Mahar Rasulullah Saat Menikahi Juwairiyah

Juwairiyah adalah salah satu istri Rasulullah Saw yang mulia. Juwairiyah adalah pemuka dan tokoh kaum Bani Musthaliq. Nama aslinya adalah Burrah binti Al-Harits bin Abu Dhirar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuza’ah.

Berdasarkan beberapa riwayat, Rasulullah menikahi Juwairiyah setelah perang Muraisi’, yaitu peperangan antaran kaum muslimin dengan Bani Musthaliq yang terjadi pada tahun kelima hijriyah. Dia akhirnya menjadi tawanan perang dan meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya dan para tawanan perang lainnya. Rasulullah menyanggupi permintaan Juwairiyah dengan syarat bersedia menikah dengan beliau.

Disebutkan bahwa Juwairiyah saat menikah dengan Rasulullah berusia dua puluh tahun. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Siyar A’lam Al-Nubala’ berikut;

وعن جويرية ، قالت : تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وأنا بنت عشرين سنة

Dari Juwairiyah, dia berkata; Rasulullah menikahiku saat aku berusia dua puluh tahun.

Adapun mahar Rasulullah saat menikahi Juwairiyah adalah melepaskan dan memerdekakan semua tawanan dan budak dari Bani Musthaliq. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Siyar A’lam Al-Nubala’ berikut;

وعَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: أَعْتَقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُوَيْرِيَةَ، وَاسْتَنْكَحَهَا، وَجَعَلَ صَدَاقَهَا عِتْقَ كُلِّ مَمْلُوْكٍ مِنْ بَنِي المُصْطَلِقِ

Dari Imam Al-Sya’bi, dia berkata; Rasulullah memerdekakan Juwairiyah dan kemudian menikahinya, dan maharnya adalah memerdekakan semua budak dari kalangan Bani Musthaliq.

Dalam kitab Jami’ul Atsar fi Mawlid Al-Nabiyyil Mukhtar, juga disebutkan sebagai berikut;

وخرج الحاكم في المستدرك من حديث سفيان بن عيينة عن ابن نجيح، عن مجاهد قال: قالت جويرية يا رسول الله: إنّ نساءك يفخرن على ويقلن: لم يتزوّجك رسول الله انما انت ملك يمين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألم أعظم صداقك؟ ألم أعتق أربعين من قومك؟

Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak mengeluarkan hadis dari Sufyan bin ‘Uyainah dari Ibn Najih dari Mujahid, dia berkata bahwa Juwairiyah berkata; Wahai Rasulullah, para istrimu berbangga-bangga padaku sambil dan mereka berkata ‘Rasulullah tidak menikahimu, kamu hanya budak’. Maka Rasulullah berkata; Tidakkah aku sudah memberikan mahar yang besar kepadamu? Tidakkah aku sudah memerdekakan empat puluh orang dari kaummu?

BINCANG SYARIAH

Zakat Profesi Dipotong Setiap Bulan Adalah Tidak Tepat

Zakat profesi yang dipotong setiap bulan dari gaji adalah penerapan qiyas yang tidak tepat dan tidak konsisten. Nisab dan haulnya mengikuti zakat tanaman, akan tetapi kadar zakatnya mengikuti zakat emas & perak (zakat mal). Perhatikan poin-poin berikut.

Alasan qiyas yang dilakukan tidak tepat

Pertama, Mereka melakukan qiyas terhadap zakat profesi dipotong tiap bulan karena di-qiyas-kan dengan zakat tanaman dan buah-buahan yang dipanen, demikian juga gaji yang didapat (dipanen) setiap bulan, padahal penghasilan profesi itu berupa uang, haulnya mengikuti zakat mal yaitu setahun dan dikeluarkan tiap setahun sekali.

Kedua, Mereka melakukan qiyas terhadap kadar zakat profesi dengan zakat mal (emas & perak) yaitu 2,5%, harusnya konsisten apabila ikut aturan besar kadar zakat tanaman,  maka kadarnya adalah 10% apabila dilakukan pengairan alami (semisal hujan dan sungai) dan 5% apabila dilakukan pengairan dengan usaha (pakai alat tertentu untuk mengairi).

Ketiga, mereka melakukan qiyas terhadap nisabnya ke zakat tanaman yaitu 5 wasaq atau 652,8 kg gabah (520 kg beras). Apabila harga beras Rp 4.000 per kilogram, maka nisab zakat profesi adalah Rp 2.080.000., Jadi menurut mereka, semua orang yang punya pengasilan lebih dari Rp. 2.080.000 tiap bulan, harus dipotong untuk zakat profesi. Padahal zakat mal (uang) itu nisabnya adalah emas dan perak kalau kita ambil perak (yang paling murah), maka nisabnya adalah 200 dirham atau 5 uqiyah, jika 1 dirham Rp. 129.000, maka nisabnya adalah Rp. 25.800.000, jadi HARUSNYA yang memiliki gaji di atas 25 juta saja yang dipotong. Tentu prakteknya TIDAK KONSISTEN.

Keempat, zakat profesi yang benar adalah zakat profesi yang konsisten menggunakan panduan zakat mal yaitu keluarkan setiap tahun (bukan setiap bulan), nisabnya adalah emas & perak dan kadarnya adalah 2,5%.

Praktek di zaman Abu Bakr

Profesi atau penghasilan bulanan sudah ada sejak zaman sahabat dahulu. Bahkan Abu Bakr juga mendapatkan gaji dari baitul mal karena tugas beliau sebagai khalifah saat itu. Beliau awalnya pedagang, tetapi karena urusan kaum muslimin banyak menyita waktu, beliau tidak sempat berdagang dan mendapatkan gaji dari baitul mal. Beliau berkata,

لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه.

“Sungguh kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang keluarga Abu Bakr akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul mal), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.” (HR. Bukhari)

Tidak ada riwayat saat itu beliau dipotong gajinya untuk membayar zakat profesi setiap kali gajian, bahkan sistem penggajian itu diterapkan juga kepada tentara dan pegawai khalifah yang mengurusi kaum muslimin. Tidak ada saat itu diterapkan zakat profesi dipotong setiap gajian.

Kesimpulan

Poin penting yang perlu diperhatikan adalah penghasilan dan profesi di zaman ini berupa uang maka mengikuti aturan zakat mal, yaitu haulnya setahun dan dikelaurkan setiap tahun, bukan setiap bulan. Sebagaimana dalam hadis,

وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.” (HR. Abu Daud)

Sebagaimana kita ketahui bahwa nisabnya adalah emas dan perak, apabila uang setiap bulan tersebut dipakai untuk kebutuhan sehari-hari dan selalu habis, kemudian di akhir tahun tidak mencapai nisab, maka tidak dikeluarkan zakatnya.

Demikian pembahasan ini semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Wasiat Abu Bakar As-Shiddiq Sebelum Kematiannya kepada Umar bin Khattab

Abdullah bin Abu Quhafah atau yang masyhur dengan gelar Abu Bakar As- Siddiq wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 13 H dalam umur 63 tahun setelah mengalami sakit selama beberapa hari. Sebelum kematiannya, beliau sempat berwasiat kepada Umar bin Khatab tentang rasa takut dan pengaharapan (al-khauf wa ar-raja’).

Sebagaimana yang dikisahkan dari Abdullah bin Tsabit, dia berkata: “Sebelum ajal menjemput –dalam  keadaan sekaratul maut- Abu bakar memanggil Sayyidina Umar bin khatab, kemudian beliau berpesan kepadanya. Isi pesannya itu adalah; “Wahai Umar, Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah memiliki amalan pada malam hari dan tidak diterimanya pada siang hari.”

Dan sesungguhnya Allah tidak menerima amalan sunnah sebelum dilaksanakan amalan fardhu. Dan orang yang berat timbangannya di hari kiamat itu adalah mereka yang mengikuti kebenaran saat di dunia sekalipun itu berat bagi mereka. Dan orang yang ringan timbangan mereka di hari kiamat nanti adalah mereka yang di dunia mengikuti kebatilan, dan kebatilan itu ringan bagi mereka.

Sesungguhnya Allah menyebut ahli-ahli surga dengan perbuatan baik mereka, dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka. Apabila aku mengingat mereka, maka aku takut sekiranya aku tidak bergabung dengan mereka. Sesungguhnya Allah menyebut ahli-ahli neraka dengan perbuatan buruk mereka. Aku mengingat mereka, maka aku benar benar berharap sekiranya aku tidak bersama mereka.

Aku berkata demikian supaya seorang hamba tersebut berharap sekaligus takut, tidak berangan-angan kosong terhadap Allah, dan tidak berputus asa terhadap rahmat-Nya. Apabila engkau menjaga pesanku ini, maka tidak ada perkara yang ghaib yang lebih engkau cintai dari pada kematian, sedangkan dia pasti akan datang menemuimu. Dan apabia engkau melalaikan pesanku ini, maka tidak ada perkara ghaib yang lebih engkau benci dari pada kematian, sedangkan engkau tidak bisa mengelak dari padanya.

Itulah salah satu wasiat dari Sayyidina Abu Bakar As- Siddiq kepada Sayyidina Umar bin Khatab yang bisa ditemui dalam kitab Hilyatu al-Awliyaa’ karangan Abu Nu’aim Al Ashfahani.

Wallahu A’lam. 

BINCANG SYARIAH

Kisah Sufi Masuk Surga Karena Selamatkan Kucing Kedinginan

Di berbagai tempat kita miris dengan aneka perilaku yang tidak lagi mencintai bangsa dan aset negaranya sendiri sebagai anugerah Allah. Lihat saja kebrutalan dan kepanikan masyarakat sudah tidak bisa lagi dikendalikan.

Seakan masyarakat telah tercerabut dari tuntunan keadaban yang berakar dari nilai kemanusiaan dan moral agama. Dengan begitu, tanpa rasa kasih mereka nekat membunuh sesamanya dengan sadis. Tidak peduli apakah yang dibunuh itu rakyatnya, atasannya, teman dekatnya, keluarganya, atau bahkan anak dan orang tuanya sendiri.

Mengapa kekerasan ini makin menjadi-jadi? Jawabannya berpulang kepada para komponen elite bangsa itu sendiri dalam memberikan keteladanan kasih sayang kepada rak yatnya. Apakah kaum elite yang mengatakan sudah menyuarakan rakyat dan keadilan telah dibuktikan untuk membela negara dan rakyatnya? Justru, rakyat kecil marah dan frustrasi karena kelompok elite tanpa sadar telah melakukan dosa.

Berapa banyak peraturan yang mereka legitimasi akhirnya digerus oleh tangan besi yang berdarah kolusi. Harta rakyat disulap dengan cek pelawat demi kekuasaan sesaat. Rakyat menjadi malang karena diadang oleh berbagai kasus korupsi.

Dikisahkan, sang sufi besar yang bernama Abu Bakar al-Syibli konon setelah wafatnya hadir dalam mimpi temannya, berdialog dengan Allah SWT. “Apa yang menyebabkan dosamu diampuni oleh Aku ?” Tanya Allah SWT pada Syibli. “Sholat tepat pada waktunya,” jawab Syibli. “Bukan,” kata Allah SWT menimpali. “Zakat, puasa, dan hajiku yang menyebabkan dosaku diampuni,” lanjut Syibli. “Bukan juga,” cetus Allah SWT. 

Syibli pun heran, “Kalau semua ibadah yang telah aku jalankan tidak menghapus dosaku, lalu apa yang telah Kau ridhai dariku,” tanya Syibli penasaran. “Aku meridai dan mengampuni seluruh dosamu lantaran engkau telah menolong seekor kucing yang sedang kedinginan dan kelaparan.” 

Kisah di atas dimonumentalkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab syarah Nashaih al- I’bad. Benar dan tidaknya kisah ini dari sisi ilmiah bukan hal penting. Pelajaran dari kisah itulah sesungguhnya yang patut kita petik. Utamanya untuk menyikapi situasi kehidupan umat manusia yang semakin hari dirasakan jauh dari rasa kasih dan kekeluargaan.      

Oleh karena itu, kisah sufi di atas seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) yang amat berharga bagi kita untuk membiasakan diri menanamkan kasih sayang yang bermanfaat ke pada siapa pun makhluk Allah SWT. Dengan ibadah simbolis saja yang kita lakukan tanpa diimbangi dengan amal kemanusiaan, tidaklah Tuhan akan mengampuni dan meridai.

Rasa kasih sang sufi di atas yang dicurahkan kepada seekor kucing mengetuk kita semua untuk berlaku sayang dan adil kepada apa pun dan siapa pun umat manusia tanpa diskriminasi. Rasa kasih sayang seperti inilah kelak akan mengantar kan bangsa (negeri) kita menjadi negeri yang kuat (tanpa konflik), selamat, aman, damai, maju, dan beradab.         

KHAZANAH REPUBLIKA

Faedah sifat Qana’ah

Sudah sangat jelas kebutuhan manusia di zaman kiwari ini kepada sifat dan sikap Qana’ah. Namun untuk memotivasi diri kita memiliki sifat tersebut maka perlu dijelaskan hasil dan manfaat yang diperoleh pemilik sifat Qana’ah ini. Berikut ini sebagian dari hasil dan manfaat tersebut

1. Mendapatkan kebahagian, kemudahan, keamanan dan ketentraman didunia.

2. Hati (kalbu) pemilik sifat ini dipenuhi dengan iman dan rasa percaya penuh kepada Allah. Juga dipenuhi perasaan ridha dengan takdir dan pemberian Allah. Hal ini karena orang yang qana’ah dengan rezeki Allah, maka ia beriman dan yakin penuh bahwa Allah telah menjamin rezeki pada hamba dan membaginya diantara mereka. Walaupun pemilik sifat qana’ah ini tidak memiliki apa-apa.

Lihatlah pernyataan para pemilik sifat ini! Abdullah bin Mas’ud menyatakan: Sungguh aku menjadi orang yang paling berharap rezeki apabila mereka menyatakan: Di rumah tidak ada tepung terigu sama sekali.

Sedang imam Ahmad bin Hambal menyatakan: Hari-hariku yang paling berbahagia adalah hari di pagi harinya aku tidak memiliki sesuatu.

Al-Fudhail bin ‘Iyaadh menyatakan: dasarnya Zuhud adalah ridho dari Allah. Beliau juga berkata: Qana’ah adalah zuhud dan ia adalah kekayaan.

Al-Hasan al-Bashri menyatakan: Sungguh diantara lemahnya keyakinanmu adalah ketika kamu lebih percaya dengan yang ada di tangamu dari pada yang ada ditangan Allah.

3. Pemilik sifat ini mendapatkan kehidupan yang baik, berdasarkan firman Allah ta’ala:

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(an-Nahl:  97).

Kholifah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abas dan al-Hasan al-Bashri menafsirkan firman Allah “حَيَوةً طَيِّبَةً” dengan sifat Qana’ah.

Tentang pengertian ini ibnul jauzi menyataka: Siapa yang qana’ah maka hidupnya bahagia dan siapa yang tama’ (rakus) maka lama sengsaranya.

4. Pemilik sifat Qana’ah telah mewujudkan syukur nikmat kepada Allah. Hal ini karena orang yang qana’ah dengan rizeki Allah akan selalu mensyukurinya. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:

 وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ

  1. Mendapatkan janji Rasulullah yang ada dalam sabda beliau :

“طوبى لمن هدي إلى الإسلام، وكان عيشه كفافًا، وقنع”

Beruntunglah orang yang mendapatkan petunjuk kepada Islam dan kehidupannya pas-pasan dan berqana’ah.
(HR Ahmad dan At-tirmidzi).

Juga janji Rasulullah :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh beruntung orang yang beragama Islam, diberi rizqi secara cukup, dan Allah memberikannya sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya.”

6. Terjaga dari dosa yang mematikan kalbu dan menghilangkan kebaikan, seperti hasad, ghibah, namimah (adu domba), dusta dan lain-lainnya

Demikianlah sebagian hasil dan manfaat yang bisa didapatkan pemilik sifat Qana’ah. Tentunya kita semua sangat membutuhkan hasil ini. Oleh karena itu marilah kita berusaha mendapatkan sifat qana’ah ini.

Disusun oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi حفظه الله
Jum’at, 11 Rabiul Akhir 1442 H/ 27 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Jangan Khawatir Bro, Islam Terjaga dengan Baik

YA, jangan merisaukan Agama Islam, bagaimanapun usaha kaum kafirin, kaum munafikin, dan siapapun yang mengikuti jejak mereka untuk menjatuhkan dan menghinakan Islam. tidak akan berhasil.
Sungguh Islam takkan terpengaruh, Islam akan tetap terjaga dengan baik, karena Allah telah menjamin untuk menjaganya. Allah telah berfirman (yang artinya): “Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Alquran), dan Kami pula yang benar-benar akan menjaganya”. (QS. Al-Hijr: 9).

Sebagaimana Allah menjaga kemurnian Alquran, Allah juga akan menjaga kemurnian Islam, karena kandungan Alquran, tidak lain adalah Islam yang murni. Kita lihat hari-hari ini, seringkali sosok yang ditokohkan merendahkan sebagian syariat Islam, seperti: jenggot, cadar, celana di atas mata kaki, Alquran disebut kitab paling porno, teknologi zaman ini disebut lebih hebat dari mukjizat nabi, haji sebaiknya dihentikan karena pemborosan, dan statement-statement lainnya.

Tentu kita sebagai muslim geram dengan itu semua, tapi tenanglah, sejukkan hati anda, dan yakinlah bahwa usaha mereka akan sia-sia, mereka semua akan hilang sebagaimana para pendahulunya, dan Islam akan tetap tegak berdiri di muka bumi ini.

Allah telah berfirman (yang artinya): “Mereka ingin memadamkan ‘cahaya Allah’ dengan mulut mereka, namun Allah menolak kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang orang kafir membencinya”. (QS. Attaubah: 32).

Yang dimaksud “cahaya Allah” dalam ayat ini adalah petunjuk dan agama hak yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam (Tafsir Ibnu Katsir: 4/136).

Lihatlah bagaimana agungnya agama ini, agama yang dijamin Allah akan selalu hidup sempurna di muka bumi, sehingga tidak perlu kita mengkhawatirkannya lagi.

Justru yang perlu kita takutkan adalah diri kita, sudahkah kita menerapkan agama ini dalam hidup kita? sudahkah kita peduli dengan agama kita? Sungguh Islam tidak akan rugi tanpa kita, namun kita akan rugi total tanpa Islam.

Justru mereka yang berusaha merendahkan Islam itulah yang harusnya waspada, karena tindakan mereka itu hanya merugikan dan membinasakan diri mereka sendiri, Allah taala berfirman (yang artinya): “Maka harusnya orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul itu takut akan tertimpa bencana atau terkena adzab yang pedih”. (QS. Annur: 63).

Terakhir, yang harus digaris bawahi di sini, bahwa ketika kita tidak merisaukan Islam, bukan berarti kita tidak membela dan memperjuangkan Islam. Namun, harusnya kita tetap berusaha mendakwahkan Islam, karena Allah telah memerintahkan kita untuk terus berdakwah memperjuangkan Islam.

Sepantasnya kita berusaha menjadikan diri sebagai pejuang Islam, karena kalau bukan kita, pasti Allah memilih orang lain untuk mengisinya. Dan ingatlah bahwa semakin kita berjuang untuk Islam, maka semakin banyak kemuliaan yang kita dapatkan darinya, wallohu alam. [Ustaz Musyaffa Ad Darini Lc., MA/muslimorid]

INILAH MOZAIK

Baca Shalawat Syafiyah Ini Agar Diringankan Beban Hidup

Shalawat Syafiyah merupakan bentuk sighat shalawat yang dianjurkan untuk dibaca oleh setiap kaum Muslim. Shalawat ini disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam kitabnya Afdhalus Shalawat ‘ala Sayyidis Sadat. Mengenai keutamaan shalawat Syafiyah ini, beliau bertakata, ‘Jika seseorang yang dilanda kesusahan atau kesulitan membaca shalawat Syafiyah dengan jumlah yang banyak, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dan kesulitannya.’

Adapun lafadz shalawat Syafiyah adalah sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيــِّدِنَا مُحَمَّدٍ حَبِــيْبِ الْـمَحْبُوْبِ شَافِى فِى الْعِلَلِ وَمُفَرِّجِ الْــكَرْبِ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Allohumma sholli ‘ala sayyidina muhammadin habibil mahbubi syafi fil ‘ilal wa mufarrijil karbi wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallim.

“Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad Saw yang menjadi kekasihnya Zat yang mengashihi dan Zat yang menyembuhkan segala penyakit dan Zat yang menghilangkan segala kegundahan (kesusahan), juga atas keluarganya dan sahabatnya, dan limpahkanlah mereka keselamatan.”

BINCANG SYARIAH

Mengapa Ya Ayyuhalladzina Amanu Disebutkan Berulang Kali dalam Surat Al-Hujurat?

Baru ditinjau dari segi kebahasaannya saja, keistimewaan Al-Qur’an langsung terlihat dan tak dapat terelakkan. Bahkan pada zaman Rasulullah Saw., para penyair kondang yang sempat mencoba membuat syair tandingan untuk menyaingi bahasa Al-Qur’an pun semuanya dibuat takluk. Karena bahasa Al-Qur’an memang tidak hanya indah dari segi zahirnya saja, tetapi dari segi batin pun terkandung makna yang sangat penuh. (Baca: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12; Menjauhi Prasangka Buruk Terhadap Sesama)

Misalnya, di antara keistimewaan bahasa Al-Qur’an yang berpengaruh terhadap maknanya ialah adanya pengulangan lafal dalam Al-Qur’an. Kita dapat menjumpai berbagai pengulangan penyebutan suatu ungkapan dalam Al-Qur’an, meski sebenarnya telah disebutkan sebelumnya. Di antaranya adalah penyebutan panggilan (nida’) kepada orang-orang beriman, dengan redaksi ya ayyuhalladzina amanu yang disebutkan lima kali dalam surah Al-Hujurat.

Panggilan berupa ya ayyuhalladzina amanu dalam surah Al-Hujurat [49] itu masing-masing disebutkan pada ayat 1, ayat 2, ayat 6, ayat 11, dan ayat 12. Karena pengulangan panggilan tersebut, mungkin saja timbul sekelumit pertanyaan terkait mengapa redaksi panggilan perlu disebutkan berulang kali dan ditegaskan kembali, padahal orang yang dituju masih sama? Bukankah andai tanpa adanya pengulangan, serta dengan sekali panggilan saja sudah cukup mewakili?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telusuri penafsiran ulama ahli tafsir menyangkut alasan pengulangan redaksi tersebut. Di antaranya ialah penafsiran Syekh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Mishri, dalam kitab tafsir beliau yang berjudul Hasyiyah ash-Shawi. Menurut beliau, tujuan pengulangan tersebut ialah supaya orang-orang mukmin memberikan perhatian lebih terhadap urusan dan keadaan mereka, baik menyangkut perintah maupun larangan Allah yang berada setelah redaksi pemanggilan.

Penafsiran tersebut beliau kemukakan berdasar pada ungkapan Luqman, ketika ia memberikan beberapa nasihat kepada anaknya. Supaya mendapat perhatian lebih, Luqman memanggil anaknya berulang kali, yakni setiap sebelum menyampaikan nasihatnya. Panggilan yang dimaksud ialah lafal “ya bunayya” (wahai anakku), sebagaimana termaktub dalam surah Luqman [31] ayat 13, ayat 16, dan ayat 17.

Penjelasan serupa, disertai uraian contoh lebih lengkap, juga dapat ditemukan dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhruddin ar-Razi, serta kitab tafsir karya Syekh Ibnu Asyur yang berjudu Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.

Selain alasan di atas, baik Imam Ahmad ash-Shawi maupun Imam Fakhruddin ar-Razi, juga memberikan alasan lain terkain pengulangan panggilan kepada orang-orang beriman. Yaitu untuk menghilangkan salah sangka, bahwa seruan tersebut berlaku pada selain orang yang dimaksud, yaitu selain orang mukin.

Alasam tersebut mereka kemukakan dengan penguat bahwa di antara beberapa panggilan khusus berupa “ya ayyuhalladzina amanu”, terdapat panggilan yang sifatnya umum kepada seluruh manusia, yaitu dengan redaksi “ya ayyuhannas”.

BINCANG SYARIAH

Mahar Rasulullah Saat Menikahi Zainab Binti Khuzaimah

Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah Saw yang terkenal dengan kedermawanan dan kepeduliannya terhadap orang-orang miskin hingga beliau mendapatkan gelar ummul masakin. Ia adalah putri Khuzaimah bin Harits bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir Al-Hilaliyah. Ibunya bernama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.

Dalam kitab-kitab sirah disebutkan bahwa Rasulullah Saw menikahi Zainab binti Khuzaimah di bulan Ramadhan pada tahun ketiga hijriah setelah perang Uhud. Hal ini karena suaminya, Abdullah bin Jahsy, wafat dalam perang Uhud. Karena merasa kasihan dan menghormati kebaikan dan ketakwaannya, kemudian Rasulullah Saw menikahinya setelah beliau menikah dengan Hafshah dan sebelum menikah dengan Maimunah binti Al-Harits.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Rahiq Al-Makhtum berikut;

والذي يهمّنا أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوّجها مواساة لها فيما أصابها من فقدها لأزواجها ، ومكافأة لها على صلاحها وتقواها وكان زواجه صلى الله عليه وسلم بها في رمضان من السنة الثالثة للهجرة بعد زواجه بحفصة رضي الله عنها ، وقبل زواجه بميمونة بنت الحارث

Yang perlu diketahui oleh kitab bahwa Nabi Saw menikahi Zainabi binti Khuzaimah karena kasihan terhadap musibah yang menimpanya setelah ditinggal oleh suaminya, juga karena menghargai kebaikan dan ketakwaannya. Pernikahan Nabi Saw dengan Zainab terjadi di bulan Ramadhan pada tahun ketiga hijriyah setelah beliau menikah dengan Hafshah dan sebelum beliau menikah dengan Maimunah binti Al-Harits.

Adapun mahar Rasulullah saat menikahi Zainab binti Khuzaimah adalah empat ratus dirham. Dan pada saat menikah dengan Zainab binti Khuzaimah, Rasulullah mengadakan walimah dengan menyembelih unta. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Rahiq Al-Makhtum berikut;

وذُكر أن النبي صلى الله عليه وسلم خطبها إلى نفسها فجعلت أمرها إليه ، فتزوجها وأصدقها  أربعمائة درهم ، وأَوْلَمَ عليها جزوراً، وقيل إن عمّها قبيصة بن عمرو الهلالي هو الذي تولّى زواجها

Disebutkan bahwa Nabi Saw meminang langsung kepada Zainab binti Khuzaimah dan ia kemudian memasrahkan urusan dirinya pada beliau. Lalu beliau menikahinya dengan mahar empat ratus dirham dan mengadakan walimah dengan menyembelih unta. Sebagian ulama mengatakan bahwa paman Zainab, yaitu Qabishah bin Amr Al-Hilali, yang mengurus pernikahannya.

BINCANG SYARIAH

Kisah Orang yang Disiksa Sebab Meremehkan Dua Dosa Ini

Pada suatu hari Rasulullah saw bersama dua sahabatnya melewati kuburan. Ketika sampai di pertengahan jalan tiba-tiba Rasulullah berhenti. Sontak, dua sahabatnya pun bertanya kepada Rasululullah, Mengapa engkau menghentikan perjalanan ini, Rasul?” Rasulullah menjawab pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya tersebut, “Aku mendengar dua orang penghuni kubur yang sedang disiksa dengan siksaan yang sangat pedih.” Kemudian Rasulullah menerangkan tentang apa yang diberitahukan Allah perihal siksa kubur. Beliau bersabda,

يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ ، ثُمَّ قَالَ بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ

 “Kedua orang tersebut disiksa bukan karena sebab melakukan dosa besar”, lalu beliau melanjutkan sabdanya, “Benar (sebenarnya itu adalah dosa besar), salah satunya disiksa karena tidak menjaga diri saat buang air kecil dan yang satu lagi disiksa karena namimah (adu domba). (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fath al-Bari, ketika menjelaskan hadis ini, memaparkan pemahaman redaksi “wa maa yu’addzibaani fii kabiir”. Maksudnya adalah dua dosa tersebut menurut mereka (dua orang yang disiksa kubur) bukanlah dosa besar. Dua dosa itu dianggap dosa kecil dan remeh. Padahal menurut Allah dua dosa itu adalah merupakan dosa yang besar.

Anggapan meremehkan dosa itu pernah dilukiskan Allah dalam firmannya yang berbunyi,

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

 “Kamu mengira bahwa hal itu adalah remeh padahal di hadapan Allah sangat besar” (QS. An-Nur: 15)

Dua dosa yang dianggap remeh namun sebenarnya merupakan dosa yang sangat besar dan menyebabkan siksa yang amat pedih. Dua dosa itu adalah tidak menjaga diri dari kencing dan namimah.

Menurut sebagian ulama, dosa tidak menjaga diri dari kencing diarahkan kepada tidak menutup aurat saat buang air kecil. Namun, menurut pendapat yang lebih Mu’tamad (dijadikan pedoman) adalah tidak menjaga diri dan pakaian pada waktu buang air kecil sehingga terciprat oleh air kencing.

Akibatnya, tubuh dan pakiaannya terkena najis dan shalat yang ia lakukan menjadi tidak sah. Karena di antara syarat sahnya shalat adalah sucinya badan, pakaian dan tempat shalat dari najis.

Pada zaman ini, perkara menjaga diri dan pakaian dari air kencing sudah menjadi perkara yang remeh. Tak perlu jauh-jauh, kita bisa melihat sendiri di pusat perbelanjaan atau tempat-tempat umumsering kali yang tersedia adalah tempat buang air kecil yang tidak representatif, atau berupa urinoir yang membuat orang sulit menghindari cipratan air kencing.

Selain karena faktor fasilitas, faktor “kemalasan” juga menjadi hal yang dominan dalam diri kita. Selepas buang air kecil tidak beristinja’ (cebok) dengan baik, bahkan ada yang tanpa merasa berdosa setelah buang air kecil langsung memasukkanya tanpa beristinja’ terlebih dahulu. Akibatnya, pakaian terkena najis.

Yang kedua adalah namimah; mengadu domba antara dua orang atau pihak agar saling bermusuhan. pada zaman ini, hal ini juga merupakan perkara yang sering dinggap remeh. Karena alasan karir, dua orang diadu. Karena alasan bisnis, dua pesaing dibuatnya bermusuhan. Karena alasan politik, fitnah dihujamkan agar dua pihak saling berlawanan.

Di era teknologi ini, namimah sepertinya bukanlah menjadi sesuatu yang ditakuti lagi, padahal dosa ini di sisi Allah merupakan dosa yang sangat besar yang mengakibatkan pelakunya mendapatkan siksa yang sangat pedih kelak di alam barzakh.

Semoga kita dilindungi dan diampuni oleh Allah dari segala dosa yang kita lakukan baik sengaja ataupun tidak. Amin.

BINCANG SYARIAH