Apakah Anak Wajib Membayar Hutang Orang Tua?

asalah hutang orang yang telah meninggal kerap kali menjadi polemik di tengah masyarakat. Tidak jarang, ada orang tua yang bermudah-mudahan berhutang dengan anggapan bahwa nanti anak-anaknya yang akan melunasi hutangnya. Benarkah demikian?

Hutang mayit wajib dibayar dari harta waris

Orang yang meninggal dalam keadaan memiliki hutang, wajib segera dibayarkan hutang tersebut dari harta si mayit. Allah ta’ala setelah menjelaskan beberapa bagian waris, Allah ta’ala berfirman:

مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

“(itu dilakukan) setelah ditunaikan wasiat dari harta atau setelah ditunaikan hutang” (QS. An Nisa: 11).

Maka uang peninggalan si mayit wajib digunakan untuk membayar hutang-hutangnya terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada ahli waris. Al Bahuti mengatakan:

ويجب أن يسارع في قضاء دينه، وما فيه إبراء ذمته؛ من إخراج كفارة، وحج نذر، وغير ذلك

“Wajib menyegerakan pelunasan hutang mayit, dan semua yang terkait pembebasan tanggungan si mayit, seperti membayar kafarah, haji, nadzar dan yang lainnya” (Kasyful Qana, 2/84).

Jika uangnya sudah habis dan hutangnya masih ada, maka wajib menjual aset-aset milik mayit untuk membayar hutang. Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithi mengatakan:

فإذا مات الوالد أو القريب وقد ترك مالاً أو ترك بيتاً ، وعليه دين : فيجب على الورثة أن يبيعوا البيت لسداد دينه ، وهم يستأجرون

“Jika seorang anak meninggal atau seorang kerabat meninggal, dan ia meninggalkan harta atau rumah, sedangkan ia punya hutang. Maka wajib bagi ahli waris untuk menjual rumahnya untuk melunasi hutangnya, walaupun mereka sedang menyewakannya” (Syarah Zadul Mustaqni).

Anak tidak wajib menanggung hutang orang tua

Jika uang peninggalan mayit sudah habis dan aset pun sudah habis, maka tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk melunasi. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:

فَإِنْ لَمْ يَخْلُفْ تَرِكَةً، لَمْ يُلْزَمْ الْوَارِثُ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَدَاءُ دَيْنِهِ إذَا كَانَ حَيًّا مُفْلِسًا، فَكَذَلِكَ إذَا كَانَ مَيِّتًا

“Jika mayit tidak meninggalkan harta waris sedikitpun, maka ahli waris tidak memiliki kewajiban apa-apa. Karena mereka tidak wajib melunasi hutang si mayit andai ia bangkrut ketika masih hidup, maka demikian juga, mereka tidak wajib melunasinya ketika ia sudah meninggal” (Al Mughni, 5/155).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “andaikan mayit punya hutang 1000 dan warisannya 500, maka ahli waris tidak boleh dituntut untuk membayar lebih dari 500 itu. Karena tidak ada harta si mayit yang ada di tangan mereka kecuali sejumlah itu saja. Dan mereka tidak boleh diwajibkan untuk membayarkan hutang orang tuanya. Maksudnya, jika yang meninggal dalam keadaan punya hutang adalah ayahnya dan hutangnya lebih besar dari warisannya maka anak tidak wajibkan untuk membayar hutang ayahnya” (Al Qawa’idul Ushul Al Jami’ah, 195).

Sehingga tidak layak seseorang mengatakan “biar saya berhutang sebanyak-banyaknya, toh kalau saya mati nanti yang melunasi adalah keluarga saya”. Ini tidak dibenarkan, karena keluarganya atau ahli warisnya tidak berkewajiban untuk melunasinya.

Hukumnya mustahab (dianjurkan) untuk melunasi hutang orang tua

Walaupun tidak wajib, hukumnya mustahab (dianjurkan) bagi ahli waris, terutama bagi anak-anak dari mayit untuk membayarkan hutang orang tuanya yang sudah meninggal. Al Bahuti mengatakan:

فإن تعذر إيفاء دينه في الحال، لغيبة المال ونحوها استُحب لوارثه ، أو غيره : أن يتكفل به عنه

“Jika hutang mayit tidak bisa dilunasi ketika ia meninggal, karena tidak adanya harta padanya, atau karena sebab lain, maka dianjurkab bagi ahli waris untuk melunasinya. Juga dianjurkan bagi orang lain untuk melunasinya” (Kasyful Qana, 2/84).

Sehingga mayit terbebaskan dari keburukan yang disebabkan karena hutang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ

“Ruh seorang mukmin tergantung karena hutangnya hingga dilunasi” (HR. Tirmidzi no. 1078, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Apa yang dimaksud dengan ruhnya tergantung? Al Mula Ali Al Qari menjelaskan:

فَقِيلَ: أَيْ مَحْبُوسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيمِ، وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ: أَيْ: أَمْرُهَا مَوْقُوفٌ لَا يُحْكَمُ لَهَا بِنَجَاةٍ وَلَا هَلَاكٍ حَتَّى يُنْظَرَ، أَهَلْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ أَمْ لَا؟

“Sebagian ulama mengatakan: ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia. Al Iraqi mengatakan: maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung, tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?” (Mirqatul Mafatih, 5/1948).

Ash Shan’ani mengatakan:

وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ الدَّلَائِلِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ مَشْغُولًا بِدَيْنِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ

“Hadits ini adalah diantara dalil yang menunjukkan bahwa mayit terus berada dalam kerepotan karena hutangnya, setelah kematiannya” (Subulus Salam, 1/469).

Namun sekali lagi, membayar hutang itu bukan kewajiban anak-anak atau ahli waris, hukumnya mustahab (dianjurkan) saja. Oleh karena itu boleh juga dilakukan oleh orang lain yang selain ahli waris. Sebagaimana Abu Qatadah pernah melunasi mayit salah seorang sahabat yang meninggal.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu ia mengatakan:

تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ

“Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyalatkannya? Beliau melangkah beberapa langkah kemudian bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?”. Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qatadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya” (HR. Abu Daud no.3343, dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal. 27).

Bahaya berhutang

Jika kita telah memahami penjelasan di atas, kita akan mendapatkan pelajaran tenrang bahaya berhutang. Karena ketika anda meninggal dalam keadaan memiliki hutang, tidak ada orang lain yang berkewajiban membayarkan hutang anda. Selain itu, banyak lagi keburukan yang disebabkan karena hutang. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أيما رجلٍ تديَّنَ دَيْنًا ، و هو مجمِعٌ أن لا يُوفِّيَه إياه لقي اللهَ سارقًا

“Siapa saja yang berhutang dan ia tidak bersungguh-sungguh untuk melunasinya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5561, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 2720).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya hutang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya)” (HR. Ibnu Majah no. 2414, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 437).

Maka jangan bermudah-mudahan untuk berhutang dan jika masih memiliki hutang maka hendaknya bersegera untuk melunasinya. Karena ketika anda meninggal dalam keadaan memiliki hutang, tidak ada orang lain yang berkewajiban membayarkan hutang anda. Rezeki dari Allah, jika ternyata ada yang mau melunasi hutang anda setelah anda meninggal. Namun jika tidak ada bagaimana? Wal’iyyadzu billah.

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57223-apakah-anak-wajib-membayar-hutang-orang-tua.html

Siapa yang Menafkahi Orang Tua?

Orang tua adalah orang yang paling berhak untuk mendapatkan perlakuan baik bagi seorang anak. Namun seringkali masalah nafkah untuk orang tua menjadi polemik di kalangan sebagian anak. Mereka saling lempar tangan untuk urusan menafkahi orang tua. Allahul musta’an.

Siapa yang wajib menafkahi orang tua?

Orang tua terdiri dari ayah dan ibu. Nafkah ibu tetap menjadi kewajiban bagi ayah sampai kapan pun selama ayah masih mampu. Allah ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) wajib menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS. An Nisaa’: 34).

Kewajiban nafkah dari ayah kepada ibu tentunya sesuai kemampuan ayah. Seandainya ayah sudah tua dan hanya bisa memberi penghasilan yang sedikit, maka sekadar itulah yang wajib baginya. Allah ta’ala berfirman:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً .

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. Ath Thalaq: 7).

Maka selama ayah masih mampu memberi nafkah kepada dirinya sendiri dan kepada ibu, dalam kondisi ini tidak ada orang lain yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayah-ibu.

Namun jika ayah dan ibu miskin, tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya, atau tidak memiliki penghasilan, maka siapa yang wajib memberi nafkah?

Kaidahnya, yang wajib adalah ahli waris yang terdekat posisinya dalam urutan waris. Allah ta’ala berfirman:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian” (QS. Al Baqarah: 233).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan ayat “dan ahli waris pun berkewajiban demikian”, beliau berkata :

فدل على وجوب نفقة الأقارب المعسرين, على القريب الوارث الموسر

“Ayat ini menunjukkan kerabat yang berkemampuan WAJIB menafkahi kerabat yang kurang mampu” (Tafsir As Sa’di).

Dan ahli waris yang berkewajiban adalah yang paling dekat posisinya dari ayah dan ibu. Sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nahi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ابْدَأْ بنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن أَهْلِكَ شيءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا

“Mulailah dari dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya” (HR. Muslim no. 997).

Untuk memahami ahli waris mana yang posisinya paling dekat, maka kita pahami dahulu bahwa pengelompokkan ahli waris dibagi berdasarkan 2 sisi :

  1. Jihhah (arah), urutannya:
    1. bunuwwah (anak, dan terus ke bawah)
    2. ubuwwah (ayah, dan terus ke atas)
    3. ukhuwah (saudara, dan terus ke samping)
    4. umuwwah (ibu, dan terus ke atas)
  2. Darajah, yaitu level kedekatan jalur. Misal, posisi “anak” lebih dekat kepada ayah-ibu dari pada “cucu”. 

Menentukan ahli waris yang terdekat adalah dengan melihat urutan jihhah dahulu, lalu ketika ada 2 jenis ahli waris yang jihhah-nya sama, maka dilihat dari sisi darajah

Misalnya:

Ayah dan ibu miskin, misalnya ahli waris yang ada adalah anak, cucu, dan saudara kandung. Anak dan cucu urutan jihhah-nya lebih tinggi (bunuwwah) dari saudara kandung (ukhuwwah). Kemudian anak dan cucu memiliki jihhah yang sama, namun anak lebih dekat kepada ayah-ibu daripada cucu. Sehingga yang wajib menafkahi adalah anak. Anak-anak yang paling wajib adalah anak-anak laki-laki, jika tidak ada maka anak-anak perempuan.

Jika anak-anak tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cucu. Jika cucu tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cicit. Dan seterusnya.

Jika anak, cucu, cicit tidak ada atau tidak ada yang mampu maka dari kalangan ubuwwah (ayah dari ayah-ibu, dan terus ke atas).

Jika dari kalangan ubuwwah tidak ada maka dari kalangan ukhuwwah (para saudara dari ayah-ibu). Dan seterusnya.

Wajibnya berbakti kepada orang tua

Ketika orang tua masih hidup, maka kita para anak hendaknya berusaha berlomba-lomba berbakti kepada orang tua semaksimal mungkin. dari Abu Ibni Malik dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا ، ثُمَّ دَخَلَ النَّارَ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ ، فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ وَأَسْحَقَهُ

“Barangsiapa yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup atau salah satunya, lalu setelah itu ternyata ia masuk neraka, maka Allah akan masukan ia lebih dalam lagi ke dalam neraka” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, 4/344. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2/42-43).

Maka hendaknya jangan menunggu jatuhnya kewajiban untuk menafkahi, namun hendaknya bersegera memberikan segala kebaikan yang dimampui kepada orang tua. Karena orang tualah orang yang paling berhak mendapatkan kebaikan paling maksimal dari kita. Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi:

يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ

“wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

رغمَ أنفُ ، ثم رغم أنفُ ، ثم رغم أنفُ قيل : من ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال : من أدرك أبويه عند الكبرِ ، أحدَّهما أو كليهما فلم يَدْخلِ الجنةَ

“Kehinaan, kehinaan, kehinaan“. Para sahabat bertanya: “siapa wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab: “Orang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup ketika mereka sudah tua, baik salah satuya atau keduanya, namun orang tadi tidak masuk surga” (HR. Muslim no. 2551)

Demikian juga hendaknya kita para anak tidak saling melempar tanggung jawab dalam berbakti kepada orang tua. Namun hendaknya berusaha terdepan dan berlomba-lomba dalam berbakti kepada orang tua walaupun belum jatuh kewajiban pada diri kita. Karena berbakti kepada orang tua adalah salah satu pintu surga. Siapa yang bersegera dan berusaha terdepan, akan memasukinya. Sedangkan yang berlambat-lambat atau menyia-nyiakan, bisa jadi akan terluput dari pintu tersebut. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الوالِدُ أوسطُ أبوابِ الجنَّةِ، فإنَّ شئتَ فأضِع ذلك البابَ أو احفَظْه

“Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silakan sia-siakan orang tua kalian” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “hadits ini shahih”).

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57343-siapa-yang-menafkahi-orang-tua.html

Bukti Rasul Cinta Umatnya: Mendoakan di Waktu Pagi

“Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu paginya. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Marilah kita memperhatikan doa Nabi untuk umatnya, bahwa beliau mendoakan keberkahan bagi umatnya, di pagi harinya.

Waktu pagi adalah waktu yang penuh dengan berkah, terlebih jika dimanfaatkan untuk hal-hal dan aktivitas yang bermanfaat.

Tentunya bagi orang-orang yang melaksanakan salat subuh berjemaah dan tidak tidur lagi dia akan mendapatkan keberkahan dari Allah Taala. Karena didoakan oleh Rasulullah.

Namun tidak sedikit di antara manusia yang melalui waktu paginya dengan tidur terlelap, tidak bangun dari tidurnya kecuali setelah matahari meninggi.

Atau ada juga yang menghabiskan waktu paginya dengan bermalas-malasan, sehingga diapun jatuh dalam pelukan selimut dan guling, yang pada akhirnya dia terseret ke dunia lain dalam mimpi dan khayalan.

Sebaiknya kita isi waktu pagi dengan aktifitas yang bernilai ibadah dengan mengharapkan pahala di sisi Allah Taala, dengan itu kitapun mendapatkan doa Rasulullah berupa keberkahan di waktu pagi.

Ya Allah berkahilah kehidupan kami di dunia ini. Aamiin. [Ust. Fuad Hamzah Baraba LC]

INILAH MOZAIK

Mudahnya Berqurban Digital

Umat akan diedukasi untuk membeli qurban, bukan membeli hewan.

Kurban digital menjadi solusi alternatif  bagi masyarakat yang ingin berkurban dengan mudah pada masa pandemi Covid-19. Warga hanya cukup mengakses sejumlah startup maupun agen kurban lembaga filantropi yang menyediakan penjualan dan pemotong hewan kurban hingga pendistribusian daging kurban.

Seperti Global Qurban yang merupakan program kurban dari lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang bersiap membantu warga yang akan berkurban tahun ini. Vice President Global Qurban, Hafidz T Mas’ud mengatakan dengan memanfaatkan teknologi, bersedekah termasuk berkurban tetap bisa dilakukan meski di tengah pandemi.

“Pandemi merupakan momentum saat ini yang semakin menghadirkan peningkatan spiritual, peran digital, dan empati masyarakat. Lebih lanjut, kini empati menjadi penggerak utama kegiatan bersedekah. Di era keterbatasan fisik, sedekah tetap bisa dilakukan jarak jauh dengan bantuan teknologi,” kata Hafidz kepada Republika.co.id, Rabu (8/7). 

Hafidz menjelaskan esensi kurban sebagai pembuktian ketakwaan sekaligus menjadi jembatan silaturahmi semakin mudah dengan kehadiran digital.

Menurutnya, kini kurban   tidak hanya bisa dinikmati oleh tetangga atau masyarakat dekat masjid, namun juga bisa menjangkau masyarakat di sejumlah pelosok daerah yang hanya jarang menikmati daging kurban.

Bahkan tak hanya di Indonesia, Global Qurban juga mendistribusikan daging kurban ke warga di sejumlah negara lainnya yang dilanda krisis baik karena bencana alam maupun konflik kemanusiaan. 

“Program kurban digital sebenarnya bukan tahun pertama bagi Global Qurban. Tahun-tahun sebelumnya, kami pun telah menerapkan konsep kurban online bersama e-commerce. Hal ini menjadi hal baru dalam beribadah dan memanfaatkan teknologi. Umat akan diedukasi untuk membeli qurban, bukan membeli hewan,” katanya.

Hafidz menjelaskan Global Qurban menyiapkan platform yang memudahkan para pequrban. Platform itu bisa diakses melalui smartphone maupun perangkat lainnya. Menurutnya, banyak keuntungan yang diperoleh sekaligus menjadi daya tarik qurban secara digital. Selain lebih mudah, pequrban juga turut serta membantu ekonomi bangsa di tengah pandemi.

Ada agen qurban yang bisa menempatkan benefit dari setiap kurban yang berhasil dijual, peternakan yang menjadi mitra penyedia kurban, hingga penerima manfaat di berbagai belahan dunia,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bagaimana Hukumnya WC di Dalam kamar Mandi yang Menghadap Kiblat?

Bagaimana Hukumnya WC di Dalam kamar Mandi yang Menghadap Kiblat?

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam lindungan dan rahmat Allaah Ta’ala. Aamiin yaa Robbal alamiin.

Ustadz izin bertanya. Bagaimana hukumnya kloset (wc) di dalam kamar mandi menghadap atau membelakangi arah kiblat ?

Demikian yang saya sampaikan. Jazaakallaahu khairan

(Disampaikan Fulanah, Admin BiAS)

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

الحمد لله , ولا حول ولا قوة الا بالله , والصلاة والسلام على رسول الله, اما بعد

Jika WC tersebut sudah dibangun, maka boleh dipakai.

Jika WC tersebut belum dibangun, maka hendaknya kita tidak membangun dengan menghadap atau membelakangi kiblat.

Al-Lajnah Ad-Daimah pernah ditanya tentang :

1. Hukum menghadap dan membelakangi kiblat saat buang hajat di dalam ruangan atau di tempat terbuka?

2. Hukumnya bangunan yang sudah jadi sekarang jika di dalamnya terdapat kloset yang menghadap atau membelakangi kiblat dan tidak mungkin dirubah kecuali WCnya dibongkar seluruhnya atau sebagiannya?

3. Kemudian, jika kita memiliki rencana pembangunan yang belum dimulai, sedangkan sebagian kloset dibuat menghadap atau membelakangi kiblat, apakah wajib dirubah atau dilaksanakan saja dan tidak ada masalah dengannya?

Mereka menjawab :

Pertama:

Pendapat ulama yang shahih adalah diharamkannya menghadap kiblat atau membelakanginya saat buang hajat di tempat terbuka, baik kencing atau buang air besar, namun hal itu boleh dilakukan jika itu dilakukan di dalam ruangan antara dirinya dan Ka’bah terdapat penghalang yang dekat, baik di depan atau di belakangnya, seperti dinding, pohon, gunung atau semacamnya.

Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berdasarkan hadits shahih dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda :

إذا جلس أحدكم لحاجته فلا يستقبل القبلة ولا يستدبرها) رواه أحمد ومسلم)

“Jika salah seorang diantara kamu duduk untuk buang hajat (kencing atau buang air besar), maka jangan menghadap kiblat atau membelakanginya.”

HR. Ahmad dan Muslim

Juga berdasarkan riwayat Abu Ayub Al-Anshari, dari Nabi shallalalhu alaihi wa sallam, dia berkata :

إذا أتيتم الغائط فلا تستقبلوا القبلة ولا تستدبروها ولكن شرقوا أو غربوا) رواه البخاري ومسلم)

“Kalau anda akan buang air besar atau kecil, jangan menghadap kiblat dan jangan membelakanginya akan tetapi (hadapkan) ke timur atau ke barat.”

HR. Bukhori dan Muslim.

Juga berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, dia berkata :

رقيت يوما على بيت حفصة فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم على حاجته مستقبل الشام مستدبر الكعبة

“Suatu hari saya pernah naik di rumah Hafshoh, kemudian saya melihat Nabi sallallahu’alaihi wa sallam membuang hajatnya dalam kondisi menghadap Syam dan membelakangi Ka’bah.”

HR. Bukhori, Muslim dan Ashabus sunan.

Juga berdasarkan riwayat Abu Daud, Hakim bahwa Marwan Ashfar, dia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar mengarahkan hewan kendaraannya menghadap kiblat lalu dia kencing ke arahnya. Maka aku katakan, ‘Wahai Abu Abdurrahman, bukankah hal tersebut dilarang?’ Dia berkata, “Yang dilarang itu adalah apabila di tempat terbuka, adapun jika ada penghalang antara dirinya dengan kiblat yang dapat menutupinya maka hal itu tidak mengapa.”

(Abu Daud tidak berkomentar dengan hadits ini. Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari, sanadnya hasan).

Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhuma, dia berkata,

. نهى النبي صلى الله عليه وسلم أن نستقبل القبلة ببول فرأيته قبل أن يُقبض بعامٍ يستقبلها

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menghadap kiblat saat kencing. Namun aku melihatnya setahun sebelum kematiannya beliau menghadap kiblat (saat kencing).”

Karena itu, mayoritas ulama berpendapat dengan menggabungkan hadits-hadits yang ada. Yaitu bahwa (1) hadits Abu Hurairah dan semacamnya (yang melarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat) berlaku apabila buang air dilakukan di ruang terbuka tanpa penghalang. Sedangkan hadits (2) Jabir bin Abdullah dan (3) Ibnu Umar radhiallahu anhum (dibolehkannya buang air menghadap atau membelakangi kiblat) adalah apabila buang air diakukan di dalam bangunan, atau adanya penghalang antara dirinya dengan kiblat.

Dengan demikian diketahui bahwa dibolehkannya menghadap kiblat atau membelakanginya adalah apabila buang hajat dilakukan di dalam ruangan secara keseluruhan.

Kedua:

Adapun jika ada rencana pembangunan yang belum dilaksanakan dan direncanakan ada kloset yang menghadap atau membelakangi kiblat, maka yang lebih hati-hati adalah merubahnya hingga buang hajat tidak menghadap atau membelakangi kiblat, sebagai langkah keluar dari perselisihan dalam masalah ini. Jikapun tidak dirubah, maka tidak mengapa baginya berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan.”

(Fatawa Lajnah Daimah, 5/97)

Sumber : https://islamqa.info/id/answers/69808/hukum-membangun-kloset-menghadap-qiblat

UMMA.ID

Buang Air Kecil Sambil Berdiri

Apabila ada hajat (kebutuhanboleh buang air kecil sambil berdiri

Pada asalnya, buang air kecil hendaknya dilakukan dalam kondisi sambil duduk. Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ؛ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا جَالِسًا

“Siapa saja yang mengabarkan kepada kalian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil sambil berdiri, janganlah kalian benarkan. Beliau tidaklah buang air kecil kecuali sambil duduk.” (HR. An-Nasa’i no. 29, At-Tirmidzi no. 12 dan Ibnu Majah no. 307, shahih)

Hal ini karena ketika buang air kecil sambil berdiri kemungkinan besar akan menyebabkan terperciknya air kencing ke badan atau ke pakaian.

Akan tetapi, jika terdapat kebutuhan (hajat) untuk buang air kecil sambil berdiri, maka diperbolehkan. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,

رَأَيْتُنِي أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَتَمَاشَى، فَأَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ خَلْفَ حَائِطٍ، فَقَامَ كَمَا يَقُومُ أَحَدُكُمْ، فَبَالَ، فَانْتَبَذْتُ مِنْهُ، فَأَشَارَ إِلَيَّ فَجِئْتُهُ، فَقُمْتُ عِنْدَ عَقِبِهِ حَتَّى فَرَغَ

“Aku ingat ketika aku berjalan-jalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum di balik tembok dan buang air kecil sambil berdiri sebagaimana kalian berdiri. Aku lalu menjauh dari beliau, namun beliau memberi isyarat kepadaku agar aku mendekat. Aku pun mendekat dan berdiri di belakang beliau hingga beliau selesai.” (HR. Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Hudzaifah untuk mendekat karena ingin menjadikan badan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu sebagai penutup (pembatas) beliau yang sedang buang air kecil sehingga aman dari pandangan orang lain.

Hadits riwayat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu di atas tidaklah bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits ‘Aisyah menceritakan mayoritas keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau buang kecil. Sedangkan hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri dalam sebagian kondisi (keadaan). Para ulama menjelaskan bahwa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan bolehnya buang air kecil sambil berdiri. Atau ketika itu tidak memungkinkan bagi beliau untuk buang air kecil sambil duduk.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjelaskan bahwa terdapat dua syarat ketika buang air kecil sambil berdiri, yaitu: (1) aman dari terkena percikan air kencing; dan (2) aman dari dilihat orang lain(Syarhul Mumti’, 1: 92)

Bagaimana dengan tempat buang air kecil sambil berdiri (urinoir) yang terdapat di fasilitas umum?  

Sering kita jumpai tempat buang air kecil sambil berdiri (urinoir) yang disediakan di fasilitas umum, dalam kondisi berjejer di toilet dan disediakan untuk kaum laki-laki. Fasilitas semacam ini tentu bermasalah, karena belum memenuhi persyaratan ke dua yang disebutkan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala di atas.

Di antara adab yang perlu diperhatikan ketika buang air kecil adalah menjauh dari pandangan orang lain. Yang menjadi kewajiban adalah menjaga tertutupnya aurat, dan disunnahkan (dianjurkan) untuk menutupi semua anggota badan dari pandangan orang lain.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَرْدَفَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ خَلْفَهُ. فَأَسَرَّ إِلَيَّ حَدِيثًا لَا أُحَدِّثُ بِهِ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ وَ كَانَ أَحَبَّ مَا اسْتَتَرَ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَاجَتِهِ، هَدَفٌ أَوْ حَائِشُ نَخْلٍ. قَالَ ابْنُ أَسْمَاءَ فِي حَدِيثِهِ: يَعْنِي حَائِطَ نَخْلٍ

“Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengku di belakangnya, lalu beliau membisikkan satu hadits yang tidak aku ceritakan kepada seorang pun. Dan sesuatu yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dijadikan sebagai penghalang ketika buang hajat adalah bukit pasir atau rerimbunan pohon kurma.” Ibnu Asma’ berkata, “Yaitu (semacam) pagar dari pohon kurma.” (HR. Muslim no. 342)

Dalam hadits di atas, yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau menjadikan sesuatu yang cukup tinggi sebagai penghalang badan beliau, misalnya bukit pasir atau rerimbunan pohon kurma. Sehingga tidak ada yang bisa melihat beliau ketika sedang buang air kecil.

Adab semacam ini tidaklah bisa kita laksanakan ketika buang air kecil di urinoir tersebut, karena tidak ada sekat antara urinoir satu dengan yang lainnya. Kalaupun ada sekat, sekat tersebut sangat pendek (rendah). Sehingga kita masih bisa melihat orang lain yang sedang buang air kecil.

Oleh karena itu, kami berharap kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam penyediaan fasilitas umum seperti ini untuk tetap memperhatikan bagaimanakah ketentuan atau adab yang diajarkan oleh Islam ketika buang air kecil, mengingat pengguna fasilitas umum tersebut tentunya mayoritasnya adalah umat Islam.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/45499-buang-air-kecil-sambil-berdiri.html

Waspada! Azab Kubur Kebanyakan Sebab Air Kencing

DARI Abu Hurairah radiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Bersucilah dari air kencing, karena kebanyakan azab kubur disebabkan olehnya.” (HR Ad Daroquthni)

Fawaid Hadits:

1. Anjuran untuk berhati-hati dari cipratan air kencing.

2. Penetapan akan adanya adzab kubur.

3. Salah satu sebab seseorang di azab di kuburnya adalah akibat tidak memperhatikan masalah ini.

[Bulughul maram/Ust. Badrusalam Lc]

INILAH MOZAIK

Doa dan Tingkatan Iman

MENURUT Imam al-Ghazali, tingkatan iman itu ada enam. Pertama, keyakinan yang cuma berdasar pada kecenderungan hati. Ibaratnya seseorang yang mendengar sebuah ceramah tentang Allah yang menyukai orang meminta kepada-Nya. Orang itu percaya karena kecenderungan hatinya yang memang sedang menginginkan sesuatu, dan berharap pertolongan.

Iman pada tingkatan ini, dapat terasa dari doa yang ia panjatkan. Yang biasanya cuma meminta duniawi saja. Seperti, “Ya Allah saya ingin motor, yang baru, dan kalau bisa yang 1000 cc.” Dan terkadang cenderung mengatur Allah dalam doanya. Namun tidak masalah, asalkan orang tersebut sadar bahwa semua diinginkan adalah milik Allah. Itu sudah lumayan bagus.

Kedua, iman berdasarkan sebuah dalih yang lemah, tapi bukan dalil. Misalkan orang tadi meminta bukti jika Allah akan mengabulkan doanya, maka ia akan percaya saat ada yang bercerita padanya tentang tukang bubur yang rajin salat, lalu dikabulkan doanya sehingga bisa membeli motor keluaran terbaru dan tercanggih.

Pada tingkat ini, ia biasanya masih memohon yang duniawi, namun sudah mulai tidak mengatur Allah dalam doanya. “Ya Allah, terserah Engkau ingin memberi motor yang mana, saya terima asalkan dapat saya beli dengan uang halal, bisa membuat saya makin dekat kepada-Mu, dan tidak membuat saya sombong.” Ia sudah mulai ingin diatur Allah.

Ketiga, iman yang berdasar pada prasangka baik dan kepercayaan terhadap sang pembawa kabar. Misalkan orang tadi mendengar langsung dari sesosok ulama yang menyampaikan tentang kehidupan dunia. Keyakinannya atas apa yang disampaikan berdasar pada sosok yang menurutnya bukanlah seorang pembohong, sombong maupun pendengki.

Pada tingkat ini, doanya sudah berbeda. “Ya Allah, saya serahkan sepenuhnya kepada-Mu, Engkau ingin memberi saya motor atau tidak, yang saya mohonkan adalah agar ketika saya hendak bepergian, saya selamat sampai di tujuan.” Sudah tidak mengatur Allah sesuai keinginan, pakai motor sendiri misalnya. Tetapi terpenting adalah yang menyelamatkan dan terbaik menurut-Nya.

Keempat, iman berdasar dalil yang dipakai orang banyak, meski dalil tersebut masih bisa menimbulkan keraguan. Misal, kalau Allah SWT menciptakan manusia satu macam saja, yang sama-sama punya motor dan semua motornya mirip, maka hidup ini pasti membosankan, tak bisa saling mengenal. Namun dengan dalil itu masih bisa membuatnya agak diragukan dengan pernyataan, misalnya, “Harusnya Allah memberi sama agar tidak ada pencuri motor.” Pada tingkat ini, pikiran, amal dan doa yang dipanjatkan sudah berfokus pada pahala semata. Ketika misalnya, ia bisa menabung, maka tujuan menabungnya sudah bukan untuk membeli motor baru, tapi untuk berangkat ke Mekah. Karena salat di sana pahalanya sangat dahsyat.

Kelima, iman dengan dalil-dalil yang kuat dan sudah terbukti secara ilmiah. Ia akan merasa aneh jika masih terselip ragu, karena banyak dalil-dalil kuat yang sudah diakui. Nah, pada tingkatan ini, amal, doa dan dalam hati seseorang sudah tidak menghitung-hitung pahala, melainkan hanya surga semata. Dan tingkatan ini termasuk yang tertinggi.

Ketika kehilangan kesempatan bersedekah untuk pembangunan masjid, ia akan sangat sedih. Kesedihannya bukan karena kehilangan kesempatan memperoleh pahala. Namun kesedihan akibat kehilangan sepotong langkah menuju surga. Ia berdoa untuk kebahagiaan, dan kebahagiaan baginya adalah surga.

Keenam, iman sepenuh hati berdasar seluruh dalil yang teruji, baik kata demi katanya maupun kalimat demi kalimatnya, dan sudah tidak mungkin lagi digoyahkan oleh apapun. Tingkatan ini adalah puncaknya.

Sepenuh hati, segenap amal perbuatan, dan sedalam kemampuannya berdoa, maka permintaan dan upaya yang ditujunya sudah melampaui surga. Yang diinginkannya adalah dicintai dan diridhai Allah, dan bisa bertemu dengan-Nya. Harap, takut, sabar, syukur, ikhlas, dan seluruhnya hanyalah supaya bisa berjumpa dengan Allah. Di sinilah puncak kebahagiaan yang sesungguhnya.

Memang menurut Imam al-Ghazali, dalam suatu zaman, amat jarang orang yang sanggup mencapai tingkatan keenam yang puncak itu. Tetapi, pastinya yang paling baik bagi kita adalah terus-menerus meningkatkan keimanan kita.

Nah, saudaraku, dari enam tingkatan tersebut, masing-masing kita dapat mengevaluasi sudah sampai tingkatan manakah iman kita. Bertanya pada diri sendiri, dan bukan menilai orang lain. Dan dari sini, kita mulai melatih diri sendiri, terus dan tanpa putus supaya naik tingkat. Karena tidak mungkin, misalnya, cuma dengan sekali membaca tulisan ini, iman saudara langsung naik ke tingkatan tertinggi. [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

4 Tanda Orang Munafik dalam Alquran Surat Al-Ahzab

Terdapat sejumlah tanda-tanda orang munafik dalam surat Al-Ahzab

Setiap orang mukmin sepatutnya merasa khawatir jika sifat nifaq melekat pada dirinya, baik disadari maupun tidak. Inilah yang menjadi keresahan para sahabat Nabi SAW.

Ibnu Abi Mulaikah (wafat 117 H) berkata, “Aku bertemu dan berteman dengan 30 sahabat besar Nabi Muhammad SAW yang selalu merasa ketakutan bila digolongkan sebagai orang munafik. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menyombongkan keimanan dan kesalehannya ataupun membual.”

Dalam surat al-Ahzab ayat 19, Allah SWT menyebutkan empat kriteria orang munafik. 

أَشِحَّةً عَلَيْكُمْ ۖ فَإِذَا جَآءَ ٱلْخَوْفُ رَأَيْتَهُمْ يَنظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَٱلَّذِى يُغْشَىٰ عَلَيْهِ مِنَ ٱلْمَوْتِ ۖ فَإِذَا ذَهَبَ ٱلْخَوْفُ سَلَقُوكُم بِأَلْسِنَةٍ حِدَادٍ أَشِحَّةً عَلَى ٱلْخَيْرِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَمْ يُؤْمِنُوا۟ فَأَحْبَطَ ٱللَّهُ أَعْمَٰلَهُمْ ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا

“Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Ciri pertama adalah bakhil. Jika diminta mengorbankan harta bendanya di jalan Allah, mereka enggan dan menolak. 

Apalagi, saat ada instruksi perang, mereka bersembunyi dan melarikan diri. Perangai orang munafik ini sesuai dengan peribahasa yang mengatakan, “Berat turut memikul dan ringan turut menjinjing, mereka me lengah seakan-akan tidak tahu.”

Kedua, karakter pura-pura, yaitu watak menipu, ingkar janji, bohong, dan khianat. Apabila berada dalam situasi sulit dan bahaya, mereka meminta tolong kepada Rasulullah dan orang-orang mukmin dengan mata yang terbalik-balik, seperti orang pingsan karena takut akan mati.

Namun, tatkala ditolong, rasa takut hilang dan situasi kembali normal, orang-orang munafik itu kembali kepada karakter aslinya. 

Mereka mencaci maki Nabi SAW dan orang-orang mukmin dengan kata-kata yang pedas dan sikap yang menyakitkan.

Ketiga, suka mencaci maki dan menghujat orang-orang beriman yang saleh. Mereka begitu membenci orang-orang mukmin yang gigih membela kebenaran (al-haq) demi menegakkan agama Allah.

Memuncaknya kebencian mereka adalah sesuatu yang lumrah karena prinsip dan worldviewnya berbeda. Misalnya, barisan mukmin sejati itu memiliki se mangat tinggi dalam melakukan gerakan dakwah Islam amar makruf nahi mungkar. 

Sebaliknya, kalangan orang munafik justru suka menyuruh berbuat mungkar dan mencegah kebaikan. Keempat, amal baik orang munafik menjadi sia-sia. Maknanya, amal baiknya itu dihapus dan ditolak sebab sejatinya mereka tidak beriman kepada Allah SWT.

Selain itu, terdapat sifat-sifat nifaq lainnya yang juga dijelaskan Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Seperti merasa berat mengerjakan ibadah, malas mengerjakan sholat, tidak berzikir kepada Allah kecuali sedikit, riya, menistakan agama, dan hatinya terkunci. Bahkan, untuk menutupi niat jahatnya, penampilan dan retorika mereka begitu memukau dan mengagumkan.

Berdasarkan ciri-ciri hipokrit tersebut, para ulama membaginya menjadi dua macam, yaitu nifak akbar (nifaq i’tiqadi) dan nifaq ashghar (nifaq amali). Oleh sebab itu, setiap Muslim wajib mewaspadai dan menjauhi keduanya. Apalagi nifaq akbar statusnya sama dengan kufur. Ancaman azabnya neraka jahanam paling bawah (QS an-Nisa [4]:145).

Oleh Imron Baehaqi

KHAZANAH REPUBLIKA