zakat

Serial Fiqh Zakat (Bag. 7): Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Definisi Perhiasan Emas dan Perak

Perhiasan emas dan perak dalam bahasa Arab disebut dengan “al-hulliy” yang didefinisikan dengan,

اسمٌ لكلِّ ما يُتزيَّنُ به مِن مصاغِ الذَّهَبِ والفِضَّة

“Istilah bagi setiap benda yang digunakan sebagai perhiasan yang terbuat dari emas dan perak.” [an-Nihayah 1/435]

Latar Belakang Silang Pendapat Alim Ulama Perihal Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Alim ulama bersepakat bahwa zakat emas dan perak wajib ditunaikan zakatnya apabila berbentuk uang atau batangan. Lihat artikel tentang Zakat Emas dan Perak sebelumnya.

Namun, mereka berselisih pendapat mengenai hukum zakat emas dan perak yang dijadikan sebagai perhiasan.

Silang pendapat ini dilatarbelakangi oleh ketiadaan dalil yang secara tegas menetapkan atau meniadakan kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak. Hadits-hadits yang dijadikan dalil tersebut diperselisihkan oleh alim ulama, baik dari sisi keabsahan maupun penunjukannya.

Selain itu, alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak berpandangan bahwa bahan baku pembuatan perhiasan tersebut adalah bahan tambang yang sejenis dan dipergunakan sebagai mata uang yang berlaku dalam praktik perdagangan antar manusia. Sedangkan bahan tambang berupa emas dan perak berikut mata uang terbuat dari keduanya dan wajib ditunaikan zakatnya.

Di sisi lain, terdapat alim ulama yang berpandangan bahwa perhiasan emas dan perak ini tidak lagi dipandang sebagai mata uang karena telah mengalami fabrikasi sehingga serupa dengan barang-barang yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti perabotan, barang, baju, dan benda lain yang tidak wajib dizakati berdasarkan ijmak. Alasan inilah yang dijadikan dasar bahwa tidak ada zakat pada perhiasan emas dan perak. 

3 Batasan dalam Topik Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Perselisihan pendapat alim ulama mengenai hukum zakat perhiasan emas dan perak di atas memiliki batasan, yaitu terbatas pada perhiasan emas dan perak; yang mubah; dan dipergunakan sebagai perhiasan. Dengan demikian ada 3 batasan dalam silang pendapat ini, yaitu:

  • Terbuat dari emas dan perak. Apabila terbuat dari bahan selain emas dan perak, maka tidak ada zakat atas perhiasan itu berdasarkan ijmak.

Ibnu Abdil Barr mengatakan,

وَأَجْمَعُوا أَنْ لَا زَكَاةَ فِي الْحَلْيِ إِذَا كَانَ جَوْهَرًا أَوْ يَاقُوتًا ، لَا ذَهَبَ فِيهِ وَلَا فِضَّةَ

“Mereka sepakat bahwa tidak ada zakat untuk perhiasan apabila berupa intan dan yakut yang tidak mengandung emas dan perak.” [al-Istidzkar 3/153]

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan,

المجوهرات من غير الذهب والفضة : كالماس ، ليس فيها زكاة ، إلا أن يراد بها التجارة

“Tidak ada zakat atas perhiasan yang terbuat dari bahan selain emas dan perak seperti berlian, kecuali perhiasan itu diniatkan untuk diperjualbelikan.” [Fatawa Ibn Baaz 14/124]

  • Bersifat mubah. Apabila perhiasan yang terbuat dari emas dan perak itu berstatus haram, misalnya karena dipakai oleh pria, maka alim ulama bersepakat bahwa wajib mengeluarkan zakat dari perhiasan tersebut. Menggunakannya sebagai perhiasan tidak lantas membuatnya menjadi obyek non-zakat alias tetap sebagaimana kondisi asal karena statusnya haram dimana syari’at tidak mengizinkan penggunaan tersebut.

Ibnu Qudamah mengatakan,

ومن ملك مصوغاً من الذهب أو الفضة محرماً ، كالأواني وما يتخذه الرجل لنفسه من الطوق ونحوه ، وخاتم الذهب ، وحلية المصحف ، والدواة ، والمحبرة والمقلمة ، والسرج : ففيه الزكاة ؛ لأن هذا فعل محرم فلم يخرج به عن أصله

“Setiap orang yang memiliki barang haram yang terbuat dari emas dan perak seperti bejana; benda yang digunakan pria seperti ikat pinggang dan semisalnya;  cincin, ornamen mushaf, tempat tinta, pena, kotak pena, pelana, maka ada zakat pada benda-benda tersebut karena kepemilikannya haram sehingga tidak mengeluarkannya dari hukum asal.” [al-Kaafi 1/405]

Disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah 18/113,

اتفق الفقهاء على وجوب الزكاة في الحلي المستعمل استعمالاً محرماً , كأن يتخذ الرجل حلي الذهب للاستعمال

“Ahli fikih bersepakat bahwa zakat wajib ditunaikan dari perhiasan yang digunakan secara haram seperti perhiasan emas yang digunakan oleh pria.”

  • Digunakan sebagai perhiasan. Apabila perhiasan emas dan perak itu digunakan untuk tujuan lain seperti diperjual-belikan (komoditi perdagangan); disewakan; atau untuk disimpan dan ditimbun untuk menjaga harta, maka wajib ditunaikan zakatnya.

Ibnu Qudamah mengatakan,

فَأَمَّا الْمُعَدُّ لِلْكِرَى (الإجارة) أَوْ النَّفَقَةِ إذَا اُحْتِيجَ إلَيْهِ ، فَفِيهِ الزَّكَاةُ ؛ لِأَنَّهَا إنَّمَا تَسْقُطُ عَمَّا أُعِدَّ لِلِاسْتِعْمَالِ ، لِصَرْفِهِ عَنْ جِهَةِ النَّمَاءِ ، فَفِيمَا عَدَاهُ يَبْقَى عَلَى الْأَصْلِ ، وَكَذَلِكَ مَا اُتُّخِذَ حِلْيَةً فِرَارًا مِنْ الزَّكَاةِ لَا يَسْقُطُ عَنْهُ

“Adapun perhiasan emas dan perak yang dipergunakan sebagai obyek sewa dan biaya hidup (nafkah) jika dibutuhkan, maka ada kewajiban zakat padanya. Zakat hanyalah gugur dari emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan sebab telah dialihkan dari upaya pengembangan, sehingga untuk tujuan selain itu statusnya tetap seperti semula. Hal yang sama juga berlaku untuk emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan oleh pemiliknya tapi dengan niat agar terbebas dari zakat, maka kewajiban zakat tidaklah gugur (karena adanya niat tersebut).” [al-Mughni 4/221]

Pendapat terpilih

Silang pendapat antar alim ulama dalam topik ini sangat panjang, dan wallahu a’lam, pendapat terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perhiasan perak. Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini adalah sebagai berikut:

Firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.” [at-Taubah : 34-35]

Penyebutan al-kanz dan al-infaq pada ayat di atas menunjukkan bahwa emas dan perak yang dimaksudkan adalah uang emas dan uang perak (an-nuqud), karena an-nuqud saja yang bisa ditimbun dan diinfakkan (digunakan untuk memenuhi biaya hidup). Adapun perhiasan emas atau perhiasan perak yang dipakai tidak dapat dianggap sebagai kanz, sebagaimana pada dasarnya ia juga tidak dipergunakan untuk infak. [Fiqh az-Zakah hlm. 1/295; Zakat al-Hulliy fi al-Fiqh al-Islami hlm. 33]  

Dari Zainab bintu Mu’awiyah, istri Abdullah ibn Mas’ud radhiallahu ‘anha, beliau menyampaikan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersedekahlah wahai kaum wanita! Bersedekahlah sekalipun dengan perhiasanmu.” [HR. al-Bukhari : 1466 dan Muslim : 1000. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim]

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas merupakan dalil bahwa tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan, karena seandainya wajib beliau tidak akan menjadikan perhiasan sebagai contoh untuk sedekah sunnah.” [asy-Syarh al-Mumti’ 6/284]

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada kewajiban sedekah (zakat) pada “al-wariq” yang kurang dari lima uqiyah.” [HR. al-Bukhari : 1405 dan Muslim : 979]

al-Wariq adalah uang dirham yang dicetak [an-Nihayah 2/245].

Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan kewajiban zakat hanya pada ar-riqqah di antara jenis perak. Beliau tidak mengucapkan, “Apabila perak mencapai kuantitas sekian, maka ada kewajiban zakat padanya dengan jumlah sekian”. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan ar-riqqah di antara jenis perak. Sedangkan penamaan ar-riqqah di kalangan orang Arab hanya dipergunakan untuk al-wariq yang diukir, memiliki cetakan, yang beredar di tengah-tengah manusia, sehingga hal itu menjadi batasan yang mengecualikan perhiasan dan semisalnya dari kewajiban zakat [al-Amwal hlm. 542-543].

Atsar dari Aisyah radhiallahu ‘anha, 

كَانَتْ تَلِي بَنَاتَ أَخِيهَا يَتَامَى فِي حَجْرِهَا لَهُنَّ الْحَلْيُ فَلَا تُخْرِجُ مِنْ حُلِيِّهِنَّ الزَّكَاةَ

“Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengasuh anak-anak perempuan saudara laki-lakinya yang sudah yatim, dan mereka mempunyai perhiasan. Namun Aisyah tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan mereka.” [HR. Malik dalam al-Muwatha 2/351; Ibnu Zanjawaih dalam al-Amwal hlm. 1782; al-Baihaqi 4/138. Dinilai shahih oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ 6/33 dan al-Albani dalam Adab az-Zafaf hlm. 192]

Pada dasarnya zakat hanya dikenakan pada harta yang dikembangkan (المال النامي) atau harta yang diniatkan untuk dikembangkan (المُعَدِّ للنماء). Perhiasan emas/perhiasan perak bukan harta yang seperti itu karena ia adalah harta tak bergerak, tak memiliki fungsi untuk dikembangkan, selain digunakan untuk berhias sehingga tidak ada kewajiban zakat padanya [al-Mughni 4/221, 222; al-Istidzkar 3/151]

Al-Qurthubi mengatakan,

قصد النماء يوجب الزكاة في العروض ، وهي ليست بمحل الإيجاب الزكاة ، وكذلك قصد قطع النماء في الذهب والفضة باتخاذهما حلياً يسقط الزكاة

“Niat mengembangkan melazimkan kewajiban zakat dikenakan pada barang perniagaan yang pada asalnya bukan obyek zakat. Demikian pula niat untuk tidak mengembangkan emas dan perak dengan menjadikannya perhiasan untuk dipakai secara pribadi menggugurkan kewajiban zakatnya.” [al-Kami’ li Ahkam al-Quran 8/126]

Perhiasan emas/perhiasan perak dengan penggunaan yang mubah menjadi sejenis dengan pakaian dan perkakas, sehingga tidaklah sejenis dengan uang (al-atsman). Karenanya ia tidak dikenakan kewajiban zakat [al-Hawi al-Kabir 3/272; al-Mughni 3/42; Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 9/263] 

Ibnu Qudamah mengatakan,

لا تجب الزكاة في الحالي ، لأنه مرصد لاستعمال مباح يا فلم تجب فيه الزكاة كالعوامل وثياب القنية

“Tidak ada zakat pada perhiasan emas/perak wanita karena diperuntukkan untuk pemakaian yang mubah, sehingga tidak wajib dizakati sebagaimana hewan ternak yang digunakan untuk bekerja dan pakaian pribadi.” [al-Mughni 3/12]

Tanggapan terhadap sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang mewajibkan zakat perhiasan emas/perhiasan perak 

Dalam hadits ‘Amru ibn Syu’aib disebutkan,

أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ

“Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa anak wanitanya, dan di tangan anak wanita tersebut terdapat dua gelang tebal yang terbuat dari emas, kemudian beliau berkata kepadanya, “Apakah engkau telah menunaikan zakat untuk perhiasan ini?” Wanita tersebut berkata, “Tidak”. Beliau bersabda, “Apakah engkau senang karena kedua gelang tersebut Allah memberimu gelang dari api pada Hari Kiamat?” Khalid (perawi hadits) berkata, “Kemudian wanita tersebut melepas kedua gelang tersebut dan melemparkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Kedua gelang itu untuk Allah ‘azza wa jalla dan rasul-Nya.” [HR. Abu Dawud : 1563; at-Tirmidzi : 637; an-Nasaa-i 5/38]

Dengan asumsi hadits tersebut shahih, Abu ‘Ubaid menerangkan,

فأما الحديث المرفوع الذي ذكرناه أول هذا الباب حين قال لليمانية ذات المسكتين من ذهب (أتعطين زكاته) فإن هذا الحديث لا نعلمه يروى من وجه واحد بإسناد قد تكلم الناس فيه قديماً وحديثاً، فإن يكن الأمر على ما روى وكان عن رسول الله محفوظاً فقد يحتمل معناه أن يكون أراد بالزكاة العارية، كما فسرته العلماء الذين ذكرناهم سعيد بن المسيب والشعبي والحسن وقتادة في قولهم زكاته عاريته 

“Adapun hadits marfu’ yang kami sampaikan di awal bab ini, dimana beliau bertanya kepada wanita Yaman yang memiliki dua gelang tebal dari emas, ‘Apakah engkau telah menunaikan zakatnya?’, maka hadits ini kami ketahui diriwayatkan dari sejumlah jalan dengan sanad yang telah diperbincangkan derajatnya oleh para pakar hadits sejak dulu hingga saat ini. Jika memang ternyata hadits itu mahfuzh (valid) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka terdapat kemungkinan bahwa makna yang diinginkan oleh beliau dengan kata zakat adalah meminjamkannya (al-‘ariyah) seperti tafsiran yang disampaikan oleh alim ulama sebelumnya seperti Sa’id ibn al-Musayyib, asy-Sya’bi, al-Hasan, dan Qatadah yang menyatakan bahwa zakat perhiasan emas wanita adalah dengan meminjamkannya.” [al-Amwal 1/607]

Hadits-hadits seperti hadits ‘Amru ibn Syu’aib dan semisalnya yang dijadikan dalil oleh alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita tidak secara tegas menunjukkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita karena mengandung berbagai kemungkinan. Di antara hal yang menguatkan adalah praktik sebagian sahabat yang menyelisihi zhahir hadits-hadits tersebut, seperti praktik ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyelisihi riwayat beliau sendiri yang secara zhahir menetapkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita. 

Oleh karena itu, alim ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut mengandung sejumlah kemungkinan, di antaranya: (a) kewajiban zakat yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut ditetapkan pada masa tertentu, yaitu ketika emas diharamkan bagi wanita; (b) kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak hanya khusus berlaku pada kondisi israf dan melampaui batas; (c) kewajiban zakat hanya khusus ditetapkan pada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Berbagai kemungkinan ini membatalkan penggunaan hadits-hadits tersebut sebagai dalil untuk menyatakan wajibnya zakat pada perhiasan emas/perak wanita sebagaimana kaidah “الدليل إذا تطرق إليه الاحتمال بطل به الاستدلال”. (Jika suatu dalil itu mengandung kemungkinan-kemungkinan, maka tidak bisa dipergunakan dalam beristidlal)

Dengan demikian hendaknya merujuk pada prinsip umum dalam pensyari’atan zakat, yang di antara prinsip tersebut adalah zakat hanya diwajibkan pada harta yang dikembangkan dan tidak diwajibkan pada harta yang tidak dikembangkan. Itulah mengapa zakat diwajibkan pada komoditi perniagaan, hewan ternak saaimah, dan uang karena statusnya yang berkembang. Sementara kewajiban itu digugurkan pada barang atau komoditi yang tidak diniatkan untuk diperdagangkan seperti pakaian dan bejana yang tidak berkembang, dan hanya dipergunakan untuk penggunaan dan pemakaian pribadi, sebagaimana kewajiban zakat digugurkan pada perhiasan, permata yang terbuat dari mutiara, marjan, dan yaqut karena statusnya yang diperuntukkan untuk berhias. 

Perhiasan emas dan perak yang dipakai oleh wanita dengan penggunaan yang mubah termasuk dalam harta tak berkembang sehingga tidak wajib dizakati. Hal ini karena ia dipergunakan untuk berhias sebagaimana perhiasan yang terbuat dari mutiara dan marjan. [Zakat Hulliy adz-Dzahab wa al-Fidhdhah wa al-Jauharat hlm. 65-66].

Kesimpulan

  1. Perhiasan emas dan perak dikenal alim ulama dengan istilah al-hulliy.
  2. Alim ulama berselisih pendapat terkait hukum zakat perhiasan emas dan perak. Hal ini dilatarbelakangi ketiadaan dalil yang secara tegas menetapkan atau meniadakan kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak. Hadits-hadits tersebut diperselisihkan oleh alim ulama, baik dari sisi keabsahan maupun dalalah-nya.
  3. Emas dan perak yang menjadi obyek pembahasan memiliki 3 batasan, yaitu terbuat dari emas dan/atau perak; dipergunakan secara mubah; dan dipergunakan sebagai perhiasan.
  4. Pendapat terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak.
  5. Hadits-hadits seperti hadits ‘Amru ibn Syu’aib dan semisalnya yang dijadikan dalil oleh alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita tidak secara tegas menunjukkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita karena mengandung berbagai kemungkinan. Berbagai kemungkinan ini membatalkan penggunaan hadits-hadits tersebut sebagai dalil untuk menyatakan wajibnya zakat pada perhiasan emas/perak wanita. Dengan demikian hendaknya merujuk pada prinsip umum dalam pensyari’atan zakat, yang di antara prinsip tersebut adalah zakat hanya diwajibkan pada harta yang dikembangkan dan tidak diwajibkan pada harta yang tidak dikembangkan.

Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id