DAMASKUS, KOMPAS.com— Satu dari tiga anak Suriah tidak mengenal apa-apa kecuali perang saudara yang pada Senin (14/3/2016) memasuki awal tahun keenam konflik. Mereka terusir dari sekolah, rumah, menjadi yatim piatu, dan mengalami kekerasan setiap hari dalam lima tahun ini.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) mengatakan, generasi baru anak-anak Suriah saat ini sedang dibentuk oleh konflik. Mereka tidak mengenal apa pun kecuali perang yang terus berkecamuk.
“Setiap anak Suriah di bawah lima tahun atau balita tidak mengenal apa pun dalam hidupnya kecuali pengalaman yang dibentuk oleh perang. Diperkirakan ada 2,9 juta anak Suriah berada dalam lingkaran perang Suriah. Sekitar 811.000 anak lainnya berada di negara tetangga,” kata Unicef.
PBB mengatakan, perang saudara di Suriah telah membunuh lebih dari 270.000 orang. Lebih dari 11 juta orang, dari total 23 juta populasi Suriah, telah mengungsi dari rumah mereka, entah ke luar negeri atau pun masih bertahan di dalam negeri.
“Lima tahun hidup dalam perang, jutaan anak telah menjadi dewasa terlalu cepat,” kata Peter Salama, Direktur Regional Unicef untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.
“Saat perang berlanjut, anak-anak terlibat perang dengan orang dewasa, mereka putus sekolah, dan banyak yang dipaksa menjadi buruh. Sementara anak perempuan menikah dini,” kata Salama.
Di dalam negeri Suriah, “Hampir tujuh juta anak hidup dalam kemiskinan, membuat masa kecilnya tidak bahagia,” kata Salma lagi.
Lebih dari 200.000 anak tinggal di daerah-daerah yang terkepung. Sekitar 2,1 juta anak lagi putus sekolah dan mereka tersebar di seluruh negeri.
Sejak 2014, anak-anak yang direkrut menjadi tentara anak semakin lebih muda dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurut verifikasi PBB, lebih dari setengah anak-anak di bawah 15 tahun terlibat dalam rekrutmen menjadi tentara anak.
“Anak-anak ini menerima pelatihan militer dan berpartisipasi dalam pertempuran atau mengambil peran yang mengancam kehidupannya sebagai perisai perang, termasuk membawa dan menjaga senjata, pos pemeriksaan, serta mengobati dan mengevakuasi korban luka perang,” kata Unicef.
“Pihak yang terlibat konflik menggunakan anak-anak untuk membunuh, termasuk sebagai algojo atau penembak jitu,” katanya.