Akhlak Muslim, Tetap Mengasihi Meski kepada Pembenci

Sikap mudah memaafkan ini merupakan tuntunan yang diajarkan Allah.

Dikisahkan dalam Kitab Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi yang diriwayatkan bahwa Zainal Abidin bin Ali Husain RA dalam perjalanannya ke masjid dicaci seseorang. Melihat hal tersebut para pembantu Zainal menawarkan diri untuk memukuli pencaci tersebut.

Namun, beliau mencegahnya sebagai bentuk kasih sayang kepada pencaci itu. Lalu ia berkata, “Aduhai, aku jauh lebih banyak lagi cacatnya dari pada yang kau katakan tadi. Apa yang tidak engkau ketahui tentang diriku jauh lebih banyak dari yang engkau ketahui. Jika engkau ada keperluan sehingga membuatmu mencaciku maka katakan saja,” ujar Zainal.

Lelaki itu pun kemudian tersipu malu mendengar jawaban tidak terduga Zainal. Zainal kemudian menanggalkan gamisnya untuk diberikan kepada pencaci tersebut. Ia bahkan menyuruh pembantunya memberikan uang seribu dirham.

Sikap mudah memaafkan ini merupakan tuntunan yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-Balad ayat 17:

ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ

Artinya: “Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.”

Rasulullah juga bersabda:

 مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

Artinya: “Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim).

KHAZANAH REPUBLIKA


3 Jamaah Umroh Indonesia Positif Covid-19 Diswab Ulang Besok

Sebanyak tiga jamaah asal Indonesia pada gelombang pertama positif Covid-19. Tiga jamaah tersebut, besok Rabu (11/11) akan diswab ulang.

“Iya betul (swab). Kalau nanti (hasil swab) negatif ya bisa umroh,” kata Konjen Jeddah Eko Hartono melalui pesan tertulis, Selasa (10/11).

Saat ini kata Eko, kondisi tiga orang jamaah umroh tersebut stabil dan masih diisolasi di hotel. Mereka tidak menjalani rawat inap di rumah sakit karena kondisinya yang tidak parah. “Mereka masih karantina karena masih positif tapi di hotel kok, tidak di rumah sakit karena engga tunjukkan gejala parah,” ucapnya.

Sebelumnya, Otoritas Arab Saudi melakukan swab ulang terhadap jemaah umroh asal Indonesia dan Pakistan. Hasil swab menunjukkan, tiga orang jamaah asal Indonesia positif covid-19 sedangkan jemaah Pakistan negatif semua.

Otoritas Saudi segera melakukan isolasi kepada tiga orang jemaah yang positif covid-19. Sedangkan seluruh jemaah lainnya menjalankan ibadah umroh sebagaimana jadwal semula.

Pasca menjalankan umroh, Arab Saudi juga akan melakukan tes swab kembali kepada seluruh jemaah umroh sebelum mereka kembali ke tanah air. Apabila hasil positif maka jemaah tidak akan diizinkan terbang dan harus menjalani karantina hingga hasil swab menunjukkan negatif Covid-19.

IHRAM

Kewajiban Shalat secara Berjamaah (Bag. 1)

Termasuk dalam syi’ar Islam yang paling agung adalah shalat jamaah di masjid bersama dengan kaum muslimin. Shalat tersebut merupakan kewajiban bagi laki-laki, baik ketika sedang safar (menjadi musafir) ataukah tidak, baik dalam kondisi aman ataukah dalam kondisi ketakutan (misalnya, ketika perang).

Shalat jamaah ini hukumya fardhu ‘ain, karena didukung oleh dalil-dalil baik dari Al-Kitab, As-Sunnah, dan juga praktek kaum muslimin dari masa ke masa. Untuk mewujudkan shalat jamaah itu, masjid-masjid dimakmurkan, dan ditunjuklah imam dan muadzin tetap. Juga disyariatkan panggilan adzan dengan suara yang jelas,

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

“Hayya ‘alash shalaat, hayya ‘alal falaah”

(Marilah shalat, marilah menuju kemenangan)

Dalil dari Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman, memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendirikan shalat berjamaah dalam kondisi ketakutan karena peperangan,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (QS. An-Nisa’ [4]: 102)

Terdapat kaidah bahwa perintah Allah Ta’ala kepada nabi adalah perintah kepada umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perintah tersebut adalah khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ayat ini jelas menunjukkan kewajiban shalat berjamaah, karena Allah Ta’ala tidak memberikan keringanan untuk meniadakan kewajiban shalat berjamaah ketika perang. Seandainya shalat berjamaah tidak wajib, maka tentu yang lebih utama adalah meninggalkan shalat berjamaah ketika perang berkecamuk. Karena dalam kondisi perang, banyak wajib shalat yang ditinggalkan.

Maka hal ini menunjukkan kewajiban shalat berjamaah itu sangat ditekankan. Dalam shalat khauf, terdapat banyak kelonggaran, misalnya ada gerakan di luar shalat yang banyak, membawa senjata, shalat sambil mengawasi pergerakan musuh, dan boleh tidak menghadap kiblat. Semua kelonggaran ini diberikan demi tetap dilaksanakannya shalat berjamaah. Ini adalah dalil yang paling tegas dan jelas tentang wajibnya shalat berjamaah.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)

Dalam ayat tersebut, setelah Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk mendirikan shalat, Allah Ta’ala pun perintahkan untuk mendirikan shalat bersama dengan orang-orang yang rukuk, yaitu di rumah Allah (di masjid).

“Dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”, maksudnya yang wajib bagi orang yang shalat dari kalangan laki-laki adalah agar dia shalat dalam kondisi semacam itu, yaitu bersama-sama dengan orang-orang yang shalat (berjamaah), bukan shalat di rumah dan shalat sendirian.

Dalil dari As-Sunnah

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنَ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا، لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ المُؤَذِّنَ، فَيُقِيمَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا يَؤُمُّ النَّاسَ، ثُمَّ آخُذَ شُعَلًا مِنْ نَارٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لاَ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ بَعْدُ

“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik kecuali shalat subuh dan isya’. Seandainya mereka mengetahui (kebaikan) yang ada pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak. Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan seorang muazin sehingga shalat ditegakkan dan aku perintahkan seseorang untuk memimpin orang-orang shalat, lalu aku menyalakan api dan membakar (rumah-rumah) orang yang tidak keluar untuk shalat berjamaah (tanpa alasan yang benar).” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menandai orang-orang yang tidak mau shalat berjamaah sebagai orang yang memiliki penyakit kemunafikan. Hal ini juga terdapat dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’ [4]: 142)

Allah Ta’ala juga berfirman tentang mereka,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At-Taubah [9]: 54)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengancam orang-orang yang tidak mau shalat jamaah bahwa rumah-rumah mereka akan dibakar. Ini adalah hukuman yang sangat tegas. Pertama-tama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sifat munafik, kemudian mereka diancam dengan rumah mereka akan dibakar. Sekali lagi, ini adalah dalil tegas besarnya pelanggaran tidak mau menghadiri shalat berjamaah, dan mereka berhak mendapatkan hukuman yang besar di dunia dan di akhirat.

Dalam perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Seandainya mereka mengetahui (kebaikan) yang ada pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak”; terdapat peringatan penting bahwa kehadiran seseorang untuk berjamaah di masjid, konsisten shalat jamaah, dan juga perhatian terhadap shalat jamaah adalah cabang (buah) dari perhatian (kepedulian) hati terhadap shalat jamaah dan dia mengetahui kedudukan mendirikan shalat secara berjamaah.

Adapun hati yang lalai, yang tidak mengetahui tingginya kedudukan shalat jamaah, dan juga tidak mengetahui kedudukan shalat berjamaah di masjid, maka pasti orang tersebut tidak akan mau shalat jamaah.

Abul Qasim Al-Ashbahani rahimahullah meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Perbuatan yang dibenci ketika seorang laki-laki berdiri shalat dalam kondisi malas. Akan tetapi, dia hendaknya berdiri dengan wajah berseri-seri, motivasi (keinginan) yang besar, dan rasa gembira yang sangat. Karena dia sedang berbisik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Karena Allah Ta’ala ada di depannya, mengampuninya, dan mengabulkan jika dia berdoa kepada-Nya.” Kemudian Ibnu ‘Abbas membaca ayat ini,

وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.” (QS. An-Nisa’ [4]: 142) (At-Targhiib wa At-Tarhiib no. 1904)

Jadi, adanya rasa malas dan rasa enggan untuk shalat berjamaah di masjid itu disebabkan oleh hati yang lemah dan rapuh, tidak mengetahui nilai dan kedudukan shalat berjamaah.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ

“Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya,

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟

“Apakah Engkau mendengar panggilan shalat (azan)?”

Laki-laki itu menjawab, “Benar.”

Beliau bersabda,

فَأَجِبْ

“Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).” (HR. Muslim no. 653)

Laki-laki yang buta ini memiliki penghalang (‘udzur) yang banyak untuk tidak bisa shalat berjamaah. Meskipun demikian, kewajiban shalat berjamaah itu tidaklah gugur darinya. Lalu, bagaimana lagi dengan kondisi orang yang tidak memiliki ‘udzur? Yaitu, dalam kondisi rumahnya bersebelahan dengan masjid, suara muadzin mengepung rumahnya dari berbagai penjuru? Dia dipanggil shalat jamaah namun tidak mau datang, dia diperintah shalat jamaah namun tidak mau melaksanakan, dia bermaksiat kepada Rabb-nya, dan tidak mau bertaubat.

Semisal itu adalah hadits dari sahabat Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah banyak binatang berbisa dan binatang buas.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَلْ تَسْمَعُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ؟

“Apakah kamu mendengar seruan azan ‘Hayya ‘alash shalaah, Hayya ‘alal falaah’?”

Ibnu Ummi Maktum menjawab, “Iya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَحَيَّ هَلًا

“Karena itu, penuhilah!”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan untuk tidak shalat jamaah baginya.” (HR. Ahmad no. 15490, Abu Dawud no. 553, dan An-Nasa’i no. 851. Sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani di Shahih Abu Dawud no. 562)

[Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 15 Rabi’ul awwal 1442/ 1 November 2020

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 50-53, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

Perbanyak Kasih Sayang pada Anak agar Kita Makin Disayang Allah

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

CINTA dan kasih sayang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Kasih sayang tak kenal usia dan jenis kelamin. Kasih sayang adalah kelembutan hati yang diberikan kepada sesama.

Bagaimana dengan anak kita saat masih dibuain. Bagaimana pula saat anak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya.

Di awal menyiapkan generasi menyambut hadirnya anak dan di antara keikhlasan orangtua saat menerima kelahiran anak, hendaknya disyukuri dengan rasa syukur yang ikhlas. Sebagimana Nabi Muhammad ﷺ menympaikan dalam hadits, “Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami. Jika kemudian seseorang ditakdirkan memiliki anak dari hubungan tersebut maka anaknya tidak akan dicelakann oleh setan.” (HR. Bukhari).

Pengasuhan ibu merupakan kewajiban yang tak bisa digantikan oleh siapa pun juga. Termasuk pengasuhan itu adalah tumbuhnya kasih sayang kepada anak.

Akan sangat berbeda jika anak balita mendapatkan pengasuh dari orang lain atau pembantunya dibanding dengan kasih sayang yang diperoleh dari ibu kandungnya sendiri.

Saat memeluk dan menggedong saja, rasa iba dan kasih sayang orantua kepada anaknya akan dnikmati dengan keberkahan yang ditumbuhkan dari cinta kasih Allah kepada kedua hambanya.

Di antara nikmat Allah ta’ala adalah menjadikan kasih sayang sebagai suatu insting pada setiap orang tua terutama ibu. Dan hendaknya ibu bisa mengekspresikan kasih sayang itu dengan setulus hati.

Karena ketulusan itu pun akan dirasakan kasih sayangnya pada sang anak. Jangan sampai ada rasa kebencian atau keberatan saat meninabobokkan anak. Atau berburuk sangka pada anak yang digendongnya.

Hal ini akan meresapi batin anak hingga menjadi rewel. Dan mungkin juga membentuk kepribadinnya kelak dewasa nanti.

Karena terselip doa-doa dan ungkapan lisan itu atas kasih sayang atau kebencian itu diterima si anak. Karena itu, agar tidak terjadi hal demikian, ibu atau siapa saja yang berada dalam lingkungan anak yang masih di buaian bisa memberikan teladan dan tuntunan serta tontonan yang menggerakan jiwa dan karakter anak.

Di bawah ini beberapa tips usaha yang bisa diberikan kepada anak:

Pertama,   bersikap sabar dan konsisten dalam melakukan perbuatan terpuji dengan membentuk sikap jujur dan tak berbuat kebohongan.

Kedua,  akhlak dan teladan mulia dengan sifat dermawan dijadikan contoh untuk semua anggota keluarga.

Ketiga,  di saat menyusui, seyogyanya ibu menggerakkan hati yang ceria dan selalu taqarrub ilahi.

Demikianlah di antara usaha agar kasih sayang anak selalu mendapt curahan Rahman dan Rahim dari Allah.

ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱلْبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS: al-Kahfi 46)

Inilah usaha dan perhatian setiap orang tua agar selalu memberikan kasih sayang kepada anaknya, sebagaimana kita berharap pula kita mendapat kasih sayang dari Allah.*/ Akbar Muzakki

HIDAYATULLAH




Apakah Mayit di Alam kubur Bisa Melihat Keluarganya yang Masih Hidup?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang apakah mayit di alam kubur bisa melihat keluarganya yang masih hidup?
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ustadz, apakah benar orang yang di alam kubur bisa melihat keluarganya yang masih hidup?

(Disampaikan oleh Fulanah, penanya dari media sosial bimbingan islam)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Selamat datang di Media Sosial Bimbingan Islam, semoga Allah selalu membimbing kita di dalam jalan keridhoan-Nya.

1- Pembahasan Perkara Ghoib

Pembahasan tentang alam kubur adalah pembahasan perkara ghoib. Sedangkan perkara ghoib tidak dapat dijangkau dengan akal, perasaan, penyelidikan, atau pengalaman. Sesungguhnya yang mengetahui perkara ghoib secara mutlak hanyalah Alloh Ta’ala. Dia berfirman:

قُل لاَّ يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ

Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.
(QS. An-Naml/27: 65)

Kemudian Alloh memberitahukan sebagian perkara ghoib lewat wahyuNya kepada rosul yang Dia kehendaki. Alloh berfirman:

عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا {26} إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا 

(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.
Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
(QS. Al-Jinn/72: 26-27)

Oleh karena itu kita tidak boleh membicarakan atau meyakini tentang sesuatu yang berkaitan dengan alam kubur kecuali dengan dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shohih.

2- Mayit di dalam kuburnya sibuk dengan diri sendiri.

Sesungguhnya seseorang yang telah mati, dan berada di alam kubur, dia sibuk dengan diri sendiri. Karena jika dia seorang yang sholih, akan mendapatkan nikmat kubur, sedangkan jika dia orang kafir, akan mendapatkan siksa kubur. Dengan demikian dia tidak memikirkan orang lain, walaupun keluarganya sendiri di dunia. Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wassallam telah menjelaskan adanya nikmat kubur dan siksa kubur di dalam banyak hadits-hadits beliau. Dan ini merupakan kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Di dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, Nabi sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَأَقْعَدَاهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ فَيُقَالُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنْ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ

Jika seorang hamba telah diletakkan di dalam kuburnya, dan ditinggalkan, para pelayatnya telah pergi, sesungguhnya dia mendengar suara ketukan sandal mereka. Dua malaikat akan mendatanginya, lalu mendudukannya dan mengatakan: “Apa yang dahulu kamu katakan tentang laki-laki ini, yaitu Muhammad sholallohu ‘alaihi wassallam?”.
Dia menjawab: “Aku bersaksi beliau adalah hamba Alloh dan utusanNya”.
Maka dikatakan kepadanya: “Lihatlah tempat tinggalmu yang berupa neraka, Alloh telah menggantikannya untukmu dengan tempat tinggal yang berupa sorga”.
Nabi sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda: “Maka dia melihat keduanya semua”.

Adapun orang kafir atau munafiq, dia akan menjawab: “Aku tidak tahu. Aku dahulu mengatakan seperti yang dikatakan orang-orang”.
Maka dikatakan kepadanya: “Kamu tidak tahu dan tidak mengikuti (orang yang tahu)”. Kemudian dia dipukul sekali dengan palu besi di antara dua telinganya. Maka dia berteriak dengan teriakan yang bisa di dengar oleh orang-orang di sekitarnya, kecuali manusia dan  jin”.
(HR. Bukhori, no. 1338; Muslim, no. 2870)

Di dalam sebuah hadits yang sangat panjang, dari sahabat Al-Bara’ bin ‘Azib, Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wassallam menjelaskan proses kematian orang beriman dan orang kafir. Di antara yang beliau sabdakan tentang orang beriman di dalam kuburnya adalah:

((…Kemudian dua malaikat mendatanginya dan mendudukannya: Kedua malaikat itu bertanya: “Siapakah Rabbmu?” Dia menjawab: “Rabbku (Tuhanku) adalah Allah”. Kedua malaikat itu bertanya: “Apakah agamamu?” Dia menjawab: “Agamaku adalah Al-Islam”. Kedua malaikat itu bertanya: “Siapakah laki-laki yang telah diutus kepada kamu ini?” Dia menjawab: “Beliau utusan Allah”. Kedua malaikat itu bertanya: “Apakah ilmumu?” Dia menjawab: “Aku membaca kitab Allah, aku mengimaninya dan membenarkannya”. Maka seorang penyeru berseru dari langit:

أَنْ قَدْ صَدَقَ عَبْدِي فَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ (وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ) وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ

“HambaKu telah (berkata) benar, berilah dia hamparan dari sorga, (dan berilah dia pakaian dari sorga), bukakanlah sebuah pintu untuknya ke surga”.

Kemudian datanglah kepadanya bau surga dan wanginya surga. Dan diluaskan baginya di dalam kuburnya sejauh mata memandang. Dan datanglah seorang laki-laki berwajah tampan kepadanya, berpakaian bagus, beraroma wangi, lalu mengatakan: “Bergembiralah dengan apa yang menyenangkanmu, inilah harimu yang engkau telah dijanjikan (kebaikan)”. Maka ruh orang mukmin itu bertanya kepadanya: “Siapakah engkau, wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan?”
Dia menjawab: “Aku adalah amalmu yang shalih”. Maka ruh itu berkata: “Rabbku (Tuhanku), datangkanlah hari kiamat, sehingga aku akan kembali kepada istriku dan hartaku

Adapun orang yang kafir, ketika kedua malaikat itu bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka dia selalu menjawab: “Hah, hah, aku tidak tahu”. Kemudian Nabi sholallohu ‘alaihi wassallam melanjutkan:

Maka seorang penyeru dari langit berseru:

أَنْ كَذَبَ فَافْرِشُوا لَهُ مِنَ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ

“Dia telah (berkata) dusta, berilah dia hamparan dari neraka, dan bukakanlah sebuah pintu untuknya ke neraka”.

Maka datanglah kepadanya panasnya neraka dan asapnya. Dan kuburnya disempitkan atasnya, sehingga tulang-tulang rusuknya berhimpitan. Dan datanglah seorang laki-laki berwajah buruk kepadanya, berpakaian buruk, beraroma busuk, lalu mengatakan: “Terimalah kabar dengan apa yang menyusahkanmu, inilah harimu yang engkau telah dijanjikan (keburukan)”.
Maka ruh orang kafir itu bertanya kepadanya: “Siapakah engkau, wajahmu adalah wajah yang membawa keburukan?” Dia menjawab: “Aku adalah amalmu yang buruk”. Maka ruh itu berkata: “Rabbku, janganlah Engkau tegakkan hari kiamat”.
(HR. Ahmad, no. 18063; dishohihkan syaikh Al-Albani di dalam Kitab Shahih Al-Jami’ush Shoghiir, no: 1672)

Dan hadits-hadits lain yang sangat banyak. Oleh karena itulah para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersepakat tentang adanya ujian kubur yang diiringi dengan siksa atau nikmat kubur.
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi –rohimahulloh– berkata: “Telah mutawatir hadits-hadits dari Rosululloh sholallohu ‘alaihi wassallam tentang adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang yang berhak mendapatkannya, demikian juga pertanyaan dua malaikat, maka wajib meyakini dan mengimani kepastian hal itu. Dan kita tidak membicarakan bagaimana caranya, karena akal tidak memahami bagaimana caranya, karena keadaan itu tidak dikenal di dunia ini. Syari’at tidaklah datang membawa perkara yang mustahil bagi akal, tetapi terkadang membawa perkara yang membingungkan akal”.
(Al-Minhah Al-Ilahiyah fii Tahdzib Syarh Ath-Thohawiyah, hlm. 238)

Maka jika mayit di dalam kuburnya sudah sibuk dengan urusannya sendiri, bagaimana dia akan melihat dan memperhatikan orang lain.

Kemudian selain itu, apa manfaat pembahasan “orang yang di alam kubur bisa melihat keluarganya yang masih hidup”?

Kematian pasti akan terjadi untuk semua manusia, maka hendaklah kita menyiapkan bekal untuk menghadapinya, dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Hanya Alloh Tempat Memohon Pertolongan. Al-hamdulillahi rabbil ‘alamiin.

Disusun oleh:
Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
Senin, 23 Rabiul Awwal 1442 H/ 09 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Perkara yang Bisa Turunkan Derajat Manusia di Dunia

Terdapat perkara yang bisa mendegradasi derajat manusia di dunia

Umat Islam tentunya tidak asing dengan kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha yang sering diceritakan ustadz atau mungkin orang tua. Kisah tentang kesalehan Yusuf yang mempunyai kesempatan untuk maksiat, namun ditolaknya. 

Padahal bekal wajah yang rupawan itu telah membuat Zulaikha gelap mata. 

Kisah ini juga yang akhirnya menjadi pengingat manusia untuk menekan syahwatnya dan senantiasa bersabar. 

Syekh Muhammad Nawawi ibnu Umar al-Jawi dalam kitabnya Nashaih al-‘Ibad menyebut kisah Yusuf memiliki hikmah tentang pengendalian nafsu dan sabar yang harus diikuti.  

Dia menyebut sebuah kalimat bijak Arab yang artinya: “Sesungguhnya syahwat itu bisa menurunkan derajat seorang raja menjadi budak. Dan kesabaran itu dapat mengangkat derajat seorang pembantu menjadi seorang raja. Tidakkah anda mengetahui kisah Yusuf dan Zulaikha?.” 

Imam Nawawi menjelaskan, syahwat merupakan keinginan dan kecintaan. Orang yang mencintai sesuatu akan menjadi budak apa yang dicintainya itu. Sedangkan kesabaran itu adalah ketabahan yang dengannya seseorang dapat mencapai apa yang diinginkannya.  

Dalam kisahnya, Zulaikha seorang permaisuri raja tertarik kepada Yusuf yang merupakan seorang pembantu. Tapi dengan kesabaran, Yusuf dapat mengatasi segala tipu muslihat dan rayuan dari Ratu. Yang akhirnya, Yusuf yang tadinya hanya pembantu menjadi seorang raja tanpa karena tidak mengikuti hawa nafsu sesaat.

Dalam ebuah pepatah Arab, Imam Nawawi menyebut: “Berbahagialah orang yang selalu dalam bimbingan akalnya sementara hawa nafsunya selalu dalam kendalinya. Dan celakalah orang yang selalu dikendalikan hawa nafsunya dan akalnya diam terkekan hawa nafsunya.” 

KHAZANAH REPUBLIKA


Dua Asas Memakmurkan Masjid Allah

Tingginya kedudukan rumah Allah

Cukuplah masjid itu menjadi mulia dan agung karena masjid adalah “rumah Allah”. Allah Ta’ala menyandarkan masjid itu kepada diri-Nya sebagai bentuk penghormatan kepada masjid, sekaligus menunjukkan betapa tinggi dan agung kedudukan masjid.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin [72]: 18)

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ، رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur [24]: 36-37)

Firman Allah Ta’ala,

أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ

“yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya”; telah mengumpulkan hukum dan adab berkaitan dengan masjid.

Termasuk dalam “memuliakan masjid” adalah membangun masjid, membersihkan, memperhatikan, dan menjaga masjid dari hal-hal yang mengotori masjid.

Sedangkan termasuk dalam “menyebut nama Allah di dalamnya” adalah mendirikan shalat, membaca Al-Qur’an, mengadakan majelis ilmu (pengajian), dan sejenis itu.

Sedangkan firman Allah Ta’ala,

يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

“Bertasbih kepada-Nya di masjid pada waktu pagi dan waktu petang”; maksudnya bahwa hati mereka selalu terpaut dengan masjid, mereka mengetahui hak dan kedudukan rumah Allah tersebut, dan senantiasa memperhatikan apa yang seharusnya dilakukan untuk memakmurkan masjid.

Dua asas memakmurkan masjid

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah [9]: 18)

Dalam ayat tersebut, terdapat penjelasan bagaimanakah metode memakmurkan masjid yang hakiki. Memakmurkan masjid yang hakiki hanyalah bisa diraih dengan mewujudkan dua perkara ini, yaitu:

Asas pertama, memiliki aqidah yang benar (shahih).

Hal ini terkandung dalam firman Allah Ta’ala,

مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

“orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (hari akhir).”

Orang-orang yang memiliki aqidah yang rusak (batil), keyakinan-keyakinan yang menyeleweng (menyimpang), bukanlah termasuk dalam orang-orang yang memakmurkan masjid Allah. Meskipun mereka hadir dan berdiri di shaf untuk shalat bersama kaum muslimin.

Hal ini karena sesungguhnya asas untuk memakmurkan masjid adalah benarnya aqidah dan bersihnya iman dari hal-hal yang membatalkan iman. Yaitu, seseorang meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Rabb yang menciptakan, memberikan rizki, memberikan nikmat dan keutamaan. Juga beriman kepada nama dan sifat Allah Ta’ala. Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya sesembahan yang berhak untuk disembah, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Ta’ala. Dia ruku’ dan sujud hanya untuk Allah, berdoa hanya kepada Allah, dia meminta semua kebutuhannya hanya kepada Allah, tidak menyembelih kepada selain Allah Ta’ala, dan perkara-perkara yang lain sebagai konsekuensi dari tauhid. Jika terdapat cacat dalam asas yang satu ini, maka hapuslah amal tersebut, sebanyak apa pun amal tersebut.

Sungguh termasuk perkara yang menyedihkan, bahkan termasuk dosa yang paling besar, kita dapati di dalam masjid orang-orang yang bergantung kepada selain Allah Ta’ala, mereka berdoa kepada selain Allah Ta’ala. Bahkan terdengar dari sebagian mereka yang mengucapkan dalam sujudnya di masjid,

مدد يا فلان

“Bantulah aku wahai fulan!”

Dan ketika dia mengangkat kedua tangannya, dia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang wali yang shalih.

Lalu, di manakah hakikat iman kepada Allah Ta’ala?

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ، بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُن مِّنْ الشَّاكِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Az-Zumar [39]: 65-66)

Juga dalam ayat yang telah kami sebutkan,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin [72]: 18)

Maksudnya, masjid yang merupakan tempat paling mulia untuk beribadah itu terbangun di atas pondasi ikhlas karena Allah Ta’ala (pondasi tauhid) dan merendahkan diri karena keagungan Allah Ta’ala.

Asas kedua, amal yang shalih.

Terkandung dalam firman Allah Ta’ala,

وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ

“serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah.”

Yaitu, mendirikan shalat, baik shalat wajib atau shalat sunnah, mendirikannya baik lahir maupun batin. Juga menunaikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerima zakat dengan kerelaan hatinya. Kemudian dia hanya takut kepada Allah Ta’ala, dia menahan diri dari hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan, dan tidak meremehkan hak-hak Allah Ta’ala yang menjadi kewajibannya.

Inilah orang-orang yang memakmurkan masjid secara hakiki, yaitu mereka yang memiliki dua asas tersebut. Adapun orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir, tidak memiliki rasa takut kepada Allah Ta’ala, mereka bukanlah termasuk dalam orang-orang yang memakmurkan masjid Allah. Meskipun mereka menyangka dan mengklaim bahwa dirinya adalah orang-orang yang memakmurkan masjid Allah.

Masjid, tempat yang paling Allah Ta’ala cintai

Masjid adalah air mata penyejuk bagi orang-orang yang beriman, tempat yang bisa memberikan ketenangan dan kedamaian bagi orang-orang yang beriman, dan bisa melegakan dada-dada mereka. Masjid itulah tempat kebahagian dan tempat yang bisa menghibur jiwa-jiwa mereka.

Ini adalah perkara yang umum dijumpai oleh orang-orang yang shalat dan mereka yang pergi ke masjid ikhlas karena Allah Ta’ala dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Sampai-sampai di antara mereka mengatakan bahwa rasa sedih dan galau yang ada di dalam hatinya menjadi hilang, diganti dengan rasa bahagia, tenang, dan damai.

Masjid inilah tempat yang paling Allah Ta’ala cintai. Tempat yang paling baik dan paling agung, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا

“Lokasi (tempat) yang paling Allah cintai adalah masjid, dan lokasi yang paling Allah benci adalah pasar.” (HR. Muslim no. 671)

Masjid menjadi istimewa karena di dalamnya banyak orang yang berdzikir kepada Allah, mendirikan shalat, membaca Al-Qur’an, mengadakan majelis ilmu dalam rangka mempelajari agama, dan juga perkara-perkara agung lainnya yang dicintai oleh Allah Ta’ala.

Berbeda halnya dengan pasar, karena didapati di dalamnya muamalah-muamalah yang haram dan perkara-perkara yang mungkar lainnya. Dan juga perkara-perkara lain yang banyak ditemui di pasar.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita hidayah dan taufik agar menjadi orang-orang yang benar-benar memakmurkan masjid Allah.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Kelembutan Sayyidil Wujud Muhammad Saw

Nabi Muhammad Saw adalah seorang yang sangat penyabar dan lemah lembut dalam berhubungan dengan keluarga, sahabat bahkan dengan musuh-musuh beliau. Bukan hanya dalam kondisi tertentu, tapi di setiap kondisi beliau tidak pernah terlepas dari sifat sabar ini.

Nabi Muhammad Saw mudah memaafkan bahkan ketika beliau mampu untuk membalas atau memberi hukuman. Beliau bersabar walau disaat marah. Membalas kebaikan pada orang-orang yang berbuat buruk kepadanya. Dan agungnya akhlak beliau ini adalah resep utama dari di terimanya dakwah Nabi Saw ditengah masyarakat.

Allah Swt berfirman :

فَبِمَا رَحۡمَةࣲ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِیظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka.” (QS.Ali ‘Imran:159)

1. Nabi Muhammad Saw memaafkan orang-orang yang telah mendzolimi beliau selama bertahun-tahun. Padahal mereka adalah orang-orang yang mengusir beliau dari Mekah, selalu menyakiti Nabi, menghinanya dan memeranginya. Namun ketika Rasulullah Saw telah menguasai Mekah, beliau tidak membunuh mereka namun beliau memaafkan mereka dan menyuruh mereka pergi untuk menyelamatkan diri :

“Pergilah kalian, karena kalian adalah orang-orang yang dibebaskan.”

2. Di waktu yang lain, seorang dari dusun menarik surban Nabi Saw hingga membekas di leher suci beliau. Lalu lelaki itu berkata, “Berilah kepadaku dari harta Allah yang ada padamu ! Bukan dari harta ayahmu atau ibumu !”

Nabi Saw membalikkan badan dan menoleh kepadanya sambil tersenyum dan memberikan uang kepadanya.

3. Bahkan suatu hari seorang lelaki dengan congkak berkata kepada Nabi Saw. “Berbuat adil lah engkau wahai Muhammad !”

Maka Rasulullah Saw berkata, “Sungguh aku telah mengecewakan dan merugi bila aku tidak adil.” Namun Rasulullah Saw tidak menghukumnya bahkan beliau memaafkannya.

4. Pernah suatu kali seorang dusun berbuat sangat kasar dan sangat tak sopan dihadapan Nabi Saw. Namun beliau terus bersabar dan menghadapi lelaki tersebut dengan lembut. Begitulah beliau menampilkan apa yang diperintahkan Allah Swt dalam Firman-Nya :

فَٱصۡفَحِ ٱلصَّفۡحَ ٱلۡجَمِیل

“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (QS.Al-Hijr:85)

5. Ketika bertemu dengan orang yang tak dikenal, beliau berbicara dengan penuh perhatian dan kelembutan. Senyum Nabi Saw tak pernah terlepas dari wajahnya. Sehari-hari beliau berkumpul bersama rakyat jelata tanpa ada batas di antara mereka.

Beliau bersabda :

.إنما أنا عبدٌ آكل كما يأكل العبد، وأجلس كما يجلس العبد

“Sesungguhnya aku adalah hamba. Aku makan seperti makannya hamba. Dan aku duduk seperti duduknya hamba.”

6. Dan ketika ada seorang yang terpesona, gemetar dan takut berhadapan dengan Nabi karena kewibaannya, maka beliau segera berkata kepadanya,

“Tenanglah, aku hanyalah seorang putra dari wanita yang memakan daging kering (dendeng) di Mekah.”

Inilah Nabi kita Muhammad Saw. Apalagi yang mampu kita ucapkan selain setulus-tulusnya sholawat kepada beliau dan keluarganya yang suci.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Allah SWT Jaga Muhammad SAW, Mengapa Penistaan Masih Ada?

Oleh : Kepala LPMQ Kemenag dan Sekjen OIAA, KH Dr Muchlis M Hanafi

REPUBLIKA.CO.ID, Merujuk kepada Alquran dan sejarah hidup Nabi Muhammad (sîrah), penistaan terhadap Nabi selalu berulang dan Islam telah memberikan solusi dalam menghadapi masalah tersebut. 

Berbagai peristiwa menyakitkan dialami Rasulullah semasa hidupnya dan setelah wafatnya, baik dalam bentuk penistaan maupun serangan secara fisik. Ada yang melemparkan kotoran kambing ke punggungnya. 

Ada yang meletakkan duri di jalan yang sering dilaluinya dan ada pula yang membuang sampah kotoran di depan pintu rumahnya. Tuduhan gila, tukang sihir, kena sihir, dan pendongeng sering dilontarkan oleh para penentangnya dan diabadikan dalam Alquran (Lihat QS al-Hijr: 6, QS al-Thur: 29). Saat ini, kita menyaksikan kebencian secara membabi buta ditunjukkan kepada Nabi mulia dan ajaran yang dibawanya.   

Nabi Muhammad tidak sendirian mengalami penistaan. Semua nabi dan rasul utusan Allah selalu mengalami apa yang dialami oleh Rasulullah. Bahkan, dapat dikatakan, penistaan terhadap nabi dan rasul dari para penentangnya adalah sebuah sunnatullah. Ini bisa dilihat dari beberapa firman Allah SWT, antara lain:

وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِيْنَ سَخِرُوْا مِنْهُمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ “Dan sungguh, beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) telah diperolok-olokkan, sehingga turunlah azab kepada orang-orang yang mencemoohkan itu sebagai balasan olok-olokan mereka.” (QS al-An`am: 10). 

‎وَمَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ “Dan setiap kali seorang rasul datang kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokannya.” (QS al-Hijr: 11). 

‎ وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّنْ قَبْلِكَ فَاَمْلَيْتُ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثُمَّ اَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ “Dan sesungguhnya beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) telah diperolok-olokkan, maka Aku beri tenggang waktu kepada orang-orang kafir itu, kemudian Aku binasakan mereka. Maka alangkah hebatnya siksaan-Ku itu!” (QS  al-Ra`d: 32).

enistaan tak akan mereduksi sedikitpun kemulian Muhammad SAW

Alquran sejak awal telah melakukan pembelaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan dakwahnya. Allah SWT melindunginya dari tangan-tangan jahil yang akan membunuhnya sebelum tugas risalah diselesaikan. 

‎يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗوَاللهُغ  يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS al-Maidah: 67). 

Melalui Alquran Allah membuka kedok orang-orang yang berusaha mencelakankannya dan membelanya dari berbagai tuduhan seperti gila dan terkena sihir.

‎ وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍۚ “Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah orang gila.” (QS al-takwir: 22).

‎ نَحْنُ اَعْلَمُ بِمَا يَسْتَمِعُوْنَ بِهٖٓ اِذْ يَسْتَمِعُوْنَ اِلَيْكَ وَاِذْ هُمْ نَجْوٰٓى اِذْ يَقُوْلُ الظّٰلِمُوْنَ اِنْ تَتَّبِعُوْنَ اِلَّا رَجُلًا مَّسْحُوْرًا 

“Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan engkau (Muhammad), dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang zalim itu berkata, “Kamu hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir.” (QS al-Isra: 47). 

Dukungan dan jaminan perlindungan Allah dari berbagai penistaan dinyatakan dalam sebuah firman-Nya:

‎اِنَّا كَفَيْنٰكَ الْمُسْتَهْزِءِيْنَۙ “Sesungguhnya Kami memelihara engkau (Muhammad) dari (kejahatan) orang yang memperolok-olokkan (engkau).” (QS al-Hijr: 95).

Ayat ini turun dalam kontek perintah Allah SWT agar Nabi Muhammad mulai menyampaikan dakwah secara terang-terangan.

Seakan Allah mengingatkan bahwa ketika itu dilakukan akan muncul pelecehan, hinaan, dan cemoohan. Tetapi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab Allah yang akan melindunginya dan risalah yang dibawanya. 

photo

Kawasan Raudhah dan koridor di depan Makam Rasulullah SAW kian padat menyusul makin banyaknya jamaah haji yang tiba di Madinah, Selasa (24/7). Para jamaah berebut mengunjungi tempat yang disebut penuh berkah tersebut. – (Republika/Fitriyan Zamzami)Muncul pertanyaan, bila benar Allah memelihara Nabi dari gangguan manusia jahat dan dari kejahatan orang yang meperolok-olokkan, lalu mengapa penistaan terhadap Nabi masih terjadi dan selalu berulang? 

Jawabannya, Allah memelihara dan melindung Nabi-Nya dengan cara menjadikan penistaan dan tuduhan mereka tidak berpengaruh apa pun terhadap sosok Nabi dan dakwah serta risalah yang dibawanya. Tujuan mereka untuk menghentikan dakwah Nabi tidak tercapai. 

Bahkan sebaliknya, semua itu hanya akan membuat Nabi selalu mencuri perhatian sehingga mendorong orang untuk mencari tahu tentang Nabi Muhammad. Setelah mengetahui keagungan akhlak dan kepribadiannya serta cinta dan kasih sayangnya, mereka justru beriman atau paling tidak memahami dan menghormatinya.  

Mereka yang memusuhi Nabi, nasibnya akan mengalami seperti yang dinyatakan dalam Alquran:

‎اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ “Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS al-Kautsar: 3).

‎ اِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَاَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِيْنًا  “Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka.” (QS al-Ahzab: 57).

KHAZANAH REPUBLIKA


Inikah Zaman yang Dimaksudkan Rasulullah Itu?

DARI Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Akan datang ke pada manusia:
tahun-tahun penuh kebohongan,
saat itu pendusta dibenarkan
orang yang benar justru didustakan
pengkhianat diberikan amanah
orang yang dipercaya justru dikhianati
dan Ar-Ruwaibidhah berbicara.”

Ditanyakan: “Apakah Ar-Ruwaibidhah?” Beliau bersabda: “Seorang laki-laki yang bodoh (Ar Rajul At Taafih) yang mengurusi urusan orang banyak.” (HR. Ibnu Majah No. 4036. Ahmad No. 7912. Dihasankan oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Taliq Musnad Ahmad No. 7912. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: sanadnya jayyid. Lihat Fathul Bari, 13/84)

Inilah zaman itu. Pembohong dibenarkan, orang benar didustakan. Para pengkhianat diberikan amanah, orang yang amanah justru dikhianat. Para ulama yang ingin melindungi NKRI dari komunis malah direndahkan fatwanya, kepribadian mereka dilecehkan, dan dibuat jauh dari umatnya.

Gerombolan preman justru dibela oleh aparat yang seharusnya memberantas mereka, sementara para ulama dimusuhi dan dibenci. Media-media busuk pemfitnah ulama dan umat semakin menjamur. Ulama suu’ (buruk), penerus Bal’am, yang menjual agama dengan dunia disanjung-sanjung setinggi-tingginya.

Itulah Ar-Ruwaibidhah, secara bahasa merupakan tashghir (pengecilan) dari Ar Raabidh yang artinya berlutut. Ya, saat itu banyak orang-orang yang rendah (berlutut) tetapi justru banyak bicara seakan menjadi pahlawan padahal mereka merusak negeri. Wallahul Musta’an. [Ustaz Farid Nu’man Hasan.S.S.]

INILAH MOZAIK