Amalan Rasulullah untuk Menggugurkan Dosa

Setiap tentunya tidak akan luput dari dosa. Tentu saja  kita pun menyadarinya. Lantas apakah ada cara untuk membersihkan diri dari dosa-dosa? Berikut ini beberapa amalan Rasulullah untuk menggugurkan dosa.

Rasulullah SAW pernah berpesan pada para sahabat, segala perbuatan dosa sebaik-baiknya selalu diiringi dengan amalan-amalan yang baik agar dosa yang diperbuat gugur. “Bertakwalah kamu di manapun kamu berada. Jika kamu berbuat kejahatan, segera iringi dengan perbuatan baik, sehingga dosamu terhapus lalu pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi).

Amalan Rasulullah untuk Menggugurkan Dosa

Setidaknya ada 8 amalan yang dapat diterapkan seorang muslim agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT. Berikut penjelasan lengkap tentang amalan Rasulullah untuk menggugurkan dosa:

Pertama, Memurnikan Keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Seorang umat muslim yang ingin mendapatkan ampunan dari Allah SWT harus memurnikan dan menguatkan keimanannya. Meski sebenarnya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 

Karena dengan menjaga keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka kita akan menjadi hamba yang sangat beruntung. Selain memperoleh ampunan, kita akan memperoleh petunjuk menuju kebenaran, dan mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman;

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ ١٣ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۚ جَزَاۤءً ۢبِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٤

Artinya: “Orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ lalu mereka teguh dan istiqamah, tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka merasa sedih. Mereka adalah penghuni surga yang kekal di dalamnya sebagai ganjaran atas amal perbuatan mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 13-14)

Kedua, bertaubat kepada Allah. Dengan Bertaubat menjadi amalan penghapus dosa selanjutnya. Bertaubat sebenar-benarnya kepada Allah dalam artian kita harus mengakui semua dosa-dosa yang telah dilakukan, kemudian memohon ampunan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَبَيَّنُوْا فَاُولٰۤىِٕكَ اَتُوْبُ عَلَيْهِمْ ۚ وَاَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ ١٦٠

Artinya: “Kecuali bagi mereka yang telah bertaubat, melakukan perbaikan, dan dengan tulus mengklarifikasi kesalahan mereka. Mereka adalah orang-orang yang Aku terima taubatnya, dan Aku adalah Yang Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 160)

Ketiga, perbanyak dzikir.  Memperbanyak berdzikir berarti kita sebagai hamba-Nya selalu mengingat Allah dalam kondisi apa pun, dimana pun, dan kapan pun tapi tetap dzikir dilakukan harus sesuai yang disyariatkan oleh Rasulullah. Berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala hendaklah membaca kalimat-kalimat dzikir dan doa-doa yang matsur, yang terdapat dalam riwayat shahih.

Keempat, menjaga shalat. Salah satu sarana untuk membersihkan dosa-dosa yang pernah dilakukan dan untuk memperoleh ampunan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah dengan menjaga sholat kita. Sebab shalat diibaratkan tiang agama, barangsiapa yang mengerjakannya berarti dia telah menegakkan agama.

 Terkait hal ini, Allah berfirman;

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ ١١٤

Artinya: “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114)

Kelima, bakti pada kedua orang tua. Allah memerintahkan hambanya untuk berbakti kepada orang tua. Barangsiapa yang berbakti kepada kedua orang tuanya, maka Allah akan menjamin surga untuknya. Sedangkan yang durhaka kepada kedua orang tuanya, maka neraka adalah tempat yang pantas untuknya. Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda :

“Sungguh, orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Terserah kamu, hendak kamu terlantarkan ia, ataukah kamu hendak menjaganya.” (HR. At-Tirmidzi)

Keenam, silaturahmi. Allah akan menghapus kesalahan dan mengampuni dosa-dosa yang pernah dilakukan yakni dengan menjaga silaturahmi antar saudara sesama muslim. Lebih dari itu, dengan rajin melakukan silaturahmi, maka Allah akan memasukkan hamba-Nya ke dalam surga. Rasulullah SAW bersabda;

 “Sesuatu yang paling cepat mendatangkan pahala adalah berbuat kebaikan dan menghubungkan tali silaturahmi, sedangkan yang paling cepat mendatangkan siksaan adalah berbuat jahat dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR Ibnu Majah)

Ketujuh, sabar menghadapi ujian. Orang yang sabar dalam menghadapi semua permasalahan hidupnya maka Allah berikan ampunan dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Pandanglah bahwa semua musibah dan persoalan tersebut merupakan cara Allah untuk membersihkan dosa-dosa dan mengampuni kesalahan-kesalahan kita.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ ١٥٦

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah, mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’ (Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami akan kembali)”. (QS. Al-Baqarah: 155-156)

Kedelapan, bersedekah. Amalan ini adalah salah satu dari sekian banyak jalan untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Perintah untuk melakukan sedekah dan berbagi kepada sesama merupakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diberlakukan kepada seluruh umat-Nya yang tidak diberi batas waktu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berbunyi,

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٢٦١

Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 261)

Demikian penjelasan terkait amalan Rasulullah untuk menggugurkan dosa. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Boikot:  Strategi Melawan Kezaliman

Imam Nawawi mengatahkan hubungan muamalah dengan orang non-Muslim  dibolehkan, kecuali pada mereka yang memusuhi Islam, perlu diboikot

KATA  boikot mempunyai arti menolak berhubungan dengan seseorang atau menyatakan ketidaksetujuan atau memaksa individu atau lembaga yang bersangkutan untuk menerima syarat tertentu.

Sedangkan menurut Cambridge Dictionary boikot berarti keengganan untuk membeli suatu produk atau terlibat dalam aktivitas apa pun sebagai cara untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap suatu isu.

Sejarah boikot yang pernah dilakukan dengan membawa dampak yang besar bagi negara ‘Israel’ karena pada tahun 1945 dikeluarkan resolusi yang bertajuk “Boikot Barang dan Produk Zionis” sebagai hasil pertemuan tujuh anggota Liga Arab.

Isinya bahwa setiap produk Yahudi harus dianggap tidak diinginkan di negara-negara Arab dan semua warga negara Arab –baik institusi, organisasi, pengusaha, agen dan individu– harus menolak menjual, mendistribusikan atau menggunakan produk Zionis.

Akibat boikot ini, ekonomi pasar dan sumber daya regional ‘Israel’ sangat terdampak sehingga Zionis harus menyuarakan protesnya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  

Hukum Beramalah dengan Orang Yahudi

Secara umumnya hukum bermuamalah dengan orang Yahudi adalah boleh, selagi mana ia adalah produk yang halal. Dalam sebuah riwayat Nabi ﷺ pernah berurusan dan memberi jaminan dengan seorang Yahudi seperti yang diriwayatkan oleh Saidatina Aisyah RA:

أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم اشْتَرَى طَعَامًا من يَهُودِيٍّ إلى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا من حَدِيدٍ

“Sesungguhnya Nabi membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran secara ditangguhkan, dan  menggadaikan baju besi baginda Nabi.” (HR: Muslim).

Imam Nawawi ketika mensyarahkan hadis di atas menyatakan bahwa hubungan muamalah dengan orang non-Muslim  telah disepakati para ulama. Namun, kewajiban tersebut hanya terbatas pada hal-hal yang diperbolehkan saja, jika transaksi tersebut dapat mengarah pada hal-hal yang haram seperti menjual senjata kepada musuh-musuh Islam, segala bentuk yang dapat membantu menegakkan ajaran agamanya, membeli kitab-kitab agamanya dan sejenisnya maka muamalatnya diharamkan.

Imam Ibn Battal berkata:

مُعَامَلَةُ الْكُفَّارِ جَائِزَةٌ، إِلا بَيْعَ مَا يَسْتَعِينُ بِهِ أَهْلُ الْحَرْبِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ

“Berurusan dengan orang kafir dibolehkan, kecuali menjual apa yang dapat membantu mereka untuk memerangi umat Islam.”(Ibn Hajar dalam Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari,  Mesir: al-Maktabah al-Salafiyyah. Jld. 4, hlm. 410).

Dalam al-Quran Allah SWT memerintahkan untuk saling bantu membantu dalam kebaikan dan mengharamkan saling tolong menolong dalam perkara kemaksiatan dan permusuhan. Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ‎﴿٢﴾

 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS: Al-Maidah : 2)

Dr. Walid bin Idris al-Manisi ketika membahas parameter saling tolong menolong terhadap dosa dan kemaksiatan beliau membaginya menjadi empat kategori:

  1. Kerja sama yang bersifat langsung dan dimaksudkan untuk membantu ke arah maksiat (mubasyarah maqsudah), misalnya memberikan minuman keras (miras) kepada seseorang agar dia dapat meminum Miras tersebut.
  2. Kerjasama langsung tanpa niat (mubasyarah ghairu maqsudah): Misalnya menjual barang yang tidak ada gunanya selain untuk hal yang haram, namun penjualan tersebut tidak dimaksudkan untuk digunakan untuk hal yang haram tersebut.
  3. Kerjasama dengan niat, secara tidak langsung (maqsudah ghairu mubasyarah): Memberikan uang kepada seseorang agar orang tersebut membeli minuman beralkohol.
  4. Kerjasama tidak langsung tanpa niat (ghairu mubasyarah wa la maqsudah): Misalnya memberikan uang kepada seseorang tanpa tujuan tertentu, kemudian penerimanya membeli minuman beralkohol dengan uang tersebut.

Kategori ini juga mencakup jual beli, sewa dan sedekah dengan kaum musyrik. Jika mereka menggunakan uang yang kita sumbangkan untuk maksiat, kita tidak dianggap berdosa. (al-Badrani, Abu Faisal, t.t, Kitab al-Wala’ wa al-Bara’ wa al-‘Ada’ fi al-Islam, hlm. 76 dan Al-Bukairi, Ahmad Fathi (2021), Athar al-Niyyah fi al-Mu’amalat al-Maliyyah, Mansoura: Dar al-Lu’lu’ah, hlm. 167).

Pertimbangan Maslahah dan Mafsadah Boikot

Masyarakat hendaknya melakukan boikot dengan berbekal pengetahuan dan akhlaq, daripada sekedar melakukan boikot secara tergesa-gesa, tanpa berpikir panjang hingga menimbulkan kerugian yang tidak semestinya.

Strategi boikot ekonomi perlu dilakukan secara hati-hati dan bijaksana. Perlu memperhatikan pertimbangan maslahah agar tidak menimbulkan kerugian lain yang lebih besar. Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd al-Salam dalam salah satu tulisannya menjelaskan bahwa ada beberapa keadaan di mana menolong pada kemaksiatan hukumnya adalah dibolehkan.

قد يجوز الإعانة على المعصية لا لكونها معصية بل لكونها وسيلة إلى تحصيل المصلحة الراجحة وكذلك إذا حصل بالإعانة مصلحة تربو على مصلحة تفويت المفسدة

““Terkadang dibolehkan menolong dalam kemaksiatan bukan karena kemaksiatannya, namun karena ia dapat membawa kepada kemaslahatan yang lebih kuat, begitu juga jika pertolongan itu mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar dari menghindari mafsadah (keburukan).” (Izzudin bin Abd al-Salam, dalam Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Jld. 1, hlm. 87).

Pedoman dan parameter boikot

Selain itu, pedoman berikut juga perlu diperhatikan agar boikot yang dilaksanakan benar-benar mencapai tujuannya, bersifat strategis, tidak melenceng dari tujuan yang telah digariskan dan tidak menindas pihak-pihak yang tidak bersalah.

Di bawah ini Panduan Boikot Merujuk Ulama

  • Fokus kampanye boikot adalah untuk menekan perusahaan-perusahaan yang terlibat langsung agar mengubah kebijakan mereka mengenai Palestina dan Zionis ‘Israel’.
  • Dalam melakukan boikot, sikap tabayyun dalam menerima informasi sangat diperlukan, untuk memastikan bahwa perusahaan yang ingin diboikot tersebut benar-benar mempunyai keterlibatan langsung dengan Zionis ‘Israel’. Hal ini untuk mencegah adanya ketidakadilan terhadap pihak-pihak yang tidak bersalah.
  • Kampanye boikot harus kita lakukan dengan arif dan bijaksana serta tidak melakukan tindakan yang ekstrim dan gegabah seperti memaki-maki karyawan perusahaan yang terlibat mengingat mereka hanya sekedar mencari nafkah, melakukan sabotase dengan merusak infrastruktur atau memotret pelanggan yang sedang makan dan menyebarkannya ke media sosial dengan tujuan menjatuhkan gambar tersebut.
  • Kita juga perlu mempertimbangkan pengecualian pada kasus-kasus tertentu. Tidak semua pihak dalam kasus tertentu berhasil melakukan memboikot, karena kendala tertentu.

Seperti: ada masalah kesehatan dan obat yang dibutuhkan hanya diproduksi oleh merek tertentu, atau anak hanya boleh meminum susu merk tertentu saja, jika diganti akan menimbulkan masalah alergi dan gangguan kesehatan, dan contoh  lain sejenis.

  • Hukum bagi karyawan yang bekerja di perusahaan waralaba bahwa mereka membayar royalti kepada perusahaan induk yang mungkin terlibat dalam memberikan kontribusi kepada negara ilegal ‘Israel’ adalah wajib dan gajinya halal selama perusahaan tempat mereka bekerja tidak membantu ‘Israel’ secara langsung. Seperti misanya memberikan sumbangan atau lainnya kepada ‘Israel’.* (sumber: Bayan Linnas SIRI ke-281, laman Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia)

HIDAYATULLAH

Kewajiban Haji Bisa Gugur karena Enam Perkara Ini

Enam hal ini bisa membuat gugur kewajiban haji.

Terdapat sejumlah elemen yang dapat menjadi pencegah seseorang dari kewajiban berhaji. Dengan alasan adanya penghalang, maka hukum berhaji meskipun persyaratannya telah terpenuhi, namun kewajiban berhaji itu bisa gugur. Apa saja itu? 

Agar ibadah haji dapat diterima Allah SWT, maka seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji harus memenuhi syarat-syaratnya. Pemenuhan syarat-syarat haji itu menjadi penentu sah dan tidak sahnya ibadah haji yang dilaksanakan. Syarat-syarat tersebut ada yang sifatnya umum, dan ada yang sifatnya khusus hanya untuk para wanita saja sebagai syarat tambahan.

Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku Ibadah Haji: Syarat-Syarat dijelaskan bahwa apabila telah selesai pemenuhan syarat-syarat haji, maka terdapat juga aspek mengenai hal-hal yang dapat menjadi penghalang berhaji.

Pertama, ubuwah. Yakni adalah ayah, kakek, ayahnya kakek, dan seterusnya ke atas. Mereka itu adalah pihak yang dibutuhkan izinnya bagi seorang yang ingin melaksanakan ibadah haji.

Izin tersebut dibutuhkan khususnya dalam ibadah haji yang hukumnya sunnah, yaitu haji kedua, ketiga, dan seterusnya. Namun untuk haji yang wajib, hanya disunahkan saja untuk mendapatkan izin dari mereka.

Kedua, zaujiyah. Yakni hubungan antara suami dengan istri, di mana seorang suami berhak untuk melarang istrinya berangkat haji. Mayoritas ulama mengatakan bahwa larangan suami agar istrinya tidak berangkat haji hanya berlaku dalam haji yang hukumnya sunnah. Sedangkan haji yang membutuhkan izin dari suaminya maka hanya disunahkan saja.

Sedangkan dalam pandangan ulama mazhab Syafii, baik untuk haji wajib maupun haji sunnah tetap dibutuhkan izin dari suami. Sehingga apabila suami tidak mengizinkan istrinya untuk berangkat haji, maka tidak wajib bagi istri untuk menunaikan ibadah haji tersebut. Dengan alasan, bahwa wanita itu tidak memiliki istithaah (kemampuan).

Ketiga, perbudakan. Yakni seorang tuan berhak untuk melarang budaknya dari berangkat menunaikan ibadah haji. Izin dari tuan dibutuhkan agar budak dibenarkan menjalankan ibadah yang satu ini. Mayoritas ulama mengatakan bahwa izin semacam ini berkalu baik untuk haji yang bersifat wajib maupun sunnah.

Keempat, utang. Apabila seseorang sedang terlilit utang maka itu dapat menjadi penghalang baginya melaksanakan ibadah haji. Seseorang yang masih memiliki tanggungan utang tidak dibenarkan untuk menunaikan ibadah haji, karena dikhawatirkan ia tak dapat membayar utang-utangnya.

Beda halnya jika orang yang meminjaminya utang memberikan izin kepada yang berutang untuk berangkat pergi menunaikan ibadah haji. Dalam kasus seperti ini maka penjelasan hukumnya akan berbeda.

Kelima, keamanan. Kondisi keamanan yang membahayakan juga bisa menjadi penghalang seseorang untuk melaksanakan ibadah haji. Di masa lalu, masalah keamanan jamaah haji sangat krusial mengingat di tengah padang pasir memang terdapat banyak penyamun yang dengan tega dapat merampas dan merampok para jamaah haji.

Keenam, kesehatan. Kondisi kesehatan fisik seseorang juga bisa menjadi penghalang dalam melaksanakan ibadah haji. Sebab ibadah haji merupakan aktivitas ibadah yang digelar secara komunal dan mempertemukan jamaah haji nasional dengan internasional dari seluruh negara.

IHRAM

Orang Kaya dan Berkecukupan, namun Boleh Diberi Zakat

Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ

Tidak halal zakat bagi orang kaya (berkecukupan), kecuali bagi lima orang, yaitu: 1) orang yang berperang di jalan Allah; 2) petugas (amil) zakat; 3) orang yang berutang; 4) seseorang yang membelinya (harta zakat) dengan hartanya; atau 5) orang yang memiliki tetangga miskin, kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.” (HR. Ahmad 18: 97, Abu Dawud no. 1636, Ibnu Majah no. 1841, Al-Hakim, 1: 407. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’, 3: 377-378)

Kandungan hadis

Hadis di atas merupakan dalil bahwa orang yang kaya atau berkecukupan itu bukanlah termasuk golongan yang berhak menerima zakat, kecuali lima orang:

Pertama, orang-orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Yaitu, siapa saja yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah Ta’ala. Maka, dia boleh diberi zakat, meskipun dia kaya dan berkecukupan. Sehingga dengan harta zakat tersebut, dia bisa menggunakannya untuk membeli persenjataan dan sarana-sarana lain untuk berjihad, baik jihad yang sifatnya ofensif (menyerang) atau defensif (bertahan).

Kedua, orang tersebut adalah amil (panitia) zakat. Yaitu, orang-orang yang mendapatkan tugas dan wewenang dari penguasa untuk mengurus zakat, baik petugas yang memungut (mengambil atau mengumpulkan) zakat, yang bertugas menjaga harta zakat, yang bertugas mendistribusikan zakat, atau yang bertugas dalam pencatatan zakat. Mereka itu berhak menerima zakat, meskipun pada asalnya mereka adalah orang kaya berkecukupan. Mereka diberi zakat karena adanya kebutuhan terhadapnya, yaitu karena mereka bertugas mengurus zakat.

Ketiga, orang yang memiliki utang. Orang kaya yang memiliki utang ini ada dua macam. Pertama adalah orang yang berutang untuk mendamaikan dua pihak atau dua kelompok yang bersengketa atau berselisih. Orang ini berperan sebagai mediator untuk mendamaikan dua kelompok tersebut. Dan untuk mendamaikannya, dia harus menanggung utang. Sehingga utang tersebut membawa manfaat yang besar, yaitu perdamaian antara dua kelompok yang bersengketa. Oleh karena itu, suatu satu hal baik yang perlu dilakukan adalah menanggung utangnya dengan alokasi zakat, sehingga tidak merugikan para tokoh yang berperan dalam proses perdamaian atau melemahkan tekad mereka dalam meredam fitnah dan mencegah kerugian.

Jenis kedua adalah orang yang berutang untuk keperluan dirinya sendiri. Yaitu, orang kaya yang tertimpa musibah yang tidak mampu dia tanggung. Misalnya, dia memiliki utang untuk berobat atau hartanya ludes karena musibah yang bukan karena kecerobohannya. Dalam kondisi semacam ini, dia boleh diberi harta zakat untuk melunasi utang-utangnya. Ini pun dengan syarat bahwa orang tersebut memang benar-benar tidak mampu untuk melunasinya sendiri, baik dengan harta yang dia miliki, atau dari gaji, atau dari hasil berdagang, atau yang lainnya. Syarat yang lain adalah tidak boleh berlebih-lebihan dari kebutuhan untuk melunasi utang tersebut.

Keempat, orang kaya yang membeli harta zakat dengan hartanya sendiri. Maka, tentu saja hal ini diperbolehkan karena dia membeli dengan hartanya sendiri. Jika harta zakat yang dibeli itu berasal dari harta zakat orang lain, maka diperbolehkan membelinya dengan kesepakatan ulama. Adapun apabila dia membeli lagi harta zakat yang sebelumnya dia setorkan sendiri, maka jumhur (mayoritas ulama) menyatakan hukumnya makruh.

Kelima, ada orang kaya yang mengunjungi orang miskin yang telah menerima zakat. Orang miskin tersebut kemudian memberi hadiah kepada orang kaya dari harta zakat yang dia terima. Atau dia ikut makan di rumah orang miskin tersebut dari makanan yang berasal dari zakat. Maka, ini pun diperbolehkan. Karena statusnya adalah hadiah dari orang miskin kepada orang kaya, bukan sedekah kepada orang kaya. Jika hal semacam ini tidak diperbolehkan, nanti bisa mencegah dan menghalangi orang kaya dari mengunjungi orang-orang miskin. Akan tetapi, Allah Ta’ala memperbolehkan hal tersebut dengan rahmat dari-Nya.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Kantor YPIA Pogung, 12 Rabi’ul akhir 1445/ 27 Oktober 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 494-496).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89094-orang-kaya-dan-berkecukupan-namun-boleh-diberi-zakat.html

Meluruskan Salah Paham “Wanita Mayoritas Penghuni Neraka”

Imam Bukhari, Muslim dan Tirmidzi mencatat satu hadits:  “Saya (Rasulullah) berdiri di depan pintu neraka, dan mayoritas penghuninya adalah kaum perempuan”.

Ada banyak hadits yang senada dengan hadits di atas, beberapa diantaranya berstatus sebagai hadits shahih seperti yang tercantum dalam Shahih Bukhari berikut ini. “Bersedekahlah, karena sesungguhnya saya melihat bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka”.

Hadits-hadits yang menarasikan kaum hawa sebagai mayoritas penghuni neraka sangat populer. Sehingga, asumsi negatif terhadap perempuan berkembang dan berdampak pada persepsi bahwa perempuan memiliki potensi lebih besar menjadi penghuni neraka dari pada laki-laki.

Padahal, al Qur’an tegas mengatakan manusia paling mulia adalah mereka yang paling bertakwa kepada Allah. Kitab suci ini tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Siapa saja yang paling takwa, baik dari golongan laki-laki maupun perempuan.

Melihat hadits-hadits yang berbicara perempuan mayoritas penghuni neraka statusnya hadits shahih, kita meyakini hadits-hadits tersebut memang benar perkataan Nabi. Namun yang perlu diluruskan adalah penafsiran yang salah, yaitu suatu penafsiran yang terpisah dari konteks dan makna yang sebenarnya.

Bagaimanapun, tidak akan ada satu hadits pun yang muatannya kontradiktif dengan prinsip-prinsip al Qur’an dan keteladanan Nabi. Al Qur’an mengatakan kemuliaan diukur dengan ketakwaan, bukan jenis kelamin. Sementara uswah dari Nabi mengajarkan bagaimana Rasulullah sangat menghormati dan menghargai perempuan.

Hadits-hadits tentang perempuan merupakan mayoritas penghuni neraka disabdakan oleh Rasulullah pada saat membaca khutbah Idul Fitri. Nabi memerintahkan umat Islam untuk bertakwa kepada Allah. Nasihat itu beliau mulai dari kelompok sahabat laki-laki, kemudian mengarahkan pidatonya kepada kaum hawa, kemudian bersabda sebagai bunyi hadits di atas.

Namun demikian, kita tidak boleh berhenti sampai disini. Dalam hadits lain dikatakan, Rasulullah berkata demikian dalam konteks manusia secara umum, bukan ditujukan khusus kepada para sahabiyah (sahabat perempuan).

Dalam kitab Shahih Bukhari (No. 29), Abdullah bin Abbas menyatakan: “Saya ditunjukkan neraka, dan saya menemukan bahwa mayoritas penghuninya adalah kaum wanita yang kufur”.

Alhasil, redaksi “wanita yang kufur” merupakan inti dari pernyataan Nabi. Dengan penajaman pemahaman, bahwa mayoritas wanita yang menjadi penghuni neraka adalah mereka yang mengutuk segalanya dan tidak berterima kasih terdapat pasangan mereka.

Sabda Nabi: “Kalian sering mengutuk dan tidak berterima kasih kepada pasangan kalian”, yang dimaksud disini adalah wanita-wanita kufur, bukan sahabat-sahabat perempuan yang hadir ketika Nabi mengatakan hal itu.

Sebagian ulama mengarahkan makna hadits-hadits perempuan mayoritas penghuni neraka sebagai pesan moral terhadap para sahabiyah untuk menjaga agamanya sehingga selamat dari siksa neraka, seperti dikatakan oleh Mubarakfury dalam karyanya Tuhfatul Ahwadzi.

Sementara Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Bari, menjelaskan, kufur yang dimaksud dalam hadits-hadits tersebut bukan kekafiran yang keluar dari agama, melainkan ingkar dan pengabaian terhadap kebaikan yang telah diberikan oleh suami.

Kesimpulannya, pernyataan Rasulullah tentang mayoritas penghuni neraka adalah perempuan merupakan alarm peringatan supaya kaum hawa (sahabiyah) selalu berhati-hati dan memegang kuat ajaran Islam.

Andaipun kaum hawa melakukan kekufuran tidak termasuk kategori kafir. Sekalipun kekufuran tersebut menyebabkan seorang wanita masuk neraka, itu tidak kekal. Hanya disiksa dulu di neraka sebagai balasan kekufuran tersebut, dan akan menjadi penghuni surga setelah semua kesalahannya diberi balasan yang setimpal.

Hal seperti ini tidak hanya berlaku bagi perempuan, laki-laki juga memiliki peluang yang sama sebab dosa-dosa yang diperbuat selama di dunia.

Sekali lagi, tidak ada jaminan kemuliaan antara laki-laki dan perempuan. Hanya takwa yang membedakan membedakan derajat manusia kelak di sisi Allah.

ISLAMKAFFAH

Viral “Brigade Hassan bin Tsabit” Melawan Israel, Siapakah Hassan bin Tsabit?

Penentangan dan perlawanan terhadap Israel yang menjajah dan melakukan kekejaman genosida terhadap rakyat Palestina terus berlangsung. Tidak hanya dilakukan oleh bangsa Palestina, namun solidaritas terhadap Palestina dan perlawanan terhadap Israel datang dari segala penjuru dunia.

Salah satunya adalah aksi “Brigade Hassan bin Tsabit”, seruan untuk menyerang medsos tentara Israel dengan tujuan untuk meruntuhkan semangat mereka. Mereka menyebut gerakan ini sebagai “jihad bil lisan” membantu Palestina melawan Israel. Jihad melawan Israel dengan kata-kata dan tulisan di media sosial.

Siapakah sosok Hassan bin Tsabit yang menjadi ikon dalam gerakan nitizen tersebut?

Hassan bin Tsabit adalah salah seorang sahabat Nabi. Bernama lengkap Hassan bin Tsabit bin Mundzir bin Haram bin Amr bin Zaid Minat bin Adi bin Amr bin Malik al Najjar al Anshari. Akrab dipanggil Abu al Walid.

Rasulullah sering dibuli oleh orang kafir Quraisy dengan syair-syair yang menghina dan melecehkan. Sebagaimana dimaklumi, orang-orang Arab jahiliah banyak yang memiliki kemampuan bersyair dengan gaya bahasa tingkat tinggi. Kala itu, identitas penyair sangat terhormat.

Beberapa sahabat berinisiatif untuk melawan penyair-penyair Quraisy yang menghina dan merendahkan marwah Nabi dengan syair-syair. Bagi mereka saat itu, membela Nabi tidak hanya dilakukan dengan menghunus pedang, namun juga dengan lisan melalui syair-syair sebagai narasi tandingan.

Pada awalnya Nabi menolak rencana ini, sebab di antara kafir Quraisy tercatat masih memiliki hubungan nasab dengan Nabi. Tidak mungkin menghina mereka dengan membawa-bawa keturunan sebab sama saja dengan menghina Nabi.

Akan tetapi, setelah berkonsultasi kepada Abu Bakar akhirnya rencana itu dijalankan. Abu Bakar adalah ahli nasab sehingga sangat tahu siapa saja yang tidak memiliki hubungan nasab langsung kepada Rasulullah. Ia kemudian merekomendasikan siapa saja yang boleh di balas dengan cara mempermalukan mereka dengan syair dan siapa yang tidak boleh diperlakukan demikian.

Hassan bin Tsabit diserahi tugas tersebut bersama Ka’ab bin Malik dan Abdullah bin Rawahah. Tiga orang ahli syair dari kalangan muslim ini bertugas melakukan serangan balik terhadap kafir Quraisy dengan syair. Syair dibalas syair. Sampai disini bisa diketahui bahwa Hassan bin Tsabit adalah seorang ahli syair.

Seperti ini pula maksud “Brigade Hassan bin Tsabit”, kelompok nitizen yang melakukan gerakan terhadap Israel dengan komentar dan status-status di media sosial untuk menghajar Israel.

Rasulullah sendiri senantiasa memberikan dukungan terhadap Hassan untuk melawan orang-orang kafir Quraisy dengan syair. Suatu ketika beliau berkata kepada Hassan bin Tsabit: “Hajarlah kaum Quraisy dengan syair-syairmu, Jibril selalu bersamamu”.

Dengan demikian, Hassan bin Tsabit adalah seorang pujangga besar dan mujahid bersenjata syair. Pria kelahiran Yatsrib (Madinah) tahun 536 M. dari golongan Bani Khazraj ini selalu tampil membela Nabi melawan musuh Islam. Syair-syairnya memiliki nilai seni sastra Arab sangat tinggi. Serangan syairnya mampu melemahkan semangat musuh di medan perang.

Tidak mustahil, Brigade Hassan bin Tsabit mampu melemahkan tentara IDF dengan menyerang akun mereka, menyerang medsos tentara Israel dengan tulisan. Menyentuh kemanusiaan mereka sehingga sadar bahwa genosida dan penjajahan terhadap Palestina merupakan aktifitas yang melanggar norma-norma kemanusiaan, dan kekejaman seperti itu hanya bisa dilakukan oleh binatang. Manusia yang naluri kemanusiaan dan akal sehatnya masih normal tidak akan sanggup melakukan perbuatan membantai sesama.

ISLAMKAFFAH

Adab-Adab di Hari Jumat

  1. Memperbanyak do’a dan mendekatkan diri kepada Allah, karena di hari Jum’at terdapat waktu yang mustajab (dikabulkannya do’a). Hal ini berdasarkan hadits:

فِيْهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا.

“Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.’ Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.” [HR. Al-Bukhari no. 9300 dan Muslim no. 852][1]

  1. Memperbanyak shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْراً

“Perbanyaklah oleh kalian shalawat kepadaku pada hari Jum’at dan malam Jum’at karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.” [HR. Al-Baihaqi III/249 dari Anas Radhiyallahu anhu, sanadnya hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 1407].

  1. Mandi besar, memakai wangi-wangian, dan memakai pakaian yang terbagus.
    Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى.

“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara Jum’at tersebut dan ke Jum’at berikutnya.” [HR. Al-Bukhari no. 883]
Baca Juga Duduk Berlama-lama Di WC Dan Membaca Di Dalamnya

  1. Membaca al-Qur-an surat al-Kahfi, berdasarkan hadits:

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ.

“Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at akan diberikan cahaya baginya di antara dua Jum’at.”[HR. Al-Hakim II/368 dan al-Baihaqi III/249 dishahihkan oleh Imam al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 626].

  1. Bersegera untuk datang lebih awal pada shalat Jum’at.
    Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً.

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandi janabah lalu segera pergi ke masjid, maka seakan-akan berkurban dengan unta yang gemuk” [HR. Al-Bukhari no. 881, Muslim no. 850, Abu Dawud no. 351, at-Tirmidzi no. 499]

  1. Hendaknya mengerjakan shalat sunnah empat raka’at setelah selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:

إِذَا صَلَّيْتُمْ بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَصَلُّوْا أَرْبَعًا.

“Apabila kalian telah selesai mengerjakan shalat Jum’at maka shalat (sunnah)lah empat raka’at”. [HR. Muslim no. 881 (68)][2]

[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]

Oleh
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani

ALMANHAJ


Footnote
[1] Waktu itu batasnya adalah sampai dengan ‘Ashar, dan inilah pendapat Jumhur ulama yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad I/389-394, berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوْجَدُ فِيْهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوْهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ.

“Hari Jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka carilah di akhir waktu tersebut, yaitu setelah ‘Ashar.” [HR. Abu Dawud no. 1048, an-Nasa-i dalam Sunannya III/99-100 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak I/279 -penj]
[2] Mengerjakan shalat sunnah empat raka’at setelah shalat Jum’at -dikerjakan setelah selesai berdzikir atau telah keluar dari masjid, (HR. Muslim no. 883) dapat pula dikerjakan di masjid- sebanyak dua raka’at kemudian ditambah dua raka’at lagi dikerjakan di rumah, [HR. Muslim no. 881 (68)) dan tidak boleh melakukan sunnah tersebut di tempat mengerjakan shalat jum’at. (HR. Ibnu Majah no. 1127)]
Referensi : https://almanhaj.or.id/4017-adab-adab-hari-jumat.html

Apakah Siksa Kubur Berlangsung Berkelanjutan? Ini Penjelaskan Ibnu Qayyim

Manusia yang tidak beriman kepada Allah akan mendapatkan siksa kubur.

Setelah meninggal dunia, seluruh umat manusia maka akan memasuki alam kubur. Di alam barzakh ini, manusia yang tidak beriman kepada Allah akan mendapatkan siksa kubur yang berat.

Namun, apakah siksa kubur tersebut berlangsung secara terus menerus?

“Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwasanya siksa kubur ada dua jenis,” kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dikutip dari buku berjudul “Rahasia Ruh dan Kematian” terbitan Turos Pustaka.

1. Siksa Kubur yang berkelanjutan

Ibnu Qayyim menjelaskan, siksa kubur yang berkelanjutan adalah semua jenis siksa selain yang disebutkan di dalam hadits-hadits tertentu yang menyatakan bahwa siksa yang diringankan dari para penghuni kubur di antara nafkhatain (Dua tiupan sangkakala).

Ketika para penghuni kubur itu dibangkitkan dari dalam kuburan, Allah SWT berfirman:

قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ

Artinya: “Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).” (QS Yasin [36]: 56).

Dalil yang menunjukkan berkelanjutannya siksa kubur diantaranya adalah Firman Allah SWT:

اَلنَّارُ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَّعَشِيًّا ۚوَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ ۗ اَدْخِلُوْٓا اٰلَ فِرْعَوْنَ اَشَدَّ الْعَذَابِ

Artinya: “Kepada mereka diperlihatkan neraka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Lalu kepada malaikat diperintahkan), “Masukkanlah Fir‘aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras!” (QS Ghafir [40]: 46).

Dalil lain yang menunjukkan berkesinambungannya siksa kubur adalah hadis-hadis yang sudah disampaikan pada bagian terdahulu, yang diriwayatkan dari Samurah dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai mimpi Rasulullah SAW. Di dalam hadis-hadis itu disebutkan. “…… orang itu diperlakukan seperti itu sampai Hari Kiamat.”

2. Sika Kubur yang Sementara

Ibnu Qayyim menjelaskan, siksa kubur yang bersifat sementara adalah siksa kubur yang terjadi sampai waktu tertentu lalu berhenti. Contohnya yaitu siksaan yang ditimpakan terhadap sebagian pemaksiat yang kejahatan mereka ringan.

Menurut Ibnu Qayyim, mereka akan disiksa sesuai dengan kadar kejahatan mereka, lalu siksa itu akan diringankan bagi mereka. Seperti ketika siksa dilakukan di dalam api selama beberapa lama, lalu siksa itu dihilangkan dari orang yang bersangkutan

“Mngkin pula siksa yang ditimpakan kepada seseorang menjadi terhenti berkat doa, sedekah, istighfar, pahala haji, atau bacaan tertentu yang sampai kepadanya dari karib kerabatnya atau orang lain,” jelas Ibnu Qayyim.

Hal ini sama seperti ketika seorang pemberi pertolongan (syafaat) memberikan pertolongan kepada orang yang disiksa di dunia sehingga orang tersebut selamat dari siksa berkat pertolongan orang tersebut.

Akan tetapi, menurut Ibnu Qayyim, syafaat seperti ini dapat terjadi tanpa adanya perkenan dari orang yang diberi pertolongan. “Adapun Allah SWT tidak pernah ada seorangpun yang mengajukan pertolongan syafaat di hadapan-Nya, kecuali hanya setelah adanya izin dari-Nya,” kata dia.

Menurut dia, Allah lah yang memberi izin bagi pemberi pertolongan (syafi’) untuk memberi pertolongan jika Dia berkenan untuk mengasihi orang yang diberi pertolongan tersebut.

Karena itu, Ibnu Qayyim mengingatkan kepada umat Islam agar tidak terperdaya dengan yang selain itu. Karena, selain itu merupakan kesyirikan dan kebatilan yang Allah SWT mustahil melakukannya.

Allah SWT berfirman:

مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ

Artinya: “Tiada yang dapat memberi syafaat dari sisi Allah kecuali dengan izin-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]: 255).

ISLAMDIGEST

Bagaimana Mengajarkan Agama Pada Anak?

Bagaimana mengajarkan agama pada anak? Agama merupakan pondasi penting dalam kehidupan manusia. Melalui agama, manusia dapat mengenal Tuhannya, memahami nilai-nilai moral, dan menjalani kehidupan yang lebih baik. untuk itu, penting bagi orang tua untuk mengajarkan agama kepada anak sejak dini.

Lantas bagaimana mengajarkan agama pada anak? Pertama, mulailah dengan cara sederhana. Jangan langsung memberikan materi agama yang terlalu kompleks kepada anak. Mulailah dengan hal-hal yang sederhana, seperti mengenalkan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, mengajarkan nilai-nilai moral, dan mengenalkan ibadah-ibadah dasar.

Menurut Syekh Muhammad Nawawi Banten, orag tua bisa pertama kali mengenalkan Allah pada anaknya dengan menawarkan jawaban ringkas. Penjelasannya terdapat dalam kitab Kaasyifatu as-Sajaa, halaman 50.

فإن قال لك قائل أين الله فجوابه ليس في مكان ولا يمر عليه زمان وإن قال لك كيف الله فقل ليس كمثله شيء وإن قال لك متى الله فقل له أول بلا ابتداء وآخر بلا انتهاء وإن قال لك كم الله فقل له واحد لا من قلة قل هو الله أحد

Artinya, “Jika seseorang bertanya kepadamu, ‘Allah di mana?’ maka jawablah, ‘Ia tidak bertempat dan tidak mengalami waktu.’ Jika kau ditanya, ‘Bagaimana Allah?’, jawablah, ‘Allah tidak serupa dengan sesuatu apa pun itu.’ Jika kau ditanya, ‘Kapan Allah (ada)?’, jawablah, ‘Dia awal yang tidak memiliki permulaan dan (Dia) akhir yang tidak memiliki penghabisan.’ Jika kau ditanya, ‘Allah berapa?’ jawablah, ‘Allah esa, bukan karena sedikit (kekurangan). Katakanlah Allah itu esa,”

Kedua, Jadilah teladan yang baik. Anak-anak belajar dengan meniru orang-orang di sekitarnya. Jadilah teladan yang baik bagi anak. Tunjukkan kepada anak bahwa Anda menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an, tentang Nabi Ibrahim yang bisa menjadi figur uswatun hasanah, teladan yang baik bagi anak-anaknya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Mumtahanah ayat 4 dan 6;

Artinya: Sungguh, benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu pada (diri) Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya. (QS Al-Mumtahanah: 4)

Ketiga, Ajak anak berdiskusi tentang agama. Ini dapat membantu anak untuk memahami ajaran agama dengan lebih baik. Terlebih di usia ini anak akan senang bertanya dan berdiskusi dengan orang tuanya.

Anak-anak kecil sering bertanya. Pertanyaan mereka bisa tentang apa saja, mulai dari hal-hal yang sederhana hingga yang rumit. Bagi orang tua, pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi hal yang menjengkelkan, terutama jika pertanyaannya berulang-ulang.

Namun, penting untuk diingat bahwa pertanyaan-pertanyaan ini merupakan tanda kecerdasan dan rasa ingin tahu yang besar pada anak.

Mengapa anak kecil sering bertanya? Ada beberapa alasan mengapa anak kecil sering bertanya. Salah satu alasannya adalah karena mereka ingin memahami dunia di sekitar mereka. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan mereka ingin tahu bagaimana segala sesuatu bekerja. Mereka juga ingin tahu tentang hal-hal yang ada di luar sana, seperti alam semesta, hewan, dan manusia.

Alasan lain mengapa anak kecil sering bertanya adalah karena mereka sedang belajar bahasa. Ketika anak bertanya, mereka sebenarnya sedang mencoba memahami makna kata-kata dan bagaimana menggunakannya. Mereka juga sedang belajar bagaimana menyusun kalimat dan berkomunikasi dengan orang lain.

Demikian penjelasan terkait bagaimana mengajarkan agama pada anak? Setidaknya ada tiga cara dalam mendidik anak agar mengetahui tentang Islam. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Tiga Macam Hati menurut Ibnul Qayyim al-Jauzi

Ada tiga jenis hati, kata Ibnul Qayyim al Jauzi, qalbun salim, adalah hati yang memiliki cahaya keimanan, merasakan nikmatnya beribadah  dan lezatnya dakwah

IBNU  al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahulLâh ulama bermazab Hanbali yang hidup pada abad ke-13 menyinggung masalah hati. Beliau pernah berkata, “Ketahuilah bahwa keringnya mata dari tangisan adalah karena keras (mati)-nya hati. Hati yang keras adalah hati yang paling jauh dari Allah.” (Ibn al-Qayyim, Badâ’i’ al-Fawâ’id, III/743).

Ibnu al-Qayyim rahimahullah membagi hati menjadi tiga jenis. Pertama: Qalbun mayyit (Hati yang Mati). Itulah hati yang kosong dari semua jenis kebaikan. Sebabnya, setan telah ‘merampas’ hatinya sebagai tempat tinggalnya, berkuasa penuh atasnya dan bebas berbuat apa saja di dalamnya.

Hati tipe ini adalah hati orang-orang yang kafir kepada Allah.

Kedua: Qalbun maridh (hati yang sakit). Qalbun maridh adalah hati yang

telah disinari cahaya keimanan. Namun, cahayanya kurang terang sehingga ada sisi hatinya yang masih gelap, dipenuhi oleh kegelapan syahwat dan badai hawa nafsu.

Karena itu setan masih leluasa keluar-masuk ke dalam jenis hati seperti ini. Orang yang memiliki hati yang sakit, selain tak merasakan lezatnya ketaatan kepada Allah SWT, juga sering terjerumus ke dalam kemaksiatan dan dosa, baik besar ataupun kecil.

Hati yang seperti ini masih bisa terobati dengan resep-resep (nasihat-nasihat) yang bisa menyehatkan hatinya. Namun, jika tak pernah diobati, penyakitnya bisa bertambah parah, yang pada akhirnya bisa berujung pada ‘kematian hati’.

Ketiga: Qalbun salim (hati yang sehat). Qalbun salim adalah hati yang

dipenuhi oleh keimanan; telah hilang darinya badai-badai syahwat dan kegelapan-kegelapan maksiat.

Cahaya keimanan itu terang-benderang di dalam hatinya. Orang yang memiliki hati semacam ini akan selalu merasakan nikmatnya beribadah (berzikir, membaca al-Quran, shalat malam, dll); merasakan lezatnya berdakwah; merasakan enaknya melakukan amar makruf nahi mungkar; bahkan merasakan nikmatnya berperang di jalan Allah SWT.

Di antara sedikit tanda orang yang memiliki hati yang sehat adalah mereka yang Allah SWT gambarkan dalam firman-Nya:

اِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِمْ اٰيٰتُ الرَّحْمٰنِ خَرُّوْا سُجَّدًا وَّبُكِيًّا

“Jika dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, mereka tersungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS: Maryam: 58).

Inilah juga gambaran hati para salafush-shalih dan generasi orang-orang terbaik dari kalangan umat ini. Jika kita memiliki hati yang sehat seperti ini, bersyukur dan bergembiralah.

Itulah tanda bahwa hati kita sehat (qalbun salim). Hanya hati jenis inilah yang akan diterima Allah SWT saat kita menghadap kepada-Nya.

 

 يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ

 إِلَّا مَنْ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“Artinya: (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”  (QS: asy-Syura: 88-89).

Namun, jika hati kita termasuk hati yang sakit, segeralah obati dengan tobat, jaga diri dari maksiat dan perbanyaklah taqarrub kepada Allah SWT dengan selalu taat. Jangan biarkan hati kita makin parah sakitnya karena bisa berujung pada kematian mati.*/ Arief B. Iskandar, Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

HIDAYATULLAH