Nafas Terakhir

Allah Swt Berfirman :

كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۖ ثُمَّ إِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS.Al-Ankabut:57)

Allah Swt menciptakan alam semesta ini dan menentukan akhir dari segalanya. Seperti yang dapat kita saksikan dalam Firman-Nya :

كُلُّ مَنۡ عَلَيۡهَا فَانٖ

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS.Ar-Rahman:26)

Allah Swt juga telah menetapkan bahwa setiap manusia pasti akan melewati nafas terakhirnya yang tidak ada setelah itu kecuali kematian.

Didalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mengingatkan kita tentang kematian. Seakan kita di ajak untuk meletakkan kematian itu dihadapan mata kita selalu.

Seperti pesan Nabi Muhammad Saw :

أكثروا من ذكر هادم اللذات

“Perbanyaklah kalian mengingat sesuatu yang menghancurkan segala kenikmatan.”

Ya, kematian memang mengakhiri berbagai kelezat dan kenikmatan dunia. Memisahkan kekasih dengan kekasihnya. Meyatimkan anak-anak. Membuat para wanita menjadi janda. Kedatangannya tanpa izin da n tanpa pemberitahuan. Semoga Allah memberikan akhir yang baik dalam hidup kita.

Dan berikut ini adalah ayat-ayat yang mengingatkan kita tentang kematian yang sangat dekat.

(1).

أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِي بُرُوجٖ مُّشَيَّدَةٖۗ

“Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh.” (QS.An-Nisa’:78)

(2).

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٞۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ

“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS.Al-A’raf:34)

(3).

وَجَآءَتۡ سَكۡرَةُ ٱلۡمَوۡتِ بِٱلۡحَقِّۖ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنۡهُ تَحِيدُ

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari.” (QS.Qaf:19)

(4).

كَلَّآ إِذَا بَلَغَتِ ٱلتَّرَاقِيَ – وَقِيلَ مَنۡۜ رَاقٖ –
وَظَنَّ أَنَّهُ ٱلۡفِرَاقُ – وَٱلۡتَفَّتِ ٱلسَّاقُ بِٱلسَّاقِ – إِلَىٰ رَبِّكَ يَوۡمَئِذٍ ٱلۡمَسَاقُ

Tidak! Apabila (nyawa) telah sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), “Siapa yang dapat menyembuhkan?”

Dan dia yakin bahwa itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. (QS.Al-Qiyamah:26-30)

(5)

فَلَوۡلَآ إِذَا بَلَغَتِ ٱلۡحُلۡقُومَ – وَأَنتُمۡ حِينَئِذٖ تَنظُرُونَ – وَنَحۡنُ أَقۡرَبُ إِلَيۡهِ مِنكُمۡ وَلَٰكِن لَّا تُبۡصِرُونَ

Maka kalau begitu mengapa (tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai di kerongkongan, dan kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.” (QS.Al-Waqi’ah:83-85)

Maka kini saatnya kita merenungi ayat-ayat di atas dengan penuh kesadaran, bahwa kematian sangat dekat dan kita harus segera bersiap. Ambil bekal sebanyak mungkin karena disana tak ada waktu lagi untuk beramal.

Jangan sampai ketika kematian itu tiba, kita hanya bisa menyesal dan memohon untuk diberi kesempatan kembali ke dunia.

حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ رَبِّ ٱرۡجِعُونِ – لَعَلِّيٓ أَعۡمَلُ صَٰلِحٗا فِيمَا تَرَكۡتُۚ كَلَّآۚ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak! (QS.Al-Mu’minun:99-100)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Musibah Ini Apakah Ujian atau Azab?

Pertanyaan ini sering ditanyakan oleh sebagian kaum muslimin ketika tertimpa musibah. Mereka menanyakan, “Apakah musibah ini ujian yang dapat meningkatkan derajat, ataukah azab atas dosa-dosa selama ini?”

Jawabannya adalah, secara umum kita tidak bisa memastikan dengan benar-benar pasti bahwa apa yang Allah Ta’ala turunkan ini merupakan ujian yang meningkatkan derajat atau azab akibat dosa-dosa kita. Akan tetapi, kita bisa mengetahui dari indikasi-indikasi tertentu, yaitu bagaimana seorang hamba menghadapi musibah tersebut.

Tanda-tanda musibah ujian atau azab

Perhatikanlah hadis berikut, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ،

فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah Ta’ala mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang rida, maka Allah akan meridainya. Dan barangsiapa yang murka (tidak menerimanya), maka Allah murka kepadanya” (HR. At-Tirmidzi).

Jadi indikasinya adalah bagaimanakah sikap hamba tersebut dalam menyikapi musibah yang dia hadapi. Apabila dia rida, maka Allah Ta’ala akan rida padanya. Apabila dia murka dan tidak terima dengan musibah yang merupakan takdir dan perbuatan Allah, maka Allah pun murka kepadanya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah berkata,

علامة الابتلاء على وجه العقوبة والمقابلة: عدم الصبر عند وجود البلاء، والجزع والشكوى إلى الخلق. وعلامة الابتلاء تكفيرا وتمحيصا للخطيئات: وجود الصبر الجميل من غير شكوى، ولا جزع ولا ضجر، ولا ثقل في أداء الأوامر والطاعات. وعلامة الابتلاء لارتفاع الدرجات: وجود الرضا والموافقة، وطمأنينة النفس، والسكون للأقدار حتى تنكشف

“Tanda bala (musibah) sebagai hukuman dan sebagai pembalasan adalah orang tersebut tidak bersabar, bahkan bersedih dan mengeluh kepada makhluk. Tanda bala (musibah) sebagai penebus dan penghapus kesalahan adalah kesabaran yang indah tanpa mengeluh, tidak bersedih dan tidak gelisah, serta tidak merasa berat ketika melaksanakan perintah dan ketaatan. Tanda bala  (musibah) sebagai pengangkat derajat adalah adanya rida, merasa cocok/sesuai (atas takdir Allah), dan merasa tenang jiwanya serta tunduk patuh terhadap takdir hingga hilangnya musibah tersebut” (At Tabaqatul Kubra As-Sya’rani, hal. 193).

Selalu husnuzan kepada Allah dan mengambil pelajaran atas setiap musibah

Hendaknya kita husnuzan dengan Allah Ta’ala agar kita selalu rida dengan apa yang Allah takdirkan kepada kita. Apa yang Allah takdirkan, itulah yang terbaik bagi kita.

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ

 “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku” (HR. Bukhari).

Salah satu cara agar kita selalu husnuzan kepada Allah bahwa musibah ini adalah takdir terbaik bagi kita yaitu dengan meyakini bahwa Allah akan memberikan ujian bagi hamba yang Allah cintai.

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang rida (menerimanya), maka Allah akan meridainya. Dan barangsiapa yang murka (tidak menerimanya), maka Allah murka kepadanya” (HR. At-Tirmidzi).

Ujian yang disegerakan di dunia juga tanda kebaikan dari Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukuman di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang dia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak” (HR. Tirmidzi).

Renungkan pula perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berikut ini,

مصيبةٌ تُقبل بها على اللهِ، خيرٌ لكَ من نعمةٍ تُنسيك ذِكرَ الله

“Musibah yang mendekatkanmu kepada Allah lebih baik dari nikmat yang membuatmu lupa kepada Allah” (Tasliyah Ahlil Mashaa-ib, hal. 227).

Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIMorid

Menimbang Harga Sekeping Dunia

Dunia itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan akhirat.

Pada satu hari, Utsman bin Affan bercerita, ”Suatu saat di siang hari, aku melihat Zaid bin Tsabit keluar dari istana Marwan. Dalam hati, saya bertanya-tanya, ada apakah ia gerangan pada saat seperti ini? Aku yakin, pasti ada sesuatu yang penting ia bawa.” Utsman lalu mendekati Zaid dan langsung bertanya, ”Ada apa gerangan wahai Zaid?”

Zaid menjawab, ”Aku membawa sesuatu yang aku dengar langsung dari Rasulullah SAW.” Utsman bertanya lagi, ”Apa yang Rasulullah sabdakan kepadamu?” Zaid menjawab, ”Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ

“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan (tidak pernah merasa cukup) selalu ada di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat sebagai niat (tujuan utama-)nya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan (selalu merasa cukup) ada dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah, hina (tidak bernilai di hadapannya), meskipun ia enggan untuk menerimanya’.” (HR Ibnu Majah dari Usman bin Affan).

Sementara itu, Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Wahai anak cucu Adam, kalian mencurahkan segala ibadah hanya karena ingin ridla-Ku, pasti akan Aku penuhi hatimu dengan kekayaan. Aku juga akan tutup kefakiranmu. Jika tidak demikian, Aku akan penuhi hatimu dengan segala kesibukan. Aku juga tidak akan menutupi kafakiranmu.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Apa yang disabdakan Rasulullah dan difirmankan Allah di atas memberikan gambaran hikmah. Pertama, dunia itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan akhirat.

‘‘Katakanlah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu nilainya kecil. Nilai akhirat jauh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (An Nisa: 77).

Rasulullah juga bersabda dari Al-Mustaurid bin Syaddad r.a., Rasulullah bersabda,

وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟

“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim no 2868).

Dalam riwayat Ahmad, ada tambahan وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ, Lalu beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya”.

Oleh: Dosen STIT Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan Jatim Bahrus Surur-Iyunk

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Bekerja dalam Islam

Ada keutamaan bekerja dalam Islam. Dalam salah satu ayat Al-Quran, Allah Swt. berfirman bahwa Dia telah menakdirkan dengan menjadikan waktu siang sebagai waktu untuk mencari penghidupan dan waktu malam sebagai waktu istirahat. Rangkaian pola dasar kehidupan manusia ini disebutkan di dalam surah An-Naba’: 9-11,

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا – 11

wa ja’alnaa nawmakum subaataa (9) wa ja’alnaa al-layla libaasaa (10) wa ja’alnaa-n-nahaara ma’aasyaa’ (11)

Dan Kami telah menjadi waktu tidur kalian sebagai (saat) istirahat) (9) (Dan Kami jadikan) waktu malam sebagai pakaian (yang menyelimuti saat istirahat) (10) Dan kami jadikan waktu siang sebagai saat (mencari) kehidupan (11). 

Ayat ini adalah diantara dalil yang tegas menggambarkan siklus kehidupan manusia, salah satunya adalah bekerja untuk mencari rizki dalam menjalani kehidupan. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, kitab yang menjabarkan secara luas apa saja ajaran-ajaran dikenal sebagai tasawuf di dalam Islam, mengkhususkan satu bab tentang keutamaan bekerja dan mencari penghidupan. Ia mengumpulkan sekian riwayat dari hadis Nabi Saw. dan ucapan-ucapan ulama salaf dan orang shalih terdahulu tentang keutamaan bekerja dalam Islam.

Diantara hadis yang dikutip misalnya hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, tentang keutamaan pedagang yang jujur,

pedagang yang jujur akan dikumpulkan di hari kiamat bersama para shiddiqin (orang yang senantiasa berbuat baik) dan para syuhada’.

Ada juga riwayat yang disebutkan oleh Imam at-Thabrani, tentang kisah Nabi Muhammad Saw. yang meluruskan para sahabatnya yang mempertanyakan kenapa ada seseorang yang masih muda namun sudah bergegas bekerja di pagi hari,

كان صلى الله عليه وسلم جالسا مع أصحابه ذات يوم. فنظروا إلى شاب ذي جلد وقوة وقد بكر يسعى. فقالوا: “ويح هذا! لو كان شبابه وجلده في سبيل الله! فقال صلى الله عليه وسلّم: “لا تقولوا هذا فإنه إن كان يسعى على نفسه ليكفها عن المسألة ويغنيها عن الناس فهو في سبيل الله. وإن كان يسعى على أبوين ضعيفين أو ذرية ضعاف ليغنيهم ويكفيهم فهو في سبيل الله. وإن كان يسعى تفاخرا وتكاثرا فهو في سبيل الشيطان

“Satu ketika Nabi Saw. duduk bersama para sahabatnya. Mereka lalu melihat seorang pemuda, kulitnya nampak keras dan terlihat kuat, dan ia sudah berpagi-pagi pergi bekerja. Para sahabat membicarakannya, “sayang sekali pemuda ini! andaikan masa muda dan kekuatannya digunakan di jalan Allah!” Nabi Saw. lalu bersabda: “kalian jangan berkata demikian! Jika seseorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk kedua orangtua atau keturunannya yang lemah untuk kecukupan mereka, ia juga berada di jalan Allah. Dan jika ia bekerja untuk menyombongkan diri atau menumpuk-numpuk harta, maka ia sedang berada di jalan setan!” 

Luqman al-Hakim, seorang bijak yang namanya diabadikan dalam Al-Quran sebagai nama salah satu surah, disebut pernah berwasiat pada anaknya,

يا بني ! استغن بالكسب الحلال عن الفقر. فإنه ما افتقر أحد إلا أصابه ثلاث خصال: رقة في دينه، وضعف في عقله، وذهاب مروءته. وأعظم من هذه الثلاث: استخفاف الناس به

wahai Anakku! cukupilah diri agar tidak fakir dengan pekerjaan yang halal. Maka sesungguhnya fakirnya seseorang menjadikan ia (berpotensi) mengalami tiga persoalan: 1) keyakinan yang rapuh; 2) akal yang lemah; 3) hilangnya harga diri. Dan yang paling parah dari tiga hal tersebut adalah: diremehkan orang-orang. 

BINCANG SYARIAH

Ini Doa Agar Selamat dari Fitnah yang Diajarkan Nabi

Ketika banyak terjadi fitnah di tengah masyarakat, agar kita selamat dari fitnah tersebut, maka kita hendaknya memperbanyak membaca doa agar selamat dari fitnah yang diajarkan oleh Nabi Saw berikut;

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الطَّيِّبَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَأَنْ تَتُوبَ عَلَيَّ وَتَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي وَإِذَا أَرَدْتَ فِي خَلْقِكَ فِتْنَةً فَنَجِّنِي إِلَيْكَ مِنْهَا غَيْرَ مَفْتُونٍ اللَّهُمَّ وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ

Allohumma innii as-alukath thoyyibaati wa tarkal munkarooti wa hubbal masaakiini wa an tatuuba ‘alayya wa taghfirolii wa tarhamanii wa idzaa arodta fii kholqika fitnatan fanajjinii ilaika minhaa ghoiro maftuunin. Allohumma wa as-aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka wa hubba ‘amalin yuqorribunii ilaa hubbika.

Ya Allah, sesungguhnya saya meminta kepada-Mu kebaikan-kebaikan, meninggalkan kemungkaran, mencintai orang miskin, Engkau menerima taubatku dan mengampuniku serta merahmatiku, dan jika Engkau menghendaki fitnah pada manusia,  maka selamatkan aku darinya dalam keadaan tidak terkena fitnah. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan diriku kepada cinta-Mu.

Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Hakim dari Mu’adz bin Jabal, dia berkata;

أَبْطَأَ عَنَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَلَاةِ الْفَجْرِ حَتَّى كَادَتْ أَنْ تُدْرِكَنَا الشَّمْسُ ، ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى بِنَا فَخَفَّفَ فِي صَلَاتِهِ ، ثُمَّ انْصَرَفَ ، فَأَقْبَلْ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : عَلَى مَكَانِكُمْ أُخْبِرُكُمْ مَا أَبْطَأَنِي عَنْكُمُ الْيَوْمَ فِي هَذِهِ الصَّلَاةِ ، إِنِّي صَلَّيْتُ فِي لَيْلَتِي هَذِهِ مَا شَاءَ اللَّهُ ، ثُمَّ مَلَكَتْنِي عَيْنِي ، فَنِمْتُ فَرَأَيْتُ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَأَلْهَمَنِي أَنْ قُلْتُ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الطَّيِّبَاتِ ، وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ ، وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ ، وَأَنْ تَتُوبَ عَلَيَّ ، وَتَغْفِرَ لِي ، وَتَرْحَمَنِي ، وَإِذَا أَرَدْتَ فِي خَلْقِكَ فِتْنَةً فَنَجِّنِي إِلَيْكَ مِنْهَا غَيْرَ مَفْتُونٍ ، اللَّهُمَّ وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : تُعَلَّمُوهُنَّ وَادْرُسُوهُنَّ فَإِنَّهُنَّ حَقٌّ

Rasulullah Saw pernah datang terlambat dari kami untuk shalat fajar hingga hampir matahari terbit. Lalu beliau keluar dan shalat bersama kami dengan meringankan shalatnya. Kemudian beliau berbalik dan menghadap kepada kami sambil berkata; Tetaplah kalian di tempat kalin, aku akan memberitahu kalian mengapa aku terlambat hari ini untuk melaksanakan shalat.

Aku melaksanakan shalat malam ini sebanyak yang dikehandaki Allah, lalu aku mengantuk dan tidur, tiba-tiba aku bermimpi bertemu Allah dan Dia memberikan ilham agar aku membaca; Allohumma innii as-alukath thoyyibaati wa tarkal munkarooti wa hubbal masaakiini wa an tatuuba ‘alayya wa taghfirolii wa tarhamanii wa idzaa arodta fii kholqika fitnatan fanajjinii ilaika minhaa ghoiro maftuunin. Allohumma wa as-aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka wa hubba ‘amalin yuqorribunii ilaa hubbika. Kemudian beliau menatap kami dan berkata; ajarkanlah kalimat itu dan pelajarilah, sungguh kalimat itu benar.

BINCANG SYARIAH

Tanda-Tanda Kebahagiaan yang Sejati

Apabila kita ditanya, “apa tujuan kita hidup di dunia atau apa sih yang kita cari di dunia ini?”  Tentu hampir semua jawabannya adalah sama, yaitu mencari kebahagiaan. Hanya saja, kebahagiaan itu berbeda-beda tergantung dari persepsi setiap orang. Ada yang bahagia ketika bermaksiat, ada yang berbahagia ketika melakukan hobi yang tidak bermanfaat, dan ada yang bahagia ketika melakukan hal-hal aneh yang merugikan masyarakat. Ini semua adalah kebahagiaan yang semu dan hanya sementara saja. Kebahagiaan yang tidak menenangkan hati dan menentramkan jiwa kita. Bahkan ada kebahagiaan yang menipu, yaitu menipu manusia, karena dia menyangka itu adalah kebahagiaan. Padahal hakikatnya, itu adalah kesengsaraan, semisalnya pecandu narkoba.

Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir, kita dibimbing oleh syariat agar bahagia dunia dan akhirat dengan kebahagiaan yang sejati. Bukan kebahagiaan yang semu, bahkan kebahagiaan yang menipu.

Kebahagiaan secara umum

Secara umum, kebahagiaan itu terdapat pada tiga perkara. Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah menjelaskan tanda tersebut, yaitu:

إذا أعطى شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذ أذنب استغفر، فإن هؤلاء الثلاث عنوان السعادة

1. jika diberi kenikmatan, dia bersyukur,

2. jika diuji dengan ditimpa musibah, dia bersabar,

3. dan jika melakukan dosa, dia beristighfar (bertaubat),

maka tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan” (Matan Al-Qawa’idul Arba’).

Perincian apa itu kebahagiaan

Sebagian ulama menjelaskan lebih rinci, apa itu kebahagiaan dan tanda-tandanya. Imam As-Syathiby rahimahullah menjelaskan,

من علامات السعادة على العبد : تيسير الطاعة عليه، وموافقة السنة في أفعاله، وصحبته لأهل الصلاح، وحسن أخلاقه مع الإخوان، وبذل معروفه للخلق، واهتمامه للمسلمين ، ومراعاته لأوقاته

“Di antara tanda-tanda kebahagiaan seorang hamba adalah:

1. dimudahkan ketaatan baginya,

2. perbuatan-perbuatannya (amalnya) sesuai dengan sunnah,

3. berteman dengan orang-orang saleh,

4. baiknya akhlak kepada sesama manusia,

5. menyebarkan kebaikan pada semua makhluk,

6. memberikan perhatian kepada kaum muslimin, dan

7. pandai menjaga waktu” (Al-I’tishom, 2 : 152).

Hal yang paling penting dan perlu diketahui bahwa kebahagiaan itu terutama terletak di hati, bukan pada harta, jabatan dan kedudukan. Hal ini sederhana, tetapi banyak dilupakan dan dilalaikan oleh mansuia. Mereka tertipu dengan dunia dan gemerlap dunia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya (ghina’), bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup” (HR. Bukhari dan Muslim).

Salah satu tanda kebahagiaan sejati yang juga sering dilupakan manusia adalah bahagia dengan membahagiakan orang lain atau senang karena membuat senang orang lain. Sebagaimana ungkapan bahasa Arab,

سؤال: من أسعد الناس
الجواب: من أسعد الناس

Pertanyaan, ‘Siapakan manusia yang paling berbahagia?’
Jawaban, ‘Mereka yang membuat manusia bahagia (membahagiakan orang lain).’”

Hal ini selaras dengan hadis Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam, bahwa salah satu amalan yang paling besar pahalanya di sisi Allah adalah memasukkan kebahagiaan di hati seorang muslim.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أفضل الأعمال أن تدخل على أخيك المؤمن سرورا

“Sebaik-baik amal saleh adalah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman” (HR. Ibnu Abi Dunya, Jami’ush Shaghir no. 1096).

Semoga kita selalu bahagia dunia-akhirat dengan taufik dari Allah Ta’ala dan amal saleh. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 97).

Demikian pembahasan kami, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIM.or.id

Mauidhoh dalam Al-Qur’an

Allah Swt menurunkan Al-Qur’an kedalam hati Baginda Nabi Saw dan menyematkan bermacam sifat mulia kepada kitab suci ini.

Salah satu sifat yang diberikan oleh Allah kepada Al-Qur’an adalah sebagai Mauidhoh (pelajaran).

Allah Swt berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ

“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” (QS.Yunus:57)

Allah Swt menciptakan manusia dan membimbing mereka menuju jalan kebenaran dan kebaikan. Para Nabi pun diutus untuk mengingatkan dan memberi petunjuk kepada sebaik-baik jalan. Al-Qur’an juga memiliki tugas sebagai kitab petunjuk dan pelajaran yang akan menyelamatkan manusia dari jurang kebodohan dan kesesatan.

ذَٰلِكُمۡ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ

“Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. (QS.Ath-Thalaq:2)

Siapa yang berbuat baik, maka kebaikannya untuk dirinya sendiri. Dan siapa yang berbuat buruk, maka keburukan itu pasti akan kembali kepada dirinya pula. Karena Allah telah menjanjikam beragam kemuliaan di dunia dan akhirat bagi orang-orang Sholeh dan adzab serta kerugian bagi orang-orang durjana.

Umat ini juga mendapat gelar umat terbaik ketika mereka saling mengingatkan dan saling menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Maka setiap manusia hendaknya menyadari perannya dalam kehidupan ini. Dan hendaknya ia memiliki alarm dalam jiwanya untuk menegur dirinya sendiri ketika berbuat kesalahan.

Karena sebenarnya alarm itu telah tertanam dalam diri kita, namun seringkali kita sendiri yang mengabaikannya. Maka dengarkan jiwamu yang selalu menegur ketika kau berbuat salah. Karena ketika engkau mendengarkan teguran dari hatimu, maka itu akan menambah dan menguatkan imanmu.

وَلَوۡ أَنَّهُمۡ فَعَلُواْ مَا يُوعَظُونَ بِهِۦ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ وَأَشَدَّ تَثۡبِيتٗا

“Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” (QS.An-Nisa’:66)

Semoga bermanfaat…

KHAZANA ALQURAN

Tafsir Surah al-Sajdah Ayat 26-27; Sebab Kehancuran Umat-Umat Terdahulu

Tidak henti-hentinya Allah Swt. memberikan nasihat dan pelajaran kepada makhluk-Nya. Berbagai hal yang disampaikan-Nya mengandung banyak hikmah dan petuah. Allah Swt. berfirman mengenai kehancuran umat-umat terdahulu:

أَوَلَمْ يَهْدِ لَهُمْ كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْقُرُونِ يَمْشُونَ فِي مَسَاكِنِهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ أَفَلَا يَسْمَعُونَ . أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَسُوقُ الْمَاءَ إِلَى الْأَرْضِ الْجُرُزِ فَنُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا تَأْكُلُ مِنْهُ أَنْعَامُهُمْ وَأَنْفُسُهُمْ أَفَلَا يُبْصِرُونَ

A wa lam yahdi lahum kam ahlaknā ming qablihim minal-qurụni yamsyụna fī masākinihim, inna fī żālika la`āyāt, a fa lā yasma’ụn. A wa lam yarau annā nasụqul-mā`a ilal-arḍil-juruzi fa nukhriju bihī zar’an ta`kulu min-hu an’āmuhum wa anfusuhum, a fa lā yubṣirụn (Baca: Tafsir Surah al-Sajdah Ayat 25; Allah Akan Memutuskan Perselisihan Hamba-Nya)

Artinya: “Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Tuhan). Maka apakah mereka tidak mendengarkan (memperhatikan)?. Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami mengahalau (awan yang mendung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman-tanaman yang daripadanya (dapat) makan binatang-binatang mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?” (Q.S.al-Sajdah: 26-27)

Imam al-Thabari dalam karyanya Tafsir al-Thabari mengartikan tidak menjadi petunjuk dengan makna tidak dijelaskan. Sebagaimana al-Thabari, Ibnu ‘Asyur dalam karyanya al-Tharir wa al-Tanwir memberikan arti yang hampir senada, yaitu tidak menjadi nasihat.

Kata mereka dalam kalimat bagi mereka diarahkan untuk para pendosa atau orang-orang yang telah disebutkan ayat-ayat Tuhan kepadanya, hal ini disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur. Pemahaman hampir senada disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam karyanya Tafsir Ibnu Kasir bahwa maksud mereka ialah para pendusta terhadap utusan-Nya.

Kata berjalan ditunjukan untuk mereka orang-orang mendustai para utusan, namun Imam al-Qurthubi dalam karyanya Tafsir al-Qurthubi memberikan dua arahan makna pada kata tersebut sebagai berikut:

” يَمْشُونَ فِي مَساكِنِهِمْ” يحتمل الضمير في” يَمْشُونَ” أن يعود على الماشين في مساكن المهلكين—إلى أن قال — ويحتمل أن يعود على المهلكين فيكون حالا، والمعنى: أهلكناهم ماشين في مساكنهم.

Berjalan di tempat-tempat kediaman mereka”, pelaku yang berjalan pada kalimat tersebut ialah mereka yang berjalan (melewati) pada kediaman kaum yang telah dibinasakan. Dapat juga diarahkan (pelaku) ialah para kaum yang telah dibinasakan. Artinya, Kami telah membinasakan mereka (para kaum) yang berjalan di tempat kediaman mereka”.

Imam al-Suyuti dalam karyanya al-Dur al-Mnatsur fi al-Tafsiri bi al-Ma’tsur menampilkan beberapa riwayat para ulama dalam mengartikan bumi yang tandus pada ayat di atas sebagai berikut: Pertama, Ibnu Abas mengartikanya tanah yang jarang sekali terkena hujan dan untuk kebutuhan tanah tersebut harus menadatangkan aliran air dari tempat lain. Kedua, dalam riwayat lain Ibnu Abas mengartikanya sebagai tanah Yaman. Ketiga, al-Mujahid memahaminya sebagai tanah yang diam (tidak dapat menumbuhkan sesuatu). Keempat, tanah tersebut adalah daerah antara Yaman dan Syam. Lain halnya dengan mereka, Ibnu Katsir memahaminya dengan tanah yang tidak terdapat tumbuhan sebagaimana firman-Nya “Menjadi tanah rata lagi tandus” (Q.S.al-Kahfi: 8), artinya tanah yang kering tidak dapat menumbuhkan apapun.

Allah Swt. memberikan sebuah pelajaran, petuah serta nasihat kepada orang-orang kafir tanah Makkah dengan adanya kaum-kaum terdahulu seperti kaum ‘Ad dan Luth yang telah mendustakan para utusan-Nya serta berpaling dari para rasul. Mereka (kaum ‘Ad dan Luth) semua telah dibinasakan oleh-Nya sebab kekufurannya, sedangkan orang-orang kafir tanah Makkah telah berjelajah, berdagang dan lain sebagaianya melewati tempat-tempat petilasan kaum-kaum terdahulu yang telah hancur tak menyisahkan apapun. Binasa dan hilangnya kaum-kaum terdahulu beserta rumah dan harta mereka, merupakan petuah untuk orang-orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya. Imam al-Thabari dalam karyanya Tafsir al-Thabari menyampaikan:

سنتنا فيمن سلك سبيلهم من الكفر بآياتنا، فيتعظوا وينزجروا

“Sebagai sunah Kami, barang siapa mengikuti jejak mereka mengkufuri ayat-ayat Kami, maka ambilah nasihat (dari kisah mereka) dan berhenti (dari kekufuranya)”.

BINCANG SYARIAH

10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga

Nabi Saw memiliki banyak sahabat yang membantunya dalam berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Di antara banyak sahabat tersebut, terdapat sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga dan oleh para ulama disebut dengan al-‘asyrah al-mubasysyarina bil jannah, atau sepuluh orang yang diberi kegembiraan dengan surga.

Sepuluh sahabat dimaksud adalah: Sayyidina Abu Bakar Al-Shiddiq, Sayyidina Umar bin Khaththab Al-Faruq, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Al-Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid bin Amru, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abdurrahman bin Auf, dia berkata

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ

Rasulullah Saw bersabda; Abu Bakar di surga, Umar di surga, Usman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad di surga, Sa’id di surga, Abu Ubaidah bin Jarrah di surga.

Juga berdasarkan hadis riwayat Imam Abu Dawud dari Sa’id bin Zaid, dia berkata;

أشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي سَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ: عَشْرَةٌ فِي الْجَنَّةِ: النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ شِئْتُ لَسَمَّيْتُ الْعَاشِرَ قَالَ: فَقَالُوا: مَنْ هُوَ؟ فَسَكَتَ قَالَ: فَقَالُوا: مَنْ هُوَ؟ فَقَالَ: هُوَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ.

Saya bersaksi mendengar Rasulullah Saw pernah bersabda; Sepuluh orang pasti masuk surga: Nabi di surga, Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman surga, Ali di surga, Thalhah surga, Zubair bin Al-Awwam di surga, Sa’ad bin Malik di surga, dan Abdurrahman bin Auf di surga. Jika aku mau, aku sampaikan yang kesepuluh. Mereka berkata; Siapakah dia? Beliau diam. Mereka bertanya lagi; Siapakah dia? Beliau menjawab; Dia adalah Sa’id bin Zaid.

BINCANG SYARIAH

Pentingnya Shalat

Shalat adalah rukun Islam yang paling utama setelah dua kalimat syahadat.  Shalat ini mencakup berbagai macam ibadah, seperti : dzikir kepada Allah, tilawah Kitabullah, berdiri menghadap Allah, rukuk, sujud, do’a, tasbih dan takbir.

Terdapat sejumlah hadits berkenaan dengan keutamaan dan hukumnya yang fardhu ‘ain. Dalam agama Islam, hukum wajibnya shalat lima waktu ini merupakan perkara yang telah diketahui secara luas, baik di kalangan ulama maupun di kalangan awam kaum muslimin (ma’luumun minad Diin bidh-dharuurah).  Barangsiapa yang mengingkarinya, ia telah murtad dari agama Islam. la dituntut untuk bertaubat. Jika tidak bertaubat, ia dihukum mati menurut ijma’ kaum muslimin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nisa : 103).

Terdapat sebagian fenomena yang patut disayangkan, yaitu adanya sebagian orang, ketika dalam proses pengobatan di rumah sakit dengan berbaring di atas tempat tidur dan tidak bisa turun darinya, atau tidak bisa mengganti pakaian yang terkena najis, atau dia tidak bisa menemukan tanah yang bisa dipakai untuk bertayamum, atau tidak bisa menemukan orang yang dapat menolongnya, maka ia mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya dan berkata,”Aku akan laksanakan shalat ini nanti, jika uzur telah tiada.”

Ini adalah kesalahan yang sangat besar, ia telah meninggalkan shalat karena ketidaktahuannya dan sikapnya yang tidak bertanya kepada orang yang mengetahui ilmunya.

Seharusnya orang yang keadaannya seperti itu, ia tetap melakukan shalat sesuai dengan keadaannya. Cukup baginya shalat dalam keadaan seperti itu, sekalipun ia harus melaksanakan shalat tanpa tayamum atau terpaksa harus mengenakan pakaian najis.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka,bertawakalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’’ [At-Taghabun: 16].

Bahkan, sekalipun shalat dengan tidak menghadap kiblat karena tidak mampu melakukannya, maka shalatnya tetap sah.

Ketahuilah, barangsiapa yang meninggalkan shalat karena menyepelekan atau malas, dan bukan  karena mengingkari kewajibannya, ia telah kafir menurut pendapat yang benar dari dua pendapat ulama. Pendapat itu adalah pendapat yang tepat karena adanya dalil-dalil, seperti hadits (artinya):

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

“Pemisah antara kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat’’.  [HR. Muslim]

Orang yang meninggalkan shalat selayaknya disebarluaskan berita tentang perbuatannya tersebut, agar kejelekannya diketahui masyarakat hingga dia jera dan melaksanakan shalat. Tidak patut kita mengucapkan salam kepadanya, tidak pula  memenuhi undanganya hingga ia bertaubat dan mendirikan shalat, karena shalat adalah tiang agama dan pembeda antara orang muslim dengan orang kafir. Sekalipun seorang hamba melakukan berbagai amalan, semua itu tidak akan bermanfaat baginya, selama ia masih meninggalkan shalat, begitulah secara ringkas penjelasan dari Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah.

Catatan:

Semua sikap itu tentunya diterapkan dengan tetap mempertimbangkan maslahat dan mudharat/bahaya yang ditimbulkannya di sebuah masyarakat, sehingga ketika diperkirakan dengan kuat bahwa akibat dari sikap tersebut justru menimbulkan bahaya dan kerusakan yang jauh lebih besar dari maslahatnya, seperti orang yang meninggalkan shalat tersebut tetap terus meninggalkan shalatnya, bahkan ditambah lagi dengan lari dari dakwah Islam serta menyulut api permusuhan, maka tuntutannya ketika itu adalah menggunakan pendekatan hikmah selain sikap itu, agar lunak hatinya sehingga ia dapat menerima kebenaran.

***

Referensi:

Ringkasan Fikih legkap jilid 1 dan 2, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan,Bekasi,2013,PT Darul Falah, dengan sedikit perubahan dan penambahan.

Penyusun: Dwi Rusiani

Murajaah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslimah.Or.Id