MENYAKSIKAN musibah yang terjadi belakangan, kiranya tak berlebih menyebut Indonesia sebagai negeri darurat musibah. Betapa tidak, bencana terus menimpa bumi pertiwi secara maraton. Belum lekang duka atas musibah gempa bumi yang melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat, disusul peristiwa serupa di Palu, Banten dan kemudian Sukabumi.
Belum selesai proses pemulihan, fisik maupu psikis dari korban, kembali bangsa ini ditimpa musibah, Tsunami di selat Sunda, khususnya Lampun dan Banten. Sama dengan dua kejadian sebelumnya, bencana ini telah memporak-porandakan bangunan-bangunan, dan merenggut nyawa ratusan orang.
Sebagai orang beriman, tentulah memaknai musibah ini secara bijak dan benar. Sebab kalau tidak, keadaan ini bisa menggiring diri kepada pribadi yang merugi. Seperti bersikap putus asa. Karena merasa tidak ada lagi daya untuk meneruskan hidup. Tersebab, segala yang dimiliki, mulai dari harta, hingga sanak keluarga secara sekejap hilang dari sisi. Merasa tak mendapat lagi tumpuan hidup.
Lebih jauh dari, bahkan bisa menjerumuskan diri kepada kekufuran kepada Allah. Menganggap Dia Dzat yang tidak adil. Bahkan zholim, karena telah menimpakan musibah yang telah memusnah segala hal yang dipunyai. Seperti sindiran Allah yang tertera dalam suran al-Fajr;
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Maka adapun manusia, apa bila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Namun apa bila Tuhan mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinaku.” (QS: al-Fajr: 15-16)
Na’udzubillah min dzalik. Jangan sampai ada kaum muslimin yang tengah terkena musibah, terjerembab dalam hal ini. Karena sungguh Allahberlepas dari segala tuduhan buruk itu. Hanya kerugian nan berlipat ganda bagi mereka bersikap demikian.
Pertama; ia telah kehilangan apa-apa yang dimiliki. Yang kedua, ia semakin jauh dari sumber keselamatan (dunia dan akhirat); Allah. Tuhan semesta alam. Ibarat kata pepatah; sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Teladan Hamba Shalih
Dalam kitab ‘Qishashu al-Anbiya,’ pada bab Kisah Nabi Ayyub as, Ibnu Katsir mengutip, al-Lait telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa pada hari kiamat nanti Allah swt akan berhujah dengan Nabi Sulaiman as kepada orang-orang kaya. Dengan Nabi Yusuf as kepada hamba sahaya. Dan dengan Nabi Ayyub as, kepada orang-orang tertimpa musibah. Dijelaskan, Ibnu Asakir juga meriwayatkan hal serupa.
Kita fokuskan pembahasan pada ketetapan dijadikannya Nabi Ayyub as, sebagai hujjah bagi orang-orang tertimpa musibah di dunia. Itu tidak lain, karena Ayyub merupakan hamba Allah yang pernah diuji dengan musibah yag sangat berat.
Seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ; “Orang yang mendapat cobaan yang paling berat adalah para nabi kemudian orang-orang sholih, kemudian orang-orang semisalnya, dan seterusnya.” (HR. Ahmad)
Apa cobaan yang menimpa Nabi Ayyub??
Sebelum masuk ke bagian itu, ada baiknya, sedikit digambarkan profil nabi Ayyub sebelum mendapat ujian. Sehingga tergambar secara utuh, bagaimana pedih dan berat ujian yang menimpa.
Seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir pada buku di atas. Mulanya Nabi Ayyub adalah orang terpandang di kaumnya. Ia memiliki kekayaan nan melimpah ruah. Baik berupa peternakan, maupun lahan pertanian yang terbentang luas di daerah Huruan. Kehidupan keluarganya pun diliputi suka-cita dan kebahagiaan. Ia memiliki beberapa anak.
Keadaan ini berjalan sekian lama. Sampai 70 tahunan. Namun, atas kehendak Allah swt, musibah demi musibah secara bergilir menyapa Nabi Ayyub. Seluruh anak dan ternaknya mati. Usahanya pertaniannya guling tikar, hingga akhirnya jatuh miskin. Tidak hanya itu, dirinya pun tertimpa satu penyakit, di mana tidak ada secuil daging dari tubuhnya pun selamat, kecuali lidah dan hatinya.
Penyakit ini berjalan begitu lama, hingga ia disingkirkan oleh kaumnya di tempat pembuangan sampah. Ia hanya ditemani oleh sang istri yang setia. Sedangkan orang-orang disekitarnya, pada menjauh, tak terkecuali sanak saudaranya.
Mereka jijik menyaksikan perawakan Ayyub yang tengah tergerogoti penyakit. Dan mereka khawatir tertular. Semakin hari penyakit Ayyub bertambah parah. Di sisi yang lain, sang istri mulai kepayahan untuk mencukup konsumsi. Sebab, ia sulit mendapat pekerjaan, karena terus ditolak. Hingga akhirnya beliau berinisiatif menjual kepang rambutnya. Menjadi gundullah sang istri.
Tergambar dengan jelas, betapa kondisi nabi Ayyub saat itu, berubah 180 derajat, dari keadaan sebelum. Mulanya hidup penuh dengan kemuliaan, kebahagiaan, dan kehormatan, kini berganti dengan kesengsaraan yang sangat. Pelecehan, pengucilan, penistaan, serta pengasingan dari masyarakat.
Lalu, patah harapkah Nabi Ayyub dengan kondisi demikian? Tidak sama sekali. Dan itu tercermin dari jawabannya, ketika suatu hari, sang istri meminta agar sang suami memunajatkan doa kepada Allah, agar disembuhkan.
“Duhai Ayyub, seandainya engkau berdoa memohon kepada Tuhan-Mu, niscaya Dia akan menyembuhkanmu.” Terhadap permintaan ini, Ayyub menjawah;
“Aku telah menjalani hidup dalam keadaan sehat selama tujuh puluh tahun. Oleh sebab itu, tidak sewajarnyakah jika aku bersabar kepada Allah dalam menjalani ujian yang lebih pendek dari tujuh puluh tahun?”
Laa haula wa laa quwwata illa billah.Alangkah dahsyat jawaban yang diberikan Nabi Ayyub di atas. Dan perkataan itu hanya bisa keluar dari lisan orang-orang yang relung hatinya dipenuhi keimanan. Ia jadikan musibah sebagai wahana pendekatan diri kepada Allah. Dan itu yang dilakukan oleh Nabi Ayyub. Dengan lisan dan hatinya yang masih ‘sehat,’ ia terus berdzikir kepada Allah.
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ
Pada akhirnya, Nabi Ayyub as sukses melalui ujian berat itu. Sebagai imbalan, Allah kemudian mengembalikan seluruh apa yang tadinya hilang. Bahkan melipat gandakannya. Turun hujan emas dan perak memenuhi dua lumbung milik nabi Ayyub. Tubuhnya kembali segar, bahkan jauh lebih muda. Ia pun kembali dikaruniai anak, yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya.
Kebahagiaan dan keberkahan hidup pun menaungi nabi Ayyub dan keluarga.
Kokohkan Iman
Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, bahwa iman kepada Allah menjadi kata kunci keberhasilan Nabi Ayyub menghadapi musibah. Untuk itu, memperkokoh iman menjadi keniscayaan, agar juga ikut jejak Nabi Ayyub, sukses dalam melalui musibah.
Jaminan kebahagiaan, jelas dijanjikan Allah untuk mereka yang bersabar dalam menghadapi musibah. Tidak meraung-raung. Menyakar-nyakar wajah dan pipi. Apa lagi sampai menuduh Allah yang bukan-bukan. Namun, sekali lagi, hal buruk ini hanya bisa dihindari oleh mereka yang bersabar. Dan kesabaran itu hanya diperoleh oleh mereka yang hatinya diterangi cahaya iman.
Sabda Rasulullah ﷺ; “Sungguh menakjubkan (‘ajaban) urusan orang beriman itu. Sesungguhnya setiap urusannya baginya ada kebaikan. Dan perkara itu tidak berlaku melainkan kepada orang mukmin. Sekiranya ia diberi sesuatu yang menggembirakan lalu dia bersyukur, maka kebaikan baginya. Dan sekiranya apa bila dia ditimpa kesusahan lalu dia bersabar, maka kebaikan baginya.” (HR. Muslim.)
Inilah resep ‘obat kuat’ yang ditawarkan Islam bagi kaum mukminin, dalammenghadapi musibah itu. Wallahu ‘alamu sish-shawab.*/
Khairul Hibri, Pengajar di STAI Luqman al-Hakim, Surabaya, dan kordinator PENA Jatim