Menceritakan Rahasia Hubungan Suami-Istri

Di antara kerusakan yang terjadi pada jaman ini adalah ketika seseorang dengan mudahnya menceritakan hubungan biologis dengan istri atau suami kepada orang lain tanpa ada faidah dan keperluan.

Perbuatan semacam ini terlarang, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim no. 1437)

Hukumnya sama saja jika yang menyebarkan adalah dari pihak istri. Ketika sang istri sedang duduk-duduk ngobrol (ngerumpi) dengan teman sesama perempuan, mulailah pembicaraan mereka merembet membicarakan suami, lalu semakin jauh lagi mulailah menceritakan hubungan biologis antara dia dengan suaminya. Kondisi yang sama kurang lebih juga terjadi dari pihak si suami.

Ketika suami atau istri tersebut menceritakan kondisi dan keadaan mereka ketika berhubungan suami istri, maka orang lain yang diceritakan tersebut seolah-olah hadir dan menyaksikan langsung mereka berdua ketika berada di ranjangnya tersebut. Wal’iyaadhu billah.

Oleh karena itu, perbuatan semacam ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam samakan dengan setan laki-laki dan perempuan yang bersetubuh, lalu dilihat ramai-ramai. Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنَّمَا مِثْلُ ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانُ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

Janganlah kalian lakukan. Karena perbuatan semacam ini seperti setan lelaki yang bertemu dengan setan perempuan di jalan, kemudian dia langsung melakukan hubungan intim, sementara setan lain melihatnya.” (HR. Ahmad no. 27583, sanad hadits ini dinilai dha’if oleh Syaikh Al-Arnauth)

An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim di atas,

وَفِي هَذَا الْحَدِيث تَحْرِيم إِفْشَاء الرَّجُل مَا يَجْرِي بَيْنه وَبَيْن اِمْرَأَته مِنْ أُمُور الِاسْتِمْتَاع ، وَوَصْف تَفَاصِيل ذَلِكَ وَمَا يَجْرِي مِنْ الْمَرْأَة فِيهِ مِنْ قَوْل أَوْ فِعْل وَنَحْوه . فَأَمَّا مُجَرَّد ذِكْر الْجِمَاع ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِيهِ فَائِدَة وَلَا إِلَيْهِ حَاجَة فَمَكْرُوه لِأَنَّهُ خِلَاف الْمُرُوءَة

“Dalam hadits ini, terdapat larangan bagi suami untuk menyebar-nyebarkan apa yang terjadi antara dia dan istrinya dalam perkara istimta’ (bersenang-senang, yaitu hubungan biologis), menggambarkan detil yang terjadi di antara keduanya, dan apa yang dilakukan oleh pihak wanita (istri), baik berupa ucapan, perbuatan, dan semacamnya. Adapun semata-mata menceritakan adanya hubungan suami istri (tanpa menyebutkan detilnya, pent.), jika hal itu tidak ada faidah dan tidak ada kebutuhan, maka hukumnya makruh, karena hal ini dinilai menyelisihi (menurunkan) muru’ah (kehormatan seseorang).” (Syarh Shahih Muslim, 5: 162)

Jadi, perbuatan ini diharamkan dan tidaklah halal baginya. Sama saja apakah dia menceritakan kepada teman di kantor, tetangga, atau bahkan keluara terdekat sendiri. Dan pelakunya diancam akan mendapatkan kedudukan yang paling jelek di sisi Allah Ta’ala pada hari kiamat.

Yang menjadi kewajiban kita adalah menjaga perkara-perkara rahasia yang terjadi di dalam rumah, antara suami dan istri dan tidak menyebar-nyebarkannya. Baik hal itu berkaitan dengan hubungan biologis suami-istri, atau perkara-perkara rahasia lainnya yang tidak selayaknya disebarkan. Sehingga jika disebarkan, sama saja dengan perbuatan mengkhianati amanah. [1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْأَمَانَةِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

Sesungguhnya (pelanggaran) amanah terbesar di sisi Allah Ta’ala pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, lalu dia menyebarkan rahasia ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1437)

Seorang muslim yang baik tentu hanya akan mengatakan sesuatu yang baik atau jika ada faidah (manfaat) di dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 74)

Jika ada kebutuhan, boleh menceritakan

Larangan di atas berlaku jika tidak ada kebutuhan, hanya sekedar dicerita-ceritakan. Adapun jika ada hajat (kebutuhan) tertentu, maka diperbolehkan. An-Nawawi rahimahullah berkata,

وَإِنْ كَانَ إِلَيْهِ حَاجَة أَوْ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ فَائِدَة بِأَنْ يُنْكِر عَلَيْهِ إِعْرَاضه عَنْهَا أَوْ تَدَّعِي عَلَيْهِ الْعَجْز عَنْ الْجِمَاع أَوْ نَحْو ذَلِكَ فَلَا كَرَاهَة فِي ذِكْره كَمَا قَالَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنِّي لَأَفْعَلَهُ أَنَا وَهَذِهِ ” وَقَالَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَلْحَة : ” أَعْرَسْتُمْ اللَّيْلَة ؟ ” وَقَالَ لِجَابِرٍ : ” الْكَيْس الْكَيْس ” . وَاَللَّه أَعْلَم

“Adapun jika terdapat kebutuhan atau ada faidah dengan menceritakan, misalnya suami mengingkari keengganan istri yang tidak mau melayani suami, atau istri mengklaim bahwa suami lemah, tidak mampu menyetubuhi (istri), atau hal-hal semacam itu, maka hal ini tidaklah makruh menyebutkannya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku melakukannya dan juga ini.” Juga pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Thalhah, “Apakah semalam Engkau menjadi pengantin?” [2] Dan juga perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir, “Kalau bisa segeralah punya anak, kalau bisa segeralah punya anak wahai Jabir.” [3]Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 162)

Berdasarkan penjelasan di atas, jika terdapat kebutuhan, maka boleh diceritakan sesuai dengan kadar keperluannya. Misalnya, seorang istri menuduh suami impoten, tidak mampu menyetubuhi istri. Maka boleh bagi suami untuk menceritakan sesuai dengan kadar kebutuhannya. Wallahu a’lam.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47972-menceritakan-rahasia-hubungan-suami-istri.html

Kenapa Masih Enggan Berqurban?

Sebagian orang memiliki kelebihan harta yang sebenarnya sudah bisa berqurban dengan satu ekor kambing atau 1/7 sapi secara patungan. Namun memang sifat manusia sulit mengeluarkan harta yang ia sukai. Padahal qurban mengandung hikmah dan keutamaan yang besar.

Qurban yang kita kenal biasa disebut dengan udhiyah. Secara bahasa udhiyah berarti kambing yang disembelih pada waktu mulai akan siang dan waktu setelah itu. Ada pula yang memaknakan secara bahasa dengan kambing yang disembelih pada Idul Adha.

Sedangkan menurut istilah syar’i, udhiyah adalah sesuatu yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala pada hari nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat yang khusus. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 5: 74).

Perintah Qurban

Qurban pada hari nahr (Idul Adha) disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atho’, Mujahid dan jumhur (mayoritas) ulama. (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 9: 249)

Dari hadits terdapat riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca ‘bismillah’dan bertakbir.” (HR. Bukhari no. 5558 dan Muslim no. 1966)

Kaum muslimin pun bersepakat (berijma’) akan disyari’atkannya qurban. (Fiqhul Udhiyah, hal. 8)

Hikmah Berqurban

1- Qurban dilakukan untuk meraih takwa. Yang ingin dicapai dari ibadah qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, bukan hanya daging atau darahnya. Allah Ta’ala berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)

Kata Syaikh As Sa’di mengenai ayat di atas, “Ingatlah, bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala sesuatu dan Dialah yang pantas diagung-agungkan. Yang Allah harapkan dari qurbantersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap pahala dari-Nya) dan niat yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan (yang artinya), “Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho-Nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berqurban yaitu ikhlas, bukan riya’ atau berbangga dengan harta yang dimiliki, dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan. Inilah yang mesti ada dalam ibadah lainnya. Jangan sampai amalan kita hanya nampak kulit saja yang tak terlihat isinya atau nampak jasad yang tak ada ruhnya.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 539).

2- Qurban dilakukan dalam rangka bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan.

3- Qurban dilaksanakan untuk menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim –kholilullah (kekasih Allah)- ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).

4- Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 5: 76)

5- Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang senilai dengan hewan qurban.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan qurban.” (Lihat Talkhish Kitab Ahkamil Udhiyah wadz Dzakaah, hal. 11-12 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 379)

Tetaplah Berqurban Ketika Mampu Walau Hukum Qurban Sunnah

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئً

Jika telah masuk 10 hari pertama dari Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) rambut kepala dan rambut badannya (diartikan oleh sebagian ulama: kuku) sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 1977)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini adalah dalil bahwasanya hukum qurban tidaklah wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin menyembelih qurban …”. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, beliau akan bersabda, “Janganlah memotong rambut badannya hingga ia berqurban (tanpa didahului dengan kata-kata: Jika kalian ingin …, pen)”.” (Disebutkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro, 9: 263)

Walau menurut pendapat mayoritas ulama hukum berqurban itu sunnah, tetaplah berqurban apalagi mampu. Untuk orang yang mampu dan kaya mengeluarkan 2,5 juta rupiah untuk qurban kambing atau patungan sapi sebenarnya begitu enteng. Tinggal niatan saja yang perlu dikuatkan.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah setelah memaparkan perselisihan ulama mengenai hukum qurban, beliau berkata, “Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu dan ambil perkara yang tidak meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan. Wallahu a’lam.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 618)

Berutang Tidaklah Masalah untuk Berqurban

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, ”Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, ”Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, ”Aku telah mendengar firman Allah,

لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ

Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)”. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 415)

Untuk masalah aqiqah, Imam Ahmad berkata,

إذا لم يكن مالكاً ما يعقّ فاستقرض أرجو أن يخلف اللّه عليه ؛ لأنّه أحيا سنّة رسول اللّه صلى الله عليه وسلم

“Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” (Matholib Ulin Nuha, 2: 489, dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 278). Untuk qurban pun berlaku demikian, bisa dengan berutang.

Pilihlah Hewan Qurban Terbaik

Ciri-ciri hewan yang terbaik untuk qurban adalah: (1) gemuk, (2) warna putih atau warna putih lebih mayoritas, (3) berharga, (4) bertanduk, (5) jantan, (6) berkuku dan berperut hitam, (7) sekeliling mata hitam.

Hewan qurban yang dipilih adalah yang sudah mencapai usia musinnah. Musinnah dari kambing adalah yang telah berusia satu tahun (masuk tahun kedua). Sedangkan musinnah dari sapi adalah yang telah berusia dua tahun (masuk tahun ketiga). Sedangkan unta adalah yang telah genap lima tahun (masuk tahun keenam). Inilah pendapat yang masyhur di kalangan fuqoha. Atau bisa pula memilih jadza’ah yaitu domba yang telah berusia enam hingga satu tahun.

Kemudian jauhi cacat hewan qurban yang wajib dihindari yang bisa membuat qurbannya tidak sah. Ada empat cacat yang membuat hewan qurban tidak sah: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang. Kalau dianggap tidak sah, berarti statusnya cuma daging biasa, bukan jadi qurban.

Sedangkan cacat yang tidak mempengaruhi turunnya kualitas daging tidaklah masalah seperti ekor yang terputus, telinga yang terpotong dan tandung yang patah. Cacat ini yang dimakruhkan.

Intinya, ketika berqurban berusaha memilih hewan qurban yang terbaik, menghindari cacat yang membuat tidak sah dan cacat yang dimakruhkan. Ibnu Taimiyah sampai berkata,

وَالأَجْرُ فِي الأُضْحِيَّةِ عَلَى قَدْرِ القِيْمَةِ مُطْلَقًا

“Pahala qurban (udhiyah) dilihat dari semakin berharganya hewan yang diqurbankan.” (Fatawa Al Kubro, 5: 384). Semakin berharga hewan qurban yang dipilih, berarti semakin besar pahala.

Berqurban itu begitu mudah, kita bisa berqurban dengan 1 kambing atau patungan 1/7 sapi. Masing-masing qurban tersebut bisa diniatkan untuk satu keluarga. Imam Asy Syaukani rahimahullah pernah berkata, “Qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.” (Nailul Author, 8: 125).

Semoga bermanfaat. Moga Allah berkahi rezeki setiap yang mau berqurban.

* Diringkas dari bahasan buku “Panduan Qurban dan Aqiqah” karya Muhammad Abduh Tuasikal, MSc terbitan Pustaka Muslim Yogyakarta

Disusun di Panggang, Gunungkidul, 28 Dzulqo’dah 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22713-kenapa-masih-enggan-berqurban.html

Hukum Berbicara Ketika Makan

Berbicara ketika makan ternyata hal yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Sehingga ini bukan adab yang tercela sebagaimana disangka oleh sebagian orang yang terpengaruh budaya orang barat. Bahkan berbicara ketika makan adalah adab yang mulia karena menimbulkan kebahagiaan bagi orang-orang yang makan. Hal ini bisa disimak dalam beberapa hadits berikut ini:

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata:

أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بِلَحْمٍ ، فَرُفِعَ إِلَيْهِ الذِّرَاعُ ، وَكَانَتْ تُعْجِبُهُ ، فَنَهَسَ مِنْهَا نَهْسَةً فَقَالَ : أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ …

“Suatu hari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dihidangkan makanan berupa daging, kemudian disuguhkan daging paha untuk beliau. Dan beliau sangat menyukainya. Maka beliau pun menyantapnya. Kemudian beliau bersabda: ‘Aku adalah pemimpin manusia di hari kiamat…’” (HR. Bukhari no.3340, Muslim no.194).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ ، فَقَالُوا: مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ . فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ: ( نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ ، نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ )

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam meminta ‘udm (lauk; makanan pendamping makanan pokok) kepada istrinya. Maka para istrinya menjawab: kita tidak punya apa-apa selain cuka. Maka Nabi pun meminta dibawakan cuka tersebut dan makan dengan cuka itu. Kemudian beliau bersabda: udm yang paling nikmat adalah cuka.. udm yang paling nikmat adalah cuka.. “ (HR. Muslim no. 2052).

Baca Juga: Makan Berlebihan Sumber Utama Penyakit

Dari Abu ‘Usaib radhiallahu’anhu, maula Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Hadits yang panjang, disebutkan di dalamnya:

فأكل رسولُ اللهِ – صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ – وأصحابُه، ثم دعا بماءٍ باردٍ فشرب، فقال : لتُسألُنَّ عن هذا النعيمِ يومَ القيامةِ، قال : فأخذ عمرُ العذقَ، فضرب به الأرضَ حتى تناثر البُسرُ قبلَ رسولِ اللهِ – صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ -، ثم قال : يا رسولَ اللهِ ! إنا لمسؤولونَ عن هذا يومَ القيامةِ ؟ ! قال : نعم

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya makan, kemudian beliau meminta dibawakan air lalu meminumnya. Beliau lalu bersabda: sungguh nikmat ini akan ditanyakan di hari kiamat. Kemudian Umar bin Khathab mengambil tandan kurma dan memukulkannya ke tanah hingga berjatuhanlah kurma-kurma muda di belakang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kemudian Umar bertanya: wahai Rasulullah, apakah kita akan ditanya tentang nikmat (kurma) ini di hari kiamat? Nabi menjawab: iya…” (HR. As Suyuthi dalam Al Budur As Safirah [195], ashl hadits ini dalam Shahih Muslim [2038] dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu).

Dalam hadits-hadits di atas dan juga hadits-hadits lainnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam saling berbicara ketika makan. Menunjukkan hal ini diperbolehkan. Bahkan dianjurkan jika dapat mencairkan suasana dan menyenangkan orang-orang yang makan bersama. Al Imam An Nawawi mengatakan:

وَفِيهِ اِسْتِحْبَاب الْحَدِيث عَلَى الْأَكْل تَأْنِيسًا لِلْآكِلِينَ

“Dalam hadits ini (yaitu hadits Jabir) terdapat anjuran untuk mengobrol ketika makan untuk menyenangkan orang-orang yang makan bersama” (Syarah Shahih Muslim, 7/14).

Maka tidak tepat adab makan ala barat (dan orang-orang yang meniru mereka) yang melarang berbicara ketika makan.

Walaupun demikian, hendaknya tetap menjaga adab ketika berbicara ketika makan, tidak sampai melebihi batas. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan:

الكلام على الطعام كالكلام على غير الطعام ؛ حسنه حسن ، وقبيحه قبيح

“Berbicara ketika makan, hukumnya seperti berbicara di luar makan. Jika pembicaraannya baik, maka baik. Jika pembicaraannya buruk, maka buruk” (Silsilah Huda wan Nuur, 1/15).

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47974-hukum-berbicara-ketika-makan.html

Haji, Puasa dan Dzikir di 10 Hari Pertama Dzulhijjah

Melanjutkan bahasan dalam tulisan sebelumnya mengenai bandingan amalan 10 hari pertama Dzulhijjah dengan jihad, kita akan melihat beberapa amalan yang utama di bula tersebut. Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa amalan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah walaupun amalan yang dilakukan adalah kurang afdhol (alias ‘mafdhul’) tetap bernilai utama dibanding dengan amalan yang dilakukan di hari-hari lainnya.

1- Memperbanyak Dzikir

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” (QS. Al Hajj: 28). ‘Ayyam ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama di antaranya Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Mujahid, ‘Ikrimah, Qotadah dan An Nakho’i, termasuk pula pendapat Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad (pendapat yang masyhur dari beliau). Lihat perkataan Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif, hal. 462 dan 471.

Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا . وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .

Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”)

Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.

Sedangkan ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan dengan waktu tertentu yaitu dilakukan setelah shalat wajib berjama’ah.

Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah) hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir. Adapun bagi orang yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr (10 Dzulhijah) hingga hari tasyriq yang terakhir.

Cara bertakbir adalah dengan ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamd.

2- Menunaikan haji

Amalan yang utama di bulan Dzulhijjah ini adalah haji. Untuk para wanita, berhaji itu lebih afdhol daripada berjihad. Apalagi jika hajinya adalah haji mabrur, itu bahkan bisa mengalahkan jihad. Demikian penjelasan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif (hal. 463-464).

Dari ‘Aisyah -ummul Mukminin- radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ : لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)

3- Disunnahkan puasa awal Dzulhijjah

Yang lebih utama dari sepuluh pertama Dzulhijjah adalah puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah disesuaikan dengan hilal di negeri masing-masing tidak mesti sesuai dengan wukuf di Arafah (sebagaimana keterangan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di sini). Begitu pula dianjurkan melakukan puasa sunnah sejak awal Dzulhijjah, yaitu 1 – 9 Dzulhijjah.

Di antara alasan kenapa dianjurkan berpuasa karena amalan tersebut ada kekhususan di mana Allah melipatgandakan pahalanya, amalan tersebut hanya untuk Allah dan Dia yang akan membalasnya. Keutamaan tersebut disebutkan dalam hadits berikut,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku...” (HR. Muslim no. 1151)

Dalam riwayat lain dikatakan,

قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”.” (HR. Bukhari no. 1904)

Dalil yang mendukung anjuran puasa di 10 hari pertama Dzulhijjah adalah hadits dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْر.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya (hijriyah), …” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah ‘Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 461)

Amalan sholih di awal Dzulhijjah tidak hanya terbatas dengan amalan di atas. Namun itu tiga amalan penting yang bisa diamalkan. Amalan lainnya sudah pernah diulas secara singkat di sini.

Wallahu a’lam. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah untuk beramal sholih.

By: Muhammad Abduh Tuasikal

-Semoga Allah mengampuni dosanya, dosa kedua orang tuanya, dosa istri dan keluarganya-

Sumber https://rumaysho.com/2887-haji-puasa-dan-dzikir-di-10-hari-pertama-dzulhijjah.html

6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Alhamdulillah, bulan Dzulhijah telah menghampiri kita. Bulan mulia dengan berbagai amalan mulia terdapat di dalamnya. Lantas apa saja amalan utama yang bisa kita amalkan di awal-awal Dzulhijah? Moga tulisan sederhana berikut bisa memotivasi saudara untuk banyak beramal di awal Dzulhijah.

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Dzulhijah

Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.[1]

Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]

Lantas manakah yang lebih utama, apakah 10 hari pertama Dzulhijah ataukah 10 malam terakhir bulan Ramadhan?

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad memberikan penjelasan yang bagus tentang masalah ini. Beliau rahimahullah berkata, “Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama dari bulan Dzulhijjah. Dan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dari penjelasan keutamaan seperti ini, hilanglah kerancuan yang ada. Jelaslah bahwa sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama ditinjau dari malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama ditinjau dari hari (siangnya) karena di dalamnya terdapat hari nahr (qurban), hari ‘Arofah dan terdapat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah).”[6]

Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[7] Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[8]

6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah

Ada 6 amalan yang kami akan jelaskan dengan singkat berikut ini.

Pertama: Puasa

Disunnahkan untuk memperbanyak puasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk beramal sholeh ketika itu dan puasa adalah sebaik-baiknya amalan sholeh.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[9], …”[10]

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [11]

Kedua: Takbir dan Dzikir

Yang termasuk amalan sholeh juga adalah bertakbir, bertahlil, bertasbih, bertahmid, beristighfar, dan memperbanyak do’a. Disunnahkan untuk mengangkat (mengeraskan) suara ketika bertakbir di pasar, jalan-jalan, masjid dan tempat-tempat lainnya.

Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا . وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .

Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah.[12]

Catatan:

Perlu diketahui bahwa takbir itu ada dua macam, yaitu takbir muthlaq (tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu) dan takbir muqoyyad (dikaitkan dengan waktu tertentu).

Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.

Sedangkan ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan dengan waktu tertentu yaitu dilakukan setelah shalat wajib berjama’ah[13].

Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah) hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir. Adapun bagi orang yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr (10 Dzulhijah) hingga hari tasyriq yang terakhir.

Cara bertakbir adalah dengan ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamd.

Ketiga: Menunaikan Haji dan Umroh

Yang paling afdhol ditunaikan di sepuluh hari pertama Dzulhijah adalah menunaikan haji ke Baitullah. Silakan baca tentang keutamaan amalan ini di sini.

Keempat: Memperbanyak Amalan Sholeh

Sebagaimana keutamaan hadits Ibnu ‘Abbas yang kami sebutkan di awal tulisan, dari situ menunjukkan dianjurkannya memperbanyak amalan sunnah seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan beramar ma’ruf nahi mungkar.

Kelima: Berqurban

Di hari Nahr (10 Dzulhijah) dan hari tasyriq disunnahkan untuk berqurban sebagaimana ini adalah ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Silakan baca tentang keutamaan qurban di sini.

Keenam: Bertaubat

Termasuk yang ditekankan pula di awal Dzulhijah adalah bertaubat dari berbagai dosa dan maksiat serta meninggalkan tindak zholim terhadap sesama. Silakan baca tentang taubat di sini.

Intinya, keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[14]

Sudah seharusnya setiap muslim menyibukkan diri di hari tersebut (sepuluh hari pertama Dzulhijah) dengan melakukan ketaatan pada Allah, dengan melakukan amalan wajib, dan menjauhi larangan Allah.[15]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Written by: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/1372-6-amalan-utama-di-awal-dzulhijah.html

Keutamaan Menanam dan Mengolah Tanaman bagi Muslim

JIKA ada non-muslim memberi sedekah, apa akan mendapat pahala dan balasan akhirat? Coba renungkan dua hadits berikut:

Dari Jabir radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memasuki kebun Ummu Mabad, kemudian beliau bersabda, “Wahai Ummu Mabad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?” Ummu Mabad berkata, “Seorang muslim.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 1552)

Pada riwayat Muslim yang lain disebutkan, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman melaikan apa yang dimakan dari tanaman tersebut akan menjadi sedekah baginya. Apa yang dicuri dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Apa yang dimakan oleh seekor burung dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Tidaklah dikurangi atau diambil oleh seseorang dari tanaman tersebut kecuali merupakan sedekahnya.” (HR. Muslim, no. 1552)

Imam Nawawi rahimahullah berkata mengomentari hadits di atas, “Di dalam hadits tersebut terdapat keutamaan menanam dan mengolah tanah, dan bahwa pahala orang yang menanam tanaman itu mengalir terus selagi yang ditanam atau yang berasal darinya itu masih ada sampai hari kiamat.”

Hal ini berbeda dengan sedekah jariyah. Tanaman yang disebut di atas tidak dimaksudkan (diniatkan) sebagai sedekah jariyah. Lihatlah tanpa keinginan dari pemiliknya atau ahli warisnya, tetap jadi amal yang pahalanya terus mengalir. Juga kata Imam Nawawi hadits ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang terbaik adalah bertani. Juga kata beliau bahwa pahala dan balasan akhirat hanya ditujukan khusus untuk kaum muslimin. Faedah lainnya lagi, seseorang dapat pahala ketika sesuatu yang miliki dicuri, dimakan oleh binatang ternak atau burung, dan semacamnya. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 10: 195)

Kesimpulan dari Imam Nawawi dari perkataan di atas: PAHALA DAN BALASAN AKHIRAT hanya ditujukan khusus untuk kaum muslimin (bukan orang kafir). Sungguh prihatin saja, saat ini sebagian pondok pesantren Islam malah membiarkan non-muslim masuk di tengah-tengah mereka untuk memberi bantuan. Yang mengherankan, non-muslim diagungkan bak pahlawan, padahal masih banyak saudara mereka yang muslim yang bisa membantu.

Kami doakan, moga Allah beri hidayah. Semoga jadi renungan. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Sumpah Allah Menyebut 10 Malam Pertama Dzulhijjah

ALLAH bersumpah dengan menyebut beberapa makluk-Nya di Al Quran. Allah tegaskan dalam firmanNya, “Demi Fajar. Demi malam yang sepuluh,” (QS. Al Fajr). Sumpah Allah ini jelas bukan tidak memiliki penjelasan. Tentu ada hal istimewa atau khusus sehingga Allah bersumpah atas namanya.

Sebagaimana sumpah Allah “Demi Waktu” dalam surat al Ashr di mana waktu adalah makhluk Allah yang disia-siakan oleh kebanyakan manusia. Sepuluh malam yang mana yang Allah maksud dalam sumpahNya “Demi malam yang sepuluh”?

Terdapat beberapa tafsir terhadap ayat tersebut. Setidaknya ada empat tafsiran ulama akan ayat ini. Pertama bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Kedua sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ketiga sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan keempat adalah sepuluh hari pertama bulan Muharram.

Adapun pendapat terkuat adalah tafsir ulama yang menyebut bahwa “malam yang sepuluh” adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair radliyallahu anhum, Mujahid dan lainnya dari kalangan ahli tafsir terdahulu.

Penjelasan ini tentu menguatkan bahwa kemuliaan sepuluh malam pertama di bulan Dzulhijjah melebihi sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Hanya saja bila hitungannya hanya satu malam, maka dalam setahun hanya ada satu malam yang mulia yakni lailatul qadar yang ada di bulan Ramadhan. [*]

Oleh : Ustadz Afifuddin Rohaly MM 

INILAH MOZAIK

Hanya Sepuluh Hari: Nilai Amalan Anda Tak Terkira!

DALAM kitab shahih Imam Bukhari, beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma, bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah dari pada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah”.

Mereka (sahabat) bertanya, Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?. Beliau menjawab, Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan seluruh hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun,”.

Saudaraku, segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan kita dengan Dzulhijjah, bulan penuh kemuliaan. Maka perbanyaklah amal shaleh di bulan ini. Terutama di sepuluh hari pertama bulan ini. Sebaik-baik ibadah di waktu ini adalah berhaji. Namun bila kita belum berhaji di Dzulhijah tahun ini, tetaplah semangat beribadah.

Niatkan ibadah kita di sepuluh awal bulan ini untuk mendapatkan ridha Allah. Berharap kepada Allah agar Allah menerima ibadah kita dan membalasnya dengan ganjaran yang besar. Karena semua amal ibadah di saat-saat ini sangat bernilai di sisi Allah. Bahkan apa pun ibadahnya. Meski sekadar tersenyum kepada saudara kita.

Semua ibadah di saat ini bahkan lebih mulia dari berjihad di jalan Allah. Kecuali jihadnya seseorang yang membawa jiwa dan raga serta seluruh hartanya sehingga tak bersisa apapun pada dirinya, lalu ia syahid di jalan Allah.

Mari lebih bersungguh-sungguh lagi di sepuluh hari pertama bulan ini. Semoga Allah mudahkan. [*]

INILAH MOZAIK

Sejarah Disyariatkannya “Raml” ketika Thawaf

Disunnahkannya raml ketika thawaf

Salah satu sunnah yang perlu diperhatikan ketika thawaf adalah melakukan “raml”. Yang dimaksud dengan raml adalah berjalan cepat dengan memendekkan langkah kaki. Sunnah ini ditujukan untuk kaum laki-laki saja. Kemudian empat putaran berikutnya diselesaikan dengan jalan biasa.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

والرمَل ليس هو هز الكتفين كما يفعله الجهال، بل الرمَل هو المشي بقوة ونشاط، بحيث يسرع، لكن لا يمد خطوه، والغالب أن الإنسان إذا أسرع يمد خطاه لأجل أن يتقدم بعيداً، لكن في الطواف نقول: أسرع بدون أن تمد الخطا بل قارب الخطا

“Raml itu bukanlah dengan menggoyang-goyangkan pundak, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh. Akan tetapi, raml adalah berjalan dengan penuh tenaga dan semangat, yaitu jalan cepat, namun tidak dengan memanjangkan langkah (artinya, dengan langkah pendek, pent.). Pada umumnya, jika seseorang jalan cepat, dia melakukan dengan memanjangkan langkah agar bisa melangkah agak jauh (lebar). Akan tetapi ketika thawaf kami katakan, jalan cepat tanpa memperlebar langkah, namun dengan memperpendek langkah.” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 242)

Awal mula disyariatkannya raml

Sejarah disyariatkannya raml dapat kita pelajari dari hadits yangd iriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ إِنَّهُ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ وَقَدْ وَهَنَهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْمُلُوا الْأَشْوَاطَ الثَّلَاثَةَ وَأَنْ يَمْشُوا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ وَلَمْ يَمْنَعْهُ أَنْ يَأْمُرَهُمْ أَنْ يَرْمُلُوا الْأَشْوَاطَ كُلَّهَا إِلَّا الْإِبْقَاءُ عَلَيْهِمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya datang mengunjungi Ka’bah.” Kaum Musyrikin berkata, “Dia datang kepada kalian, padahal fisik mereka telah dilemahkan oleh penyakit demam yang melanda kota Yatsrib (Madinah).”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya agar berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa antara dua rukun (sudut). Dan tidak ada yang menghalangi beliau apabila (beliau ingin) memerintahkan mereka agar berlari-lari kecil untuk semua putaran, namun hal itu tidak lain kecuali sebagai kemurahan beliau kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 1602)

Kejadian tersebut adalah ketika beliau melaksanakan umrah pada tahun ke tujuh hijriyah bersama-sama dengan para sahabatnya. Kaum musyrikin Makkah menyangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum adalah manusia-manusia lemah, karena selama tinggal di Madinah terkena penyakit demam (al-khuma). Penyakit al-khuma ini memang penyakit yang populer menimpa penduduk Madinah, karena teriknya sinar matahari di kota Madinah.

Maka orang-orang musyrikin Makkah pun duduk “mengintip” di sebelah kiri Ka’bah, yaitu di perbukitan di sekeliling ka’bah di arah sudut Hajar Aswad untuk melihat thawaf beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya. Orang-orang musyrikin ingin membuktikan persangkaan mereka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum adalah manusia-manusia lemah secara fisik ketika thawaf mengelilingi ka’bah.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan raml untuk membantah anggapan orang-orang musyrik Makkah tersebut.

Dalam riwayat Muslim, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ مَكَّةَ، وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ، قَالَ الْمُشْرِكُونَ: إِنَّهُ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ غَدًا قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمُ الْحُمَّى، وَلَقُوا مِنْهَا شِدَّةً، فَجَلَسُوا مِمَّا يَلِي الْحِجْرَ، وَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْمُلُوا ثَلَاثَةَ أَشْوَاطٍ، وَيَمْشُوا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ، لِيَرَى الْمُشْرِكُونَ جَلَدَهُمْ، فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّ الْحُمَّى قَدْ وَهَنَتْهُمْ، هَؤُلَاءِ أَجْلَدُ مِنْ كَذَا وَكَذَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya datang ke Makkah dalam keadaan lemah oleh penyakit demam (khuma) Madinah. Lalu orang-orang musyrik Makkah berkata kepada sesama mereka, “Besok, akan datang ke sini suatu kaum yang lemah karena mereka diserang penyakit demam yang memayahkan.” Karena itu, mereka duduk di dekat Hijr memperhatikan kaum muslimin thawaf.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka supaya berlari-lari kecil (raml) tiga kali putaran dan berjalan biasa empat kali putaran antara dua sujud (sudut ka’bah) agar kaum musyrikin melihat ketangkasan mereka. Maka berkatalah kaum musyrikin kepada sesama mereka, “Inikah orang-orang yang kamu katakan lemah karena sakit panas, ternyata mereka lebih kuat dari golongan ini dan itu.” (HR. Muslim no. 1266)

Dari penjelasan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas, raml ketika itu hanya diperintahkan pada tiga putaran pertama saja, dan itu pun hanya dari sudut hajar aswad dan rukun Yamani saja, tidak satu putaran penuh. Hal ini karena orang-orang musyrik itu mengintip dari arah perbukitan antara rukun hajar aswad dan rukun Yamani. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 7: 242)

Setelah fathu Makkah, tetap disyariatkan raml

Dari awal mula disyariatkannya raml di atas, kita mengetahui bahwa sebab disyariatkannya adalah ejekan orang-orang musyrik Makkah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Setelah peristiwa penaklukan kota Makkah, Islam dan kaum muslimin pun berjaya, dan tidak ada lagi orang-orang musyrik di Makkah. Tentunya, ejekan dan hinaan itu tidak ada lagi. Meskipun demikian, raml tetap disyariatkan.

Oleh karena itu, ketika sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada dirinya sendiri apakah akan tetap melakukan raml, beliau pun menjawab sendiri,

شَيْءٌ صَنَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا نُحِبُّ أَنْ نَتْرُكَهُ

“Berlari-lari kecil ini adalah sesuatu sunnah yang telah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami tidak suka bila meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 1605)

Dan demikianlah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tetap melakukan raml, bahkan lebih dari yang dilakukan pertama kali dahulu. Jika awalnya hanya dilakukan dari rukun hajar aswad dan rukun Yamani saja, maka ketika haji Wada’, beliau melakukannya satu putaran penuh dan tiga putaran pertama, sebagaimana hadits dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan detil tatacara haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu, apakah hikmah tetap disyariatkannya raml, padahal tidak ada lagi orang-orang musyrik Makkah?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

أن العلة وإن كانت إغاظة المشركين ولا مشركين الآن، لكن ليتذكر الإنسان أن المسلم يُطْلَبُ منه أن يغيظ المشركين، فينبغي لك أن تشعر عند الرمل في الطواف، كأن أمامك المشركين؛ لأجل أن تغيظهم؛ لأن غيظ المشركين مما يقرب إلى الله عزّ وجل ـ قال تعالى: {ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَ يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلاَ نَصَبٌ وَلاَ مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ يَطَؤُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَ يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ} [التوبة: 120]

“Meskipun dulu (raml) disyariatkan untuk membangkitkan amarah orang-orang musrik dam tidak ada lagi orang-orang musyrik pada jaman sekarang (di Makkah), akan tetapi sebabnya adalah untuk mengingatkan manusia bahwa mereka diperintahkan untuk membangkitkan amarah orang-orang musyrik. Hendaknya Engkau memunculkan perasaan tersebut dalam raml ketika thawaf, seolah-olah di hadapanmu ada orang-orang musyrik, untuk membangkitkan amarah mereka. Karena membangkitkan amarah orang musyrikin termasuk dalam perkara yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Yang demikian itu ialah karena tidaklah mereka ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal salih.” (QS. At-Taubah [9]: 120)” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 243-244)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47970-sejarah-disyariatkannya-raml-ketika-thawaf.html

Orang Miskin Bisa Mengalahkan Orang Kaya yang Berhaji

Siapa pun ingin berhaji. Namun karena keterbatasan dana, tentu tidak semuanya bisa berangkat. Tetapi apakah orang miskin selamanya tidak bisa berhaji? Atau ada amalan yang bisa membuat orang miskin mengalahkan orang kaya yang berhaji?

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ جَاءَ الْفُقَرَاءُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ مِنَ الأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلاَ وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ، وَلَهُمْ فَضْلٌ مِنْ أَمْوَالٍ يَحُجُّونَ بِهَا ، وَيَعْتَمِرُونَ ، وَيُجَاهِدُونَ ، وَيَتَصَدَّقُونَ قَالَ « أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ » . فَاخْتَلَفْنَا بَيْنَنَا فَقَالَ بَعْضُنَا نُسَبِّحُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنَحْمَدُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَنُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ . فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ « تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، حَتَّى يَكُونَ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada orang-orang miskin datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya dapat terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.”

Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali.” (HR. Bukhari no. 843).

Abu Shalih yang meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Hurairah berkata,

فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ »

“Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin kembali menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata, “Saudara-saudara kami yang punya harta (orang kaya) akhirnya mendengar apa yang kami lakukan. Lantas mereka pun melakukan semisal itu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan, “Inilah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja yang ia kehendaki.” (HR. Muslim no. 595).

Hadits di atas menunjukkan bagaimanakah bentuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Itulah yang terjadi pada orang-orang Muhajirin yang berhijrah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.

Lihatlah ketika itu orang miskin tidak bisa melakukan seperti apa yang dilakukan orang kaya yang bisa berhaji dan berumrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan solusi dengan melakukan dzikir sesudah shalat. Ada dua cara yang bisa dipilih sesuai dalam hadits di atas:

1- Membaca subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali.

2- Membaca subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, 33 kali.

atau bisa ditambahkan dalam hadits lainnya disebutkan:

– Subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, dilengkapi dengan “laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir”.

– Subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 34 kali.

Dzikir di atas berarti memiliki keutamaan, mudah dilakukan dan tidak menyusahkan diri.

Namun sayangnya orang-orang kaya pun bisa mengetahui apa yang disarankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membaca dzikir di atas. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata bahwa itu sudah jadi karunia Allah. Maksudnya karena taufik dan kehendak Allah-lah, mereka orang-orang kaya bisa melakukan seperti itu.

Intinya, bahasan yang kita maksudkan menunjukkan akan keutamaan dzikir sesudah shalat yang dimaksud. Seandainya orang-orang kaya yang telah berhaji dan berumrah tidak melakukannya, maka orang miskin yang membaca dzikir tersebut bisa mengalahkan orang kaya.

Marilah bersemangat berlomba-lomba dalam kebaikan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22791-orang-miskin-bisa-mengalahkan-orang-kaya-yang-berhaji.html