TAMU yang ziarah haji ke Haji Mat Kelor tak putus-putus. Sudah dua sapi disembelih untuk dihidangkan kepada para tamu. Tak hanya tetangga dekat yang datang berkunjung. Orang jauh yang belum dikenalpun banyak yang berziarah. Ingin mengenal lebih dekat Mat Kelor, kata mereka. Mereka setia mengikuti tulisan serba-serbi haji yang saya tulis.
Ada banyak yang bertanya rahasia sukses Mat Kelor, dari posisi sebagai orang terpinggirkan sampai menjadi orang terpandang, dari posisi ‘zero’ sampai menjadi ‘hero,” dari orang miskin menjadi orang kaya. Dengan santai Mat Kelor berpantun: Anak ayam turun delapan// Mati satu tinggal lah tujuh// Hidup harus penuh harapan//Jadikan itu jalan yang dituju. “Kalian harus memupuk harapan, jangan putus asa.” Para tamu manggut-manggut.
Ternyata, sesederhana apapun kalimat, kalau diucapkan orang kaya, banyak orang yang terpukau dan percaya. Seindah apapun kalimat kalau diucapkan orang miskin maka hanya dianggap angin lalu, minimum dianggap sebagai copy paste atau dianggap sebagai riwayat palsu. Itulah fakta kebanyakan manusia. Nasib Mat Kelor memang lagi mujur.
Mat Kelor berkisah masa lalunya yang kelam dan melarat. Kata dia, perpaduan antara harapan, doa dan usaha adalah kuncinya. Upayakan porsi doa adalah lebih besar dari usaha, maka akan hadir keajaiban. Naik haji plus terasa tidak mungkin akan menjadi takdir Mat Kelor dan istri. Harapan, doa dan usahalah yang menjadikannya sebagai kenyataan. Diceritakanlah panjang lebar. Lalu, wajah Mat Kelor menunduk dan meneteskan air mata. Semua pengunjung terdiam.
“Ada yang belum menjadi nyata, masih menjadi harapan dan doa, puteri saya belum dapat jodoh semenjak putus dengan tunangannya 5 tahun yang lalu.” Semua kaget bagaimana mungkin ada yang berani menolak puteri Mat Kelor yang terkenal itu. Mat Kelor menjelaskan bahwa penyebabnya adalah partai. Lalu ramailah perbincangan tentang efek politik yang selalu saja mampu merusak cinta dan persahabatan. Namun ada yang bertanya-tanya apa Mat Kelor aktif di partai?
“Pak Haji Mat Kelor partai apa dan yang menolak dari partai apa? Sungguh tidak akan saya pilih dalam pemilu yang akan datang.” Mat Kelor menjawab: “Gara-gara partai besar dan partai kecil. Tapi bukan partai politik. Calon besan itu pedagang partai grosiran sementara saya waktu itu adalah pedagang partai eceran. Gara-gara itu saja.” Hahaaa, hidup partai Mat Kelor. Salam, AIM. [*]
KH AHMAD IMAM MAWARDI