Masing-Masing Memiliki Haknya

Hadits Muslim Nomor 2750

Abu Rib’iy Hanzhalah bin Ar Rabi’ Al-Usaidiy Al-Katib – salah seorang juru tulis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam – berkata,

لَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ، فَقالَ: كيفَ أَنْتَ؟ يا حَنْظَلَةُ قالَ: قُلتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، قالَ: سُبْحَانَ اللهِ ما تَقُولُ؟ قالَ: قُلتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، يُذَكِّرُنَا بالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حتَّى كَأنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِن عِندِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، عَافَسْنَا الأزْوَاجَ وَالأوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ، فَنَسِينَا كَثِيرًا، قالَ أَبُو بَكْرٍ: فَوَاللَّهِ إنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هذا، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ، حتَّى دَخَلْنَا علَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، قُلتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، يا رَسُولَ اللهِ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ وَما ذَاكَ؟ قُلتُ: يا رَسُولَ اللهِ، نَكُونُ عِنْدَكَ، تُذَكِّرُنَا بالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حتَّى كَأنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِن عِندِكَ، عَافَسْنَا الأزْوَاجَ وَالأوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ، نَسِينَا كَثِيرًا فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ إنْ لو تَدُومُونَ علَى ما تَكُونُونَ عِندِي، وفي الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ المَلَائِكَةُ علَى فُرُشِكُمْ وفي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

“Abu Bakar radhiallahu’anhu menjumpaiku dan berkata, ‘Bagaimana kabarmu ya Hanzhalah?‘ Aku pun menjawab, ‘Aku telah menjadi munafik.‘ Abu Bakar berkata, ‘Subhanallah, apa yang sedang kau katakan?‘ Jawabku, ‘Ketika kami berada di majelis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seakan-akan surga dan neraka ada di hadapan kami (ketika Rasulullah mengingatkan kami tentangnya – pent.). Namun, saat kami berada diluar majelisnya maka kami disibukkan dengan istri-istri, anak-anak dan kehidupan kami hingga kami banyak lupa (terhadap akhirat).‘ Maka berkata Abu Bakar radhiallahu’anhu, ‘Demi Allah, Aku pun merasakan hal yang sama.‘ Maka kami pun bermaksud mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Aku pun berkata, ‘Hanzhalah telah munafik wahai Rasulullah.‘ Rasulullah bertanya, ‘Apa maksudmu?‘ Jawabku, ‘Wahai Rasulullah seakan surga dan neraka ada dihadapan kami ketika engkau mengingatkan kami tentangnya dalam majelismu. Akan tetapi, ketika kami tidak lagi berada di majelismu kamipun lalai dengan anak, istri dan kehidupan kami sehingga kami banyak melupakan (akhirat).‘ Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwa aku ada pada genggaman-Nya, jika kalian terus beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan selalu mengingat akhirat, maka niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur kalian maupun di jalan-jalan. Namun Hanzhalah, manusia itu sesaat begini dan sesaat begitu.‘ Beliau mengulanginya sampai tiga kali.” (HR. Muslim no. 2750).

Penjelasan Hadits

Al-‘Allamah Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

Perkataan penulis (kitab Riyadus Shalihin) rahimahullah sebagaimana kutipan dari Hanzhalah Al-Katib, salah satu juru tulis wahyu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bahwasannya yang dimaksud dari perkataan Hanzhalah, “Abu Bakar radhiallahuanhu menemuiku. Maka aku berkata, ‘Hanzhalah telah munafik.’” maksudnya (dia menyangka hal itu terjadi pada ed.) dirinya sendiri. Kemudian makna naafaqo adalah (dirinya telah ed.) menjadi munafik. Ia mengatakan demikan atas prasangka darinya –radhiallahu’anhu– bahwa apa yang telah ia lakukan adalah suatu perbuatan kemunafikan.

Kemudian percakapan berikutnya, dimana Abu Bakar radhiallahu’anhu bertanya, “Apa maksudmu?” Kemudian Hanzalah radhiallahu’anhu menjawab, “ketika kami berada di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seakan-akan surga dan neraka ada di hadapan kami (ketika Rasul mengingatkan kami tentangnya -pent.)” memiliki maksud seakan-akan mereka (Abu Bakar dan Hanzalah merasa) benar-benar melihat surga dan neraka bersamaan dengan nasihat-nasihat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan. Hanzhalah seperti orang yang sedang menyaksikannya secara langsung, bahkan lebih. Karena memang berita tersebut bersumber dari seorang manusia yang paling jujur perkataannya dan seorang yang paling tahu tentang Rabb-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian maksud, “Namun saat kami berada di luar majelisnya, kami disibukkan oleh istri-istri, anak-anak dan kehidupan duniawi kami”, adalah senda gurau kami bersama mereka (istri, anak, dan kehidupan duniawi) menjadikan kami lupa dengan keadaan kami saat berasa di majelis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sambungan hadits, “Abu Bakar radhiallahu’anhu berkata bahwa dirinya juga mengalami hal yang sama. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ketika tiba disisi Rasul, Hanzhalah berkata, ‘Hanzhalah telah munafik ya Rasulullah. Beliau (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) bertanya, ‘Apa maksudmu?’ Hanzhalah menjawab, ‘Ketika kami berada di majelis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seakan-akan surga dan neraka ada dihadapan kami. Namun saat kami berada di luar majelisnya, kami disibukkan oleh istri-istri, anak-anak dan kehidupan duniawi’” memiliki maksud senda gurau kami bersama mereka menjadikan kami banyak lupa dengan keadaan kami di majelis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda, “Demi zat yang jiwaku berada di dalam genggamannya, jika kalian terus beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada disisiku dan mengingat selalu nasihatku, maka niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian ketika kalian berada di tempat tidur maupun di jalan.” Maksudnya adalah keyakinan yang kuat yang mereka miliki menyebabkan para malaikat akan menjabat tangan kalian sebagai bentuk penghormatan atas kalian, karena apabila bertambah yakin seorang hamba, maka Allah Ta’ala akan menjadikannya istiqomah dan menguatkannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدىً وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketaqwaan mereka.” (QS. Muhammad : 17).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda, “Akan tetapi wahai Hanzhalah, sesaat dan sesaat”. Maksudnya, sesaat untuk Rabb Azza wa Jalla, sesaat untuk anak-anak dan keluarga, sesaat untuk memberi istirahat untuk diri sendiri dan untuk memberikan hak kepada yang berhak.

Inilah sisi keadilan dan kesempurnaan syariat islam. Bahwasanya masing-masing memiliki hak yang harus kita tunaikan. Allah Ta’ala memiliki hak yang harus kita tunaikan. Begitu pula diri kita memiliki hak yang harus kita tunaikan. Keluarga, tetangga, hingga setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya terhadap diri kita. Demikian membuat kita dapat hidup dengan tenang dan beribadah kepada Allah dengan tenang. Karena manusia ketika berat terasa oleh dirinya maka ia cenderung akan bosan dan letih. Lalu ia akan banyak mengabaikan hak-hak orang lain.

Begitu juga yang terjadi dalam ibadah dan dalam menunaikan hak-hak diri, keluarga, dan tamu. Perkara ilmu pun tidak luput dari itu. Ketika seorang penuntut ilmu merasa malas untuk mengulang pelajaran suatu kitab, maka hendaklah ia mempelajari kitab yang lain. Ketika ia melihat dirinya malas untuk mempelajari bab tertentu, hendaklah ia mempelajari bab yang lain. Seperti itulah cara agar membuat dirinya tenang hingga ia menggapai ilmu yang banyak. Namun ketika ia membuat dirinya membenci sesuatu maka ia akan merasakan kemalasan dan keletihan hingga menjadikannya bosan dan meninggalkannya, kecuali bagi orang-orang tertentu yang Allah kehendaki.

Banyak orang tidak mau berletih dalam mengulangi, menelaah, dan meneliti ilmu-ilmu yang ada. Sehingga ketika semangat ini redup, hatinya akan terasa sempit. Padahal jikalau ia mau mengulang, menelaah, dan meneliti, tentu ia akan menjadi orang yang tekun dan taat. Sesungguhnya Allah Maha Memberi kemuliaan kepada orang yang dikehendakinya karena Allah sang Pemilik kemuliaan yang agung.

Disusun dari Kitab Syarah Riyadhus Shalihin (234-236/2).

**

Penyusun: Fauzan Hidayat

Pemurojaah: Yulian Purnama, S.Kom

MUSLIMorid

Arti Ghibah, Dosa dan Bagaimana Cara Taubatnya

Banyak orang menganggap ghibah sebagai dosa yang remeh. Apalagi ketika sudah berganti istilah menjadi gosip. Berikut ini pembahasan arti ghibah, dosanya dan bagaimana cara taubatnya.

Arti Ghibah

Ghibah (غيبة) berasal dari kata ghaib (غيب) yaitu tidak hadir. Ghibah adalah membicarakan sesuatu tentang orang yang tidak hadir yang jika orang tersebut mengetahuinya maka ia tidak suka. Dalam bahasa Indonesia, biasa diterjemahkan dengan menggunjing atau gosip.

Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah menjelaskan tentang ghibah dengan sabda beliau:

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

“Kamu mengatakan tentang saudaramu hal-hal yang tidak disukainya”

Ada sahabat yang bertanya, “bagaimana jika apa yang dikatakan itu memang fakta?” Beliau lantas menjawab:

إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Jika apa yang kamu katakan itu ada pada saudaramu, berarti kamu telah ghibah. Dan jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada saudaramu, berarti itu adalah fitnah.”

Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan, arti ghibah adalah engkau menyebut-nyebut orang lain yang tidak berada bersamamu dengan suatu perkataan yang ia tidak suka jika mendengarnya.

Bentuk dan Contoh Ghibah

Ghibah ini bisa beragam bentuk dan jenisnya. Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin menjelaskan, ghibah bisa berupa perkataan tentang fisik. Misalnya, kepalanya botak, mata buta sebelah, gembrot, kurus kering, dan sebagainya.

Contoh pada zaman sekarang, “Fulanah itu masa pandemi corona begini kok malah semakin gemuk.”

“Iya, Mbak. Dia itu makannya banyak. Sampai makanan teman juga disikat.”

Kedua, menyangkut pakaian atau penampilan. Contoh, “Dia nggak pantas sama sekali pakai baju begitu. Kelihatan norak dan ndeso.”

Ketiga, menyangkut sifat atau perbuatan. Contoh, “Memang dia itu pemalas. Saya pernah ke rumahnya, jam 10 baru mandi.”

Keempat, menyangkut ibadah. Contoh, “Fulan itu hanya pandai ceramah. Dia sendiri jarang puasa sunnah. Saya tahu, karena sering bertemu.”

Bentuk Ghibah bisa berupa perkataan, tulisan maupun isyarat. Imam Ghazali mencontohkan, isyarat mata yang dimaksudkan untuk mencela juga termasuk ghibah. Contoh lain, seseorang yang kakinya pincang. Lalu orang lain mengisyaratkan dia dengan menirukan cara jalan tersebut dengan maksud menghinanya.

Dosa Ghibah dan Bahayanya

Banyak orang menganggap ghibah sebagai dosa kecil, hingga meremehkannya. Maka mereka pun tetap asyik melakukan tanpa merasa telah melakukan kesalahan besar.

1. Dosa Besar

Ghibah termasuk dosa besar. Karenanya Imam Adz Dzahabi memasukkannya dalam kitab Al Kabair.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan larangannya dalam Surat Al Hujurat ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

2. Perusak Ukhuwah

Allah memfirmankan bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Bahkan persaudaraannya sangat kuat hingga Allah menyebut ikhwah dalam Surat Al Hujurat ayat 10. Setelah itu, pada ayat 11 dan 12, Allah menjelaskan tentang hal-hal yang bisa merusak ukhuwah. Salah satunya adalah ghibah.

3.  Ibarat Makan Bangkai

Dalam Al Hujurat ayat 12 tersebut, Allah mengibaratkan ghibah dengan makan bangkai saudara sendiri.

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

..dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.. (QS. Al Hujurat: 12)

Setiap orang pasti tidak suka makan bangkai. Kata fakarihtumuuh (فكرهتموه) menggunakan fi’il madhi (kata kerja lampau), menunjukkan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti semua orang merasakannya.

“Yakni sebagaimana kamu tidak menyukai hal itu secara naluri, maka bencilah perbuatan tersebut demi perintah syara’” tulis Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini. “Karena sesungguhnya hukuman yang sebenarnya jauh lebih keras dari apa yang digambarkan.”

4. Mencederai Kehormatan Muslim

Dosa menggunjing tergolong besar karena ia mencederai kehormatan seorang muslim yang sebenarnya haram baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maksudnya, haram bagi seorang muslim menumpahkan darah sesama muslim. Haram pula mengambil harta muslim yang lain tanpa hak. Dan juga haram mencederai kehormatannya.

Ibnu Taimiyah menjelaskan, semakin besar iman seseorang yang ia cederai kehormatannya, semakin besar pula dosanya. Demikian pula semakin besar iman seseorang yang ia gunjing, semakin besar pula dosanya.

5. Allah Buka Aibnya

Seseorang yang hobi ghibah dan mencari-cari aib seorang muslim, Allah akan membuka aibnya meskipun ia menyembunyikan aib itu rapat-rapat.

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِى بَيْتِه

“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lidahnya sedangkan iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian suka menggunjing orang-orang muslim dan mencari-cari aib mereka. Karena siapa yang mencari-cari aib muslim, Allah akan mencari-cari aibnya. Dan siapa yang Allah cari aibnya, maka Dia akan membuka aib itu meskipun ia bersembunyi di rumahnya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

6. Keimanannya Jauh dari Sempurna

Orang yang suka menggunjing, keimanannya jauh dari sempurna. Bahkan Rasulullah menggunakan istilah iman belum masuk di hati untuk orang yang suka menggunjing sebagaimana hadits tersebut.

Sebab yang Mendorong Seseorang Menggunjing

Ibnu Qudamah Al Maqdisi menjelaskan ada banyak faktor yang mendorong seseorang menggunjing. Pertama, bisa jadi ia marah atau sakit hati kepada seseorang tetapi tidak berani menghadapinya. Maka ia pun menggunjing orang tersebut. Ini juga menunjukkan lemahnya karakter orang yang suka menggunjing.

Kedua, menyesuaikan dengan teman dan lingkungannya. Karena temannya suka menggunjing, ia pun ikut-ikutan. Awalnya mungkin ia tidak menggunjing, tetapi karena masuk dalam forum gosip, ia asyik mendengarkan dan akhirnya ikut terlibat. Bahkan menimpali atau menambahkan.

Ketiga, seseorang ingin mengangkat dirinya sendiri dan menjatuhkan orang lain. Ia merasa kalah dari orang lain, maka ia pun mencari keburukan orang tersebut dan menceritakannya. Jadilah ghibah.

Keempat, untuk canda dan lelucon. Awalnya sekedar obrolan ketika kumpul-kumpul. Lalu ingin bercanda hingga akhirnya menggunjing orang lain dan menceritakan keburukannya.

Kelima, karena buruk sangka. Ia selalu melihat orang lain dengan prasangka buruk. Karenanya ia menceritakan apa yang ia tahu dengan perspektif negatif.

Cara Bertaubat dari Ghibah

Ghibah adalah dosa yang menyangkut hak manusia. Karenanya untuk bertaubat, ia harus bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang tersebut. Sebagaimana Imam Nawawi menjelaskan dalam Riyadhus Shalihin ketika membahas taubat:

  1. Menyesali perbuatan ghibahnya
  2. Memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
  3. Berjanji tidak akan mengulangi
  4. Meminta maaf kepada orang yang telah ia gunjing

Taubat kepada Allah haruslah sungguh-sungguh. Jika menggunjingnya sudah sekian lama dan kepada begitu banyak orang, mungkin tidak cukup dengan istighfar. Sebagai bentuk taubat nasuha, perlu kiranya mengerjakan sholat taubat.

Terkait poin 4 ini, Ibnu Qudamah menjelaskan, jika ghibah belum didengar oleh orang yang digunjing, permohonan maaf cukup dengan memohonkan ampunan bagi orang tersebut. Agar  ia tidak mendengar apa-apa yang belum diketahuinya. Sehingga hatinya bisa menjadi lebih lapang.

“Tebusan tindakanmu yang memakan daging saudaramu adalah dengan cara memuji dirinya dan mendoakan kebaikan baginya,” kata Mujahid. “Begitu pula jika orang tersebut telah meninggal dunia.”

Sedangkan Syaikh Yusuf Qardahwi dalam At Taubat ila Allah menjelaskan, kemudharatan yang timbul menjadi pertimbangan utama antara meminta maaf kepada orang yang digunjing atau tidak. Jika dengan meminta maaf dan memberitahukannya bisa menimbulkan kemudharatan yang lebih besar, maka cukup mendoakan dan memujinya. Atau meminta maaf secara umum tanpa menyebutkan apa yang ia gunjing. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BersamaDakwah

5 Amalan Bulan Muharram dan Tanggal Waktunya di Tahun 1442 Hijiryah

Kita telah memasuki bulan Muharram 1442 Hijriyah. Tak hanya puasa asyura, banyak amalan bulan Muharram dalam hadits dengan berbagai keutamaan (fadhilah). Apa saja dan tanggal berapa pada tahun 1442 ini?

1. Memperbanyak Puasa Sunnah

Salah satu amalan sunnah pada bulan Muharram adalah memperbanyak puasa. Sebab puasa sunnah paling utama adalah puasa sunnah pada bulan ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa) di bulan Allah, yakni Muharam. (HR. Muslim)

Sebagian ulama menjelaskan, puasa sunnah apa pun menjadi paling utama pada bulan ini. Baik itu Puasa Senin Kamis, Puasa Ayyamul Bidh, Puasa Daud maupun puasa lainnya.

Waktu Puasa Senin Kamis pada bulan Muharram 1442 Hijriyah jatuh pada tanggal:

  • Kamis, 1 Muharram 1442 bertepatan dengan 20 Agustus 2020
  • Senin, 5 Muharram 1442 bertepatan dengan 24 Agustus 2020
  • Kamis, 8 Muharram 1442 bertepatan dengan 27 Agustus 2020
  • Senin, 12 Muharram 1442 bertepatan dengan 31 Agustus 2020
  • Kamis, 15 Muharram 1442 bertepatan dengan 3 September 2020
  • Senin, 19 Muharram 1442 bertepatan dengan 7 September 2020
  • Kamis, 22 Muharram 1442 bertepatan dengan 10 September 2020
  • Senin, 26 Muharram 1442 bertepatan dengan 14 September 2020

Waktu Puasa Ayyalu Bidh pada bulan Muharram 1442 Hijriyah jatuh pada tanggal:

  • Selasa, 13 Muharram 1442 bertepatan dengan 1 September 2020
  • Rabu, 14 Muharram 1442 bertepatan dengan 2 September 2020
  • Kamis, 15 Muharram 1442 bertepatan dengan 3 September 2020

Sedangkan Ibnu Rajab mengisyaratkan, puasa yang dimaksud adalah puasa sunnah mutlak, bukan puasa sunnah muqayyad. Umar, Aisyah dan Abu Tholhah termasuk para shahabat yang banyak berpuasa di bulan-bulan haram termasuk bulan Muharram.

2. Puasa Tasu’a

Yaitu puasa pada tanggal 9 Muharram. Rasulullah berazam untuk mengerjakannya, meskipun beliau tidak sempat menunaikan karena wafat sebelum waktu tersebut tiba.

Para sahabat kemudian menjalankan Puasa Tasu’a seperti keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا كان العام المقبل صمنا يوم التاسع

“Apabila tahun depan (kita masih diberi umur panjang), kita akan berpuasa pada hari tasu’a (kesembilan).” (HR. As-Suyuthi; shahih)

Pada tahun ini, jadwal Puasa Tasu’a jatuh pada hari Jum’at, tanggal 28 Agustus 2020.

3. Puasa Asyura

Inilah amalan bulan Muharram yang paling utama dengan keutamaan luar biasa. Puasa Asyura juga merupakan sunnah terbaik pada bulan ini. Yaitu puasa pada tanggal 10 Muharram.

Keutamaan Puasa Asyura, ia bisa menghapus dosa setahun sebelumnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah ditanya mengenai puasa asyura, beliau menjawab, “ia bisa menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Pada tahun ini, jadwal Puasa Asyura jatuh pada hari Sabtu, tanggal 29 Agustus 2020.

4. Menyenangkan Keluarga

Amalan bulan Muharram keempat adalah menyenangkan keluarga, khususnya pada hari asyura. Yakni dengan memberikan hadiah kepada anak istri, membantu istri, dan sebagainya.

Dalam Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq membuat judul khusus التوسعة يوم عاشوراء (Bagaimana merayakan hari Asyura). Sayyid Sabiq mencantumkan hadits ini di bawah judul tersebut:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi dirinya dan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu” (HR. Baihaqi)

Sayyid Sabiq kemudian menjelaskan, “Hadits tersebut memiliki riwayat lain, tetapi semuanya lemah. Hanya saja apabila digabungkan antara satu dengan lainnya, maka bertambah kuat sebagaimana yang telah dikatakan Sakhawi.”

Hari asyura pada tahun ini jatuh pada hari pada hari Sabtu, tanggal 29 Agustus 2020.

5. Membantu orang lain

Amalan bulan Muharram berikutnya adalah membantu orang lain dan meringankan beban mereka. Khususnya yang membutuhkan, termasuk anak yatim.

Dalilnya sama dengan poin empat di atas. Juga tambahan hadits-hadits berikut ini, yang Sayyid Sabiq menyebutnya sebagai penguat hadits memberikan kelapangan kepada keluarga:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي سَنَتِهِ كُلِّهَا

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan melapangkannya di keseluruhan tahun itu.” (HR. Thabrani dan Hakim)

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka ia takkan kesulitan di waktu lain sepanjang tahun itu.” (HR. Thabrani)

مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu.” (HR. Baihaqi)

Ada pun yang menyebut hari asyura sebagai lebaran anak yatim, mereka mendasarkan pada hadits yang terdapat pada kitab Tanbighul Ghafilin.

من مسح يده على رأس يتيم يوم عاشوراء رفع الله تعالى بكل شعرة درجة

“Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim pada hari Asyura, maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yang diusap satu derajat.”

Namun hadits tersebut dhaif, bahkan sebagian ulama mengatakan hadits tersebut maudhu’ (palsu).

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI KH Cholil Nafis menjelaskan, lebaran yatim pada hari Asyura hanyalah sekedar momentum saja untuk memotivasi akhlak.

Menyantuni anak yatim merupakan amalan sunnah berpahala besar. Bisa dilakukan kapan saja. Salah satu keutamaannya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَنَا وَكَافلُ اليَتِيمِ في الجَنَّةِ هَكَذا

“Aku dan orang yang menyantuni anak yatim berada di surga seperti ini.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Juga Imam Bukhari dalam Adabul Mufrod)

Rasulullah mensabdakan itu sambil mengisyaratkan kedekatan jari telunjuk dan jari tengah. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BersamaDakwah



Misi Turunnya Nabi Isa, Ini Kata Rasulullah

Rasulullah SAW menyatakan, sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti, Isa akan turun kembali ke bumi. Istilah ini dalam versi Kristen disebut dengan The Second Coming (kedatangan untuk kedua kali). Kedatangannya bukan membenarkan agama Kristen dan Katolik, melainkan mengajak umat manusia untuk mengikuti ajaran yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Tak hanya itu, kedatangan Isa juga akan membersihkan aliran-aliran dan akidah yang sesat dan menyesatkan serta menghancurkan tiang-tiang salib yang selama ini menjadi alat sesembahan orang-orang Nasrani (Kristen-Katolik) itu.

”Tidak ada seorang nabi pun antara aku dan Isa dan sesungguhnya ia benar-benar akan turun (dari langit). Apabila kamu telah melihatnya, ketahuilah bahwa ia adalah seorang laki-laki berperawakan tubuh sedang, berkulit putih kemerah-merahan. Ia akan turun dengan memakai dua lapis pakaian yang dicelup dengan warna merah, kepalanya seakan-akan meneteskan air walaupun ia tidak basah.” (HR Abu Dawud).

”Sekelompok dari umatku akan tetap berperang dalam kebenaran secara terang-terangan sampai hari kiamat sehingga turunlah Isa bin Maryam. Maka, berkatalah pemimpin mereka (Al-Mahdi), ‘Kemarilah dan imamilah shalat kami.’ Ia menjawab, ‘Tidak. Sesungguhnya, sebagian kamu adalah sebagai pemimpin terhadap sebagian yang lain, sebagai suatu kemuliaan yang diberikan Allah kepada umat ini (umat Islam).”’ (HR Muslim dan Ahmad).

Hal pertama yang akan dilakukan Isa setelah turun dari langit adalah menunaikan shalat sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis di atas. Isa akan menjadi makmum dalam shalat yang dipimpin oleh Imam Mahdi.

Peristiwa kedatangan Isa ini sebelumnya akan didahului oleh kondisi dunia yang dipenuhi dengan kezaliman, kesengsaraan, dan peperangan besar yang melibatkan seluruh penduduk dunia.

Pada saat itu, seorang pemimpin Muslim (Al-Mahdi) akan berhadapan dengan Dajjal yang telah menyebarkan fitnah di kalangan umat Islam. Maka, saat itulah, Isa putra Maryam akan turun ke bumi dan menumpas semua itu dan membunuh Dajjal, membersihkan segala penyimpangan agama, dan menyelamatkan manusia dari fitnah Dajjal. Dajjal ini mengaku bahwa dirinya sebagai Tuhan. Maka, Isa akan bekerja sama dengan Imam Mahdi untuk memberantas semua musuh-musuh Allah.

Selain itu, Isa juga akan menyelamatkan manusia dari fitnah Ya’juj dan Ma’juj. Dalam hadis yang diriwayatkan Thabrani, disebutkan, fitnah dan kejahatan Ya’juj dan Ma’juj ini sangat besar. Tiada seorang manusia pun yang dapat mengatasinya. Jumlah mereka sangat banyak sehingga kaum Muslim terpaksa harus menyalakan api selama lebih kurang tujuh tahun untuk berlindung dari penyerangan dan panah-panah Ya’juj dan Ma’juj.

Sebagaimana dikisahkan, Ya’juj dan Ma’juj selama ini terkungkung dalam sebuah tembok yang dibuat oleh Zulkarnain. Mereka akhirnya bisa keluar setelah secara perlahan-lahan melubangi tembok tersebut. Tembok Zulkarnain itu terbuat dari besi dan tembaga dan terletak di daerah Georgia (Asia Tengah).

Untuk mengatasi masalah ini, kaum Muslim terpaksa harus bertahan di bukit Thursina selama beberapa waktu. Hingga akhirnya Isa berdoa kepada Allah agar mengirimkan bantuan dan doa itu pun dikabulkan. Saat itulah, Ya’juj dan Ma’juj berhasil diatasi (HR Ahmad, Muslim dan Tirmidzi dari An Nawwas bin Sam’an).

Setelah berhasil mengalahkan Ya’juj dan Ma’juj, Isa pun kemudian wafat. Menurut sejumlah riwayat, saat diturunkan hingga wafatnya kelak, itu terjadi selama 40 tahun. Dan, kehadiran Isa ini merupakan salah satu tanda-tanda terjadinya kiamat kubra (besar).

KHAZANAH REPUBLIKA

Puasa Asyura Bisa Dimaksimalkan dengan Dzikir, Ini Contohnya

Keutamaan puasa Asyura bisa dimaksamalkan dengan dzikir

Tidak hanya berpuasa, ada amalan-amalan sederhana yang bisa dilakukan pada hari kesepuluh Muharram atau Asyura. Di antaranya, hendaknya membaca dan memperbanyak berzikir.  

Dzikir yang dianjurkan adalah sebagai berikut: 

 حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ, نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْر  

Sebanyak 70 kali pada waktu setelah Maghrib. Setelah itu membaca doa di bawah ini sebanyak tujuh kali. 

دُعَاءُ عَاشُرَاءَ

بسم الله الرحمن الرحيم. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحَانَ اللهِ مِلْءَ الْمِيْزَانِ وَمُنْتَهَى الْعِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِّضَا وَزِنَةَ الْعَرْشِ, لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنَ اللهِ إِلَّاَ إِلَيْهِ, سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوَتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَآمَّاتِ كُلِّهَا, نَسْأَلُكَ السَّلَا مَةَ كُلَّهَا بِرَحْمَتِكَ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ, وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّاَ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَهُوَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ, نِعمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ 

Selain itu, pada hari Asyura juga dianjurkan untuk melaksanakan puasa. Anjuran ini tertuang dalam hadis yang diriwayatkan Imam Turmudzi dari jalur Abi Qatadah dari Rasulullah SAW bersabda:  

حدثنا قتيبة و أحمد بن عبد الضبي قالا حدثنا حماد بن زيد عن غيلان بن جرير عن عبد الله بن معبد عن أبي قتادة : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال صيام يوم عاشوراء إني أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله

Bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi SAW bersabda mengenai keutamaan puasa hari Asyura(10 Muharram) yaitu mengahapus dosa satu tahun yang sebelumnya.  

Di samping melakukan puasa Asyura ini juga dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram (hari Tasu’a). Anjuran ini dengan alasan agar tidak menyerupai puasa kaum Yahudi, seperti diceritakan dari sahabat Ibnu Abbas, beliau berkata, datang ke Madinah, beliau melihat orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari Asyura. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepadanya, ‘Hari apa ini?’ Mereka pun menjawab, ‘Hari ini adalah hari yang baik. Hari di mana Allah SWT menyelamatkan kaum Bani Israil dari musuhnya, kemudian Nabi Musa berpuasa pada hari itu.’ Rasulullah menanggapi seraya berkata, ‘Aku lebih berhak daripada kalian.’” 

Kemudian Rasulullah berpuasa pada hari itu, dalam suatu riwayat karena mengagungkan Nabi Musa-dan memerintahkan para sahabat agar berpuasa.

KHAZANAH REPUBLIKA

Perbuatan yang Membuktikan Kita Mencintai Rasulullah SAW

Banyak orang yang mengaku telah mencintai Rasulullah SAW.

Sebagian Muslim mengaku paling mencintai Nabi Muhammad SAW karena selalu merayakan kelahirannya. Sebagian yang lain mengaku paling mencintai karena selalu melaksanakan sunahnya.

Pimpinan Majelis Taklim dan Dzikir Baitul Muhibbin, Habib Abdurrahman Asad Al-Habsyi menuturkan, jika seorang Muslim mencintai Rasulullah SAW, harus membuktikan kecintaannya tersebut. Menurutnya ada lima perbuatan sebagai bukti cinta kita kepada Nabi, di antaranya:

Pertama, berkeinginan kuat untuk bertemu dan berkumpul bersama Nabi.

Kedua, menaati beliau dengan menjalankan sunahnya dan mengikuti setiap ajarannya.

Ketiga, memperbanyak shalawat kepadanya.

Keempat, mencintai orang-orang yang dicintai Nabi.

Kelima, meneladani akhlaknya.

مَنِ ادَّعَى اَرْبَعَةً بِلَا اَرْبَعَةٍ فَدَ عْوَاهُ كَاذِبَةٌ : مَنِ ادَّعَى حُبَّ اللهِ وَلَمْ يَنْتَهِ عَنِ مَحَارِمِ اللهِ تَعَالَى فَدَعْوَا كَذْبٌ وَمَنِ ادَّعَى حُبَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ كَرِه َالْفُقَرَاءَ وَالْمَسَاكِيْنَ فَدَعْوَاهُ كَذْبٌ وَمَنِ ادَّعَى حُبَّ الْجَنَّةِ وَلَمْ يَتَصَدَّقْ فَدَعْوَاهُ كَذْبٌ وَمَنِ ادَّعَى خَوْفَ النَّارِ وَلَمْ يَنْتَهِ عَنِ الذُّنُوْبِ فَدَعْوَاهُ كَذِبٌ .

Diriwayatkan dari Hatim Al Asham ra. bahwa ia berkata seperti berikut. “Barangsiapa yang mengaku akan empat hal tanpa adanya bukti empat hal lainnya, maka pengakuannya itu bohong.

Apa empat hal itu? :

1. Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Allah, tapi tidak mau meninggalkan segala laranganNya, maka pengakuannya itu bohong.

2. Barangsiapa mengaku cinta kepada Nabi, tetapi ia tidak suka kepada orang fakir miskin, maka pengakuannya itu bohong.

3. Dan barangsiapa yang menginginkan surga, tetapi tidak mau bersedekah, maka pernyataannya itu bohong.

4. Serta barangsiapa yang mengaku takut kepada neraka, tetapi tidak mau meninggalkan perbuatan dosa, maka pengakuannya itu juga dusta.

“Buktikan Cintamu daan jangan dustai cintamu,” katanya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Yusuf Mansur Didoakan Jelek, Habib: Kemana Akhlak?

Mendoakan jelek Ustadz Yusuf Mansur bentuk hilangnya akhlak Muslim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sesama umat Muslim mesti saling mendoakan yang terbaik. Saling mendoakan merupakan suatu amalan mulia di sisi Allah SWT.

Pimpinan Majelis Taklim dan Dzikir Baitul Muhibbin, Habib Abdurrahman Asad Al-Habsyi, menyampaikan doa merupakan jalan keselamatan, tangga pengantar, sesuatu yang dituntut oleh orang-orang yang berpengetahuan, kendaraan orang-orang shalih, tempat berlindung bagi kaum yang terzalimi dan tertindas, melalui doa nikmat diturunkan dan melaluinya pula murka dihindarkan. 

“Sebab itulah kita memiliki kebutuhan yang besar akan doa,” katanya melalui pesan hikmanya yang disampaikan secara virtual, Rabu (26/8).

Tema pesan hikmah kali ini tentang perlunya saling mendoakan antara sesama Muslim. Teman ini juga sekaligus merespons warga netizen yang mendoakan seorang penceramah dengan doa yang tidak baik padahal dia sedang sakit dan minta didoakan yang terbaik. 

Habib Abdurrahman mengatakan  beberapa hari ini, ada kejadian yang cukup ramai di media sosial, saat Ustadz Yusuf Mansur, mem-posting fotonya berada di sebuah rumah sakit guna melakukan perawatan penyakit yang sedang beliau derita. “Tak lupa pula ustadz tersebut meminta dengan baik, agar sudi mendoakan beliau,” kata Habib 

Mengigat betapa ampuhnya sebuah doa, kita jadi sering memintakan doa kepada orang lain. Mendoakan orang lain atau didoakan orang lain, dua-duanya merupakan amalan yang mulia. Imam Adz-Dzahabi menjelaskan: 

ينبغي أن نكون بدعاء إخواننا أوثق منا بأعمالنا نخاف أعمالنا التقصير ونرجوا أن تكون بدعائهم لنا مخلصين

“Sepatutnya kita lebih mengharapkan manfaat doa dari saudara kita ketimbang mengandalkan amal ibadah kita sendiri. Kita khawatir jangan-jangan dalam amal ibadah kita ada kelalaian, sedangkan dalam doa mereka ada keikhlasan.”

Sejatinya kata Habib Abdurrahman, beliau (Sang Ustadz) mengharapkan ada insan-insan ikhlas yang dengan tulus tanpa batas mendoakannya. Karena di sanalah ada keajaiban yang diharapkan bisa hadir sebagai obat mujarab mempercepat atau memudahkan penyembuhan beliau.  

Namun, yang amat sangat mengagetkan adalah adanya respon dari beberapa saudara kita sesama Muslim yang berkomentar di laman medsos tersebut dengan kata-kata yang tak menggambarkan sebagai etika Islami. “Bahkan ada yang melontarkan ucapan akan mendoakan buruk,” katanya. 

Menurutnya, hal ini sungguh sangat disayangkan sikap dan perilaku seperti itu.  Hal demikian, bukanlah sebagai seorang Muslim, karena kita dianjurkan untuk mendoakan kebaikan dan keberuntungan buat orang lain.

Apakah karena kecewa, sakit hati,  atau berbeda pandangan dan ijtihad dengan beliau (Sang Ustadz), sehingga kita mendaratkan doa buruk buatnya? Apakah saat itu kita sedang berdoa atau sedang mengancam dengan senjata hawa nafsu kita?” “Oohh…  Betapa tragisnya umat ini.  Kemana nilai akhlaq islami yang sangat kita banggakan itu?” katanya. 

Habib Abdurrahman menuturkan,  bahwa Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudzâharah wal Muwâzarah, halaman 141 mengatakan.  

:  واحذرأن تلعن مسلما أو بهيمة أوجمادا أو شخصا بعينه وان كان كافرا إلا إن تحققت أنه مات على الكفر كفرعون وابي جهل أو علمت أن رحمة الله لا تناله بحال كإبليس.  

“Jauhkan dirimu dari perbuatan melaknat seorang Muslim (termasuk pelayan dan sebagainya), bahkan seekor hewanpun. Jangan melaknat seorang manusia tertentu secara langsung, walaupun ia seorang kafir, kecuali bila Anda yakin bahwa ia telah mati dalam keadaan kafir sepeti Fir’aun, Abu Jahal dan sebagainya. Ataupun, yang Anda ketahui bahwa rahmat Allah tak mungkin mencapainya seperti Iblis. Allah pun menyatakan dalam Alquran :

وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا

“Manusia berdoa untuk keburukan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS al-Isra: 11) 

Dan kita pun mengetahui bahwa mereka yang tergesa-gesa adalah yang menjadikan nafsu sebagai panglimanya, dan merupakan budaya setan.  

Maka dari itu Habib Abdurrahman mengajak Umat Muslim belajar adab dan menampilkan akhlak yang mulia sebagai mana diajarkan Rasulullah SAW.  

“Mari saudaraku! Kita belajar untuk menampilkan akhlaq Islami yang indah,  dengan terbiasa mendoakan kebaikan bagi saudara kita sesama Muslim.  Kita doakan semoga beliau (Sang Ustadz) segera dipulihkan, disehatkan, diafiatkan oleh Allah. Karena doa baik itu, akan berefek baik pula bagi yang mendoakan,” katanya. Habib Abdurrahman berdoa. Semoga kejadian ini menjadi hikmah indah bagi semua pihak. “Barokallah fiikum.” 

KHAZANAH REPUBLIKA


Puasa Asyura tapi Punya Utang Ramadhan, Bagaimana Hukumnya?

Bagaimana hukum puasa Asyura tapi masih punya utang puasa Ramadhan.

Puasa Asyura adalah puasa sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Puasa asyura dilakukan setiap datang tanggal 10 Muharram.

Lalu bagaimana jika kita belum membayar hutang puasa Ramadhan dan ingin melakukan puasa sunnah Asyura. Terkait hal ini, ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang melarang.

Dikutip dari buku Muharram Bukan Bulan Hijrahnya Nabi karya Ahmad Zarkasih, menurut madzhab al-Hanafiyah dan al-Syafi’iiyah, puasa asyura boleh dilakukan meskipun orang tersebut masih memiliki utang puasa Ramadhan yang belum dibayar.

Pendapat ini didasarkan bahwa qadha’ Ramadhan hukumnya adalah wajib, akan tetapi kewajiban qadha’ Ramadhan itu sifatnya ‘ala al-tarakhi yang artinya boleh menunda. Karena waktu qadha’ Ramadhan itu panjang, yaitu sejak masuk bulan syawal sampai berakhirnya bulan sya’ban di tahun selanjutnya.

Artinya kewajiban qadha’ Ramadhan itu bukan kewajiban yang sifatnya ‘ala al-Faur (bersegera), akan tetapi boleh menunda. Dalam ilmu ushul Fiqh, disebut dengan istilah wajib Muwassa’ yaitu kewajiban yang waktunya panjang. Dalam syariah, wajib muwassa’ ini adalah kewajiban yang boleh ditinggalkan dengan syarat ada azam untuk melakukannya di kemudian hari sampai batas akhir waktunya, seperti shalat lima waktu.

Shalat zuhur misalnya, waktu mulai wajib shalat zuhur itu (kebiasaan di Indonesia) sekitar pukul 12.00 WIB sampai 15.30 WIB. Karena waktu shalat zuhur yang cukup panjang, yaitu sekitar tiga jam setengah sehingga seorang muslim boleh meninggalkan sholat zuhur di jam 12.00 wib, dan dia tidak berdosa dengan syarat dia harus berazam mengerjakannya di waktu selanjutnya, misalnya pukul 13.00 wib.

Begitu juga Qadha puasa Ramadhan, yang memang waktunya panjang hingga sebelum masuk Ramadhan tahun berikutnya. Artinya ada 11 bulan yang disiapkan Allah swt untuk membayar hutang Ramadhan tersebut.

Sedangkan menurut Madzhab al-Malikiyah, puasa sunnah bagi yang belum membayar hutang Ramadhan maka hukumnya makruh. Artinya masih tetap boleh melakukan, dan sah puasanya, hanya saja akan jauh lebih baik dan lebih berpahala baginya jika ia mengerjakan membayar qadha’ Ramadhan terlebih dahulu.

Kemakruhan tersebut ada karena memang ia menunda-nunda kewajiban yang memang sudah dibebankan kepadanya serta tidak menyegerakannya. Padahal sejatinya kewajiban itu harus disegerakan.

Terakhir, menurut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal puasa sunnah hanya boleh dikerjakan oleh mereka yang sudah membayar hutang puasa Ramadhan. Sehingga mereka yang masih punya hutang kewajiban Ramadhan, tidak ada kesunahan puasa sunnah, justru itu menjadi keharaman.

Artinya orang yang berpuasa sunnah, baik itu syawal ataupun yang lainnya sedangkan ia masih punya hutang kewajiban Ramadhan, ia berdosa dan tidak sah puasa sunnahnya tersebut. Hal ini berdasarkan hadits :

“Siapa yang berpuasa sunnah sedangkan ia punya kewajiban Ramadhan yang belum ditunaikan, maka puasa terserbut tidak diterima sampai ia menunaikan kewajiban puasa ramadhannya,” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya)

Namun hadits ini sendiri berstatus Matruk, yaitu salah satu bagian dari hadits dhaif. Karena itu tidak bisa berargumen dengan hadits ini karena kedhaifannya. Dan ini (dhaifnya hadits) diakui oleh para ulama madzhab al-Hanabilah dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Ibnu Qudamah (al-Mughnu 3/154), dan juga Imam al-Buhuti (Kasyaful-Qina’ 2/334).

KHAZANAH REPUBLIKA

Rincian Penggunaan Kata “Jahiliyah”

Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan

Pertanyaan

Bolehkah menggunakan kata “jahiliyyah” secara mutlak (tanpa ada tambahan keterangan apa pun, pent.) yang ditujukan kepada masyarakat kaum muslimin saat ini?

Jawaban

Jahiliyyah yang bersifat umum telah hilang dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kita tidak boleh menggunakan lafadz tersebut untuk ditujukan kepada masyarakat kaum muslimin secara umum (keseluruhan) tanpa ada tambahan catatan keterangan apapun. [1]

Adapun jika menggunakan kata tersebut untuk sebagian kasus tertentu, atau untuk sebagian firqah (golongan yang menyimpang), atau sebagian masyarakat tertentu, maka ini bisa saja dan diperbolehkan.

Contoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada sebagian sahabat,

إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ

“Sesungguhnya kamu masih memiliki sifat jahiliyyah.“ (HR. Bukhari no. 30) [2]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ

“Ada empat perkara khas jahiliyah [3] yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; mencela nasab (garis keturunan); menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan niyahah (meratapi mayit).” (HR. Muslim no. 934) [4]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

MUSLIMorid

Memperbanyak Shalat Sunnah sebelum Datangnya Khatib Jum’at

Anjuran memperbanyak shalat sunnah ketika menunggu khatib Jum’at

Jika seseorang sudah hadir di masjid dalam rangka shalat Jum’at, yang dianjurkan adalah memperbanyak shalat sunnah tanpa dibatasi dengan bilangan raka’at tertentu. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى

“Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju masjid, dia tidak memisahkan dua orang pada tempat duduknya, lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jum’at itu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

Demikian pula dalam hadits Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ أَقْبَلَ إِلَى الْمَسْجِدِ، لَا يُؤْذِي أَحَدًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْإِمَامَ خَرَجَ، صَلَّى مَا بَدَا لَهُ، وَإِنْ وَجَدَ الْإِمَامَ قَدْ خَرَجَ، جَلَسَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ جُمُعَتَهُ وَكَلَامَهُ، إِنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِي جُمُعَتِهِ تِلْكَ ذُنُوبُهُ كُلُّهَا، أَنْ تَكُونَ كَفَّارَةً لِلْجُمُعَةِ الَّتِي تَلِيهَا

“Ketika seorang muslim mandi di hari Jum’at, kemudian berangkat ke masjid, lalu dia tidak menyakiti (mengganggu) seorang pun, jika dia menjumpai imam shalat Jum’at belum datang, dia pun shalat sebanyak yang dia mampu. Adapun jika dia melihat imam sudah datang, dia pun duduk, mendengarkan khutbah dan diam, sampai imam menyelesaikan shalat Jum’at dan khutbahnya, jika dia tidak diampuni pada hari Jum’at tersebut dosa-dosa dia seluruhnya, maka hal itu adalah penggugur dosa sampai hari Jum’at berikutnya.“ (HR. Ahmad 38: 547, Ibnu Khuzaimah 3: 138, Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir 4: 160-161, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhiib 1: 360)

Faidah-faidah dari hadits di atas

Hadits-hadits di atas mengandung beberapa faidah sebagai berikut:

Pertama, yang dianjurkan ketika seseorang sudah memasuki masjid dalam rangka shalat Jum’at adalah shalat sunnah sebanyak yang dia kehendaki (tidak dibatasi bilangan raka’at tertentu) sampai imam (khatib) shalat Jum’at tiba di masjid [1]. (Lihat Nailul Authar, 6: 335)

Status shalat sunnah ini adalah shalat sunnah muthlaq, bukan shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Shalat sunnah muthlaq adalah shalat yang dilakukan tanpa terikat dengan waktu tertentu, sebab tertentu, atau jumlah raka’at tertentu. [2] Hal ini karena shalat Jum’at tidak memiliki shalat sunnah qabliyyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Oleh karena itu, mayoritas ulama bersepakat bahwa sebelum shalat Jum’at tidak ada shalat sunnah yang dikaitkan dengan waktu tertentu atau dibatasi oleh bilangan raka’at tertentu. Hal ini karena ketentuan semacam itu harus ditetapkan berdasarkan perkataan atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan hal itu sama sekali tidak disyariatkan, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah madzhab Imam Malik, Asy-Syafi’i, mayoritas para shahabat, dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad … “ (Majmu’ Fataawa, 24: 189. Lihat pula pembahasan bagus dalam masalah ini dalam kitab Al-Ajwibah An-Naafi’ah karya Syaikh Al-Albani)

Adapun perbuatan sebagian orang, lebih-lebih di Masjidil Haram, berupa shalat dua rakaat atau empat rakaat yang langsung dikerjakan setelah adzan Jum’at yang pertama, dengan keyakinan bahwa shalat tersebut adalah shalat sunnah qabliyyah Jum’at sebagaimana ada shalat sunnah qabliyyah untuk shalat dzuhur, maka perbuatan tersebut tidak ada dalilnya.

Demikian pula, perbuatan tersebut tidak bisa dilandasi dengan dalil hadits,

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ

“Terdapat shalat di antara dua adzan.” (HR. Bukhari no. 601 dan Muslim no. 838)

Karena yang dimaksud dengan “dua adzan” dalam hadits tersebut adalah adzan dan iqamat (iqamat juga bisa diistilahkan dengan adzan). Taruhlah bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah dua adzan, maka kita tidak menjumpai contoh praktik pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Jum’at kecuali adzan pertama dan iqamat. Sedangkan antara adzan dan iqamat adalah khutbah Jum’at, tidak ada shalat sunnah yang disyariatkan di antara keduanya di hari Jum’at. Sehingga tidak tepat menjadikan hadits di atas sebagai dalil adanya shalat sunnah qabliyyah Jum’at dengan menetapkan bilangan rakaat tertentu, baik dua atau empat rakaat.

Ibnul Haaj rahimahullah berkata,

“Manusia hendaknya dilarang dari apa yang mereka ada-adakan berupa shalat setelah adzan pertama untuk shalat Jum’at. Perbuatan ini menyelisihi contoh dari salafus shalih, karena mereka dulu terbagi dalam dua kelompok. Sebagian mereka mendirikan shalat sunnah ketika masuk masjid, dan terus-menerus shalat sampai imam (khatib) naik mimbar. Jika khatib sudah naik mimbar, mereka menghentikan shalat sunnah. Sebagian lagi, mereka shalat sunnah, lalu duduk (menunggu), sampai shalat Jum’at didirikan. Jadi, tidak ada lagi shalat sunnah yang dikerjakan setelah duduk (setelah mereka berhenti mengerjakan shalat sunnah, pent.), dan tidak ada duduk lagi (duduk kedua) setelah mengerjakan shalat sunnah (berikutnya). Perbuatan salaf tersebut berbeda dengan perbuatan orang jaman sekarang, dimana orang di jaman sekarang ini mereka duduk sampai muadzin mengumandangkan adzan pertama, kemudian mereka berdiri lagi untuk shalat sunnah (kemudian duduk lagi setelahnya, pent.) … “ (Al-Madkhal, 2: 239 karya Ibnul Haaj)

Kedua, shalat tersebut boleh dikerjakan di waktu kapan pun, karena di dalam hadits dikatakan,

ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ

“ … lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam … “

Dzahir (makna yang tertangkap) dari hadits di atas adalah bolehnya shalat sunnah di hari Jum’at tersebut sebelum zawal (bergesernya matahari ke arah barat). Ini adalah di antara kekhususan hari Jum’at tersebut, dikecualikan dari waktu larangan shalat, yaitu sejak matahari tepat di tengah-tengah sampai bergeser ke barat. Dalil pengecualian ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Maka dianjurkan shalat sunnah sebanyak yang dia mampu, tidak ada yang menghentikan shalat sunnah tersebut kecuali ketika imam (khatib) shalat Jum’at sudah tiba (di masjid). Oleh karena itu, banyak ulama salaf mengatakan, di antaranya ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, yang kemudian diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,

خروج الإمام يمنع الصلاة وخطبته تمنع الكلام

“Keluarnya (datangnya) imam menghentikan shalat (sunnah), sedangkan khutbah imam menghentikan pembicaraan.”

Jadi, mereka jadikan yang menghentikan shalat (sunnah) adalah kedatangan imam di masjid, bukan pertengahan siang (ketika matarahari tepat di tengah-tengah).” (Zaadul Ma’aad, 1: 378) [3]

Adapun tata caranya, dikerjakan seperti shalat biasa (tidak ada tata cara khusus) dan dikerjakan dua rakaat salam – dua rakaat salam. [2]

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id