Mengenal Safari Wukuf

Penyelenggaraan ibadah haji 1985 memunculkan terobosan baru. Sebuah ijtihad dari pemerintah Indonesia yang kemudian diikuti oleh banyak negara lainnya.

Ijtihad itu bernama safari wukuf. Waktu itu, banyak jamaah haji asal Indonesia yang sakit dan uzur sehingga tak kuat untuk pergi ke Arafah untuk wukuf. Sementara, wukuf di Arafah adalah salah satu rukun haji yang tidak bisa digantikan dengan denda sekalipun. Jika jamaah tidak wukuf, maka tidak berhaji.

Karena itu, pemerintah Indonesia dan ulamanya saat itu membuat ijtihad diperbolehkannya safari wukuf. Yaitu, membawa jamaah haji yang dirawat di rumah sakit Indonesia ke wukuf dengan menggunakan ambulans.

“Karena cara seperti ini dapat memudahkan mereka. Jamaah yang sakit bisa menikmati pelaksanaan wukuf di Arafah,” kata Konsultan Ibadah PPIH Arab Saudi Daker Makkah, KH Ahmad Kartono saat meninjau lokasi safari wukuf di Arafah, Ahad (28/7).

Menurut Kiai Ahmad yang selalu menjadi petugas haji saat masih aktif di Kementerian Agama sejak 80-an itu, secara hukum pelaksanaan safari wukuf dibenarkan dari sisi syariat. Karena, lokasi safari wukuf merupakan bagian dari wilayah Arafah.

“Walaupun hanya sesaat, ini sah menurut hukum,” kata Kiai Ahmad yang pernah menjadi Direktur Bina Haji Kementerian Agama ini.

Buktinya, ijtihad pemerintah Indonesia ini diikuti oleh negara lain. “Termasuk oleh RS Arab Saudi,” kata Kiai Ahmad.

Setelah jamaah tiba di Arafah, kegiatan ibadahnya dibimbing oleh konsultan dan pembimbing ibadah. Dimulai melakukan khutbah wukuf di masing-masing bus yang diisi dan disiapkan petugas untuk melakukan bimbingan.

Kemudian khutbah dilakukan dengan mengajak jamaah yang daalam kondisi sakit. Kurang lebih 10 menit. Setelah itu shalat sambil duduk di atas kendaraan dibimbing pembimbing dan konsultan. Setelah selesai shalat Zuhur dan Ashar yang dijamak takdim qasar, dilanjutkan berzikir dituntun bagaimana dapat merasakan adanya wukuf di Arafah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

“Diharapkan bisa melaksanakan ibadah supaya memperoleh haji mabrur,” kata Kiai Ahmad.

Safari wukuf diperuntukkan untuk jamaah haji yang sedang sakit dan dirawat di KKHI Makkah. Setelah melalui proses identifikasi, KKHI berhak menentukan mana jamaah yang layak untuk disafari wukufkan.

Untuk tahun lalu, jumlah peserta safari wukuf jamaah haji Indonesia mencapai 200 orang. Tahun ini, masih belum diperkirakan karena tergantung dengan kondisi jamaah yang dirawat di KKHI menjelang 9 Dzulhijah. Wukuf sendiri merupakan salah satu rukun dalam ibadah haji. Jika jamaah tidak melakukan wukuf, maka hajinya tidak sah.

Sementara, KKHI Makkah menyiapkan armada pengangkut untuk jamaah yang akan melaksanakan safari wukuf. Namun, belum diketahui berapa jamaah yang akan disafari wukufkan.

“Jumlah bisnya 10. Sementara jumlah yang disafariwukufkan nanti menjelang hari Arafah,” kata Kepala Seksi Kesehatan PPIH Daker Makkah, M Imran, Ahad (28/7).

Imran berharap, jumlah jamaah yang disafariwukufkan tahun ini berkurang. Begitupula dengan yang dibadalkan.

“Mudah-mudahan berkurang yang disafariwukufkan dan dibadalkan,” kata Imran.

Oleh Muhammad Hafil dari Makkah, Arab Saudi

IHRAM REPUBLIKA

Ucapan Syarat Ketika Khawatir Tidak Bisa Menyempurnakan Haji Atau Umrah

Perlu diketahui bahwa jika seseorang sudah berihram untuk haji, kemudian hajinya tertahan (tidak bisa menyempurnakan hajinya), baik karena ada halangan diperjalanan misalnya masalah kendaraan, terhalang oleh perang yang terjadi di daerah yang ia lewati atau karena sakit keras, maka orang tersebut harus melakukan hal berikut:

  1. Bertahallul di tempat ia tertahan
  2. Menyembelih hadyu/sembelihan
  3. Meng-qadha haji tahun depan

Sebagaimana firmnan Allah Ta’ala,

وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya” (Al-Baqarah : 196)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan,

فاذبحوا ما استيسر من الهدي، وهو سبع بدنة، أو سبع بقرة، أو شاة يذبحها المحصر، ويحلق ويحل من إحرامه بسبب الحصر كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه، لما صدهم المشركون عام الحديبية، فإن لم يجد الهدي، فليصم بدله عشرة أيام كما في المتمتع ثم يحل

(jika tertahan) sembelihlah hadyu (sembelihan) yang mudah yaitu sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi atau seekor kambing, disembelih oleh orang yang tertahan. Kemudian ia mencukur rambut, dan bertahallul dari ihramnya tersebut (halal dari segala keharaman ihram). Sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya ketika mereka ditahan oleh kaum musyrikin pada tahun perjanjian Hudaibiyah. Jika ia tidak mendapatkan hadyu, hendaklah ia puasa 10 hari sebagaimana orang yang melakukan haji tamattu’ kemudian bertahallul” 1.

Jika seseorang yang akan berhaji, kemudian dia punya prasangka bahwa ada kemungkinan hajinya akan tertahan, misalnya ada kemungkinan tidak bisa sampai karena jalur hajinya melewati daerah rawan peperangan atau ia memiliki sakit kronis yang bisa saja kambuh ketika akan berhaji, maka sebaiknya ia mengucapkan syarat haji dan umrah berikut ini:

اللَّهُمَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي

Allahumma mahillii haitsu habastanii”

“ Ya Allah, tempat tahallul di mana saja Engkau menahanku”2.

Jika syarat ini diucapkan ketika akan berhaji maka kewajiban tersebut akan gugur jika ia memang tertahan berhaji saat itu. Tidak wajib menyembelih hadyu/sembelihan dan tidak wajib meng-qadha-nya tahun depan.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,

وفائدة هذا الشرط : أن المحرم إذا عرض له ما يمنعه من تمام نسكه من مرض أو صد عدو جاز له التحلل ولا شيء عليه

Faidah dari syarat ini adalah seorang yang berihram jika ada halangan yang menghambatnya untuk menyempurnakan manasik misalnya sakit atau ditahan musuh, maka ia boleh bertahallul dan tidak ada kewajiban apa-apa baginya”3.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utasimin rahimahullah berkata,

أما فائدة الاشتراط : فإن فائدته أن الإنسان إذا حصل له ما يمنعه من إتمام نسكه تحلل بدون شيء ، بمعنى تحلل ، وليس عليه فدية ولا قضاء

Adapun faidah persyaratan yaitu jika seseorang tercegah dari menyempurnakan manasik maka ia boleh tahallul tanpa perlu membayar fidyah atau mengqhada (haji tahun depan)”4.

***

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28646-ucapan-syarat-ketika-khawatir-tidak-bisa-menyempurnakan-haji-atau-umrah.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 8)

Meremehkam mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina

Mabit di Muzdalifah pada malam nahr (malam tanggal 10 Dzulhijjah) dan mabit di Mina (malam tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) termasuk dalam wajib haji. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di masy’aril haram (Muzdalifah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 198)

Ayat di atas menunjukkan wajib, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ayat ini dengan perbuatan beliau dalam rangka melaksanakan perintah Allah Ta’ala tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di Muzdalifah sampai beliau shalat subuh di sana, dan tetap berada di sana sampai cahaya di ufuk timur itu terang, namun matahari belum terbit. Ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak meninggalkan Muzdalifah sebelum matahari terbit. Hal ini beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dalam rangka menyelisihi praktik ibadah haji orang-orang jahiliyyah yang meninggalkan Muzdalifah setelah matahari terbit.

Akan tetapi, terdapat keringanan bagi orang-orang yang memiliki ‘udzur, yaitu orang-orang yang lemah dan juga para perempuan, untuk meninggalkan Muzdalifah di waktu malam. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

كَانَتْ سَوْدَةُ امْرَأَةً ضَخْمَةً ثَبِطَةً، فَاسْتَأْذَنَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُفِيضَ مِنْ جَمْعٍ بِلَيْلٍ، فَأَذِنَ لَهَا

“Saudah adalah perempuan yang lambat jalannya karena badannya gemuk. Beliau meminta ijin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan Muzdalifah di waktu malam. Lalu Rasulullah mengijinkannya.” (HR. Bukhari no. 1680 dan Muslim no. 1290)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan:

أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ المُزْدَلِفَةِ فِي ضَعَفَةِ أَهْلِهِ

“Aku termasuk orang yang didahulukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Muzdalifah di antara keluarga beliau yang lemah.” (HR. Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1293)

Juga diriwayatkan dari Asma’ radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لِلظُّعُنِ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengijinkan para sahabat perempuan (untuk berangkat lebih awal).” (HR. Bukhari no. 1679 dan Muslim no. 1291)

Riwayat di atas menunjukkan bolehnya orang-orang lemah dan perempuan (baik perempuan tersebut memiliki ‘udzur ataukah tidak) untuk meninggalkan Muzdalifah di waktu malam dan tidak menunggu sampai pagi.

Mabit di Muzdalifah telah terpenuhi ketika seseorang telah berada di sana pada mayoritas malamnya, yaitu lebih dari separuh malam meskipun lebih sedikit. Ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Akan tetapi, wallahu a’lam, tolok ukur ini tidak ada dalilnya.

Tolok ukur yang lebih tepat adalah berdasarkan riwayat Asma’ radhiyallahu ‘anha yang menyatakan bahwa waktunya adalah sampai tenggelamnya rembulan di malam itu.

Dari ‘Abdullah, budak Asma’, beliau berkata,

قَالَ: قَالَتْ لِي أَسْمَاءُ: وَهِيَ عِنْدَ دَارِ الْمُزْدَلِفَةِ هَلْ غَابَ الْقَمَرُ؟ قُلْتُ: لَا، فَصَلَّتْ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَتْ: يَا بُنَيَّ هَلْ غَابَ الْقَمَرُ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَتْ: ارْحَلْ بِي، فَارْتَحَلْنَا حَتَّى رَمَتِ الْجَمْرَةَ، ثُمَّ صَلَّتْ فِي مَنْزِلِهَا، فَقُلْتُ لَهَا: أَيْ هَنْتَاهْ لَقَدْ غَلَّسْنَا، قَالَتْ: كَلَّا، أَيْ بُنَيَّ، إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لِلظُّعُنِ

“Asma’ bertanya kepadaku ketika dia bermalam di Muzdalifah, apakah bulan telah hilang? Aku menjawab, ‘Belum.’ Asma’ kemudian shalat sejenak, lalu bertanya lagi, ‘Apakah bulan telah hilang?’ Aku menjawab, ‘Sudah.’ Asma’ berkata, ‘Mari berangkat bersamaku.’ Kami pun berangkat hingga Asma’ melempar jumrah. Kemudian Asma’ shalat di tempatnya, aku pun bertanya kepadanya, ‘Aduh, kita terlalu awal, masih belum pagi.’ Asma’ menjawab, ‘Sekali-kali tidak. Wahai anakku, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengijinkan para perempuan (untuk berangkat lebih awal).’” (HR. Bukhari no. 1679 dan Muslim no. 1291)

Demikian pula mabit di Mina hukumnya wajib. Namun terdapat keringanan bagi orang-orang yang memiliki ‘udzur untuk bermalam di Mekah atau tempat yang lainnya, misalnya orang-orang yang bertugas memberi minum jamaah haji, atau ada kebutuhan yang berkaitan dengan maslahat jamaah haji (misalnya dokter), atau orang-orang yang memiliki ‘udzur lainnya.

Kewajiban mabit di Mina ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

اسْتَأْذَنَ العَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ المُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِيَ مِنًى، مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ، فَأَذِنَ لَهُ

“’Abbas bin ‘Abdul Muthallib radhiyallahu ‘anhu (paman Nabi, yaitu ayah dari Ibnu ‘Abbas, pen.) meminta ijin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bermalam di Mekah pada malam-malam Mina untuk memberi minum jamaah haji dan Nabi pun mengijinkannya.” (HR. Bukhari no. 1634 dan Muslim no. 1315)

Perbuatan paman Nabi (‘Abbas) tersebut menunjukkan wajibnya mabit di malam-malam Mina. Karena jika tidak wajib, maka tidak perlu meminta ijin. Dalil wajib yang lainnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari tasyriq).” (QS. Al-Baqarah [2]: 203)

Praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bermalam di Mina merupakan penjelasan (tafsir) atas ayat di atas. Sehingga hal ini menunjukkan wajibnya mabit di Mina.

Oleh karena itu, jika meninggalkan mabit di Muzdalifah dan Mina tanpa ‘udzur, atau meninggalkan Muzdalifah sebelum waktunya tanpa ‘udzur, maka berarti telah meninggalkan kewajiban haji. Wajib baginya untuk membayar dam.

Begadang di Muzdalifah dan Mina tanpa ada kebutuhan

Begadang di Muzdalifah itu menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke Muzdalifah, beliau shalat maghrib dan isya’ dengan satu adzan, yaitu jama’ ta’khir, beliau tidak melaksanakan shalat sunnah di antara shalat maghrib dan isya’, kemudian beliau tidur sampai terbit fajar. Inilah yang beliau tuntunkan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu (HR. Muslim).

Demikianlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu beliau tidak begadang di waktu malam setelah shalat isya’ kecuali ada kebutuhan, seperti mengkaji ilmu atau kebutuhan yang lainnya.

Termasuk sebab begadang di Muzdalifah adalah sibuk mencari kerikil sejak masuk ke Muzdalifah, padahal belum shalat isya’. Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau mencari kerikil di waktu pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ الْعَقَبَةِ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ: «هَاتِ، الْقُطْ لِي» فَلَقَطْتُ لَهُ حَصَيَاتٍ هُنَّ حَصَى الْخَذْفِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku pada pagi hari sebelum melempar jumrah ‘aqabah, ketika itu beliau berada di atas untanya, ‘Kemarilah, pungutkan (kerikil) untukku.’ Aku pun mengambilkan beberapa kerikil untuk beliau, yaitu kerikil untuk melempar.“ (HR. An-Nasa’i no. 3057, 3059 dan Ibnu Majah no. 3029, shahih)

Dzahir riwayat di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari kerikil ketika berada di Mina. Meskipun boleh-boleh saja mencari kerikil di Muzdalifah.

Melempar jumrah sebelum waktu

Melempar jumrah sebelum waktunya itu tidak sah, dan wajib mengulang pada waktunya. Waktu melempar jumrah pada hari nahr (10 Dzulhijjah), yaitu jumrah ‘aqabah, ada dua waktu, yaitu:

Pertama, untuk orang-orang yang diijinkan meninggalkan Muzdalifah sejak separuh malam ke dua tanggal 10 Dzulhijjah, maka waktunya adalah sejak separuh malam ke dua sampai tenggelamnya matahari tanggal 10 Dzulhijjah (sebagaimana riwayat Asma’ di atas).

Kedua, untuk orang-orang yang tidak diijinkan meninggalkan Muzdalifah di separuh malam, maka waktunya adalah di pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah sampai tenggelam matahari.

Adapun untuk melempar jumrah pada hari tasyrik, waktunya adalah sejak matahari bergeser ke barat (waktu zawal), menurut pendapat jumhur ulama.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا

“Kami mencari-cari (mengintai-ngintai) waktu, ketika matahari telah bergeser (ke barat), kami pun melempar jumrah.” (HR. Bukhari no. 1746)

Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

رَمَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى، وَأَمَّا بَعْدُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melempar jumrah pada hari nahr di waktu dhuha. Adapun setelah itu adalah ketika matahari telah bergeser ke barat.” (HR. Muslim no. 1299)

Membasuh atau mencuci jumrah sebelum dilempar

Ini juga termasuk kesalahan. Karena kerikil bukanlah benda najis, sehingga tidak dipersyaratkan harus suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melempar jumrah dengan kerikil, dan beliau tidak mencucinya terlebih dahulu. Tentunya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan dalam masalah ini.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata:

وعن أحمد أنه لا يستحب وقال : لم يبلغنا أن النبي صلى الله عليه و سلم وهذا صحيح وهو قول عطاء و مالك وكثير من أهل العلم فإن النبي صلى الله عليه و سلم لما لقطت له الحصيات وهو راكب على بعيره يقبضهن في يده لم يغسلهن ولا أمر بغسلهن ولا فيه معنى يقتضبه فإن رمى بحجر نجس أجزأه لأنه حصاة

“Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa (mencuci kerikil) itu tidak dianjurkan. Beliau berkata, ‘Tidak terdapat penjelasan kepada kita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.’ Inilah pendapat yang benar. Dan ini merupakan pendapat ‘Atha’, Malik, dan banyak ulama. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diambilkan batu untuk beliau, dalam kondisi belau berada di atas untanya, beliau menggenggam kerikil tersebut dengan tangannya, tidak mencucinya, dan tidak memerintahkan para sahabat untuk mencucinya. Mencuci kerikil juga tidak memiliki suatu maksud yang bisa ditangkap maknanya. Karena melempar kerikil yang najis itu sah, karena (hanya) kerikil.” (Al-Mughni, 3: 454)

Mewakilkan pelemparan jumrah kepada orang lain tanpa ada kebutuhan yang mendesak

Untuk para perempuan atau laki-laki yang lemah secara fisik, boleh untuk mewakilkan melempar jumrah. Karena ketika melempar jumrah terdapat desak-desakan dan banyak gangguan fisik. Adapun jika tidak ada desak-desakan dan tidak ada gangguan fisik, maka tidak ada keringanan untuk mewakilkan pelemparan jumrah.

Meyakini bahwa ada setan di tempat pelemparan jumrah

Karena tiga tempat tersebut (jumratul ula, jumratul wustha dan jumratul ‘aqabah) adalah tempat dimana setan menghalangi Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam. Ini adalah mitos yang banyak diyakini. Kalau pun benar, maka itu sudah terjadi dahulu kala, bukan sekarang ini. Yang benar, tempat tersebut adalah tempat untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, dengan melempar jumrah dan berdzikir (takbir). Tidak ada di sana setan yang berdiri pada setiap kali lemparan jumrah.

Berpuasa di hari ‘Arafah ketika wukuf di ‘Arafah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melaksanakan puasa di ‘Arafah ketika beliau wukuf di ‘Arafah. Diriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِي صِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ «فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهُوَ وَاقِفٌ فِي المَوْقِفِ فَشَرِبَ مِنْهُ» وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

“Sesungguhnya manusia (para sahabat) ragu-ragu apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di hari ‘Arafah. Lalu Maimunah mengirim satu gelas susu kepada beliau yang sedang wukuf di ‘Arafah. Beliau pun meminumnya, sementara orang-orang melihatnya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124)

Penutup

Demikianlah yang dapat kami kumpulkan dari beberapa kesalahan dan kemungkaran terkait pelaksanaan ibadah haji. Semoga hal ini bisa menjadi nasihat bagi kaum muslimin, terutama yang mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji tahun ini dan tahun-tahun mendatang.

[Selesai]

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41717-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-8.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 7)

Meyakini bahwa ibadah haji tidaklah sempurna kecuali dengan berziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara keyakinan yang tersebar di masyarakat awam dari berbagai negeri adalah meyakini bahwa ibadah haji belum sempurna kalau tidak berziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah sebuah kesalahan, karena ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah termasuk dalam rukun haji, wajib haji atau sunnah haji, berdasarkan ijma’ para sahabat, tabi’in, dan para imam setelahnya. Adapun hadits-hadits tentang anjuran berziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menunaikan ibadah haji adalah hadits-hadits yang tidak shahih, bahkan sebagiannya hadits palsu yang tidak ada asal usulnya.

Di antara hadits palsu tersebut di antaranya,

من حج ولم يزرني فقد جفاني

“Barangsiapa yang berhaji dan tidak menziarahi makamku, maka dia sungguh kurang ajar kepadaku.”

Atau hadits palsu lainnya,

من زار قبري وقبر أبي إبراهيم في عام فقد وجبت له الشفاعة

“Barangsiapa yang menziarahi makamku dan makam bapakku Ibrahim dalam satu tahun, maka wajib baginya untuk mendapatkan syafa’at.”

Jika seseorang ingin shalat di Masjid Nabawi, ini termasuk amal yang dianjurkan. Karena shalat di Masjid Nabawi memang memiliki keutamaan khusus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ

Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya” (HR. Ibnu Majah no. 1406, shahih).

Oleh karena itu, hendaklah maksud pokok seseorang yang mengunjungi Masjid Nabawi adalah untuk shalat di dalamnya, bukan untuk ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika seseorang sudah melaksanakan shalat di Masjid Nabawi sebanyak yang dia inginkan, boleh baginya untuk mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang perlu diperhatikan, baik posisi seseorang itu jauh atau dekat dari makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sama saja, karena salam tersebut akan sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun akan membalasnya.

Namun setelah mengucapkan salam, tidak boleh untuk mengucapkan ucapan-ucapan yang terlarang, misalnya berdoa meminta langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ini termasuk syirik akbar. Atau terus-menerus dan berulang kali mengunjungi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menjadikan makam Nabi sebagai ‘id atau tempat perayaan)Selain itu, hendaknya tidak berlama-lama berdiri di depan makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ini akan mengganggu jamaah yang lain. Akan tetapi, hendaknya seseorang mencukupkan diri dengan mengucapkan salam kemudian melanjutkan perjalanan berikutnya. Inilah amal yang dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا، وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

Janganlah jadikan rumah-rumah kalian seperti pemakaman, dan jangan jadikan makamku sebagai ‘id (tempat perayaan yang dikunjungi secara terus-menerus setiap pekan, setiap bulan, dan seterusnya, pen.). Dan bershalawatlah untukku, karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana saja kalian berada” (HR. Abu Dawud no. 2042, hadits shahih).

Beberapa amal yang disyariatkan ketika mengunjungi kota Madinah antara lain:

  1. Memperbanyak shalat di Masjid Nabawi (sebagaimana haditsnya yang telah kami sebutkan)
  2. Memperbanyak ibadah di raudhah, seperti shalat, berdzikir dan membaca Al-Qur’an.
  3. Ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan maksud utama untuk mengucapkan salam dan shalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  4. Mengunjungi makam Baqi’.
  5. Mengunjungi makam syuhada perang Uhud.
  6. Mengunjungi dan shalat di Masjid Quba’. [1]

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ، فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ

Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian mendatangi Masjid Quba, shalat di dalamnya meskipun satu shalat, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala umrah” (HR. Ibnu Majah no. 1412, shahih).

Kesimpulan, ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan termasuk rangkaian ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, dianjurkan ziarah ke makam beliau ketika seseorang mengunjungi kota Madinah An-Nabawiyyah. Adapun sengaja pergi ke Madinah untuk tujuan ziarah ke makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus, maka ini terlarang. Semoga kaum muslimin bisa membedakan hal ini.

Thawaf mengelilingi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Thawaf adalah ibadah yang telah dijelaskan tata caranya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu thawaf mengelilingi ka’bah. Sehingga termasuk di antara kemunkaran adalah perbuatan sebagian jamaah haji yang thawaf mengelilingi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena seseorang tidak boleh beribadah dengan berjalan mengelilingi sesuatu, kecuali yang telah Allah Ta’ala syariatkan, yaitu mengelilingi ka’bah.

Berkaitan dengan perbuatan tersebut, bisa dirinci dalam dua kondisi.

Pertama, thawaf mengelilingi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan maksud untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Perbuatan ini adalah bid’ah yang terlarang, namun belum sampai ke derajat syirik.

Kedua, thawaf mengelilingi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan maksud untuk meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini adalah kemusyrikan akbar. Tindakan ini adalah perbuatan munkar, karena sama saja dengan menjadikan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berhala yang disembah.

Dari ‘Atha’ bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَناً يُعْبَدُ

Ya Allah, janganlah jadikan makamku sebagai berhala yang disembah” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ 2/240, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Tahdziirus Saajid hal. 26).

Allah Ta’ala telah menjaga makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabulkan doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak mungkin seseorang masuk dan mencapai makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena tidak memungkinkan thawaf langsung mengelilingi makam Nabi, maka jalan satu-satunya yang dilakukan sebagian jamaah haji dan umrah adalah thawaf mengelilingi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Ta’ala menjaga kaum muslimin dari perbuatan semacam ini.

Berjalan mundur setelah thawaf wada’

Thawaf wada’ setelah haji hukumnya wajib, kecuali untuk wanita haidh. Adapun untuk umrah, hukumnya sunnah. Di antara praktik sebagian jamaah haji adalah jalan mundur selesai thawaf wada’, biasanya sampai ke hotel. Praktek semacam ini biasa dilakukan oleh jamaah haji asal India, Pakistam, Bangladesh, dan lainnya.

Lebih mengherankan lagi, saat ini juga dibuat-buat yang sama di Masjid Nabawi, yaitu jalan mundur setelah mengunjungi Masjid Nabawi untuk terahir kali sebelum pulang, ditambah lagi dengan shalat model baru yang mereka sebut dengan shalat wada’ untuk Masjid Nabawi. Semua perbuatan ini termasuk bid’ah yang diada-adakan, yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41715-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-7.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 6)

Sengaja menghadap Jabal ‘Arafah untuk berdoa dengan membelakangi kiblat

Jabal ‘Arafah tidaklah memiliki keutamaan khusus. Hanya saja, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wukuf di balik Jabal ‘Arafah (yaitu di bawah Jabal ‘Arafah) di atas untanya dengan menghadap ke arah kiblat, sedangkan Jabal ‘Arafah di depan beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَقَفْتُ هَهُنَا وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ

“Aku wukuf di sini, dan ‘Arafah seluruhnya adalah tempat untuk wukuf.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2815 dan Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no. 465, shahih)

Oleh karena itu, bersengaja menghadap ke Jabal ‘Arafah (dengan membelakangi kiblat) untuk berdoa ketika wukuf di ‘Arafah dan hari-hari lainnya tidak memiliki keutamaan apa pun, alias tidak dianjurkan. Nabi menghadap Jabal ‘Arafah hanya karena kebetulan Jabal ‘Arafah itu di depan beliau ketika beliau menghadap kiblat, bukan karena ada keutamaan khusus. Bahkan jika seseorang merutinkan menghadap ke Jabal ‘Arafah ketika berdoa dan memiliki keyakinan bahwa hal itu memiliki keutamaan dan keistimewaan khusus, maka hal ini termasuk dalam perbuatan bid’ah.

Sengaja naik ke puncak Jabal ‘Arafah untuk tujuan beribadah dan meyakininya sebagai “bukit cinta”

Kemungkaran lainnya adalah seseorang yang sengaja naik ke puncak Jabal ‘Arafah untuk beribadah di sana, karena keyakinan memiliki keutamaan khusus. Sehingga manusia pun rela untuk berdesak-desakan untuk naik ke puncak Jabal ‘Arafah. Ini adalah bid’ah, yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah naik ke puncak Jabal ‘Arafah untuk tujuan ibadah di sana. Yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah wukuf di bawah Jabal ‘Arafah.

Syaikh Bakr bin ‘Abdullah Abu Zaid rahimahullah berkata, “Terdapat ijma’ bahwa gunung ini tidaklah memiliki keutamaan khusus, tidak pula terdapat ibadah khusus yang dikaitkan dengan gunung ini.” (Jabal Ilal bi ‘Arafah, hal. 76)

Beliau rahimahullah juga berkata, “Terdapat berbagai macam bid’ah dan perkara baru yang diada-adakan di gunung tersebut setelah generasi utama (yaitu setelah generasi para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, pen.) sampai ke generasi belakangan.” (Jabal Ilal bi ‘Arafah, hal. 76)

Selain itu, kemungkaran lainnya adalah menamakan Jabal ‘Arabah dengan sebutan “Jabal Rahmah” (gunung cinta atau gunung kasih sayang). Penamaan ini hanyalah berdasarkan kisah israiliyat yang menyebutkan bahwa Nabi Adam dan Hawa bertemu di gunung tersebut. Kisah ini tentu saja tidak valid.

Menamakan gunung ini dengan “Jabal Rahmah” itu tidak bisa dibenarkan dengan dua alasan:

Pertama, nama ini tidaklah dikenal oleh para ulama. Nama yang dikenal oleh para ulama adalah “Jabal Ilal” dan “Jabal ‘Arafah”. Selain dua nama itu, adalah nama yang diada-adakan.

Kedua, penamaan tersebut bisa menimbulkan keyakinan yang menyimpang terhadap gunung tersebut.

Yaitu, orang-orang awam meyakini “keberkahan” gunung tersebut yang disebut-sebut bisa melanggengkan cinta atau rumah tangga. Akibatnya, muncullah berbagai kemunkaran di sana, misalnya dengan membuang foto pasangan di gunung tersebut atau menulis nama diri dan pasangan di tugu di puncak Jabal ‘Arafah atau bebatuan di sana, dengan keyakinan bisa melanggengkan rumah tangga mereka. Demikian pula, dengan memeluk dan mengusap-usap tugu, dengan meyakini berkahnya. Semua ini adalah keyakinan-keyakinan yang munkar yang wajib dijauhi dan ditinggalkan oleh kaum muslimin. (Lihat kitab Jabal Ilal bi ‘Arafah, karya Syaikh Bakr bin ‘Abdullah Abu Zaid rahimahullah)

Mencari dan berburu jimat ketika haji

Kemungkaran lainnya adalah mencari dan berburu jimat ketika haji. Dan ini di antara bukti jauhnya aqidah kaum muslimin saat ini dari tauhid yang lurus.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa memakai jimat termasuk dalam kesyirikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad di dalam Al-Musnad no. 17422, shahih)

Kemusyrikan tersebut dapat berupa syirik ashghar atau syirik akbar, sesuai dengan kondisi pelakunya. [1]

Di antara contoh perbuatan yang dapat kita jumpai adalah:

  • Membeli jimat berupa “tongkat Nabi Musa”, yang (katanya) wangi semerbak baunya dan diyakini memiliki kesaktian mirip dengan tongkat Nabi Musa ‘alaihis salaam. [2]
  • Membeli “mushaf Istanbul” (mushaf Al-Qur’an sebesar jempol kaki) dan meyakini kesaktiannya.
  • Mengumpulkan debu tanah haram untuk digantung di depan pintu rumah atau tempat usaha di kampung halaman.
  • Membeli (atau bahkan mencuri) kiswah ka’bah karena meyakini kesaktiannya.

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41713-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-6.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 5)

Mencari berkah (tabarruk) dengan tata cara yang tidak disyariatkan

Tabarruk adalah perbuatan untuk mencari berkah. Yang dimaksud dengan “berkah” adalah banyaknya kebaikan, bertambahnya kebaikan atau kebaikan yang terus-menerus. Sedangkan semua kebaikan atau keberkahan datangnya hanyalah dari sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالبَرَكَةُ مِنَ اللَّهِ

“Semua keberkahan itu berasal dari Allah.” (HR. Bukhari no. 3579)

Karena keberkahan itu berasal dari Allah Ta’ala, maka bisa dipahami bahwa dalam mencari keberkahan tersebut juga harus sesuai dengan syariat yang telah Allah Ta’ala tetapkan.

Tabarruk yang sesuai dengan syariat adalah tabarruk yang memenuhi dua syarat berikut ini:

Syarat pertama, harus terdapat dalil dari Al-Qu’an dan As-Sunnah tentang adanya amalan (baik ucapan atau perbuatan badan), waktu, benda atau tempat tertentu yang memiliki manfaat atau keberkahan.

Misalnya:

  • Bertabarruk dengan membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isi kandungannya.
  • Tabarruk dengan hajar aswad dan rukun Yamani (sebagaimana yang sudah kami sebutkan dalil-dalilnya di seri sebelumnya).
  • Tabarruk dengan bulan Ramadhan dan malam lailatul qadar.
  • Adanya keberkahan pada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
  • Adanya keberkahan pada air zam zam.

Syarat ke dua, cara mendapatkan keberkahan harus sesuai dengan tuntunan (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Misalnya:

  • Cara mendapatkan keberkahan dari hajar aswad adalah dengan (a) mencium; (b) mengusap dengan tangan; (c) mencium tangan setelah mengusap hajar aswad; atau (d) berisyarat ke hajar aswad jika tidak memungkinkan mengusapnya secara langsung (dan tidak boleh mencium tangan dalam kondisi ini).
  • Cara mendapatkan keberkahan rukun Yamani adalah dengan mengusapnya dengan tangan (saja). Kita mengusap hajar aswad dan rukun Yamani bukan karena keyakinan bahwa benda-benda tersebut secara dzatnya dapat memberikan keberkahan, akan tetapi dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala dengan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’). Hal ini sebagaimana perkataan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang telah kami kutip pada seri sebelumnya.
  • Mendapatkan keberkahan di masjid Nabawi dan masjidil Haram adalah dengan memperbanyak shalat di dalamnya. Karena shalat di Masjid Nabawi akan dilipatgandakan sebanyak 1000 kali shalat; sedangkan di Masjidil Haram dilipatgandakan sebanyak 100.000 kali. Hal ini sebagaimana hadits-hadits shahih yang menunjukkan keutamaan tersebut.
  • Tabarruk dengan ka’bah dengan melaksanakan thawaf.
  • Tabarruk di malam lailatul qadar adalah dengan melaksanakan shalat, dzikir, sedekah, dan membaca Al-Qur’an. Adapun mengkhususkan lailatul qadar dengan melaksanakan umrah, maka hal ini tidak ada tuntunannya.

Pelanggaran terhadap kedua syarat tersebut akan menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam tabarruk yang diharamkan.

Dalil tegas masalah ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, beliau radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Hunain. Kami adalah orang-orang yang baru saja masuk Islam. Ketika itu, orang-orang musyrik memiliki pohon yang digunakan untuk bersemedi dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu dinamakan dengan ‘dzatu anwath’. Ketika kami melewati pohon tersebut, kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah dzatu anwath untuk kami seperti mereka’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

اللهُ أَكْبَرُ! إِنَّهَا السُّنَنُ، قُلْتُمْ ـ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ـ كَمَا قَالَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى: اِجْعَلْ لَنَا إِلَهاً كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

Allahu Akbar, itu adalah tradisi orang-orang sebelum kalian. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, ucapan kalian itu seperti ucapan bani Israil kepada Nabi Musa, ‘Buatkanlah sesembahan-sesembahan untuk kami sebagaimana mereka juga memiliki sesembahan yang banyak’ (QS. Al A’raf [7]:  138).Kalian pasti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2180)

Berdasarkan hadits di atas, orang-orang musyrik memiliki pohon dzatu anwath yang mereka gunakan untuk tabarruk, yaitu dengan bersemedi (i’tikaf) dan menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Dan ketika sahabat yang baru saja masuk Islam meminta dibuatkan pohon yang sama untuk bertabarruk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengingkari hal tersebut. Dan menyamakan permintaan mereka dengan permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam untuk dibuatkan sesembahan karena mengikuti orang-orang musyrik di zaman Bani Israil. Jadi, permintaan para sahabat yang baru saja masuk Islam ini sama dengan permintaan Bani Israil dari sisi sama-sama termasuk kemusyrikan, meskipun berbeda dari sisi levelnya. Hal ini karena permintaan para sahabat itu termasuk syirik ashghar, sedangkan permintaan Bani Israil termasuk syirik akbar.

Di antara contoh tabarruk yang terlarang:

  • Tabarruk dengan mengusap-ngusapkan badan ke dinding atau tiang-tiang Masjidil Haram atau Masjid Nabawi.
  • Tabarruk dengan mengusap-ngusapkan badan ke sumur zam zam.
  • Tabarruk dengan mengusap sudut ka’bah, selain hajar aswad dan rukun Yamani, sebagaimana pengingkaran Ibnu ‘Abbas terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang telah kami sebutkan sebelumnya. Dan sahabat Mu’awiyah pun menerima nasihat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum.
  • Tabarruk dengan menempelkan wajah dan badan ke semua sisi (dinding) ka’bah selain sisi multazam.
  • Tabarruk dengan kain kiswah penutup ka’bah (misalnya dengan mengusap dan menciumnya), bahkan rela membeli potongan kiswah dengan harga mahal.
  • Mengusap maqam Ibrahim atau mengusap yang biasa disebut orang awam dengan hijir “Isma’il”. (Catatan: adanya hijir ini jauh setelah Nabi Isma’il meninggal dunia, sehingga salah kaprah kalau disebut hijir Isma’il.)
  • Tabarruk dengan gulung-gulung atau menyimpan debu dari tanah haram, untuk digantung di depan pintu rumah atau toko.
  • Tabarrauk dengan mendatangi tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Mekah dan bahkan menempel-nempelkan badan di dinding bangunan tersebut.

Status hukum pelaku perbuatan tersebut dapat dirinci menjadi dua keadaan.

Kondisi pertama, jika mencari keberkahan kepada selain Allah Ta’ala atau jika seseorang yang bertabarruk tersebut meyakini bahwa benda-benda tersebut dapat memberikan keberkahan dengan sendirinya tanpa takdir Allah Ta’ala, maka ini kemusyrikan syirik akbar. Hal ini karena tabarruk adalah bentuk ibadah yang harus ditujukan hanya kepada Allah Ta’ala, bukan kepada makhluk.

Kondisi ke dua, seseorang meyakini bahwa keberkahan tersebut datangnya dari Allah Ta’ala, namun dia meyakini bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan keberkahan, padahal tidak ada dalilnya dari syariat. Atau seseorang bertabarruk dengan benda yang ada dalilnya dari syariat, namun dengan tata cara yang tidak dituntunkan. Dalam kondisi seperti ini, belum termasuk kemusyrikan, namun termasuk di antara sebab atau sarana paling besar yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam syirik akbar. (Lihat Tahdzib Tashil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, hal. 115-126 dan Al-Minzhaar fi Bayaani Katsiir min Al-Akhthaa’i Asy-Syaa’iati, hal. 69-70)

Mencari berkah dengan “napak tilas” jejak dan peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meyakini disyariatkannya mengunjungi tempat-tempat tersebut

Masalah ini sebetulnya masih sejenis dengan masalah sebelumnya. Akan tetapi, kami ingin menyebutkannya secara khusus karena pentingnya masalah ini. Jejak dan peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut misalnya gunung Tsur, gua Hira’, Jabal ‘Arafah (tepatnya di daerah bebatuan di balik dan di bawah Jabal ‘Arafah), atau tempat-tempat yang dilewati Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar.

Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut dengan niat, maksud, dan tujuan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, baik dengan shalat, berdoa, atau ibadah yang lainnya. Demikian pula, tidak diperbolehkan bagi setiap muslim untuk mengusap-usap tempat tersebut untuk mencari berkahnya (tabarruk).

Semua ini termasuk bid’ah yang tidak pernah diajarkan dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Mengagungkan dan mengistimewakan tempat atau “petilasan” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengunjunginya disertai maksud untuk mencari berkah dan menjadikannya sebagai sarana ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala termasuk di antara sarana menuju kemusyrikan yang terlarang.

Adapun jika mengunjungi tempat-tempat tersebut hanya sekedar ingin tahu (jalan-jalan) atau penasaran di manakah letak dan posisinya, tanpa memiliki keyakinan apa pun terkait “keberkahan” tempat-tempat peninggalan tersebut dan tanpa meyakini bahwa hal itu adalah sesuatu yang disyariatkan (dianjurkan) dalam agama ini, maka hal ini diperbolehkan.

Oleh karena itu, tidak terdapat contoh dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersengaja pergi mengunjungi tempat-tempat tersebut untuk mencari berkah, baik dengan mencium, mengusap-usap, menyentuh, dan sejenisnya. Para sahabat pun tidak pernah bersengaja pergi ke sana untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

“Tidak boleh bersengaja mengadakan perjalanan (dalam rangka ibadah), kecuali menuju tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, masjid Rasulullah (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari no. 1189 dan Muslim no. 1397)

Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau melihat manusia singgah di suatu masjid untuk shalat setelah pulang dari ibadah haji, beliau pun bertanya kepada mereka. Mereka berkata, “Ini masjid yang dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat di sini.”

‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu kemudian berkata,

إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمُ اتَّخَذُوا آثَارَ أَنْبِيَائِهِمْ بِيَعًا

“Sesungguhnya (sebab) kebinasaan umat-umat sebelum kalian adalah karena mereka menjadikan bekas-bekas peninggalan Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (Mushannaf ‘Abdurrazaq no. 2734)

Kepada kaum muslimin, renungkanlah perkataan sahabat yang mulia, ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di atas. Seorang sahabat yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

إِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ

“Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan dan hati ‘Umar bin Khaththab.” (HR. Tirmidzi no. 3682, Ahmad 2/95 dan Ibnu Hibban no. 2185, shahih)

Demikian pula, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk meneladani ‘Umar bin Khaththab,

اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ

“Ambillah teladan setelahku dengan dua orang yaitu Abu Bakr dan ‘Umar.” (HR. Tirmidzi no. 3662 dan Ahmad 5/382. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Berdasarkan perkataan ‘Umar bin Khaththab di atas, dapat kita simpulkan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikan suatu tempat sebagai maksud dan tujuan untuk beribadah, maka kita tidak boleh menjadikan tempat tersebut untuk beribadah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di situ hanya karena kebetulan, bukan menjadikan masjid tersebut sebagai maksud pokok.

Oleh karena itu, jika ada di antara kita yang kebetulan lewat di tempat-tempat (masjid) tersebut dan waktu shalat sudah masuk, maka silakan shalat. Jika waktu shalat belum tiba, kita pun melanjutkan perjalanan.

Catatan penting, jika “napak tilas” jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja merupakan sebab kebinasaan, bagaimana lagi dengan “napak tilas” jejak orang shalih yang kedudukannya jauh di bawah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Semoga kaum muslimin merenungkan hal ini.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

لا يجوز للمسلم تتبع آثار الأنبياء ليصلي فيها أو ليبني عليها مساجد ؛ لأن ذلك من وسائل الشرك ، ولهذا كان عمر رضي الله عنه ينهى الناس عن ذلك ويقول : ( إنما هلك من كان قبلكم بتتبعهم آثار أنبيائهم ) ، وقطع رضي الله عنه الشجرة التي في الحديبية التي بويع النبي صلى الله عليه وسلم تحتها ؛ لما رأى بعض الناس يذهبون إليها ويصلون تحتها ؛ حسما لوسائل الشرك ، وتحذيرا للأمة من البدع

“Tidak boleh atas setiap muslim melakukan napak tilas jejak peninggalan para Nabi dengan tujuan untuk shalat di tempat tersebut atau membangun masjid di atasnya, karena hal itu adalah sarana menuju kemusyrikan. Oleh karena itu, ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu melarang manusia untuk melakukan hal itu dengan mengatakan, “Sesungguhnya kebinasaan umat-umat sebelum kalian adalah karena mereka napak tilas peninggalan para Nabi mereka.” ‘Umar juga menebang pohon, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaiat di bawah pohon tersebut, ketika beliau melihat sebagian manusia sengaja pergi ke sana dan shalat di bawahnya. Hal ini adalah dalam rangka memangkas sarana menuju syirik dan memperingatkan umat dari (bahaya) bid’ah.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 8: 323)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

قبر إبراهيم الخليل: لم يكن في الصحابة ولا التابعين لهم بإحسان من يأتيه للصلاة عنده، ولا الدعاء ولا كانوا يقصدونه للزيارة أصلا

“Tidak ada sahabat dan tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik yang mendatangi makam Nabi Ibrahim untuk shalat dan berdoa di sisinya, dan sama sekali mereka tidak pula bersengaja untuk mengunjunginya.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, 2: 823)

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41711-beberapa-kesalahan-dan-kemunkaran-terkait-ibadah-haji-bag-5.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 4)

Mencium dan menempelkan pipi ke rukun (sudut) Yamani

Berkaitan dengan rukun Yamani, yang shahih dan terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengusapnya dengan tangan, tidak ada sunnah yang lainnya. Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَا تَرَكْتُ اسْتِلَامَ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَ، وَالْحَجَرَ، مُذْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا، فِي شِدَّةٍ وَلَا رَخَاءٍ

“Aku tidak pernah meninggalkan meraba kedua sudut ini, yaitu sudut Yamani dan sudut Hajar Aswad, sejak aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya, baik dalam keadaan sempit (kesulitan) maupun dalam keadaan lapang (longgar).” (HR. Muslim no. 1268)

Adapun mencium rukun Yamani atau menempelkan pipi ke rukun Yamani, terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan hal itu, akan tetapi riwayat-riwayat hadits tersebut tidak shahih, dan sebagiannya adalah hadits munkar. (Lihat Al-I’laam bi ‘Ibaadaatin lam Tatsbut ‘anil Musthafa ‘alaihis shalatu was salaam, hal. 178)

Ibnul Hajj rahimahullah berkata, “ … dan waspadalah dari perbuatan sebagian orang, mereka mencium rukun Yamani sebagaimana mereka mencium hajar aswad. Adapun yang sunnah adalah mengusap rukun Yamani dengan tangan, bukan dengan mulut … “ (Al-Madkhal, 4/224)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mencium rukun Yamani tidaklah valid dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibadah itu jika tidak terdapat dalil shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka perbuatan itu adalah bid’ah, bukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala).” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22/398)

Mencium tangan setelah mengusap rukun Yamani

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yang terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengusap rukun Yamani saja. Adapun mencium tangan setelah mengusap rukun Yamani, tidak terdapat dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَتَنَازَعُوا فِي تَقْبِيلِ الْيَمَانِيِّ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ مَعْرُوفَةٍ. قِيلَ: يُقَبَّلُ. وَقِيلَ: يُسْتَلَمُ وَتُقَبَّلُ الْيَدُ. وَقِيلَ يُسْتَلَمُ وَلَا تُقَبَّلُ الْيَدُ. وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ فَإِنَّ الثَّابِتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ اسْتَلَمَهُ وَلَمْ يُقَبِّلْهُ وَلَمْ يُقَبِّلْ يَدَهُ لَمَّا اسْتَلَمَهُ وَلَا أَجْرَ وَلَا ثَوَابَ فِيمَا لَيْسَ بِوَاجِبِ وَلَا مُسْتَحَبٍّ؛ فَإِنَّ الْأَجْرَ وَالثَّوَابَ إنَّمَا يَكُونُ عَلَى الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ إمَّا وَاجِبَةٌ وَإِمَّا مُسْتَحَبَّةٌ

“ … para ulama berbeda pendapat tentang mencium rukun Yamani, menjadi tiga pendapat yang terkenal. Pendapat pertama, menciumnya; pendapat ke dua, mengusap dan mencium tangan; dan pendapat ke tiga, mengusap tanpa mencium tangan. Pendapat ke tiga inilah yang shahih. Karena sesungguhnya yang terdapat dalil shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau mengusap saja, tidak menciumnya, juga tidak mencium tangan setelah mengusap rukun Yamani dengan tangan tersebut. Tidak ada ganjaran dan pahala untuk amal perbuatan yang tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan. Pahala hanyalah diperoleh jika melakukan amal shalih, sedangkan amal shalih itu bisa jadi amal wajib, bisa jadi amal sunnah.” (Majmu’ Fataawa, 27: 108)

Bertakbir ketika mengusap rukun Yamani

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apakah terdapat dzikir yang disyariatkan ketika mengusap rukun Yamani?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Amal mereka itu tidaklah memiliki dalil dari sunnah, sehingga termasuk bid’ah. Wajib bagi para penuntut ilmu untuk menjelaskan hal ini, bahwasannya hal itu tidak berasal dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 351)

Mengusap semua sudut (rukun) ka’bah

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada seri sebelumnya, yang disyariatkan hanyalah mengusap hajar aswad dan rukun Yamani. Adapun sudut ka’bah dan bagian dinding lainnya, maka tidak disyariatkan untuk mengusapnya.

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّهُ طَافَ مَعَ مُعَاوِيَةَ بِالْبَيْتِ، فَجَعَلَ مُعَاوِيَةُ يَسْتَلِمُ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: ” لِمَ تَسْتَلِمُ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ؟ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا “، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْبَيْتِ مَهْجُورًا،فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ} [الأحزاب: 21] ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: صَدَقْتَ

“Sesungguhnya beliau thawaf bersama sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mu’awiyah mengusap semua rukun (sudut) ka’bah. Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya, ‘Mengapa Engkau mengusap kedua rukun ini?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengusap kedua rukun ini.’

Mu’awiyah berkata kepadanya, ‘Tidak ada satu rukun ka’bah pun yang akan aku tinggalkan (untuk diusap, pen.)’

Ibnu ‘Abbas kemudian membacakan firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.’ (QS. Al-Ahzab: 21)

Kemudian Mu’awiyah berkata, ‘Engkau benar.’” (HR. Ahmad no. 1877, sanadnya dinilai hasan li ghairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Kita bisa melihat ketawadhu’an sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu setelah ditegur oleh Ibnu ‘Abbas atas perbuatan beliau yang mengusap semua sudut (rukun) ka’bah, sahabat Mu’awiyah pun membenarkan nasihat Ibnu ‘Abbas. Hal ini menunjukkan pengagungan para sahabat terhadap sunnah Nabi-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“ … setiap amal yang ditujukan untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah namun tidak memiliki dalil dari syariat, maka amal itu adalah bid’ah, sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Waspadalah kalian dari perbuatan yang diada-adakan (dalam agama). Dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”

Dan tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengusap (sudut ka’bah), kecuali rukun Yamani dan hajar aswad. Jika seseorang mangusap semua sudut ka’bah atau semua bagian ka’bah, selain rukun Yamani dan hajar aswad, maka dengan perbuatan tersebut dia dianggap telah berbuat bid’ah.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 350)

Menempelkan badan (iltizam) ke semua sisi dinding ka’bah, selain sisi multzam

Terkait dengan sisi (dinding) ka’bah, yang terdapat contoh (sunnah) adalah menempelkan semua badan kita, termasuk tangan dan pipi ke sisi multazam saja. Multazam adalah dinding ka’bah yang terletak antara sudut hajar aswad dengan pintu ka’bah. Adapun untuk sisi atau dinding ka’bah selain multazam, tidak boleh diusap-usap atau menempelkan badan ke sisi tersebut.

Dalam fiqh haji, terdapat istilah iltizam, yaitu menempelkan wajah, dada, tangan dan dua telapak tangan yang terbuka (tidak menggenggam). Tempat untuk iltizam disebut multazam yaitu sisi (ka’bah) antara pintu ka’bah dan sudut hajar aswad.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika menjelaskan masalah iltizam,

وهذه مسألة اختلف فيها العلماء مع أنها لم ترد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم ، وإنما جاءت عن بعض الصحابةـ رضي الله عنهم ـ فهل الالتزام سنة، ومتى وقته، وهل هو عند القدوم، أو عند المغادرة، أو في كل وقت؟

وسبب الخلاف بين العلماء في هذا أنه لم ترد فيه سنة عن النبي صلّى الله عليه وسلّم، لكن الصحابة رضي الله عنهم كانوا يفعلون ذلك عند القدوم. والفقهاء قالوا: يفعله عند المغادرة فيلتزم في الملتزم، وهو ما بين الركن الذي فيه الحجر والباب

“Dalam permasalahan (iltizam) ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, meskipun tidak ada contoh dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, terdapat contoh dari sebagian shahabat radhiallhau ’anhum (yang melakukannya). Apakah iltizam itu sunnah? Kapan waktunya? Apakah ketika pertama kali datang atau ketika meninggalkan (Mekkah) atau pada setiap waktu?

Sebab (adanya) perbedaan ini di antara para ulama adalah dikarenakan tidak ada sunnah dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Akan tetapi, para shahabat radhiallahu ’anhum melakukan hal itu ketika pertama kali datang (di Mekkah). Para ahli fiqih mengatakan bahwa melakukan iltizam di multazam, yaitu antara rukun hajar aswad dan pintu (ka’bah), itu dilakukan ketika meninggalkan (Mekkah).” (Syarhul Mumti’, 7: 372-373)

Namun, perlu diperhatikan bahwa melakukan iltizam hendaklah melihat situasi dan kondisi, agar jangan berdesak-desakan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata setelah menjelaskan sunnah iltizam di atas,

وعلى هذا فالالتزام لا بأس به ما لم يكن فيه أذية وضيق

“Berdasarkan hal ini, iltizam itu tidak mengapa selama tidak menyakiti dan berdesak-desakan.” (Syarhul Mumti’, 7: 373)

Sebagai kesimpulan dalam masalah ini, yang terdapat contoh dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah melakukan iltizam di sisi multazam. Adapun melakukan iltizam di sisi ka’bah selain multazam, maka tidak terdapat sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnyasehingga tidak selayaknya dilakukan.

Berdoa ketika mengusap dinding atau kain penutup ka’bah sambil bersandar ke dinding ka’bah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengusap kain penutup ka’bah dan berdoa lama ketika itu?”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Amal mereka itu tidaklah memiliki dalil dari sunnah, sehingga termasuk bid’ah. Wajib bagi para penuntut ilmu untuk menjelaskan hal ini, bahwasannya hal itu tidak berasal dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 351)

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41423-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-4.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 3)

Berdiri lama ketika mencium hajar aswad

Yang disyariatkan dan terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan hajar aswad adalah:

Pertama, mencium hajar aswad

Dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata ketika mencium hajar aswad,

وَاللهِ، إِنِّي لَأُقَبِّلُكَ، وَإِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ، وَأَنَّكَ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Demi Allah, aku sungguh-sungguh menciummu. Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu ini hanyalah batu (biasa), tidak bisa mendatangkan bahaya, tidak bisa pula mendatangkan manfaat. Kalaulah bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, tentu aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no. 1610 dan Muslim no. 1270).

Kedua, mengusap hajar aswad dengan tangan

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَا تَرَكْتُ اسْتِلَامَ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَ، وَالْحَجَرَ، مُذْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا، فِي شِدَّةٍ وَلَا رَخَاءٍ

Aku tidak pernah meninggalkan meraba kedua sudut ini, yaitu sudut Yamani dan sudut Hajar Aswad, sejak aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya, baik dalam keadaan sempit (kesulitan) maupun dalam keadaan lapang (longgar)” (HR. Muslim no. 1268).

Ketiga, mencium tangan setelah mengusap hajar aswad

Diriwayatkan dari Nafi’, beliau berkata,

رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَسْتَلِمُ الْحَجَرَ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَبَّلَ يَدَهُ، وَقَالَ: مَا تَرَكْتُهُ مُنْذُ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

Aku melihat Ibnu ‘Umar mengusap hajar aswad dengan tangannya, kemudian mencium tangannya. Ibnu ‘Umar berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya” (HR. Muslim no. 1268).

Keempat, berisyarat (dengan tangan atau tongkat) ke hajar aswad dan bertakbir jika tidak memungkinkan untuk mencium atau mengusap hajar aswad

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَيْتِ عَلَى بَعِيرٍ، كُلَّمَا أَتَى الرُّكْنَ أَشَارَ إِلَيْهِ بِشَيْءٍ كَانَ عِنْدَهُ وَكَبَّرَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan thawaf di baitullah (ka’bah) di atas untanya. Setiap kali beliau melewati ar-rukun (hajar aswad), beliau berisyarat kepadanya dengan sesuatu yang ada pada beliau, lalu bertakbir” (HR. Bukhari no. 1613).

Adapun berhenti lama untuk berdoa atau berdiri lama untuk mencium hajar aswad, maka hal ini tidaklah disyariatkan. Meskipun diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan disyariatkannya hal tersebut, akan tetapi haditsnya dha’if.

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

اسْتَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجَرَ، ثُمَّ وَضَعَ شَفَتَيْهِ عَلَيْهِ، يَبْكِي طَوِيلًا، ثُمَّ الْتَفَتَ، فَإِذَا هُوَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَبْكِي، فَقَالَ يَا عُمَرُ: هَاهُنَا تُسْكَبُ الْعَبَرَاتُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Hajar Aswad, kemudian meletakkan kedua bibirnya kepadanya dan beliau menangis lama sekali. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling, dan beliau menjumpai ‘Umar bin Khaththab juga menangis. Beliau berkata, ‘Wahai Umar, di sinilah ditumpahkan air mata’” (HR. Ibnu Majah no. 2945).

Hadits ini dha’if jiddan (sangat lemah sekali), karena di dalamnya sanadnya terdapat perawi bernama Muhammad bin ‘Aun Al-Khurasani, dan dia matruuk. (Lihat Silsilah Al-Ahaadits Adh-Dha’ifah no. 1022)

Selain menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdiri lama ketika menyentuh atau mencium hajar aswad juga termasuk perbuatan menyakiti kaum mulsimin yang juga sedang thawaf sehingga akan menyusahkan mereka.

Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Al-Utsaimin rahimahullahu Ta’ala ditanya, “Apa hukum berhenti di garis hitam yang dibuat lurus ke arah hajar aswad dan berdoa lama di sana?”

Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab, “Berhenti di garis itu bukan maksudnya berhenti lama, akan tetapi seseorang menghadap ke arah hajar aswad, berisyarat ke arahnya, bertakbir, kemudian berjalan lagi. Tempat itu bukanlah tempat untuk berhenti lama … .“ (Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 405).

Di tempat yang lain, beliau rahimahullahu Ta’ala berkata, “Bukanlah maksudnya untuk berhenti dan berdoa, ini sebuah kesalahan. Berhenti (lama) akan menyusahkan orang-orang yang thawaf. Jangan berhenti (lama), karena hal ini tidak disyariatkan … “(Majmu’ Fataawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 22: 316).

Wanita ikut berdesak-desakan untuk mencium hajar aswad

Para wanita hendaklah menghindari berdesak-desakan dengan kaum lelaki. Perbuatan ini akan menyebabkan perbuatan dosa yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya, karena kaum lelaki bisa memandang para wanita yang ikut berdesak-desakan tersebut.

Mencium hajar aswad bukanlah kewajiban. Sehingga siapa saja yang memungkinkan baginya untuk mencium hajar aswad dengan mudah tanpa berdesak-desakan, itulah yang kita harapkan. Dan tidak perlu berdesak-desakan untuk bisa menciumnya. Diriwayatkan dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau,

يَا عُمَرُ، إِنَّكَ رَجُلٌ قَوِيٌّ، لَا تُزَاحِمْ عَلَى الْحَجَرِ فَتُؤْذِيَ الضَّعِيفَ

Wahai ‘Umar, sesungguhnya Engkau adalah lelaki yang kuat (perkasa). Janganlah Engkau berdesakan untuk (mencium) hajar aswad, sehingga Engkau menyakiti orang yang lemah” (HR. Ahmad no. 190. Dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).

Oleh karena itu, ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melaksanakan thawaf, beliau thawaf di pinggiran ka’bah. Diriwayatkan dari ‘Atha’, beliau berkata,

كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَطُوفُ حَجْرَةً مِنَ الرِّجَالِ، لاَ تُخَالِطُهُمْ، فَقَالَتْ امْرَأَةٌ: انْطَلِقِي نَسْتَلِمْ يَا أُمَّ المُؤْمِنِينَ، قَالَتْ: «انْطَلِقِي عَنْكِ» ، وَأَبَتْ، يَخْرُجْنَ مُتَنَكِّرَاتٍ بِاللَّيْلِ، فَيَطُفْنَ مَعَ الرِّجَالِ

Dulu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melaksanakan thawaf di pinggiran ka’bah (menyendiri) dan tidak berbaur dengan kaum lelaki. Lalu ada seorang wanita berkata kepada ‘Aisyah, ‘Wahai ummul mukminin, ayo kita pergi untuk mencium hajar aswad!’ ‘Aisyah berkata, ‘Engkau saja yang pergi.’ Sedangkan ‘Aisyah enggan untuk pergi. Dahulu kaum wanita keluar pada malam hari tanpa diketahui keberadaannya, lalu mereka thawaf bersama kaum lelaki” (HR. Bukhari no. 1618).

Hadits ini menunjukkan adanya pengingkaran dari ‘Aisyah untuk mencium hajar aswad karena hal itu akan menyebabkan dirinya berdesakan dan berbaur dengan kaum lelaki.

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41421-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-3.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 2)

Perbuatan tasyabbuh jamaah haji wanita dengan memakai pakaian yang merupakan ciri khas pakaian laki-laki

Hal ini adalah perbuatan terlarang, karena wanita diperintahkan oleh syariat untuk tidak tasyabbuh (menyerupai) kaum lelaki, baik dalam pakaian atau gerak-gerik yang menjadi ciri khas kaum lelaki (misalnya, jalan tegap). Sebagian jamaah haji wanita memakai pakaian yang menyerupai pakaian lelaki atau memakai rida’ yang memakai rida’ kaum lelaki. Misalnya, perempuan yang memakai kerudung, namun memakai rida’ yang biasa dipakai oleh kaum lelaki.

Kaum wanita tidaklah memiliki pakaian khusus ketika ihram, sedangkan tasyabbuh itu hukumnya haram secara mutlak. Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum lelaki yang menyerupai wanita, dan kaum wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari no. 5885)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

أن المراد التشبه في الزي وبعض الصفات والحركات ونحوها لا التشبه في أمور الخير

“Yang dimaksud adalah menyerupai dalam hal pakaian, sifa, gerak-gerik, dan sejenisnya. Dan bukan meyerupai dalam perkara-perkara kebaikan.” (Fathul Baari, 10: 333)

Meyakini bahwa memakai pakaian ihram berwarna putih bagi wanita itu lebih utama

Hal ini termasuk di antara kesalahan orang-orang awam yang banyak terjadi. Perempuan tidaklah terlarang untuk memakai pakaian apa pun, kecuali memakai sarung tangan dan penutup wajah. Selain itu, maka tidak ada keutamaan bagi satu jenis pakaian tertentu (misalnya, pakaian berwarna putih) di atas jenis pakaian yang lainnya.

Yang terpenting, pakaian tersebut tidaklah menampakkan perhiasan perempuan, menampakkan keindahan tubuhnya, atau menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya, atau menampakkan lengan dan betisnya, dan semacam itu. Dengan kata lain, asal pakaian tersebut adalah pakaian syar’i yang menutup aurat, dengan warna apa pun (asal tidak menarik perhatian dan pandangan laki-laki), maka tidak masalah.

Diriwayatkan dari Nafi’, budak sahabat Ibnu ‘Umar, beliau berkata,

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَهَى النِّسَاءَ فِي إِحْرَامِهِنَّ عَنِ القُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ، وَمَا مَسَّ الْوَرْسُ وَالزَّعْفَرَانُ مِنَ الثِّيَابِ

“Sesungguhnya dia (sahabat Ibnu ‘Umar) mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang wanita ketika ihram untuk memakai sarung tangan dan penutup wajah. Juga melarang dari pakaian yag dicelup dengan pewarna waras dan za’faran.” (HR. Abu Dawud no. 1827, hadits hasan shahih)

Berdasarkan hadits di atas, terlarang bagi wanita untuk memakai pakaian yang memiliki warna yang menarik (mencolok) sehingga menarik perhatian dan pandangan laki-laki, seperti pada zaman dahulu adalah pakaian yang dicelup dengan bahan pewarna waras dan za’faran. Juga warna-warna yang menunjukkan kemewahan, karena ketika ihram, seseorang itu hendaknya meninggalkan sikap kemewahan dan berlebih-lebihan.

Di antara dalil masalah ini adalah riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

وَقَدِمَ عَلِيٌّ مِنَ الْيَمَنِ بِبُدْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَجَدَ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مِمَّنْ حَلَّ، وَلَبِسَتْ ثِيَابًا صَبِيغًا، وَاكْتَحَلَتْ، فَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا

“Ali datang dari Yaman dengan membawa hewan kurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendapati Fathimah radhiyallahu ‘anha, yang sudah ber-tahallul, memakai pakaian yang bercelup (warna menarik, pen.) dan memakai celak mata. Ali melarangnya berbuat demikian.” (HR. Muslim no. 1218)

‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengingkari Fathimah, karena tidak mengetahui bahwa Fathimah sudah tahallul (selesai ihram). Hal ini menunjukkan pemahaman yang tertanam di benak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang wanita dilarang untuk memakai pakaian yang dicelup dengan warna yang menarik dan menunjukkan kemewahan.

Berdasarkan hal ini, asalkan pakaian tersebut menutup aurat secara sempurna dari pandangan laki-laki dan tidak menunjukkan kemewahan, maka silakan memakai pakaian dengan warna, bahan dan jenis apa pun yang dia sukai.

Meyakini bahwa sandal yang ada jahitan benangnya itu dilarang; demikian pula meyakini terlarangnya memakai pakaian yang ada jahitannya

Misalnya, jika kain ihram robek, sebagian orang meyakini bahwa kain tersebut tidak boleh dijahit. Padahal tidak demikian maksud larangan dari syariat. Maka keyakinan seperti ini adalah keliru. Memang terdapat larangan bagi orang yang ihram untuk memakai pakaian berjahit, namun yang dimaksud adalah pakaian berjahit sesuai dengan ukuran atau mengelilingi anggota badan, seperti membuat lengan baju atau celana panjang, memakai jubah, dan semacamnya.

Istilah “pakaian berjahit” ini pertama kali disampaikan oleh tabi’in Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah sebagai kaidah umum dan penafsiran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيصَ، وَلَا الْعِمَامَةَ، وَلَا الْبُرْنُسَ، وَلَا السَّرَاوِيلَ

“Orang yang ihram tidak boleh memakai jubah, surban, burnus (jubah yang sambung dengan tutup kepala langsung), celana, … “ (HR. Bukhari no. 1842 dan Muslim no. 1177)

Oleh karena itu, diperbolehkan orang ihram untuk memakai sandal apa pun bentuknya. Adapun jam tangan, sebaiknya dihindari berdasarkan perkataan sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

لَا تَعْقِدْ عَلَيْكَ شَيْئًا وَأَنْتَ مُحْرِمٌ

“Janganlah membuat ikatan-ikatan jenis apa pun, sedangkan kalian dalam kondisi ihram.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 409)

Mendengarkan alat-alat musik

Di antara kesalahan jamaah haji adalah memakai dan memainkan alat-alat musik, yaitu alat-alat yang membuat kita lalai dari mengingat dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan shighat jazm (ungkapan tegas).

Hadits di atas menunjukkan terlarangnya alat-alat musik. Dan di antara bentuk pelanggaran terhadap masalah ini yang sering terjadi adalah menjadikan musik dan nyanyian sebagai nada dering handphone yang bisa jadi berbunyi ketika berada di masjid, baik Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau masjid-masjid lainnya.

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala ditanya, “Apa hukum membawa masuk handphone ke dalam masjid yang di dalamnya terdapat musik dan nada dering berupa nyanyian?”

Beliau hafidzahullahu Ta’ala menjawab, “Tidak boleh melakukan perbuatan tersebut, baik di masjid atau di luar masjid. Akan tetapi, jika di masjid, itu lebih parah lagi. Karena wajib memuliakan masjid. Masjid adalah tempat beribadah, berdzikir mengingat Allah Ta’ala, shalat, membaca Al-Qur’an, dan di dalamnya berkumpul malaikat dan kaum muslimin. Maka tidak boleh melakukan berbagai kemungkaran di dalamnya, termasuk nada dering handphone berupa nyanyian, musik, dan gambar (makhluk bernyawa yang terlarang, pen.)” (Al-Farqu baina an-nashiihah wa at-tajriih, hal. 39)

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41313-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-2.html

Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 1)

Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat agung, ibadah yang dirindukan oleh jutaan kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di negeri kita. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji haruslah dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala, dan tidak kalah penting, sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku), karena aku tidak tahu apakah aku masih bisa berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297)

Selain itu, dalam ibadah haji tersebut, kita juga perlu membersihkan aqidah dan keyakinan kita dari berbagai pemikiran yang menyimpang, apalagi keyakinan yang menjerumuskan kita ke dalam syirik, baik syirik kecil maupun syirik besar.

Oleh karena itu, melalui serial tulisan ini, kami ingin menyampaikan beberapa kesalahan dan kemungkaran yang dijumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, baik yang terkait dengan fiqh ibadah haji itu sendiri atau yang terkait dengan penyimpangan aqidah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah haji.

Memulai ihram sebelum sampai di miqat

Tidak terdapat dalil valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan disyariatkannya ihram sebelum miqat.

Imam Malik bin Anas rahimahullah mengingkari orang yang ingin memulai ihram jauh sebelum miqat, meskipun dengan niat ingin memperbanyak pahala.

Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah, beliau berkata, “Aku mendengar dari Imam Malik bin Anas, beliau didatangi oleh seseorang. Orang tersebut berkata, “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), dari mana Engkau mulai berihram?”

Imam Malik menjawab, “Dari Dzul Hulaifah (Bir ‘Ali), dari tempat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berihram.”

Orang tersebut berkata, “Aku ingin memulai ihram dari masjid di samping kubur Nabi.”

Imam Malik mengatakan, “Jangan Engkau lakukan, karena aku khawatir Engkau akan tertimpa fitnah.”

Orang tersebut berkata, “Fitnah seperti apa yang ditakutkan dari perbuatan semacam ini? Ini hanyalah beberapa mil yang aku tambahkan (untuk berihram) (untuk menambah pahala kebaikan, pen.).”

Imam Malik menjawab perkataan orang tersebut,

وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصر عنها رسول الله صلى الله عليه و سلم؟ إني سمعت الله يقول:

“Fitnah apakah yang lebih besar daripada ketika Engkau menyangka bahwa Engkau memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sesungguhnya aku mendengar Allah Ta’ala mengatakan,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur [24]: 63) (Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1/148; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/326; Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, no.232, dan lain-lain)

Abu ‘Ubaid rahimahullahu Ta’ala berkata tentang seseorang yang mulai berihram dari kampungnya, “Sesungguhnya hal itu menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah mawaqit (tempat atau waktu dimulainya ihram, pen.).” (An-Naasikh wal Mansuukh, hal. 187-188)

Ibnu ‘Abdil Barr Al-Maliki rahimahullah berkata,

كَرِهَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنْ يُحْرِمَ أَحَدٌ قَبْلَ الْمِيقَاتِ … وَمِنْ أَقْوَى الْحُجَجِ لِمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يُحْرِمْ مِنْ بَيْتِهِ بِحَجَّتِهِ وَأَحْرَمَ مِنْ مِيقَاتِهِ الَّذِي وَقَّتَهُ لِأُمَّتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا فَعَلَهُ فَهُوَ الْأَفْضَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَكَذَلِكَ صَنَعَ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ بَعْدَهُمْ كَانُوا يُحْرِمُونَ مِنْ مَوَاقِيتِهِمْ

“Imam Malik membenci seseorang mulai berihram sebelum miqat … Dan di antara dalil paling kuat pendapat Imam Malik dalam masalah ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mulai berihram dari rumahnya (di Madinah, pen.) ketika berhaji. Beliau berihram dari tempat yang telah beliau tetapkan untuk umatnya. Apa yang beliau kerjakan, inilah yang lebih utama, insyaa Allah. Demikian pula yang dilakukan oleh mayoritas sahabat dan tabi’in setelahnya, mereka mulai berihram dari miqat mereka masing-masing.” (At-Tamhiid, 15: 143-146)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Ta’ala berkata,

وإن لبس إزاره ورداءه قبل الركوب أو قبل الدنو من الميقات فلا بأس ، ولكن لا ينوي الدخول في النسك ولا يلبي بذلك إلا إذا حاذى الميقات أو دنا منه ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يحرم إلا من الميقات ، والواجب على الأمة التأسي به صلى الله عليه وسلم في ذلك كغيره من شئون الدين

“Adapun jika seseorang mulai memakai pakaian ihram (izar [pakaian bawahan ketika ihram] dan rida’ [pakaian atasan ketika ihram])sebelum naik pesawat atau ketika sudah dekat dengan miqat, hal ini tidak mengapa. Akan tetapi, dia tidak boleh berniat mulai manasik dan tidak boleh bertalbiyah kecuali jika sudah berada di miqat atau sudah (sangat) dekat dengan miqat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mulai berihram kecuali setelah berada di miqat. Menjadi kewajiban umat ini untuk meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini, sebagaimana perkara-perkara agama yang lainnya.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 16: 44)

Lalai dari berniat untuk ihram karena kurang perhatian, padahal sudah melewati miqat

Terdapat pertanyaan yang disampaikan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, “Sebagian penumpang pesawat (yang akan berhaji) tidak berniat masuk ke dalam rangkaian manasik kecuali setelah melewati miqat karena mereka lalai (karena kurang perhatian, pen.)?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Jika (calon jamaah haji) tidak berniat kecuali setelah melewati miqat, maka di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa barangsiapa yang meninggalkan ihram dari miqat, maka wajib baginya untuk membayar denda (dam), yaitu bianatangyang disembelih di Makkah dan dibagikan kepada kaum fakir miskin di Makkah, meskipun dia meninggalkannya karena kelalaian. Hal ini karena wajib atasnya untuk perhatian. Jika dia khawatir terlewat (karena lalai) atau ketiduran, maka tidak mengapa berniat ihram sebelum lurus atau bertepatan dengan miqat. Seseorang yang mengetahu bahwa dirinya itu mudah lalai atau mudah ketiduran, maka hendaknya dia berniat sebelum sampai ke miqat dan tidak masalah baginya untuk niat berihram sebelum sampai ke miqat.” (I’laamul Musaafiriin, hal. 79, pertanyaan nomor 106)

Beliau juga ditanya, “Pilot pesawat terbang lupa untuk memberi pengumuman kepada penumpang (calon jamaah haji) bahwa sudah sampai miqat. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dilakukan oleh penumpang?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Adapun pilot pesawat terbang, jika dia lupa, maka tidak ada masalah (tidak ada dosa) baginya. Demikian pula penumpang, tidak masalah bagi mereka dan tidak berdosa. Akan tetapi, wajib bagi mereka untuk membayar badal (pengganti), yaitu tebusan berupa kurban (kambing) yang disembelih di Makkah dan dibagikan kepada kaum fakir miskin. Inilah fatwa para ulama bagi mereka yang tidak berihram dari miqat.” (I’laamul Musaafiriin, hal. 81, pertanyaan nomor 101)

Bermudah-mudah untuk menerjang larangan dalam ibadah haji

Wajib atas setiap calon jamaah haji untuk mempelajari berbagai hal yang dilarang dalam pelaksanaan ibadah haji sehingga tidak melanggar larangan tersebut. Misalnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ

“Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 196)

Dan diqiyaskan dengan menggundul rambut kepala adalah mencabut rambut kepala dengan sengaja. Jika tidak senagaja, maka tidak mengapa (dimaafkan).

Demikian pula larangan yang terapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَلْبَسُوا القَمِيصَ، وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ، وَلاَ العَمَائِمَ …

“Janganlah (orang yang ihram) memakai gamis (jubah), celana, dan surban … “ (HR. Bukhari no. 1838, 1842 dan Muslim no. 1177)

Ini hanyalah sebagian kecil contoh larangan yang wajib atas setiap orang yang ingin berhaji untuk mempelajari perkara-perkara yang lainnya, sehingga dapat mengamalkannya.

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41311-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-1.html