirinya. Sungguh, kita tidak mampu melawannya, kecuali atas perlindungan Allah SWT semata (HR Bukhari Muslim).

Akhirnya, hanya al-mukhlashin (orang-orang yang sudah terbersihkan hatinya dari selain Allah SWT.) yang selamat dari godaan setan (QS 15: 40). Wallahu a’lam bish-shawab.

OLEH HASAN BASRI TANJUNG

KHAZANAH REPUBLIKA

Jihad Tak Hanya Perang, Ini Jihad yang Paling Diperlukan Umat Muslim Indonesia

Beberapa waktu lalu jagad media sosial dibuat heboh dengan aksi beberapa Muslim yang mengumandangkan azan dengan versi baru. Dalam hal ini, mereka mengubah redaksi (ṣîgah“hayya ‘ala ash-shalah (mari menuju salat)” menjadi “hayya ‘alal jihad (mari menuju jihad).” Entah apa motivasi dan tujuan mereka mengubah redaksi azan tersebut. Entah apa dasar (dalil) mereka sehingga berani mengubah redaksi azan tersebut.

Namun, tindakan mereka ini memberikan kesan seakan-akan redaksi (shigah) azan merupakan perkara mu‘amalah yang bisa dikreasikan dan diubah sesuai keinginan. Padahal azan adalah perkara ibadah yang bersifat tetap. Semua redaksi azan berdasarkan hadis, bukan berdasarkan ijtihad para ulama fikih. Dalam hal ini, para ulama fikih Sunni (mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab asy-Syafi‘i, dan mazhab Hanbali) sepakat bahwa redaksi azan yang asli dari Rasulullah saw. adalah redaksi azan yang sudah diketahui secara umum yang tersiar secara turun-temurun tanpa dikurangi dan ditambahi (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiyy wa Adillatuhu, 1985, I: 543).

Adapun penambahan redaksi “ash-shalah khairun min an-nawm (salat adalah lebih baik daripada tidur)” setelah kalimat “hayya ‘ala al-falah (mari menuju kemenangan)” di waktu subuh adalah berdasarkan hadis dari Sayyidina Bilâl ra., bukan berdasarkan ijtihad para ulama fikih (hlm. 543). Oleh karena itu, tindakan beberapa Muslim yang mengubah redaksi “hayya ‘ala ash-shalah” menjadi “hayya ‘alal jihad” ini termasuk bid‘ah sayyi’ah apabila tidak memiliki dalil yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan Islam (ushul fikih). Sebab, mereka telah mengubah ajaran Islam yang berkaitan dengan redaksi azan―yang memang bersumber dari Rasulullah saw.

Hayya ‘alal jihad al-Akbar: Mari Menuju Jihad Besar

Saya juga tidak tahu maksud mereka mengenai kata “jihad” dalam redaksi “hayya ‘alal jihad” tersebut. Dalam hal ini, apakah “jihad” di situ bermakna “mari berperang melawan orang-orang kafir dan musuh” atau “mari berperang melawan hawa nafsu dan setan”?

Namun, ketika melihat ekspresi mereka ketika mengumandangkan azan versi baru tersebut, maka saya berasumsi bahwa “jihad” di situ bermakna “perang melawan orang-orang yang dianggap musuh”, bukan “perang melawan hawa nafsu dan setan”. Asumsi semacam ini semakin kuat ketika melihat video lain yang memperlihatkan beberapa Muslim mengumandangkan azan versi baru sembari memegang parang dan celurit.

Jika asumsi saya tersebut benar, yaitu beberapa Muslim itu mengajak Muslim lain berperang melawan orang-orang kafir melalui kalimat “hayya ‘alal jihad”, maka ajakan tersebut dalam konteks Indonesia adalah salah sasaran dan tidak bisa dibenarkan, baik secara hukum agama maupun hukum negara. Sebab, Indonesia merupakan negara damai, bukan negara perang yang sedang dijajah oleh para musuh. Bahkan saat ini masyarakat Muslim Nusantara bisa hidup tenang sembari menjalankan ajaran-ajaran Islam secara aman dan merdeka.

Baiklah, menurut Imam Ahmad ash-Shawi, jihad merupakan salah satu ketaatan yang paling agung. Hal ini dipahami dari firman Allah dalam al-Ma’idah (5): 35, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung” (Tafsir ash-Shawi, I: 282).

Namun demikian, jihad sendiri masih terbagi menjadi dua macam, yaitu: al-jihad al-akbar (jihad besar) dan al-jihad al-asgar (jihad kecil). Jihad kecil adalah berperang melawan orang-orang kafir. Sementara jihad besar adalah berperang melawan hawa nafsu dan setan (hlm. 282). Hal ini diperkuat dengan pendapat Imam al-Maragi. Menurutnya, para ulama salaf menyebut perang melawan hawa nafsu sebagai al-jihad al-akbar (jihad besar). Salah satu bentuk jihad besar ini adalah perjuangan manusia dalam rangka melawan gelora syahwatnya, terutama sekali ketika masih muda (Tafsir al-Maragi, 1946, IV: 83).

Dengan demikian, musuh umat Islam secara garis besar ada dua, yaitu: pertama, musuh yang tampak/zahir seperti orang-orang kafir yang menyerang; kedua, musuh yang tidak tampak/batin seperti hawa nafsu dan setan. Perang melawan orang-orang kafir yang menyerang ini dilakukan dengan cara mengerahkan fisik, kekuatan, dan taktik untuk melawan mereka. Sementara perang melawan hawa nafsu dan setan adalah mengabaikan dan meninggalkan bujuk-rayu jahat yang senantiasa bergejolak dalam hati dan pikiran (Tafsir ash-Shawi, III: 111 & I: 282).

Adapun pembagian dua jenis jihad (besar dan kecil) adalah berdasarkan hadis, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah berkata kepada sekolompok tentara perang Muslim yang datang menemuinya, yaitu: “kalian datang ke sebaik-baik tempat datang. Kalian datang dari jihad kecil (al-jihad al-asgar) menuju ke jihad besar (al-jihad al-akbar).” Ketika ditanya apa itu jihad besar, maka Rasulullah saw. menjawab: “yaitu jihad seorang hamba melawan hawa nafsunya” (Imam al-Maragi, Tafsir al-Maragi, 1946, XVII: 148).

Menurut Imam Ahmad ash-Shawi, perang melawan orang-orang kafir disebut jihad kecil (al-jihad al-asgar) karena ia bersifat kondisional dan temporal. Artinya, jihad kecil ini terkadang ada (yaitu ketika musuh menyerang) dan terkadang juga tidak ada (yaitu ketika kondisi aman dan normal). Sebab, ia sangat bergantung kepada ada dan tidaknya musuh yang menyerang. Bahkan terkadang para musuh tersebut masih bisa diajak berdialog dan berdamai. Oleh karena itu, ketika ada orang-orang kafir menyerang umat Islam, maka di sinilah jihad kecil wajib ditegakkan. Namun, apabila kondisi dalam keadaan aman (seperti di Indonesia saat ini), maka jihad kecil ini tidak boleh dilakukan (I: 282 & III: 111).

Sementara perang melawan hawa nafsu dan setan disebut jihad besar (al-jihad al-akbar) karena ia senantiasa ada dalam sepanjang hidup umat manusia dan tidak pernah jeda meskipun sekejap mata. Sebab, hawa nafsu dan setan selama-lamanya tidak bisa diajak berdamai. Artinya, selama manusia masih mengembuskan napas, maka hawa nafsu dan setan selama-lamanya tidak akan berhenti menggoda dan memerangi hati dan pikirannya (I: 282 & III: 111). Bahkan setan berjanji kepada Allah tidak akan pernah berhenti menyesatkan umat manusia agar berbuat maksiat dan kekafiran selagi mereka masih mengembuskan nafas.

Selain itu, dalam konteks jihad kecil, menurut Imam Ahmad ash-Shawi, apabila seorang Muslim berhasil membunuh orang kafir yang menyerang, maka dia sangat beruntung dan berhak mendapatkan surga. Namun, apabila Muslim tersebut terbunuh, maka dia menjadi seorang syahid yang akan ditempatkan di dalam surga yang elok dan menawan. Sementara dalam konteks jihad besar, apabila hawa nafsu dan setan berhasil mengalahkan dan “membunuh” seorang Muslim, maka dia menjadi orang yang celaka dan masuk neraka (I: 282 & III: 111).

Indonesia Saat Ini Butuh Jihad Besar, Bukan Jihad Kecil

Saat ini Indonesia adalah negara damai, bukan negara perang. Oleh karena itu, jihad kecil dalam konteks sekarang tidak dibutuhkan di Indonesia. Sebab, tidak ada orang-orang kafir atau musuh yang menyerang masyarakat Muslim. Sebaliknya, beberapa waktu lalu oknum-oknum Muslim yang tergabung dalam jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) melakukan penyerangan dan pembunuhan secara brutal terhadap beberapa non Muslim di Sigi, Sulawesi Tengah.

Padahal Rasulullah saw. melarang umat Islam menyerang orang-orang non Muslim yang tidak menyerang, sebagaimana disampaikan oleh Habib Munzir al-Musawa dalam salah satu ceramahanya. Habib Munzir menjelaskan bahwa jihad berbeda dengan emosi.

Sebab, emosi bukanlah jihad, tetapi tipu daya setan. Sedangkan jihad memiliki aturan-aturan tersendiri, bukan bertindak sewenang-wenang dan penuh emosi.

Menurut Rasulullah saw. (sebagaimana disampaikan oleh Habib Munzir), seorang Muslim yang sedang berjihad (berperang) melawan orang-orang kafir yang menyerang tidak boleh memukul wajah; tidak boleh menyerang wanita dan anak-anak; dan tidak boleh menyerang orang yang tidak menyerang.

Oleh karena itu, Indonesia saat ini membutuhkan jihad besar (al-jihad al-akbar) yang harus dilakukan oleh setiap Muslim. Jihad besar ini dalam rangka melawan hawa nafsu dan setan yang selalu menggoda dan menyuruh setiap insan untuk berbuat keburukan, kekafiran (baik terhadap keberadaan Tuhan maupun terhadap ajaran-ajaran Tuhan), dan kerusakan di muka bumi.

Beberapa keburukan dan kekafiran (atas ajaran-ajaran Tuhan) yang sangat membahayakan kehidupan bangsa Indonesia adalah: kezaliman, ketidakadilan, dekadensi moral, narkoba, korupsi, kapitalisme dan oligarki yang menyengsarakan rakyat, mafia hukum, radikalisme agama, separatisme, hoaks, ujaran kebencian, ceramah dan konten keagamaan yang provokatif dan menebarkan kebencian, serakah, merasa paling benar sendiri, egois, sewenang-wenang, mau menang sendiri, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, setiap Muslim harus sama-sama berjihad melawan beberapa keburukan dan kekafiran tersebut. Tentu jihad besar ini harus dimulai dari diri sendiri.

Selain itu, salah satu bentuk jihad di jalan Allah yang harus dilakukan oleh setiap Muslim adalah memperjuangkan dan menegakkan keadilan, menolak dan mencegah kerusakan dan kemudaratan, dan memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kehidupan manusia.

Dalam hal ini, Imam al-Maragi menyebutkan bahwa jihad di jalan Allah (jihad fi sabillah) adalah semua perkara yang dilakukan dalam rangka mempertahankan dan mewujudkan kebenaran, kebaikan, dan keutamaan untuk kehidupan manusia (Tafsir al-Maragi, 1946, VI: 109). Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…

Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.

BINCANGSYARIAHcom

Bertakwalah Kepada Allah Menurut Kesanggupanmu

Ketika kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Quran, ada frasa mastatha’tum” yang bermakna “menurut kesanggupanmu”. Hal ini sebagaimana terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghabun: 16).

Demikian pula pada hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

ما نهيتكم عنه فاجتنبوه، وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم.

“Apa yang aku larang untukmu, maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan untukmu, maka kerjakanlah menurut kesanggupanmu” (Muttafaqun ‘Alaih).

Pada hadis di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyebutkan frasa mastatha’tum (menurut kesanggupanmu) ketika memerintahkan kita untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh syariat. Hal ini berbeda dengan ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk melakukan hal-hal yang diharamkan. Beliau tidak menyebutkan frasa mastatha’tum di sana. Ini karena menjauhi hal-hal yang diharamkan itu adalah dengan cukup diam dan tidak melakukan hal-hal tersebut. Berbeda dengan mengerjakan hal-hal yang diwajibkan, di mana pasti butuh usaha dan kemampuan untuk mengerjakannya.

Dari frasa mastatha’tum ini para ulama menjelaskan terdapat beberapa faedah yang bisa kita ambil.

Allah tidak akan memberikan beban di atas kemampuan

Pertama, bahwa Allah tidak akan membebani kita dengan sesuatu di atas kemampuan kita.

Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

لَا يُكَلِّفُ اللَّـهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).

Dan ini pada hakikatnya adalah rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan, maka ini adalah perbuatan kezaliman, dan tidak mungkin Allah berbuat zalim kepada para hamba-Nya. Itu mengapa misalnya dalam berdakwah kita hanya diperintahkan untuk menyampaikan ilmu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَإِن تُكَذِّبُوا فَقَدْ كَذَّبَ أُمَمٌ مِّن قَبْلِكُمْ ۖ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya” (QS. Al-Ankabut: 18).

Adapun apakah orang lain mau menerima dakwah kita atau tidak, maka itu sudah berada di luar kemampuan kita, karena yang bisa memberikan hidayah itu hanyalah Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qashas: 56).

Berusaha maksimal untuk mengerjakan apa yang diwajibkan Allah

Kedua, bahwa kita harus berusaha maksimal untuk mengerjakan apa yang Allah wajibkan kepada kita.

Dengan demikian, ketika Allah memerintahkan kita untuk menaati perintah-Nya semampu kita, bukan berarti kita menjadi menganggap enteng apa-apa yang Allah perintahkan tersebut. Justru sebaliknya, kita harus mengerjakannya semaksimal mungkin sesuai kemampuan terbaik kita. Karena Allah mengetahui apakah kita sudah berusaha maksimal dalam mengerjakan perintah-Nya atau masih setengah-setengah.

Dan itu mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, memotivasi kita untuk bersemangat dalam melakukan kebaikan dan apa yang diwajibkan kepada kita,

احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز.

“Bersemangatlah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan Allah, dan jangan lemah!” (HR. Muslim no. 2664).

Mengakui bahwa diri lemah

Ketiga, kita harus mengakui bahwa diri kita itu lemah.

Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يُرِيدُ اللَّـهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” (QS. An-Nisa’: 28).

Kita bukanlah seperti malaikat yang ketika diperintahkan oleh Allah untuk beribadah kepada Allah, maka mereka akan terus melakukannya tanpa pernah merasa bosan. Adapun manusia, maka ia adalah makhluk yang lemah, yang sering merasa bosan dalam beribadah kepada Allah walaupun kita tahu itu adalah maslahat untuk kita, dan sering merasa tergoda untuk melakukan kemaksiatan walaupun kita tahu itu adalah mudarat untuk kita.

Itu mengapa kita harus senantiasa meminta pertolongan kepada Allah dan ampunan dari-Nya, agar kita bisa menapaki jalan keselamatan dan bisa meraih kebahagiaan di dunia ataupun di akhirat.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: www.muslim.or.id

@almaaduuriy / andylatief.com

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/59912-bertakwalah-kepada-allah-menurut-kesanggupanmu.html