Masih Malas Sholat Lima Waktu? Ingat Bahayanya

Sholat adalah salah satu amal ibadah yang penting dalam Islam. Bahkan, sholat lima waktu menjadi salah satu rukun dalam Islam.

Artinya, ada kewajiban bagi umat Islam untuk melaksanakan sholat lima waktu. Namun, jika ada yang meremehkan, patut diketahui bahayanya bagi si pelaku.

Jika ada yang meremehkan, maka ada 15 bencana yang  akan didapat. Dalam buku “Manusia Suci; Biografi Singkat, Mutiara Hikmah dan Adab Menziarahinya” dijelaskan, Sayyidah Fathimah berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku berkenaan dengan orang yang meremehkan sholat, baik laki-laki maupun wanita. Ia (Rasulullah) bersabda: “Barang siapa meremehkan sholat, baik laki-laki maupun wanita, Allah akan menimpakan atasnya 15 macam bala’ atau bencana:

Pertama, Allah akan menghilangkan berkah dari umurnya. Kedua, Allah akan menghilangkan berkah dari rezekinya. Ketiga Allah akan memusnahkan tanda-tanda orang shaleh dari wajahnya. Keempat, setiap amalan yang diamalkannya tidak akan diberi pahala.

Kelima, doanya tidak akan naik ke langit atau tidak dikabulkan. Keenam, doa orang-orang shaleh tidak akan meliputinya. Ketujuh, ia akan meninggal dunia terhina. Kedelapan, ia akan meninggal dunia kelaparan.

Kesembilan, ia akan meninggal dunia kehausan. Seandainya ia minum seluruh air sungai yang berada di dunia ini, niscaya dahaganya tidak akan sirna. Kesepuluh, Allah akan mengutus malaikat yang siap menakut-nakutinya di dalam kubur.

Sebelas, kuburnya akan terasa sempit dan hanya kegelapan yang akan menyelimutinya. Duabelas, Allah akan mengutus malaikat yang akan menyeretnya dalam keadaan tengkurap dengan disaksikan oleh para makhluk.

Tigabelas, ia akan dihisab dengan hisab yang berat. Empatbelas, Allah tidak akan sudi melihat wajahnya. Limabelas, Allah tidak akan menyucikannya, dan baginya siksaan yang pedih.

Selain itu, meremehkan salat juga termasuk kemungkaran yang besar dan termasuk sifat orang-orang munafik, Allah Swt telah berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 142:

إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud ria (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.”

Setiap Muslim dan Muslimah wajib memelihara shalat lima waktu, melaksanakannya dengan thuma’ninah, konsentrasi dan khusyuk, serta menghadirkan hati. Karena Allah telah berfirman dalam surat Al-Mukminun ayat 1-2:

قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.”

ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ   

“(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya.”

IHRAM



Kewajiban Shalat secara Berjamaah (Bag. 1)

Termasuk dalam syi’ar Islam yang paling agung adalah shalat jamaah di masjid bersama dengan kaum muslimin. Shalat tersebut merupakan kewajiban bagi laki-laki, baik ketika sedang safar (menjadi musafir) ataukah tidak, baik dalam kondisi aman ataukah dalam kondisi ketakutan (misalnya, ketika perang).

Shalat jamaah ini hukumya fardhu ‘ain, karena didukung oleh dalil-dalil baik dari Al-Kitab, As-Sunnah, dan juga praktek kaum muslimin dari masa ke masa. Untuk mewujudkan shalat jamaah itu, masjid-masjid dimakmurkan, dan ditunjuklah imam dan muadzin tetap. Juga disyariatkan panggilan adzan dengan suara yang jelas,

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

“Hayya ‘alash shalaat, hayya ‘alal falaah”

(Marilah shalat, marilah menuju kemenangan)

Dalil dari Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman, memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendirikan shalat berjamaah dalam kondisi ketakutan karena peperangan,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (QS. An-Nisa’ [4]: 102)

Terdapat kaidah bahwa perintah Allah Ta’ala kepada nabi adalah perintah kepada umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perintah tersebut adalah khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ayat ini jelas menunjukkan kewajiban shalat berjamaah, karena Allah Ta’ala tidak memberikan keringanan untuk meniadakan kewajiban shalat berjamaah ketika perang. Seandainya shalat berjamaah tidak wajib, maka tentu yang lebih utama adalah meninggalkan shalat berjamaah ketika perang berkecamuk. Karena dalam kondisi perang, banyak wajib shalat yang ditinggalkan.

Maka hal ini menunjukkan kewajiban shalat berjamaah itu sangat ditekankan. Dalam shalat khauf, terdapat banyak kelonggaran, misalnya ada gerakan di luar shalat yang banyak, membawa senjata, shalat sambil mengawasi pergerakan musuh, dan boleh tidak menghadap kiblat. Semua kelonggaran ini diberikan demi tetap dilaksanakannya shalat berjamaah. Ini adalah dalil yang paling tegas dan jelas tentang wajibnya shalat berjamaah.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)

Dalam ayat tersebut, setelah Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk mendirikan shalat, Allah Ta’ala pun perintahkan untuk mendirikan shalat bersama dengan orang-orang yang rukuk, yaitu di rumah Allah (di masjid).

“Dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”, maksudnya yang wajib bagi orang yang shalat dari kalangan laki-laki adalah agar dia shalat dalam kondisi semacam itu, yaitu bersama-sama dengan orang-orang yang shalat (berjamaah), bukan shalat di rumah dan shalat sendirian.

Dalil dari As-Sunnah

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنَ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا، لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ المُؤَذِّنَ، فَيُقِيمَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا يَؤُمُّ النَّاسَ، ثُمَّ آخُذَ شُعَلًا مِنْ نَارٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لاَ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ بَعْدُ

“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik kecuali shalat subuh dan isya’. Seandainya mereka mengetahui (kebaikan) yang ada pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak. Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan seorang muazin sehingga shalat ditegakkan dan aku perintahkan seseorang untuk memimpin orang-orang shalat, lalu aku menyalakan api dan membakar (rumah-rumah) orang yang tidak keluar untuk shalat berjamaah (tanpa alasan yang benar).” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menandai orang-orang yang tidak mau shalat berjamaah sebagai orang yang memiliki penyakit kemunafikan. Hal ini juga terdapat dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’ [4]: 142)

Allah Ta’ala juga berfirman tentang mereka,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At-Taubah [9]: 54)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengancam orang-orang yang tidak mau shalat jamaah bahwa rumah-rumah mereka akan dibakar. Ini adalah hukuman yang sangat tegas. Pertama-tama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sifat munafik, kemudian mereka diancam dengan rumah mereka akan dibakar. Sekali lagi, ini adalah dalil tegas besarnya pelanggaran tidak mau menghadiri shalat berjamaah, dan mereka berhak mendapatkan hukuman yang besar di dunia dan di akhirat.

Dalam perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Seandainya mereka mengetahui (kebaikan) yang ada pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak”; terdapat peringatan penting bahwa kehadiran seseorang untuk berjamaah di masjid, konsisten shalat jamaah, dan juga perhatian terhadap shalat jamaah adalah cabang (buah) dari perhatian (kepedulian) hati terhadap shalat jamaah dan dia mengetahui kedudukan mendirikan shalat secara berjamaah.

Adapun hati yang lalai, yang tidak mengetahui tingginya kedudukan shalat jamaah, dan juga tidak mengetahui kedudukan shalat berjamaah di masjid, maka pasti orang tersebut tidak akan mau shalat jamaah.

Abul Qasim Al-Ashbahani rahimahullah meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Perbuatan yang dibenci ketika seorang laki-laki berdiri shalat dalam kondisi malas. Akan tetapi, dia hendaknya berdiri dengan wajah berseri-seri, motivasi (keinginan) yang besar, dan rasa gembira yang sangat. Karena dia sedang berbisik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Karena Allah Ta’ala ada di depannya, mengampuninya, dan mengabulkan jika dia berdoa kepada-Nya.” Kemudian Ibnu ‘Abbas membaca ayat ini,

وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.” (QS. An-Nisa’ [4]: 142) (At-Targhiib wa At-Tarhiib no. 1904)

Jadi, adanya rasa malas dan rasa enggan untuk shalat berjamaah di masjid itu disebabkan oleh hati yang lemah dan rapuh, tidak mengetahui nilai dan kedudukan shalat berjamaah.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ

“Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya,

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟

“Apakah Engkau mendengar panggilan shalat (azan)?”

Laki-laki itu menjawab, “Benar.”

Beliau bersabda,

فَأَجِبْ

“Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).” (HR. Muslim no. 653)

Laki-laki yang buta ini memiliki penghalang (‘udzur) yang banyak untuk tidak bisa shalat berjamaah. Meskipun demikian, kewajiban shalat berjamaah itu tidaklah gugur darinya. Lalu, bagaimana lagi dengan kondisi orang yang tidak memiliki ‘udzur? Yaitu, dalam kondisi rumahnya bersebelahan dengan masjid, suara muadzin mengepung rumahnya dari berbagai penjuru? Dia dipanggil shalat jamaah namun tidak mau datang, dia diperintah shalat jamaah namun tidak mau melaksanakan, dia bermaksiat kepada Rabb-nya, dan tidak mau bertaubat.

Semisal itu adalah hadits dari sahabat Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah banyak binatang berbisa dan binatang buas.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَلْ تَسْمَعُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ؟

“Apakah kamu mendengar seruan azan ‘Hayya ‘alash shalaah, Hayya ‘alal falaah’?”

Ibnu Ummi Maktum menjawab, “Iya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَحَيَّ هَلًا

“Karena itu, penuhilah!”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan untuk tidak shalat jamaah baginya.” (HR. Ahmad no. 15490, Abu Dawud no. 553, dan An-Nasa’i no. 851. Sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani di Shahih Abu Dawud no. 562)

[Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 15 Rabi’ul awwal 1442/ 1 November 2020

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 50-53, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

Salat, Jumat ke Jumat dan Ramadan Penghapus Dosa

DARI Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Salat lima waktu, Jumat ke Jumat, dan Ramadan ke Ramadan adalah penghapus dosa-dosa yang di antara semua itu, jika dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 233]

Faedah Hadis

Pertama: Salat lima waktu yang wajib, salat Jumat, puasa Ramadan, dapat menghapuskan dosa dan maksiat.

Kedua: Hadis ini menunjukkan keutamaan salat lima waktu.

Ketiga: Hadis ini menunjukkan keutamaan hari Jumat.

Keempat: Yang dimaksud dalam hadis “Jumat ke Jumat” adalah dari salat Jumat ke salat Jumat.

Kelima: Hadis ini menunjukkan keutamaan bulan Ramadan.

Keenam: Syaikh As-Sadi menjelaskan surah An-Nisa ayat 48 dalam Tafsir As-Sadi (hlm. 178), “Dosa di bawah kesyirikan telah dijadikan oleh Allah berbagai bentuk pengampunan dengan sebab yang banyak. Di antara sebab pengampunan dosa adalah kebaikan yang dapat menghapuskan dosa, musibah yang diperoleh ketika di dunia, cobaan di alam barzakh dan hari kiamat, juga doa seorang mukmin pada mukmin lainnya, termasuk pula syafaat dari orang yang berhak memberikan syafaat. Di atas itu semua ada rahmat (kasih sayang) Allah pada ahlul iman dan orang yang bertauhid.”

Tentang ayat yang dimaksud, Allah Taala berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48)

Ketujuh: Satu waktu ada yang istimewa dari waktu yang lain.

Kedelapan: Dosa-dosa bisa dihapus dengan syarat menjauhi dosa besar. Jika tidak dijauhi, maka dosa-dosa kecil tidak terhapus. Allah Taala berfirman,

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa: 31)

Kesembilan: Dosa besar hanya dihapuskan dengan tobat dan karunia dari Allah. [rumaysho]

INILAH MOZAIK

Berdosakah Lelaki yang Tak Salat Jemaah di Masjid?

RASULULLAH shallallahu alaihi wa sallam memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jamaah yaitu ingin membakar rumah mereka. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa shalat jamaah adalah wajib. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jamaah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjamaah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab,”Ya”. Rasulullah bersabda,”Penuhilah seruan (adzan) itu.”

Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jamaah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya alash sholah, hayya alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.”

Lihatlah laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur: [1] dia adalah seorang yang buta, [2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani, [3] banyak sekali tanaman, dan [4] banyak binatang buas. Namun karena dia mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jamaah. Walaupun punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan shalat jamaah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya?!

Kesimpulan: Shalat jamaah adalah wajib (fardhu ain) sebagaimana hal ini adalah pendapat Atho bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Abu Amr Al Awzai, Abu Tsaur, Al Imam Ahmad (yang nampak dari pendapatnya) dan pendapat Imam Asy Syafii dalam Mukhtashor Al Muzanniy. Imam Asy Syafii mengatakan: “Adapun shalat jamaah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” Pendapat Imam Asy Syafii ini sangat berbeda dengan ulama-ulama Syafiiyah.

Menurut Hanafiyyah yang benar dari pendapat mereka- dan ini juga adalah pendapat mayoritas Malikiyah, juga pendapat Syafiiyah bahwa shalat jamaah 5 waktu adalah sunnah muakkad. Namun sunnah muakkad menurut Hanafiyyah adalah hampir mirip dengan wajib yaitu nantinya akan mendapat dosa. Dan ada sebagian mereka (Hanafiyyah) yang menegaskan bahwa hukum shalat jamaah adalah wajib. Lalu pendapat yang paling kuat dari Syafiyah, shalat jamaah 5 waktu adalah fardhu kifayah. Pendapat ini juga adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah semacam Al Karkhiy dan Ath Thohawiy.

Namun sebagian Malikiyah, mereka memberi rincian. Shalat jamaah menurut mereka adalah fardhu kifayah bagi suatu negeri. Jika di negeri tersebut tidak ada yang melaksanakan shalat jamaah, maka mereka harus diperangi. Namun menurut mereka, hukum shalat jamaah 5 waktu adalah sunnah di setiap masjid yang ada dan merupakan keutamaan bagi para pria. Namun menurut Hanabilah, juga salah satu pendapat Hanafiyyah dan Syafiiyyah bahwa shalat jamaah adalah wajib, namun bukan syarat sah shalat.

Itulah perselisihan ulama yang ada. Ada yang mengatakan shalat jamaah 5 waktu adalah fardhu ain, ada pula yang mengatakan fardhu kifayah, dan ada pula yang mengatakan sunnah muakkad. Namun, agar lebih-lebih hati-hati dan tidak sampai terjerumus dalam dosa, maka pendapat yang lebih tepat kita pilih sebagaimana dalil-dalil yang telah diutarakan di atas: shalat jamaah 5 waktu adalah wajib, fardhu ain.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai hukum shalat berjamaah di masjid dari Al Quran dan As Sunnah. Kami tegaskan bahwa untuk wanita, tidak diwajibkan bagi mereka untuk shalat jamaah di masjid berdasarkan kesepakatan (ijma) para ulama. Ya Allah dengan izin-Mu, berilah kami petunjuk kepada kebenaran atas semua perkara yang dipersilisihkan. Amin Ya Mujibbas Sailin. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Inilah Rahasia Mengapa Shalat Harus di Awal Waktu

Ternyata anjuran tersebut ada hikmahnya. Menurut para ahli, setiap perpindahan waktu sholat, bersamaan dengan terjadinya perubahan tenaga alam dan dirasakan melalui perubahan warna alam. Kondisi tersebut dapat berpengaruh pada kesehatan, psikologis dan lainnya. Berikut ini kaitan antara shalat di awal waktu dengan warna alam.

Waktu Subuh
Pada waktu subuh, alam berada dalam spektrum warna biru muda yang bersesuaian dengan frekuensi tiroid (kelenjar gondok). Dalam ilmu Fisiologi (Ilmu biologi yang mempelajari berlangsungnya sistem kehidupan) tiroid mempunyai pengaruh terhadap sistem metabolisma tubuh manusia. Warna biru muda juga mempunyai rahasia tersendiri berkaitan dengan rejeki dan cara berkomunikasi. Mereka yang masih tertidur nyenyak pada waktu Subuh akan menghadapi masalah rejeki dan komunikasi. Mengapa? Karena tiroid tidak dapat menyerap tenaga biru muda di alam ketika roh dan jasad masih tertidur. Pada saat azan subuh berkumandang, tenaga alam ini berada pada tingkatan optimal. Tenaga inilah yang kemudian diserap oleh tubuh kita terutama pada waktu ruku dan sujud.

Waktu Zuhur
Alam berubah menguning dan ini berpengaruh kepada perut dan sistem pencernaan manusia secara keseluruhan. Warna ini juga punya pengaruh terhadap hati. Warna kuning ini mempunyai rahasia berkaitan dengan keceriaan seseorang. Mereka yang selalu ketinggalan atau melewatkan sholat Zuhur berulang kali akan menghadapi masalah dalam sistem pencernaan serta berkurang keceriaannya.

Waktu Ashar
Alam berubah lagi warnanya menjadi oranye. Hal ini berpengaruh cukup signifikan terhadap organ tubuh yaitu prostat, rahim, ovarium/ indung telur dan testis yang merupakan sistem reproduksi secara keseluruhan. Warna oranye di alam juga mempengaruhi kreativitas seseorang. Orang yang sering ketinggalan waktu Ashar akan menurun daya kreativitasnya. Di samping itu organ-organ reproduksi ini juga akan kehilangan tenaga positif dari warna alam tersebut.

Waktu Maghrib
Warna alam kembali berubah menjadi merah. Sering pada waktu ini kita mendengar banyak nasehat orang tua agar tidak berada di luar rumah. Nasehat tersebut ada benarnya karena pada saat Maghrib tiba, spektrum warna alam selaras dengan frekuensi jin dan iblis. Pada waktu ini jin dan iblis amat bertenaga karena mereka ikut bergetar dengan warna alam. Mereka yang sedang dalam perjalanan sebaiknya berhenti sejenak dan mengerjakan sholat Maghrib terlebih dahulu. Hal ini lebih baik dan lebih selamat karena pada waktu ini banyak gangguan atau terjadi tumpang-tindih dua atau lebih gelombang yang berfrekuensi sama atau hampir sama dan bisa menimbulkan fatamorgana yang bisa mengganggu penglihatan kita.

Waktu Isya
Pada waktu ini, warna alam berubah menjadi nila dan selanjutnya menjadi gelap. Waktu Isya mempunyai rahasia ketenteraman dan kedamaian yang frekuensinya sesuai dengan sistem kontrol otak. Mereka yang sering ketinggalan waktu Isya akan sering merasa gelisah. Untuk itulah ketika alam mulai diselimuti kegelapan, kita dianjurkan untuk mengistirahatkan tubuh ini. Dengan tidur pada waktu Isya, keadaan jiwa kita berada pada gelombang Delta dengan frekuensi dibawah 4 Hertz dan seluruh sistem tubuh memasuki waktu rehat. Selepas tengah malam, alam mulai bersinar kembali dengan warna-warna putih, merah jambu dan ungu. Perubahan warna ini selaras dengan kelenjar pineal (badan pineal atau “mata ketiga”, sebuah kelenjar endokrin pada otak) kelenjar pituitary, thalamus (struktur simetris garis tengah dalam otak yang fungsinya mencakup sensasi menyampaikan, rasa khusus dan sinyal motor ke korteks cerebral, bersama dengan pengaturan kesadaran, tidur dan kewaspadaan) dan hypothalamus (bagian otak yang terdiri dari sejumlah nucleus dengan berbagai fungsi yang sangat peka terhadap steroid, glukokortikoid, glukosa dan suhu). Maka sebaiknya kita bangun lagi pada waktu ini untuk mengerjakan sholat malam (tahajud).

Kita sebagai umat Islam sepatutnya bersyukur karena telah di’karuniakan’ syariat shalat oleh Alloh Swt …semoga kita termasuk org2 yg sll sholat tepat waktu.

Pengirim: Ustadz Salim Abdullah, berbagai sumber

 

 

 

– See more at:

http://voa-islam.com/read/science/2014/10/08/33203/voaislamic-science-4-inilah-rahasia-mengapa-shalat-harus-di-awal-waktu/#sthash.2i7yFDAv.dpuf

 

Dosa Meninggalkan Shalat

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Banyak orang menyatakan dirinya beragama Islam, namun diantara mereka tidak memperhatikan masalah shalat, bahkan ada juga yang tidak melaksanakan shalat sama sekali. Kenapa demikian ? Diantara penyebabnya, mereka tidak mengetahui kedudukan shalat yang sangat agung dalam agama.

KEDUDUKAN SHALAT DALAM AGAMA ISLAM
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan merupakan kewajiban terbesar setelah dua syahadat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun di atas lima tiang: Syahadat Lâ ilâha illa Allâh dan Muhammad Rasûlullâh; menegakkan shalat; memberikan zakat; haji; dan puasa Ramadhân.” [HR. Bukhâri, no. 8; Muslim, no. 16]

Oleh karena itu shalat merupakan tiang agama. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Pokok urusan (agama) itu adalah Islam (yakni: syahadatain) , tiangnya shalat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad.” [HR. Tirmidzi, no: 2616; dll, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani]

Karena pentingnya ibadah shalat, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga shalat dengan sebaik-baiknya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthâ (shalat Ashar). Dan berdirilah untuk Allâh (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [Al-Baqarah/2: 238]

Demikian juga shalat merupakan pembatas antara iman dengan kekafiran. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan shalat. [HR. Muslim, no: 82, dari Jabir]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian yang ada antara kami dengan mereka adalah shalat. Maka barangsiapa meninggalkannya, dia telah kafir. [HR. Tirmidzi, no: 2621; dll; Dishohihkan oleh syeikh Al-Albani]

Oleh karena itu, shalat merupakan amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya pertama kali amal hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka dia beruntung dan sukses, namun jika shalatnya rusak, maka dia gagal dan rugi. Jika ada sesuatu kekurangan dari shalat wajibnya, maka ar-Rabb (Allâh) Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Perhatikan (wahai para malaikat) apakah hambaKu ini memiliki shalat tathowwu’ (sunah), sehingga kekurangan yang ada pada shalat wajibnya bisa disempurnakan dengannya!”. Kemudian seluruh amalannya akan dihisab seperti itu. [HR. Ibnu Majah, no: 1425; Tirmidzi, no: 413; lafazh ini bagi imam Tirmidzi; dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani]

Bahaya Meninggalkan Shalat
Menyia-nyiakan shalat merupakan sebab kesesatan, lalu bagaimana dengan meninggalkannya? Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ ﴿٥٩﴾ إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا

Maka datanglah sesudah mereka (yakni sesudah para Nabi), pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun. [Maryam/19: 59-60]

Orang-orang yang melaksanakan shalat, namun lalai dari shalatnya, mendapatkan kecelakaan yang besar, lalu bagaimana dengan orang-orang yang meninggalkannya ? Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. [Al-Mâ’ûn/107: 4-5]

Oleh karena itu Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa meninggalkan shalat merupakan penyebab utama masuk neraka. Allâh Azza wa Jalla menceritakan jawaban para penghuni neraka ketika ditanya oleh para penghuni surga tentang sebab masuk neraka.

قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ﴿٤٣﴾ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ﴿٤٤﴾ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ ﴿٤٥﴾ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ ﴿٤٦﴾ حَتَّىٰ أَتَانَا الْيَقِينُ ﴿٤٨﴾ فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ

Mereka (para penghuni neraka Saqor) menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”. Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.[Al-Muddatstsir/74: 43-48]

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT
Meninggalkan shalat ada dua bentuk :

• Meninggalkan shalat sambil meyakini bahwa shalat itu tidak wajib, maka pelakunya kafir. Ini berdasarkan kesepakatan Ulama.

• Meninggalkan shalat, karena malas namun tetap meyakini bahwa shalat itu wajib. Dalam masalah ini para ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat. Sebagian mereka berpendapat bahwa pelakunya belum kafir, sementara sebagian yang lain menghukuminya kafir. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat –insya Allâh- berdasarkan banyak dalil dan perkataan as-salafush shalih.

Pendapat yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah pendapat mayoritas Shahabat. [Lihat: Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, 1/172-177]

Bahkan sebagian Ulama menukilkan adanya ijma’ sahabat Nabi tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Seperti Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla, 2/242-243, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Kitâbus Shalat, hlm. 26, dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumti’ 2/28].

Seorang tabi’in, Abdullâh bin Syaqîq rahimahullah, berkata, “Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang sesuatu di antara amalan-amalan yang meninggalkannya merupakan kekafiran selain shalat”. [Riwayat al-Hakim, lihat: Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, 1/174]

Perbedaan pendapat Ulama tentang masalah meninggalkan shalat merupakan kekafiran atau bukan, ini menunjukkan besarnya kedudukan shalat.

HUKUMAN BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin tidak berselisih pendapat bahwa meninggalkan shalat wajib dengan sengaja termasuk dosa besar yang terbesar, dan bahwa dosanya di sisi Allâh lebih besar daripada dosa membunuh, merampas harta orang, berzina, mencuri, dan minum khamr. Dan bahwa pelakunya menghadapi hukuman Allah, kemurkaanNya, dan kehinaan dariNya di dunia dan akhirat.

Kemudian ulama berbeda pendapat tentang (hukum) bunuh terhadapnya, tentang cara (hukum) bunuh terhadapnya, dan tentang kekafirannya.

(Imam) Sufyân bin Sa’id ats-Tsauri, Abu ‘Amr al-Auza’i, Abdullâh bin al-Mubârak, Hammad bin bin Zaid, Waki’ bin al-Jarrah, Mâlik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syâfi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahûyah dan murid-murid, mereka berfatwa bahwa orang yang meninggalkan shalat di (hukum) bunuh. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang cara (hukum) bunuh terhadapnya. Mayoritas mereka berkata, “Dibunuh dengan pedang dengan cara dipenggal lehernya”. Sebagian pengikut imam Syâfi’i berkata, “Dia dipukul dengan kayu sampai dia shalat atau dia mati”. Ibnu Suraij berkata, “Dia ditusuk dengan pedang sampai mati, karena hal itu lebih sempurna di dalam menghentikannya dan lebih diharapkan untuk kembali (taubat)”. [Ash-Shalat wa Hukmu Tarikiha, hlm. 29-30]

Hukum bunuh tersebut tentu penguasa yang berhak melakukan setelah pelakunya diminta untuk bertaubat dan melakukan shalat, namun dia menolaknya.

Inilah sedikit keterangan mengenai kedudukan shalat yang sangat agung di dalam agama Islam, dan bahaya meninggalkannya. Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala selalu menolong kita untuk melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya. Aamiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

 

foto: Wisata Hati Yusuf Mansur

Fatwa Ulama: Shalat Jama’ah Di Rumah Bersama Keluarga

Soal:

Apakah sah seseorang shalat jama’ah bersama keluarganya di rumah, ataukah tidak sah?

Jawab:

Jika rumah anda tidak terdapat satu pun masjid di lingkungan sekitarnya atau anda memiliki udzur untuk melaksanakan shalat di masjid maka hukumnya boleh bahkan lebih afdhal anda shalat berjamaah di rumah bersama keluarga anda. Bahkan lebih afdhal juga bagi istri anda, ia shalat bermakmum pada anda.

Namun tidak diperbolehkan seseorang muslim (lelaki) shalat berjamaah di rumahnya dan meninggalkan shalat jama’ah di masjid-masjid. Ini hukumnya haram, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan karena itu merupakan bentuk ketidak-sukaan terhadap sunnah Nabi. Dan ketika seseorang tidak suka terhadap sunnah Nabi dan lebih menuruti nafsunya, itu karena keadaan dirinya yang rusak.

 

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/30506

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Meninggalkan Shalat Adalah Kufur, Sebabkan Pelakunya Keluar dari Islam

Meninggalkan shalat wajib adalah kufur. Oleh karena itu, barang siapa meninggalkan shalat dengan mengingkari hukum wajibnya, menurut kesepakatan ijma’ para ulama, dia telah masuk dalam kategori kufur besar, meski terkadang dia juga mengerjakannya . (Abdullah bin Baaz , kitab Tuffatu al ikhwaan bi ajwibatin Muhimmatin Tata’allaqu bi arkaani al Islam)

Adapun orang yang meninggalkan shalat secara total, sedang dia meyakini hukum wajibnya dan tidak mengingkarinya, dia juga kufur. Yang benar dari pendapat para ulama adalah bahwa kufurnya itu adalah kufur besar yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Hal itu didasarkan pada dalil yang cukup banyak, diantaranya :

 

68:42
68:43

“Pada hari ketika betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera (QS al Qalam 42- 43)

Hal itu menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu masuk dalam golongan orang orang kafir dan orang orang munafik yang punggung mereka tetap tegak ketika kaum muslimin bersujud. Seandainya mereka termasuk golongan kaum muslimin, niscaya mereka akan diperkenankan untuk bersujud sebagaimana yang diperkenankan kepada kaum muslimin.

74:38
74:39
74:40
74:41
74:42
74:43
74:44
74:45
74:46

“Tiap tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada dalam surge, mereka saling bertanya, tentang keadaan orang orang yang berdosa. “apakah yang memasukkan kamu ke dalam Neraka Saqar? Mereka menjawab,” Kami dahulu tidak termasuk orang orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin, dan kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan. (QS Al Muddatsir 38-46)

Dengan demikian, orang yang meninggalkan shalat termasuk orang orang yang berbuat dosa dan akan masuk ke dalam Neraka saqar.

 

9:11

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka itu adalah saudara saudara seagama, dan Kami menjelaskan ayat ayat itu bagi kaum yang mengetahui (QS At Taubah 11)

صحيح مسلم ١١٦: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ كِلَاهُمَا عَنْ جَرِيرٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُا
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Dari Jabir RA, dia bercerita,”Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,” Pemisah antara seseorang dengan syirik dan kekufuran adalah perbuatan meninggalkan shalat.” (HR Muslim)

Imam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu dinilai telah kafir besar, Ibnu Qayyim menyebutkan lebih dari 22 dalil yang mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat dengan kufur besar.

-Sumber : Shalaatul Mu’min Ensiklopedia