Menyelami Hukum Ibadah Kurban

Kurban merupakan ibadah yang menginspirasi perubahan besar.

Ulama sepakat bahwa hukum ibadah kurban itu adalah sunah muakadah. Sunah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Bahkan, beberapa ulama menghukumi ibadah kurban sebagai ibadah yang wajib dilaksanakan bagi yang berkemampuan. 

“Imam dan ulama yang berpendapat hukum ibadah kurban adalah sunah muakadah yakni Imam Malik, Imam Syafi’i, Iman Ahmad bin Hanbal, juga Ibnu Hazm dan yang lainnya,” ujar Direktur Halal Research Centre Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Nanung Danar Dono.

Sedangkan, imam dan ulama yang berpendapat ibadah kurban adalah ibadah yang wajib dilaksanakan yakni Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad, Laits bin Sa’ad, serta sebagian ulama Malikiyah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu ‘Utsaimin juga berpendapat hukum ibadah kurban adalah wajib. Hal itu sesuai dengan Alquran surah al-Kautsar ayat 2, “Dirikanlah shalat dan berkurbanlah.’. 

Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa telah memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR Ibnu Majah no 3123. Syekh al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan).

Lebih lanjut Nanung menjelaskan, umat Islam ketika dituntunkan untuk melaksanakan ibadah kurban terbagi menjadi empat golongan. Pertama, sudah dimampukan Allah, lalu berkurban dengan gembira. Kedua, belum dimampukan tetapi ingin mendapatkan kemuliaan ibadah kurban dengan membantu prosesi ibadah kurban di masjid. Ketiga, belum dimampukan, lalu tidak berkurban. 

“Keempat, sudah dimampukan, tapi tiba-tiba merasa miskin. Ini yang sangat tercela,” ujar dia. “Jangan sampai kita selalu tiba-tiba merasa miskin setahun sekali ketika ibadah kurban, padahal Allah sudah berikan bekal yang sangat cukup. Jangan sampai untuk beli rokok sebungkus sehari selalu bisa, tapi berkurban setahun sekali selalu tidak bisa.”

Nanung pun mengajak berhitung. Misalnya untuk pengeluaran rokok sebungkus sehari, berarti ada dana berlebih Rp 20 ribu setiap hari. Artinya, jika libur alias tidak merokok selama sebulan, maka sejatinya ada anggaran sisa sebanyak Rp 20 ribu kali 30 hari, yakni Rp 600 ribu.

Kemudian, jika tidak merokok setahun, maka sejatinya ada anggaran sisa sebanyak Rp 600 ribu kali 12 bulan, yakni Rp 7,2 juta. Sedangkan, harga kambing atau domba atau iuran sapi untuk tujuh orang maksimal biasanya Rp 3,5 juta. “Berarti mestinya bisa kita berkurban setahun sekali, dan sisanya Rp 3,7 juta  dapat ditabung untuk ibadah haji,” ujar dia.

Jika anggaran dan kemampuan kita tanggung, menurut Nanung, maka hendaknya menabung. Jika tidak bisa berkurban setahun sekali, menabunglah sehingga mudah-mudahan bisa berkurban setiap dua tahun. Jika tidak bisa berkurban setiap dua tahun, tetap menabung dan usahakan berkurban setiap tiga tahun, dan seterusnya. 

“Masa, kita tidak pernah bisa berkurban padahal punya anggaran berlimpah, punya motor mewah, punya rumah megah, mobil juga sudah. Jangan sampai kita termasuk dalam golongan yang terusir dari kelompok Rasulullah SAW gara-gara enggan mengikuti sunah beliau SAW.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Yuk berqurban di Global Qurban!

Solusi Syari untuk Reseller dan Dropshipper

Apakah boleh jual beli dengan sistem dropship dan reseller? Adakah masalah yang ditemukan? Bagaimana solusinya?

Mengenal dropshipper

Dropship meski berasal dari dua kata, drop dan ship. Dropshipping merupakan suatu metode penjualan yang memungkinkan toko ataupun si pemilik barang tidak menyimpan stok barang yang ingin dijual.

Dengan sistem dropship, sebagai pemilik toko tidak perlu menyimpan stok barang. Ketika ada pembeli yang datang dan memesan barang ke toko, dropshipper bisa langsung memesannya ke supplier dan meminta supplier barang untuk mengirimkan barang secara langsung ke konsumen.

Lalu apa bedanya dengan makelar?

Ketika menjadi makelar, asumsinya baik pemilik barang ataupun konsumen tidak tahu kalau makelar adalah tangan kedua. Sedangkan dalam sistem dropshipper, baik pemilik barang ataupun konsumen sudah mengetahui bahwa dropshipper adalah perantara.

Dengan adanya keterbukaan semacam ini lonjakan harga yang terlalu tinggi bisa diantisipasi. Karena umumnya pemilik barang pun memberikan batasan harga kepada dropshipper untuk menjual barang-barang mereka.

Mengenal reseller

Bedanya reseller dengan dropshipper adalah, bila dengan sistem dropshipping tidak perlu stok barang dan melakukan inventarisasi. Yang menggunakan sistem reseller tetap harus melakukan stok barang dan inventarisasi.

Satu-satunya persamaan reseller dan dropshipper adalah menjual barang milik orang lain. Artinya dengan kedua sistem ini tidak dimungkinkan untuk membuat dan mengembangkan brand sendiri.

Problem dan solusi bagi reseller

Reseller diharapkan memiliki barang ketika melakukan transaksi jual beli dengan pelanggan agar tidak termasuk dalam larangan jual beli barang yang tidak dimiliki.

Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3503; An-Nasai, no. 4613; Tirmidzi, no. 1232; dan Ibnu Majah, no. 2187. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih).

  1. Kalau belum memiliki barang, tidak boleh menerima langsung akad jual beli. Barang yang dimohon bisa dibeli terlebih dahulu. Setelah itu, menjawab permohonan pembeli dengan menghubunginya. Lalu memintanya untuk mentransfer uang ke rekening miliknya. Kemudian, barang dikirimkan kepada pembeli.
  2. Toko online meminta khiyar syarat pada pemilik barang, di mana toko online menyaratkan untuk mengembalikan barang—misal selama tiga hari sejak barang dibeli—untuk menjaga-jaga apabila pembeli membatalkan transaksi.

Problem dan solusi sebagai dropshipper

Dropshipper tidak memiliki barang, maka akan terkena hadits menjual barang yang tidak dimiliki. Masalah dalam hal ini:

  • Dropshipper hanya memajang foto tidak memiliki barang.
  • Pengiriman barang dari supplier (owner) bukan dari dropshipper, padahal di sini kondisi barang tidak diketahui.
  • Kalau ada keluhan, misal barang cacat, dropshipper tidak mengetahui, padahal pembeli akan menuntut pada dropshipper. Kalau dropshipper lepas tanggung jawab berarti ia zalim karena konsumen hanya tahu beli barang dari dia. Itulah manfaat dalam syariat kita disuruh memiliki barang dahulu.

Solusinya:

  1. Jadi reseller kalau memang punya cukup modal. Sehingga barang dibuat siap stok, lalu bisa dijual dengan harga bebas. Sehingga jika ada pembeli yang memesan cukup menerima permohonan (tidak mengikat). Resikonya, memang siap-siap menerima pembatalan. Kalau tidak punya modal untuk menyediakan barang, jadilah marketer untuk mempromosikan, tidak dropshipper.
  2. Menjadi wakil untuk supplier.

Dropshipper menjadi wakil untuk supplier

Hadits yang mendasari tentang masalah wakil adalah hadits dari ‘Urwah ibnu Abil Ja’di Al-Bariqiy radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata bahwa,

أَعْطَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا يَشْتَرِى بِهِ أُضْحِيَةً أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِى بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan qurban (udhiyah) atau membeli satu kambing. Lantas ia pun dapat membeli dua kambing. Di antara dua kambing tadi, ia jual lagi dan mendapatkan satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa satu kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dengan keberkahan dalam jualannya, yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekali pun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya. (HR. Abu Daud, no. 3384 dan Tirmidzi, no. 1258. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Hadits ini jadi dalil boleh mewakilkan jual beli pada orang lain.

Hadits ini juga jadi dalil bahwa wakil tidak boleh menyalahi apa yang diminta oleh pihak yang diwakili. Misalnya, wakil tidak boleh menetapkan harga sendiri ketika menjual orang tanpa izin dari supplier.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid membicarakan tentang masalah wakil,

من وكل غيره في الشراء، فاشترى الوكيل ما وُكل فيه: صح العقد، سواء صرح فيه بأن الشراء لموكِّله، أو لم يصرح وجعله باسمه، ونزّل نفسه منزلة موكِّله.

“Siapa yang mewakilkan yang lain dalam membeli, maka si wakil boleh membeli sebagaimana yang diwakilkan untuknya, Akad tersebut sah, terserah di sini secara tegas atas nama yang membeli adalah orang yang ia wakilkan, atau ia tidak menegaskannya dan posisi ia sendiri sudah sebagai wakil.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 299918)[1]

Dropshipper bisa saja menjadi wakil bagi supplier, berarti yang bisa dilakukan:

Jadi wakil dari pembeli, uang diserahkan, dan mendapatkan fee. Statusnya jadi wakalah bil ujrah.

atau bisa jadi:

  1. Jalin kerjasama dengan supplier. Biasanya dropshipper disuruh menjadi anggota, bahkan ada yang meminta uang keanggotaan.
  2. Dropshipper tidak mengapa tak memiliki stok barang.
  3. Dropshipper boleh mengiklankan barang dan mendapatkan fee dari situ, baik dengan transaksi ijarah maupun ji’alah, yang keduanya adalah bentuk mengupahi. Ijarah itu mengupahi layaknya pegawai. Ji’alah itu mengupahi dengan melihat target penjualan.
  4. Dropshipper boleh menerima pembayaran karena sebagai wakil sama posisinya seperti penjual yang sudah diizinkan.
  5. Boleh mengirim barang dari supplier ke konsumen karena sudah ada kerjasama wakalah.
  6. Dropshipper harus siap menerima komplain karena konsumen tahunya bertransaksi dengannya.

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma dinyatakan,

وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ

Tidak boleh ada keuntungan tanpa menanggung resiko.” (HR. An-Nasai, no. 4634. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Kaidah yang patut diingat pula dan ini menurut ulama Malikiyah ketika membahas masalah pembagian keuntungan dalam syirkah al-‘inan (masing-masing memberi modal dan mereka bekerja bersama),

اِسْتِحْقَاقُ الرِّبْحِ إِمَّا بِالمَالِ أَوْ بِالعَمَلِ أَوْ بِالْتِزَامِ الضَّمَانِ

“Orang berhak mendapatkan keuntungan, karena modal, usaha, atau menanggung resiko.” (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 4:609)

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

[1] https://islamqa.info/ar/answers/299918/وكله-في-الشراء-فكتب-العقد-باسم-موكله-ووقع-عنه


Diselesaikan di Perpus Darush Sholihin, 12 Dzulqa’dah 1441 H, 3 Juli 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/25175-solusi-syari-untuk-reseller-dan-dropshipper.html

Tahukah Anda Usia Spesial yang Disebutkan dalam Al-Qur’an?

40 Tahun adalah satu-satunya umur manusia yang penyebutannya di sertai dengan doa dalam Al-Qur’an.

Allah Swt Berfirman :

حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَةٗ قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

Sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS.Al-Ahqaf:15)

Doa spesial ini mencakup syukur atas apa yang telah lalu dan harapan untuk sesuatu yang akan datang.

Kenapa 40 tahun ?

Karena ketika seseorang telah mencapai umur ke-40, seakan ia sedang berada di puncak sebuah gedung dan ia mulai memandang kembali ke lantai pertama. Ia melihat masa kecilnya dan masa mudanya seakan semua itu baru terjadi kemarin.

Dan ia pun mulai memandang sisa-sisa terakhir dari hidupnya, di usia ini begitu dekatnya ia dengan kematian.

40 tahun adalah usia seseorang untuk mampu menyadari setiap fase dalam hidupnya. Ia mulai memikirkannya dan membicarakan berbagai pengalaman dan “penyesalan” kepada generasi dibawahnya

40 tahun adalah masa di mulainya rambut putih menghiasi kepala kita. Begitupula mata yang mulai melemah sehingga kita membutuhkan kacamata untuk membaca sehari-hari.

40 tahun adalah masa kita mulai di panggil “paman”, karena wajah kita telah mulai menua.

40 tahun adalah waktu kita untuk bertanya-tanya :

– Apa yang telah kau capai dalam amalmu ?

– Apa yang telah kau capai untuk keluargamu ?

– Apa yang telah kau capai untuk kehidupanmu ?

– Sejauh mana hubunganmu dengan Tuhanmu?

– Bekal apa yang telah kau siapkan untuk menyambut kematianmu?

Apabila di umur 40 kita tidak segera sadar dan berusaha kembali kepada Allah, maka kapan lagi engkau akan sadar wahai Bani Adam ?

Sebuah pertanyaan yang menyesakkan dada, waktu kita berlalu begitu cepat bahkan kita masih terngiang-ngiang keceriaan di masa kecil hingga tiba-tiba kita telah sampai pada umur ke 40. Pertanyaannya, adakah seseorang yang merasa puas dengan dunia di umur ini? Bukankah 40 tahun telah kita habiskan untuk mengejar dunia dan sampai saat ini kita tidak pernah merasa terpuaskan dengannya?

Di usia 40 kita akan memahami nilai sebenarnya dari segala sesuatu di sekitar kita. Begitu bernilainya kesempatan yang kita sia-siakan, betapa meruginya kesalahan yang kita perbuatan, semua itu akan tampak jelas di usia ke-40.

Di usia ini kita harus mulai membuka kembali lembaran lama di usia kita untuk mengambil pelajaran dan menyadari bahsa hari-hari selanjutnya akan lebih berat karena kemampuan kita tidak sekuat sebelumnya.

Karenanya mari kita berdoa bersama untuk siapapun yang telah mencapai usia ke-40. Semoga di usia ini menjadi titik balik yang indah untuk menuju kepada Allah Swt.

حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَةٗ قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

Sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS.Al-Ahqaf:15)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Almarhum Punya Utang Sholat, Bagaimana Menggantinya?

Sholat lima waktu adalah wajib bagi tiap individu saat masih hidup.

Para ulama memiliki pendapat berbeda mengenai perlu atau tidaknya meng-qadla’ atau membayar fidyah sebagai ganti terhadap shalat yang ditinggalkan seseorang yang telah wafat. 

Perbedaan pendapat ini disebabkan karena tidak adanya satu pun nash Alquran atau hadits yang secara jelas menerangkan masalah ini.   

“Terkait fidyah, Alquran hanya menerangkan tentang fidyah puasa bagi orang yang tidak mampu melaksanakannya karena tua renta atau sakit yang kronis, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 184,” tulis MUI Sumatra Utara dalam website resminya yang dikutip Republika.co.id, Jumat (3/7). 

Menurut mayoritas ulama, termasuk Syekh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fathul Mu’in, berpendapat, jika ada orang yang sudah wafat mempunyai utang sholat fardlu, maka tidak perlu di-qadla’ atau dibayarkan fidyah-nya.   

Sementara itu menurut sebagian ulama lainnya seperti as-Subki dan Ibnu Burhan berpendapat, jika ada orang yang sudah wafat dan mempunyai utang sholat Fardlu, maka keluarga perlu membayarkan fidyah-nya jika almarhum meninggalkan harta benda (tirkah).   

Pendapat ini juga didukung para pengikut Madzhab Hanafi. Mereka berpendapat, jika ada orang sudah wafat mempunyai hutang shalat dan puasa, maka keluarga perlu membayarkan fidyah-nya kepada kaum fakir miskin. Pembayaran fidyah tersebut diambilkan dari harta peninggalan (tirkah) atau dari harta keluarganya.  

Sayid Bakri Muhammad Syatho, dalam kitabnya, I’anatut Thalibin, menjelaskan, “Barangsiapa wafat dan dia masih mempunyai utang sholat, maka tidak perlu diqadha dan atau dibayarkan fidyah-nya. Menurut sebagian pendapat para imam mujtahid, bahwa sholat tersebut harus diqadha. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan yang lain. Sehubungan dengan hal itu, sebagian ulama kita (Mazhab Syafi’i) memilih pendapat ini, bahkan Imam as-Subki mempraktikkannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan salah seorang kerabatnya.” 

Sehubungan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih, Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa sholat yang telah ditinggalkan sewaktu masih hidup dapat di-qadha atau diganti dengan membayar fidyah.

Namun MUI DKI Jakarta menegaskan, bukan berarti orang yang masih hidup boleh meninggalkan sholat untuk digantikan dengan membayar fidyah atau berwasiat kepada keluarganya agar sesudah wafat, sholat-sholat yang ditinggalkannya diqadha  atau dibayar dengan fidyah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ingat, Semuanya Hanya Titipan

SAUDARAKU, jika kita merasa memiliki sesuatu, bisa harta kekayaan, pangkat jabatan, pasangan, anak-anak, rumah, kendaraan, dan lain sebagainya dari urusan dunia ini, maka yakinilah bahwa semua itu hanya titipan. Bahkan diri kita pun hanyalah titipan.

Kita tidak memiliki apa-apa jika Allah Swt. tidak memberi kepada kita. Kita tidak punya apa-apa jika Allah tidak menghendakinya. Selaiknya sebuah titipan, pasti ada saatnya titipan itu diambil kembali oleh sang pemilik. Dan, juga akan ada saatnya sang pemiliki mempertanyakan apa yang telah terjadi dengan titipannya. Maka, demikian pula dengan titipan Allah Swt. kepada kita.

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.”(HR. Tirmidzi).

Mata kita, digunakan untuk apa? Apakah untuk membaca dan merenungi tanda-tanda kebesaran Allah Swt. sehingga makin kuat iman kita kepada-Nya, ataukah justru digunakan untuk bermaksiat? Lisan kita, digunakan untuk apa? Apakah basah dengan dzikir dan ucapan-ucapan yang Allah ridhoi, ataukan sibuk dengan ucapan dusta dan sia-sia? Demikian juga dengan berbagai hal yang menurut kita adalah milik kita, untuk apakah digunakan, apakah untuk mendekat kepada Allah atau malah menjauhi-Nya?

Maasyaa Allah.. Setiap segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Allah Swt. berfirman, “Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.” (QS. Ali Imron [3] : 109).

Semoga Allah Swt. senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita senantiasa menyadari bahwa segala kita yang miliki adalah titipan dari Allah Swt. yang pasti kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Semoga kita termasuk orang yang amanah dalam mengemban amanah tersebut untuk hanya dipergunakan pada urusan-urusan yang Allah ridhoi. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MNOZAIK

Agama Untuk Orang-Orang Berakall

Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 190 – 191 :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٠﴾ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١﴾

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (191)

Penjelasan:

Tujuan manusia Allah ciptakan untuk tinggal di bumi adalah, bertauhid, maksudnya mempersembahkan penyembahan hanya kepadaNya.

Di dalam surat Az-Dzariyat ayat 57 Allah menjelaskan tujuan mulia ini,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu.

Maka, di saat tujuan penciptaan manusia meninggali bumi ini untuk menyembah Allah, Allah tunjukkan kepada mereka tanda-tanda keberadaan, kekuasaan, kebesaran dan kemulianNya. Agar manusia menyembah Allah dengan kesadaran, keridhoan, cinta dan pengagungan. Bukan karena paksaan, atau sekedar ikut-ikutan. Tapi menyembah Allah didasari tulus ikhlas dan ilmu. Ini diantara wujud kasih sayang Allah.

Bumi yang begitu indah, langit yang gagah, lautan yang luas, gunung yang tinggi menjulang, tetumbuhan yang menyejukkan pandangan, hewan-hewan yang cerdik nan menyenangkan, siang malam yang teratur silih berganti dan masih banyak lagi tanda-tanda kebesaran Allah di sekitar kita, adalah isyarat bagi orang-orang yang berakal, untuk kembali bersimpuh dengan penuh cinta kepadaNya.

Dalam ilmu akidah, tanda-tanda seperti ini disebut tauhid rububiyyah (mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan Tuhan, seperti mencipta, mengatur semesta dll), yang menjadi perantara untuk sampai pada inti tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah (mengesakan Allah dalam penyembahan atau ibadah).

Artinya, saat seorang sadar, bahwa Allah satu-satunya pencipta semesta yang indah dan teratur ini, konsekwensi dari kesadaran ini adalah, menyembahNya semata dan meninggalkan segala sesembahan selainNya.

Namun, tak semua manusia peka menangkap sinyal kebesaran Allah tersebut. Hanya orang-orang yang punya karakter tertentu saja, sebuah karakter yang sangat mahal, pembeda antara manusia makhluk yang paling bermartabat, dengan hewan.

Yaitu, berfikir!

Iya, hanya orang-orang yang berfikir saja yang beruntung menemukan sinyal itu. Orang-orang yang menggunakan akalnya untuk dekat dengan Tuhannya. Dialah yang bisa mengambil hikmah dari setiap tanda kebesaran Allah di sekitarnya.

Oleh karenanya, diujung ayat Allah berfirman,

لآيات لأولي الألباب

Ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal

Ini menunjukkan bahwa :

  • Diantara ibadah yang sangat besar pahalanya adalah, berfikir untuk merasakan kebesaran dan kasih sayang Allah.
  • Seorang tak akan sempurna menjadi hamba Allah, sampai dia menggunakan akal sehatnya.
  • Agama ini, diperuntukkan bagi para pemikir sehat dan obyektif.

Kemudian pada ayat berikutnya, Allah terangkan diantara sifat orang yang berakal itu adalah…

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Yaitu orang-orang yang berdzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. 

Inilah sifat mereka:

1. Gemar mengingat Allah.

Ini mencakup segala jenis dzikir, yaitu mengingat Allah dengan hati, lisannya dan anggota badan.

Maka masuk juga dalam karakter ini, orang yang sholat dengan berdiri saat mampu, duduk dan berbaring saat tidak mampu.

2. Gemar menggunakan pikirannya untuk menemukan kebesaran Allah.

Jika kita perhatikan dua sifat di atas, keduanya mewakili dua poin penting dalam kehidupan manusia : gemar dzikir adalah ekpresi ibadah. Kemudian gemar berfikir adalah ekpresi akal. Ini dalil bahwa :

Untuk bisa beribadah kepada Allah dengan professional, seorang harus membuka dan menggunakan pikirannya.
Seorang disebut benar berakal sehat, manakala ia taat beribadah kepada Allah. Dan ibadah yang paling utama adalah tauhid…

Wallahua’lam bis showab.

Ditulis oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta

Referensi tafsir:

Taisir Ar Kariim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan (tafsir As-Sa’di), karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di -rahimahullah-.

Read more https://konsultasisyariah.com/36195-agama-untuk-orang-orang-berakal.html

Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidak akan Bernilai

Tauhid Cabang Keimanan Paling Tinggi

Tauhid merupakan cabang keimanan yang paling tinggi. Adapun cabang-cabang keimanan yang lainnya tidak akan diterima kecuali setelah sahnya cabang keimanan yang paling tinggi tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ 

“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah perkataan ‘laa ilaaha illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah]. Sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 162)

An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits tersebut,

وَقَدْ نَبَّهَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنَّ أَفْضَلهَا التَّوْحِيد الْمُتَعَيِّن عَلَى كُلّ أَحَد ، وَاَلَّذِي لَا يَصِحّ شَيْء مِنْ الشُّعَب إِلَّا بَعْد صِحَّتِهِ .

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwa cabang keimanan yang paling utama adalah tauhid, yang merupakan kewajiban bagi setiap orang. Sedangkan cabang keimanan yang lain tidak akan sah kecuali setelah sahnya cabang tauhid tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 1: 112)

Ibadah Tidak Diterima Tanpa Tauhid

Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah membuat suatu ilustrasi yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama, yaitu tauhid. Sebagaimana yang dikatakan oleh beliau di dalam kitabnya yang berjudul AlQawa’idul Arba’. Beliau rahimahullah berkata,

فاعلم: أنّ العبادة لا تسمّى عبادة إلا مع التوحيد، كما أنّ الصلاة لا تسمّى صلاة إلى مع الطهارة، فإذا دخل الشرك في العبادة فسدتْ كالحدَث إذا دخل في الطهارة

”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen.). Sebagaimana shalat tidaklah disebut sebagai shalat kecuali dalam keadaan bersuci (thaharah). Apabila ibadah tadi dimasuki syirik, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats yang masuk dalam thaharah.” 

Dari ilustrasi yang beliau sampaikan tersebut, jelaslah bahwa ibadah kita tidak akan diterima kecuali dengan tauhid. Hal itu seperti ibadah shalat dengan bersuci (thaharah). Karena tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana bersuci adalah syarat sah ibadah shalat. Sebagaimana shalat tidak sah jika tidak dalam kondisi suci, demikian pula ibadah kita tidak akan sah kecuali disertai dengan tauhid, meskipun di dahinya terdapat tanda bekas sujud, berpuasa di siang hari, atau rajin shalat malam. Karena semua ibadah tersebut syaratnya adalah ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apabila terdapat satu saja dari ibadah tersebut yang dicampuri dengan kesyirikan, maka seluruh ibadah yang pernah dia lakukan akan batal dan hilanglah pahalanya. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ؛ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (para Nabi) yang sebelummu,  ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (QS. Az-Zumar [39]: 65-66)

Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan [25]: 23)

Oleh karena itu, betapa pun agungnya jenis ibadah yang kita lakukan dan sebanyak apa pun kita mengerjakan ibadah tersebut, namun apabila tidak disertai dengan tauhid, maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Sebagaimana seseorang yang tidak dalam keadaan berwudhu, lalu dia melakukan shalat dengan paling sempurna, dia memperlama berdiri, ruku’, dan sujudnya, serta memperbagus shalatnya, maka seluruh kaum muslimin sepakat bahwa shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan shalat karena agungnya syarat sah shalat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ 

”Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 6954)

Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 559) dengan lafadz,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ 

“Shalat salah seorang di antara kalian tidak diterima apabila berhadats sampai dia berwudhu.”

Ilustrasi ini hanyalah untuk memberikan gambaran secara mudah tentang kedudukan tauhid. Karena hakikat yang sebenarnya, syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja lebih agung dan jauh berbeda jika dibandingkan dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Karena apabila seseorang menunaikan shalat dengan sengaja dalam keadaan hadats, maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, apabila seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berbuat syirik kepada-Nya, maka para ulama tidak pernah berselisih pendapat bahwa ibadahnya tidak akan diterima. Para ulama juga bersepakat bahwa orang tersebut telah kafir, karena dia telah terjerumus dalam syirik akbar, sehingga amal ibadahnya tidak ada satu pun yang diterima. (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’ oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 4-5)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51538-tanpa-tauhid-amal-ibadah-tidak-akan-bernilai.html

Tidak Terlalu Tertarik Belajar Tauhid, karena Belum Paham Tauhid Sepenuhnya

Bisa jadi kita tidak terlalu tertarik mempelajari tauhid atau mendalami pelajaran tauhid. Terbukti kajian-kajian tauhid agak sepi peminat dibandingkan dengan kajian bertema parenting, tema rumah tangga dan pernikahan atau tema muamalah kontemporer.

Secara umum belajar agama itu baik apapun temanya  akan tetapi jangan sampai kita tidak tertarik belajar tauhid dan mendalami pelajaran tauhid. Apabila kita kurang tertarik mempelajari tauhid, sebenarnya kita belum terlalu paham apa itu tauhid secara utuh dan apa saja yang dipelajari dalam pelajaran tauhid.

Perlu kita Ketahui bahwa pelajaran tauhid membahas hampir seluruh cara agar bagaimana kita bahagia di dunia dan bagaimana agar kita selamat di akhirat. Misalnya adalah pelajaran dasar tauhid, kitab “qawaidul arba’” dijelaskan prinsip dasar kebahagiaan. Syaikh Muhammad At-Tamimi menjelaskan,

إذا أعطى شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذ أذنب استغفر، فإن هؤلاء الثلاث عنوان السعادة

[1] Jika diberi kenikmatan maka ia bersyukur

[2] Jjika diuji dengan ditimpa musibah ia bersabar

[3] dan jika melakukan dosa ia beristigfar (bertaubat).

Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.”[Matan Qawa’idul Arba’]

Pelajaran Tauhid ini mengajarkan kita merasa aman, pelajaran tauhid ini mengajarkan bagaimana suatu negara menjadi berkah dan makmur serta memberikan kebahagiaan bagi penduduknya.

Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa barang siapa yang menunaikan tauhid, akan diberikan rasa aman dan kejayaan. Allah berfirman,

ﻭَﻋَﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ، ﻟَﻴَﺴْﺘَﺨْﻠِﻔَﻨَّﻬُﻢ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻛَﻤَﺎ ﺍﺳْﺘَﺨْﻠَﻒَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦ ﻗَﺒْﻠِﻬِﻢْ، ﻭَﻟَﻴُﻤَﻜِّﻨَﻦَّ ﻟَﻬُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻬُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺍﺭْﺗَﻀَﻰ ﻟَﻬُﻢْ، ﻭَﻟَﻴُﺒَﺪِّﻟَﻨَّﻬُﻢ ﻣِّﻦ ﺑَﻌْﺪِ ﺧَﻮْﻓِﻬِﻢْ ﺃَﻣْﻨﺎً، ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻧَﻨِﻲ ﻟَﺎ ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ ﺑِﻲ ﺷَﻴْﺌﺎً

“ Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku ”. (An-Nur: 55).

Pelajaran Tauhid ini menjadi solusi bagi mereka yang menganggur dan tidak punya pekerjaan karena pelajaran tauhid mengajarkan tawakkal sebagaiman tawakkalnya burung.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻟَﻮْ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻖَّ ﺗَﻮَﻛُّﻠِﻪِ ﻟَﺮُﺯِﻗْﺘُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﺮْﺯَﻕُ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮُ ﺗَﻐْﺪُﻭ ﺧِﻤَﺎﺻًﺎ ﻭَﺗَﺮُﻭﺡُ ﺑِﻄَﺎﻧًﺎ

“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR.Tirmidzi, hasan shahih)

Masih banyak ajaran tauhid yang mengajarkan solusi berbagai sendi kehidupan. Penjelasan dan buku tauhid sangat tebal serta mengajarkan semua sendi kehidupan agar kita berbahagia.

Semoga Bermanfaat kita dimudahkan belajar tauhid dan mendalaminya

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57339-tidak-terlalu-tertarik-belajar-tauhid-karena-belum-paham-tauhid-sepenuhnya.html

Beragama Harus dengan Ilmu, Bukan dengan Hawa Nafsu

Praktik beragama yang mantap dan tidak mudah goyah itu jika didasari oleh ilmu-ilmu agama yang benar, diperoleh dari sumber yang bisa dipercaya, bukan didasari oleh duga-duga dan dorongan hawa nafsu belaka.

Beragama tanpa ilmu itu berpotensi merusak segalanya, karena boleh jadi ia menyangka benar apa yang salah fatal, menduga suatu perbuatan sebagai ibadah padahal sama sekali bukan, menganggap berpahala atas apa yang sebenarnya berdosa, meyakini maslahatnya sesuatu padahal senyatanya adalah mafsadat dan sebaliknya, demikianlah seterusnya.

Kebutaan akan ilmu-ilmu agama telah membuat sebagian besar kaum beragama menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan mereka pun mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin agama. Terwujudlah peribahasa si buta menuntun si buta. Saat ini mudah dijumpai dalam kenyataan, betapa banyaknya kaum awam yang dalam beragama berpaling dan enggan mengikuti madzhab fikih yang ada. Di antara alasan mereka adalah tidak adanya perintah yang mengharuskan mengikuti madzhab fikih tertentu dalam beragama.

Yang benar menurut mereka bahwa setiap orang harus kembali atau merujuk langsung kepada Al-Quran dan Al-Hadits/Al-Sunnah. Menurut asumsi kaum awam itu bahwa pada masa Nabi dan para sahabat masih hidup tidak ada madzhab fikih sama sekali. Adanya mazhab-madzhab justru menimbulkan sengketa dan perpecahan di kalangan umat Islam. Alasan-alasan di atas yang terus menerus dipublikasikan telah membuat kalangan awam meyakini bahwa diri merekalah yang berada di jalan kebenaran, sehingga para ulama (kiai, ustadz, ajengan, tuan guru, guru) yang memiliki spesialisasi di bidang ilmu agama justru mereka dustakan, dan bahkan dianggap sesat karena telah menganjurkan perlunya mengikuti salah satu dari empat madzhab fikih yang ada, yaitu Madzhab al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’i, dan al-Hanbali.

Sungguh, sebenarnya slogan kembali kepada al-Quran dan al-Hadits telah menyesatkan banyak kaum awam, dan menghunjamkan penyakit kronis keangkuhan ke dalam jiwa-jiwa mereka dalam beragama. Menganjurkan kalangan awam untuk kembali langsung kepada al-Quran dan al-Hadits itu ibarat mengumumkan kepada para pasien yang sedang opname di rumah sakit dan kepada anggota keluarganya untuk mengambil sendiri obat mereka masing-masing di gudang obat, tanpa ada resep dokter, tanpa petunjuk apoteker, dan tanpa pedoman dari para ahli pengobatan. Dapat dibayangkan akibatnya, akan berapa banyak di antara para pasien itu yang over dosis dan keracunan (mabuk) obat, sebagaimana orang awam yang merujuk langsung kepada al-Quran dan al-Hadits tanpa petunjuk dari ulama spesialis, sehingga mereka pun over acting, mabuk “keracunan” agama, merasa benar sendiri, ekstrim, radikal, dan intoleran terhadap setiap interpretasi dan ekspresi keagamaan yang berbeda. Lebih-lebih terhadap orang lain yang menganut agama dan keyakinan berbeda. Berapa banyak di antara kaum awam yang bermaksud untuk mencegah kemungkaran tetapi justru tanpa menyadari telah terjerumus ke lembah kemungkaran yang lebih besar lagi. Berapa banyak di antara mereka yang merasa sedang “berjihad” dan merasa bakal masuk surga dikelilingi para bidadari. Padahal sesungguhnya sedang melakukan perbuatan jahat, mati sia-sia, dan telah mengorbankan nyawa-nyawa manusia lainnya.

Semua itu mereka lakukan dengan alasan ada ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang memerintahkannya. Padahal mereka sungguh keliru karena telah meletakkan teks-teks suci itu di luar konteksnya dan bukan pula pada tempatnya.

Pendek kata, beragama tanpa ilmu dan penuh arogansi itu sangat merusak, merugikan, dan bahkan membahayakan kemanusiaan. Oleh sebab itu, para ulama dalam pengertian yang sesungguhnya, tanpa merasa bosan telah sering mengingatkan tentang pentingnya mengikuti salah satu dari madzhab fikih yang ada. Di antara mereka adalah al-Syaikh Waliyullah al-Dahlawi dalam karyanya, Hujjatullah al-Balighah, Jilid 1, halaman 123:

قد اجتمعت الأمة أو من يعتد به منها على جواز تقلدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم جدا وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه

“Sungguh umat (ulama) telah sepakat atau orang terpercaya dari umat ini atas kebolehan taklid kepadanya (salah satu dari empat madzhab) hingga hari ini, dan dalam hal ini ada banyak kemaslahatan yang tidak samar. Lebih-lebih pada hari-hari ini, yang semangat (menuntut ilmu agama) sangatlah berkurang, jiwa-jiwa telah memperturutkan hawa nafsu, sedangkan setiap orang yang berpendapat telah merasa kagum dengan pendapatnya sendiri.” Hal senada di atas juga disampaikan oleh al-Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwir al-Qulub fi Mu’amalati ‘allam al-Ghuyub, halaman 75,

ومن لم يقلد واحدا منهم وقال أنا أعمل بالكتاب والسنة مدعيا فهم الأحكام منهما فلا يسلم له بل هو مخطئ ضل مضل سيما في هذا الزمان الذي عم فيه الفسق وكثرت الدعوى الباطلة لأنه استظهر على أئمة الدين وهو دونهم في العلم والعدالة والإطلاع

“Barang siapa yang enggan bertaklid (mengikuti) kepada salah satu dari mereka (para imam madzhab yang empat) dan mengatakan, “saya beramal berdasarkan al-Kitab (Al-Quran) dan al-Sunnah”, ia mengaku mampu memahami hukum langsung dari keduanya, maka pendapatnya itu tidak bisa diterima.

Sebaliknya, ia bersalah, sesat, dan menyesatkan. Lebih-lebih pada zaman ini yang dosa telah merata dikerjakan, banyak pula pengakuan (klaim) yang batil, dan karena ia merasa lebih hebat daripada para imam madzhab itu dalam urusan agama, padahal dalam ilmu, keadilan, maupun penelaahan ia masih terpaut jauh di bawah mereka.”

Dari dua kutipan di atas cukup jelas, bahwa orang yang benar-benar awam dan atau orang alim (berilmu) yang belum mencapai peringkat mujtahid agar bertaklid dan mengikatkan diri kepada imam mujtahid tertentu dari madzahib al-mujtahidin yang diyakini lebih kuat dibandingkan lainnya atau minimal yang berkualitas setara. Alasannya cukup jelas, bahwa yang demikian itu diwajibkan agar orang awam atau orang berilmu yang belum mencapai peringkat mujtahid tidak tersesat karena memperturutkan hawa nafsunya dalam menafsirkan dua sumber hukum utama dalam ajaran Islam, yakni al-Quran dan al-Hadits.

Seseorang tidak akan terbebani kesalahan dalam beragama manakala ia mampu mengukur kadar dirinya sendiri. Ia tidak akan tersesat bila ia mau berendah hati mau bertanya tentang apa yang ia tidak tahu kepada para ahlinya. Untuk memahami ilmu fikih yang rumit itu hendaklah tidak merujuk langsung kepada al-Quran dan tafsir-tafsirnya dan tidak pula kepada kitab-kitab matan hadits dan syarah-syarahnya. Melainkan, sesuai kelasnya, dengan langsung membaca kitab-kitab fikih mulai dari yang paling sederhana hingga yang panjang-panjang penjelasannya.

Dan akan lebih selamat apabila dalam mempelajarinya mendapat bimbingan langsung dari para orang berilmu yang ahli (spesialis) di bidang fikih islami.

” Dari dua kutipan di atas cukup jelas, bahwa orang yang benar-benar awam dan atau orang alim (berilmu) yang belum mencapai peringkat mujtahid agar bertaklid dan mengikatkan diri kepada imam mujtahid tertentu dari madzahib al-mujtahidin yang diyakini lebih kuat dibandingkan lainnya atau minimal yang berkualitas setara. Alasannya cukup jelas, bahwa yang demikian itu diwajibkan agar orang awam atau orang berilmu yang belum mencapai peringkat mujtahid tidak tersesat karena memperturutkan hawa nafsunya dalam menafsirkan dua sumber hukum utama dalam ajaran Islam, yakni al-Quran dan al-Hadits.

Seseorang tidak akan terbebani kesalahan dalam beragama manakala ia mampu mengukur kadar dirinya sendiri. Ia tidak akan tersesat bila ia mau berendah hati mau bertanya tentang apa yang ia tidak tahu kepada para ahlinya. Untuk memahami ilmu fikih yang rumit itu hendaklah tidak merujuk langsung kepada al-Quran dan tafsir-tafsirnya dan tidak pula kepada kitab-kitab matan hadits dan syarah-syarahnya. Melainkan, sesuai kelasnya, dengan langsung membaca kitab-kitab fikih mulai dari yang paling sederhana hingga yang panjang-panjang penjelasannya.

Dan akan lebih selamat apabila dalam mempelajarinya mendapat bimbingan langsung dari para orang berilmu yang ahli (spesialis) di bidang fikih islami.

Oleh Ahmad Ishomuddin, Penulis adalah Rais Syuriyah PBNU

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/104054/beragama-harus-dengan-ilmu-bukan-dengan-hawa-nafsu