Serial Fiqh Zakat (Bag. 8): Nishab Zakat Emas dan Perak

Nisab zakat emas

Pada dasarnya, emas tidaklah wajib dizakati kecuali setelah mencapai nisab sebesar 20 mitsqal yang setara dengan 20 dinar.

Dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ، فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

“Tidak wajib atasmu zakat emas kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun. (Jika telah memenuhi hal itu), maka zakatnya sebesar 0,5 dinar. Apa yang lebih dari itu, maka zakatnya juga menyesuaikan dengan perhitungan tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1573)

Meski sejumlah kalangan menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis sahih yang memberikan informasi perihal ketentuan nisab zakat emas, termasuk hadis di atas, namun alim ulama bersepakat bahwa nisab zakat emas adalah 20 mitsqal dan tidak ada kewajiban zakat pada emas yang beratnya di bawah itu. (Lihat Al-Umm 2: 43, Al-Amwal hlm. 501, Al-Ijma’ hlm. 48, At-Tamhid  20: 145, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 7: 48, 49, 53)

Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan,

لا أعلم اختلافًا في أنْ ليس في الذَّهَب صدقة، حتى تبلُغَ عشرينَ، فإذا بلغَتْ عِشرينَ مثقالًا، ففيها الزَّكاةُ

“Tidak ada perbedaan sepanjang pengetahuanku bahwa tidak ada zakat pada emas kecuali telah mencapai 20 mitsqal. Apabila emas itu mencapai 20 mitsqal, maka ada kewajiban zakat padanya.”

Ketentuan nisab zakat emas sebesar 20 mitsqal ini disepakati, kecuali Al-Hasan Al-Bashri yang berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat terhadap emas yang beratnya kurang dari 40 mitsqal. Pendapat beliau tersebut disampaikan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam kitabnya Al-Ijma’.

Konversi nisab zakat emas dengan satuan berat kontemporer

Alim ulama menakar dan memperkirakan satuan mitsqal dengan biji gandum barley (حَبَّةً شَعِير). Mereka menyatakan bahwa satu mitsqal setara dengan 72 biji gandum barley yang berukuran sedang, belum dikupas, dan dipotong kedua ujungnya yang kecil dan memanjang.

Asy-Syarbini al-Khathib menyatakan,

والمثقال لم يتغير جاهلية ولا إسلاما، وهو اثنان وسبعون حبة، وهي الشعيرة معتدلة لم تقشر وقطع من طرفيها ما دق وطال

“Ukuran mitsqal tidak berubah sejak zaman jahiliyah hingga munculnya agama Islam, yaitu setara dengan berat 72 biji gandum barley yang berukuran sedang, belum dikupas, dan dipotong kedua ujungnya yang kecil dan memanjang.” (Mughni al-Muhtaj)

Namun mereka berbeda pendapat dalam mengonversi berat 72 biji gandum barley ke dalam satuan kontemporer seperti satuan gram.

Ada yang menyatakan satu mitsqal setara dengan 3,5 gram sehingga nisab zakat emas adalah sebesar 20 mitsqal x 3,5 gram = 70 gram emas.

Ada yang berpendapat satu mitsqal setara dengan 3,60 gram sehingga nisab zakat emas adalah sebesar 20 mitsqal x 3,60 gram = 72 gram emas.

Ada yang berpendapat satu mitsqal setara dengan 4,25 gram sehingga nisab zakat emas adalah sebesar 20 mitsqal x 4,25 gram = 85 gram emas.

Pendapat terakhir inilah yang diamini oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti’ (6: 97). Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan,

وقد حررتُ نصاب الذهب فبلغ خمسة وثمانين جرامًا من الذهب الخالص

“Saya telah meneliti nisab zakat emas dan tercapail berat 85 gram emas murni.” (Asy-Syarh Al-Mumti’ 6: 97)

Dengan demikian, setiap orang yang memiliki 85 gram emas murni maka emas yang dimilikinya mencapai nisab zakat emas sehingga wajib dizakati. Ketentuan ini berlaku pada emas murni yang pada saat ini dinyatakan dalam kadar 24 karat.

Nisab zakat perak

Nisab zakat perak adalah sebesar 200 dirham. Ketentuan ini terdapat dalam hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, tatkala Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menuliskan aturan zakat yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutusnya ke negeri Bahrain, dinyatakan dalam aturan tersebut,

وفي الرِّقَةِ رُبُعُ العُشرِ، فإذا لم يكُنِ المالُ إلَّا تِسعينَ ومئةَ درهمٍ؛ فليس فيها شيءٌ إلَّا أن يشاءَ ربُّها

“Dan untuk zakat uang perak (dirham), maka ketentuannya seperempat puluh (2,5%) bila (telah mencapai dua ratus dirham). Dan apabila tidak mencapai jumlah itu, namun hanya seratus sembilan puluh dirham, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkannya.” (HR. al-Bukhari no. 1454)

Nisab zakat perak ditetapkan sebesar 200 dirham yang setara dengan berat 5 uqiyah berdasarkan hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada al-wariq (uang perak dirham) yang kurang dari lima uqiyah.” (HR. Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979)

Konversi nisab zakat perak dengan satuan berat kontemporer

Terdapat ijmak bahwa nisab zakat perak sebesar 200 dirham yang setara dengan 140 mitsqal. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama karena mereka menganggap nisab zakat perak ditentukan dengan timbangan berdasarkan hadis Abu Sa’id di atas dimana uqiyah merupakan satuan berat.

Jika dikonversikan dalam satuan berat kontemporer, berapakah nisab zakat perak?

Berdasarkan pendapat yang menyatakan satu mitsqal setara dengan 4,25 gram, maka nisab zakat perak adalah sebesar 4,25×140 = 595 gram (Asy-Syarh Al-Mumti’ 6: 9, Fiqh Az-Zakat 1: 260).

Dengan demikian, apabila seorang memiliki perak seberat 595 gram, maka perak itu telah mencapai nisab dan wajib dizakati.

Kadar dalam nisab zakat emas dan perak

Ketika alim ulama membicarakan nisab zakat emas dan zakat perak, maka ketentuan nisab tersebut berlaku untuk emas dan perak yang murni tanpa tercampur dengan logam lain, sehingga yang menjadi tolok ukur dalam penentuan nisab adalah kadar emas dan perak murni. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

إذا كان له ذهبٌ أو فضة مغشوشة، فلا زكاةَ فيها حتى يبلغ خالصُها نصابًا

“Apabila emas dan perak bercampur dengan logam lain, maka tidak ada zakat pada emas/perak itu hingga kandungan emas/perak murni mencapai nisab.” (Al-Majmu’ 5: 467)

Apabila kadar emas itu kurang dari 24 karat, maka emas itu bukanlah emas yang murni karena bercampur dengan tembaga, perak, dan logam lain. Semakin kecil karat suatu emas, semakin kecil kemurniannya karena kandungan logam semakin besar. Kandungan logam lain pada emas ini tidak dapat dijadikan pelengkap untuk menyempurnakan nisab zakat emas. Berdasarkan hal itu, nisab zakat emas berdasarkan kemurniannya/karatnya, bisa ditentukan dengan rumus :

(karat emas murni/karat emas yang dimiliki) x nisab zakat emas murni

Misal kita meggunakan nisab zakat emas murni sebesar 85 gram, maka,

Emas 21 karat memiliki nisab sebesar 24/21 x 85 gram = 97,14 gram,

Emas 18 karat memiliki nisab sebesar 24/18 x 85 gram = 113,33 gram,

Emas 16 karat memiliki nisab sebesar 24/16 x 85 gram = 127,5 gram,

dan seterusnya.

Besaran wajib zakat emas dan perak

Setiap orang yang memiliki emas yang mencapai berat 85 gram atau perak yang mencapai berat 595 gram, maka ia berkewajiban mengeluarkan besaran zakat sebesar seperempat puluh, yaitu 2,5% dari berat tersebut. Hal ini merupakan kesepakatan ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

إذا تمَّت الفضَّةُ مئتين، والدنانيرُ عِشرين، فالواجِبُ فيها رُبُع عُشْرِها، ولا نعلَمُ خلافًا بين أهل العِلم في أنَّ زكاة الذهب والفضَّة رُبُعُ عُشرِها

“Apabila perak genap mencapai 200 dirham dan emas genap mencapai 20 dinar, maka besaran zakat yang wajib dikeluarkan adalah seperempat puluhnya. Kami tidak mengetahui ada perselisihan pendapat di antara ahli ilmu akan hal ini.” (Al-Mughni 3: 38)

Besaran zakat ini ditetapkan berdasarkan hadis Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ، فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

“Tidak wajib atasmu zakat emas kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun. (Jika telah memenuhi hal itu), maka zakatnya sebesar 0,5 dinar. Apa yang lebih dari itu, maka zakatnya juga menyesuaikan dengan perhitungan tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1573)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menyatakan bahwa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menuliskan aturan zakat yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutusnya ke negeri Bahrain, dinyatakan dalam aturan tersebut,

وفي الرِّقَةِ رُبُعُ العُشرِ، فإذا لم يكُنِ المالُ إلَّا تِسعينَ ومئةَ درهمٍ؛ فليس فيها شيءٌ إلَّا أن يشاءَ ربُّها

“Dan untuk zakat uang perak (dirham) maka ketentuannya seperempat puluh (2,5%) apabila (telah mencapai dua ratus dirham). Dan apabila tidak mencapai jumlah itu, namun hanya seratus sembilan puluh dirham, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkannya.” (HR. al-Bukhari no. 1454)

Menyatukan nisab emas dan perak untuk menyempurnakan nisab

Apakah berat emas dapat disatukan dengan berat perak untuk menyempurnakan nisab dan sebaliknya?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa keduanya dapat disatukan untuk menyempurnakan nisab karena ‘illat/maksud keduanya sama, yaitu keduanya merupakan alat tukar dalam transaksi jual-beli dan merupakan tolok ukur nilai bagi suatu barang. Dengan alasan inilah berat keduanya dapat melengkapi nisab yang satu dengan yang lain.

Sebagai contoh, jika Anda memiliki setengah nisab emas, yaitu 10 mitsqal dan setengah nisab perak, yaitu 100 dirham. Apabila 10 mitsqal emas tadi diasumsikan setara dengan 100 dirham, maka berdasarkan pendapat ini Anda wajib mengeluarkan zakat karena setidaknya nisab zakat perak telah tercapai yaitu sebesar 200 dirham.

Pendapat lain menyatakan bahwa berat emas dan perak tidak dapat disatukan untuk menyempurnakan nisab. Dan inilah pendapat yang tepat karena sejumlah alasan berikut:

1. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada al-wariq (uang perak dirham) yang kurang dari lima uqiyah.” (HR. Al-Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979)

Redaksi hadis di atas tegas menyatakan bahwa tidak ada zakat pada perak yang kurang dari 5 uqiyah, meski ia memiliki emas dalam jumlah yang banyak. Apabila kita menyatukan berat emas dan perak untuk menyempurnakan nisab zakat, maka ini berarti kita mewajibkan zakat pada perak yang jumlahnya kurang dari lima uqiyah. Hal ini tentu tidak sejalan dengan hadis di atas. (Lihat al-Muhalla 6: 83, Adhwal al-Bayan 2:125-126)

Demikian pula halnya jika emas yang Anda miliki kurang dari nisab, maka perak milik Anda tidak bisa menyempurnakan nisabnya (Asy-Syarh al-Mumti’ 6: 101).

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa emas dan perak merupakan dua hal yang berbeda jenis sehingga dalam pertukaran keduanya diperbolehkan tafaadhul (berbeda kuantitas/berat). Tidaklah tepat jika menganggap keduanya sejenis sehingga bisa saling melengkapi nisab, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan keduanya berbeda jenis (Al-Amwal hlm. 513).

3. Alasan bahwa ‘illat/maksud dari emas dan perak itu serupa, yaitu sebagai alat tukar, tidak lantas menjadikan keduanya sebagai harta yang satu sehingga bisa saling melengkapi nisab. Emas dan perak merupakan jenis harta zakat yang berbeda sehingga tidak bisa disatukan untuk saling menyempurnakan nisab. Sebagaimana juga gandum burr tidak bisa disatukan dengan gandum sya’ir untuk menyempurnakan nisab padahal keduanya memiliki maksud yang sama, yaitu sebagai makanan pokok. Demikian pula dengan kambing yang tidak bisa digunakan untuk menyempurnakan nisab sapi, dimana keduanya memiliki maksud yang sama yaitu binatang ternak yang dikembangkan (Bidayah Al-Mujtahid 1: 257, asy-Syarh al-Mumti’ 6: 102).

4. Emas dan perak masing-masing memiliki nisab tersendiri, sehingga tidak bisa disatukan untuk saling menyempurnakan nisab. Konsekuensi pendapat yang menyatakan bahwa nisab keduanya bisa saling melengkapi adalah munculnya hukum baru dalam agama karena menyatakan adanya suatu nisab yang bukan nisab emas dan perak. Tentu mustahil dalam perkara yang ambigu ini terdapat hukum khusus sementara ketentuan agama mendiamkannya, mengingat karakter agama ini adalah senantiasa memberikan penjelasan (Bidayah Al-Mujtahid 1: 259-259, Al-Mughni 3: 36).

5. Seandainya Anda memiliki emas 20 dinar dan harga 1 dinar saat ini setara dengan 9 dirham atau kurang dari itu, maka zakat tetap wajib ditunaikan dari emas Anda tersebut meski nilainya tidak mencapai 200 dirham (nisab perak). Sebaliknya, jika Anda memiliki emas sebanyak 10 dinar dan harga 1 dinar saat itu setara dengan 20 dirham atau lebih, maka emas yang Anda miliki itu tidak wajib dizakati meski nilainya setara dengan 200 dirham atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya merupakan obyek zakat yang berbeda dengan nisab yang berbeda pula sehingga tidak bisa digunakan untuk saling menyempurnakan nisab (Al-Amwal hlm. 513-515).

Menyatukan nilai komoditi perdagangan pada nisab emas atau perak

Nilai barang dagangan dapat disatukan pada berat emas atau perak sehingga mencapai nisab. Sebagai contoh, Anda memiliki setengah nisab perak, yaitu 100 dirham dan memiliki barang dagangan yang nilainya setara dengan 100 dirham. Maka dalam kasus ini, Anda dapat menyatukan nilai barang dagangan tersebut untuk menyempurnakan nisab zakat perak menjadi 200 dirham, kemudian zakatnya dikeluarkan dari jumlah nisab perak tersebut.

Contoh lain, jika Anda memiliki 50 gram emas dan barang dagangan yang nilainya setara dengan 35 gram emas, maka Anda bisa menyatukan nilai barang dagangan itu untuk melengkapi nisab emas (yaitu 85 gram) kemudian ditunaikan zakatnya.

Hal ini bisa dilakukan karena zakat barang dagangan berkaitan dengan qiimah (nilai nominal uang) sehingga sejenis dengan emas dan perak. Oleh karena itu, nilai barang dagangan bisa disatukan dengan emas atau perak untuk saling melengkapi nisab (Al-Mughni 3: 36, Al-Furu’ 4: 138).

Ketentuan ini telah menjadi kesepakatan ulama sebagaimana yang dinyatakan al-Khaththabi,

لا أعلَمُ عامَّتَهم اختلفوا في أنَّ من كانت عنده مئةُ درهمٍ، وعنده عَرْضٌ للتِّجارة يساوي مئةَ درهمٍ وحال الحَوْلُ عليهما أنَّ أحدَهما يُضمُّ إلى الآخَرِ وتجِبُ الزَّكاة فيهما

“Saya tidak mengetahui ada perselisihan pendapat perihal seorang yang memiliki perak sebanyak 100 dirham dan barang dagangan yang setara dengan 100 dirham, yang telah dimiliki selama setahun, bahwa keduanya digabungkan sehingga keduanya wajib dizakati” (Ma’alim As-Sunan 2: 16).

Ibnu Qudamah menyatakan,

فإنَّ عروضَ التِّجارة تُضمُّ إلى كلِّ واحدٍ مِنَ الذَّهَبِ والفضة، ويُكَمَّل به نِصابه، لا نعلمُ فيه اختلافًا

“Nilai barang dagangan dapat disatukan pada salah satu nilai emas dan perak, sehingga nisabnya sempurna. Kami tidak mengetahui ada pendapat yang berbeda dalam hal ini.” (Al-Mughni 3: 36)

Wallahu ta’ala a’lam.

Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Serial Fiqh Zakat (Bag. 7): Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Definisi Perhiasan Emas dan Perak

Perhiasan emas dan perak dalam bahasa Arab disebut dengan “al-hulliy” yang didefinisikan dengan,

اسمٌ لكلِّ ما يُتزيَّنُ به مِن مصاغِ الذَّهَبِ والفِضَّة

“Istilah bagi setiap benda yang digunakan sebagai perhiasan yang terbuat dari emas dan perak.” [an-Nihayah 1/435]

Latar Belakang Silang Pendapat Alim Ulama Perihal Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Alim ulama bersepakat bahwa zakat emas dan perak wajib ditunaikan zakatnya apabila berbentuk uang atau batangan. Lihat artikel tentang Zakat Emas dan Perak sebelumnya.

Namun, mereka berselisih pendapat mengenai hukum zakat emas dan perak yang dijadikan sebagai perhiasan.

Silang pendapat ini dilatarbelakangi oleh ketiadaan dalil yang secara tegas menetapkan atau meniadakan kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak. Hadits-hadits yang dijadikan dalil tersebut diperselisihkan oleh alim ulama, baik dari sisi keabsahan maupun penunjukannya.

Selain itu, alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak berpandangan bahwa bahan baku pembuatan perhiasan tersebut adalah bahan tambang yang sejenis dan dipergunakan sebagai mata uang yang berlaku dalam praktik perdagangan antar manusia. Sedangkan bahan tambang berupa emas dan perak berikut mata uang terbuat dari keduanya dan wajib ditunaikan zakatnya.

Di sisi lain, terdapat alim ulama yang berpandangan bahwa perhiasan emas dan perak ini tidak lagi dipandang sebagai mata uang karena telah mengalami fabrikasi sehingga serupa dengan barang-barang yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti perabotan, barang, baju, dan benda lain yang tidak wajib dizakati berdasarkan ijmak. Alasan inilah yang dijadikan dasar bahwa tidak ada zakat pada perhiasan emas dan perak. 

3 Batasan dalam Topik Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Perselisihan pendapat alim ulama mengenai hukum zakat perhiasan emas dan perak di atas memiliki batasan, yaitu terbatas pada perhiasan emas dan perak; yang mubah; dan dipergunakan sebagai perhiasan. Dengan demikian ada 3 batasan dalam silang pendapat ini, yaitu:

  • Terbuat dari emas dan perak. Apabila terbuat dari bahan selain emas dan perak, maka tidak ada zakat atas perhiasan itu berdasarkan ijmak.

Ibnu Abdil Barr mengatakan,

وَأَجْمَعُوا أَنْ لَا زَكَاةَ فِي الْحَلْيِ إِذَا كَانَ جَوْهَرًا أَوْ يَاقُوتًا ، لَا ذَهَبَ فِيهِ وَلَا فِضَّةَ

“Mereka sepakat bahwa tidak ada zakat untuk perhiasan apabila berupa intan dan yakut yang tidak mengandung emas dan perak.” [al-Istidzkar 3/153]

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan,

المجوهرات من غير الذهب والفضة : كالماس ، ليس فيها زكاة ، إلا أن يراد بها التجارة

“Tidak ada zakat atas perhiasan yang terbuat dari bahan selain emas dan perak seperti berlian, kecuali perhiasan itu diniatkan untuk diperjualbelikan.” [Fatawa Ibn Baaz 14/124]

  • Bersifat mubah. Apabila perhiasan yang terbuat dari emas dan perak itu berstatus haram, misalnya karena dipakai oleh pria, maka alim ulama bersepakat bahwa wajib mengeluarkan zakat dari perhiasan tersebut. Menggunakannya sebagai perhiasan tidak lantas membuatnya menjadi obyek non-zakat alias tetap sebagaimana kondisi asal karena statusnya haram dimana syari’at tidak mengizinkan penggunaan tersebut.

Ibnu Qudamah mengatakan,

ومن ملك مصوغاً من الذهب أو الفضة محرماً ، كالأواني وما يتخذه الرجل لنفسه من الطوق ونحوه ، وخاتم الذهب ، وحلية المصحف ، والدواة ، والمحبرة والمقلمة ، والسرج : ففيه الزكاة ؛ لأن هذا فعل محرم فلم يخرج به عن أصله

“Setiap orang yang memiliki barang haram yang terbuat dari emas dan perak seperti bejana; benda yang digunakan pria seperti ikat pinggang dan semisalnya;  cincin, ornamen mushaf, tempat tinta, pena, kotak pena, pelana, maka ada zakat pada benda-benda tersebut karena kepemilikannya haram sehingga tidak mengeluarkannya dari hukum asal.” [al-Kaafi 1/405]

Disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah 18/113,

اتفق الفقهاء على وجوب الزكاة في الحلي المستعمل استعمالاً محرماً , كأن يتخذ الرجل حلي الذهب للاستعمال

“Ahli fikih bersepakat bahwa zakat wajib ditunaikan dari perhiasan yang digunakan secara haram seperti perhiasan emas yang digunakan oleh pria.”

  • Digunakan sebagai perhiasan. Apabila perhiasan emas dan perak itu digunakan untuk tujuan lain seperti diperjual-belikan (komoditi perdagangan); disewakan; atau untuk disimpan dan ditimbun untuk menjaga harta, maka wajib ditunaikan zakatnya.

Ibnu Qudamah mengatakan,

فَأَمَّا الْمُعَدُّ لِلْكِرَى (الإجارة) أَوْ النَّفَقَةِ إذَا اُحْتِيجَ إلَيْهِ ، فَفِيهِ الزَّكَاةُ ؛ لِأَنَّهَا إنَّمَا تَسْقُطُ عَمَّا أُعِدَّ لِلِاسْتِعْمَالِ ، لِصَرْفِهِ عَنْ جِهَةِ النَّمَاءِ ، فَفِيمَا عَدَاهُ يَبْقَى عَلَى الْأَصْلِ ، وَكَذَلِكَ مَا اُتُّخِذَ حِلْيَةً فِرَارًا مِنْ الزَّكَاةِ لَا يَسْقُطُ عَنْهُ

“Adapun perhiasan emas dan perak yang dipergunakan sebagai obyek sewa dan biaya hidup (nafkah) jika dibutuhkan, maka ada kewajiban zakat padanya. Zakat hanyalah gugur dari emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan sebab telah dialihkan dari upaya pengembangan, sehingga untuk tujuan selain itu statusnya tetap seperti semula. Hal yang sama juga berlaku untuk emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan oleh pemiliknya tapi dengan niat agar terbebas dari zakat, maka kewajiban zakat tidaklah gugur (karena adanya niat tersebut).” [al-Mughni 4/221]

Pendapat terpilih

Silang pendapat antar alim ulama dalam topik ini sangat panjang, dan wallahu a’lam, pendapat terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perhiasan perak. Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini adalah sebagai berikut:

Firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.” [at-Taubah : 34-35]

Penyebutan al-kanz dan al-infaq pada ayat di atas menunjukkan bahwa emas dan perak yang dimaksudkan adalah uang emas dan uang perak (an-nuqud), karena an-nuqud saja yang bisa ditimbun dan diinfakkan (digunakan untuk memenuhi biaya hidup). Adapun perhiasan emas atau perhiasan perak yang dipakai tidak dapat dianggap sebagai kanz, sebagaimana pada dasarnya ia juga tidak dipergunakan untuk infak. [Fiqh az-Zakah hlm. 1/295; Zakat al-Hulliy fi al-Fiqh al-Islami hlm. 33]  

Dari Zainab bintu Mu’awiyah, istri Abdullah ibn Mas’ud radhiallahu ‘anha, beliau menyampaikan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersedekahlah wahai kaum wanita! Bersedekahlah sekalipun dengan perhiasanmu.” [HR. al-Bukhari : 1466 dan Muslim : 1000. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim]

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas merupakan dalil bahwa tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan, karena seandainya wajib beliau tidak akan menjadikan perhiasan sebagai contoh untuk sedekah sunnah.” [asy-Syarh al-Mumti’ 6/284]

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada kewajiban sedekah (zakat) pada “al-wariq” yang kurang dari lima uqiyah.” [HR. al-Bukhari : 1405 dan Muslim : 979]

al-Wariq adalah uang dirham yang dicetak [an-Nihayah 2/245].

Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan kewajiban zakat hanya pada ar-riqqah di antara jenis perak. Beliau tidak mengucapkan, “Apabila perak mencapai kuantitas sekian, maka ada kewajiban zakat padanya dengan jumlah sekian”. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan ar-riqqah di antara jenis perak. Sedangkan penamaan ar-riqqah di kalangan orang Arab hanya dipergunakan untuk al-wariq yang diukir, memiliki cetakan, yang beredar di tengah-tengah manusia, sehingga hal itu menjadi batasan yang mengecualikan perhiasan dan semisalnya dari kewajiban zakat [al-Amwal hlm. 542-543].

Atsar dari Aisyah radhiallahu ‘anha, 

كَانَتْ تَلِي بَنَاتَ أَخِيهَا يَتَامَى فِي حَجْرِهَا لَهُنَّ الْحَلْيُ فَلَا تُخْرِجُ مِنْ حُلِيِّهِنَّ الزَّكَاةَ

“Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengasuh anak-anak perempuan saudara laki-lakinya yang sudah yatim, dan mereka mempunyai perhiasan. Namun Aisyah tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan mereka.” [HR. Malik dalam al-Muwatha 2/351; Ibnu Zanjawaih dalam al-Amwal hlm. 1782; al-Baihaqi 4/138. Dinilai shahih oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ 6/33 dan al-Albani dalam Adab az-Zafaf hlm. 192]

Pada dasarnya zakat hanya dikenakan pada harta yang dikembangkan (المال النامي) atau harta yang diniatkan untuk dikembangkan (المُعَدِّ للنماء). Perhiasan emas/perhiasan perak bukan harta yang seperti itu karena ia adalah harta tak bergerak, tak memiliki fungsi untuk dikembangkan, selain digunakan untuk berhias sehingga tidak ada kewajiban zakat padanya [al-Mughni 4/221, 222; al-Istidzkar 3/151]

Al-Qurthubi mengatakan,

قصد النماء يوجب الزكاة في العروض ، وهي ليست بمحل الإيجاب الزكاة ، وكذلك قصد قطع النماء في الذهب والفضة باتخاذهما حلياً يسقط الزكاة

“Niat mengembangkan melazimkan kewajiban zakat dikenakan pada barang perniagaan yang pada asalnya bukan obyek zakat. Demikian pula niat untuk tidak mengembangkan emas dan perak dengan menjadikannya perhiasan untuk dipakai secara pribadi menggugurkan kewajiban zakatnya.” [al-Kami’ li Ahkam al-Quran 8/126]

Perhiasan emas/perhiasan perak dengan penggunaan yang mubah menjadi sejenis dengan pakaian dan perkakas, sehingga tidaklah sejenis dengan uang (al-atsman). Karenanya ia tidak dikenakan kewajiban zakat [al-Hawi al-Kabir 3/272; al-Mughni 3/42; Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 9/263] 

Ibnu Qudamah mengatakan,

لا تجب الزكاة في الحالي ، لأنه مرصد لاستعمال مباح يا فلم تجب فيه الزكاة كالعوامل وثياب القنية

“Tidak ada zakat pada perhiasan emas/perak wanita karena diperuntukkan untuk pemakaian yang mubah, sehingga tidak wajib dizakati sebagaimana hewan ternak yang digunakan untuk bekerja dan pakaian pribadi.” [al-Mughni 3/12]

Tanggapan terhadap sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang mewajibkan zakat perhiasan emas/perhiasan perak 

Dalam hadits ‘Amru ibn Syu’aib disebutkan,

أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ

“Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa anak wanitanya, dan di tangan anak wanita tersebut terdapat dua gelang tebal yang terbuat dari emas, kemudian beliau berkata kepadanya, “Apakah engkau telah menunaikan zakat untuk perhiasan ini?” Wanita tersebut berkata, “Tidak”. Beliau bersabda, “Apakah engkau senang karena kedua gelang tersebut Allah memberimu gelang dari api pada Hari Kiamat?” Khalid (perawi hadits) berkata, “Kemudian wanita tersebut melepas kedua gelang tersebut dan melemparkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Kedua gelang itu untuk Allah ‘azza wa jalla dan rasul-Nya.” [HR. Abu Dawud : 1563; at-Tirmidzi : 637; an-Nasaa-i 5/38]

Dengan asumsi hadits tersebut shahih, Abu ‘Ubaid menerangkan,

فأما الحديث المرفوع الذي ذكرناه أول هذا الباب حين قال لليمانية ذات المسكتين من ذهب (أتعطين زكاته) فإن هذا الحديث لا نعلمه يروى من وجه واحد بإسناد قد تكلم الناس فيه قديماً وحديثاً، فإن يكن الأمر على ما روى وكان عن رسول الله محفوظاً فقد يحتمل معناه أن يكون أراد بالزكاة العارية، كما فسرته العلماء الذين ذكرناهم سعيد بن المسيب والشعبي والحسن وقتادة في قولهم زكاته عاريته 

“Adapun hadits marfu’ yang kami sampaikan di awal bab ini, dimana beliau bertanya kepada wanita Yaman yang memiliki dua gelang tebal dari emas, ‘Apakah engkau telah menunaikan zakatnya?’, maka hadits ini kami ketahui diriwayatkan dari sejumlah jalan dengan sanad yang telah diperbincangkan derajatnya oleh para pakar hadits sejak dulu hingga saat ini. Jika memang ternyata hadits itu mahfuzh (valid) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka terdapat kemungkinan bahwa makna yang diinginkan oleh beliau dengan kata zakat adalah meminjamkannya (al-‘ariyah) seperti tafsiran yang disampaikan oleh alim ulama sebelumnya seperti Sa’id ibn al-Musayyib, asy-Sya’bi, al-Hasan, dan Qatadah yang menyatakan bahwa zakat perhiasan emas wanita adalah dengan meminjamkannya.” [al-Amwal 1/607]

Hadits-hadits seperti hadits ‘Amru ibn Syu’aib dan semisalnya yang dijadikan dalil oleh alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita tidak secara tegas menunjukkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita karena mengandung berbagai kemungkinan. Di antara hal yang menguatkan adalah praktik sebagian sahabat yang menyelisihi zhahir hadits-hadits tersebut, seperti praktik ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyelisihi riwayat beliau sendiri yang secara zhahir menetapkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita. 

Oleh karena itu, alim ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut mengandung sejumlah kemungkinan, di antaranya: (a) kewajiban zakat yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut ditetapkan pada masa tertentu, yaitu ketika emas diharamkan bagi wanita; (b) kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak hanya khusus berlaku pada kondisi israf dan melampaui batas; (c) kewajiban zakat hanya khusus ditetapkan pada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Berbagai kemungkinan ini membatalkan penggunaan hadits-hadits tersebut sebagai dalil untuk menyatakan wajibnya zakat pada perhiasan emas/perak wanita sebagaimana kaidah “الدليل إذا تطرق إليه الاحتمال بطل به الاستدلال”. (Jika suatu dalil itu mengandung kemungkinan-kemungkinan, maka tidak bisa dipergunakan dalam beristidlal)

Dengan demikian hendaknya merujuk pada prinsip umum dalam pensyari’atan zakat, yang di antara prinsip tersebut adalah zakat hanya diwajibkan pada harta yang dikembangkan dan tidak diwajibkan pada harta yang tidak dikembangkan. Itulah mengapa zakat diwajibkan pada komoditi perniagaan, hewan ternak saaimah, dan uang karena statusnya yang berkembang. Sementara kewajiban itu digugurkan pada barang atau komoditi yang tidak diniatkan untuk diperdagangkan seperti pakaian dan bejana yang tidak berkembang, dan hanya dipergunakan untuk penggunaan dan pemakaian pribadi, sebagaimana kewajiban zakat digugurkan pada perhiasan, permata yang terbuat dari mutiara, marjan, dan yaqut karena statusnya yang diperuntukkan untuk berhias. 

Perhiasan emas dan perak yang dipakai oleh wanita dengan penggunaan yang mubah termasuk dalam harta tak berkembang sehingga tidak wajib dizakati. Hal ini karena ia dipergunakan untuk berhias sebagaimana perhiasan yang terbuat dari mutiara dan marjan. [Zakat Hulliy adz-Dzahab wa al-Fidhdhah wa al-Jauharat hlm. 65-66].

Kesimpulan

  1. Perhiasan emas dan perak dikenal alim ulama dengan istilah al-hulliy.
  2. Alim ulama berselisih pendapat terkait hukum zakat perhiasan emas dan perak. Hal ini dilatarbelakangi ketiadaan dalil yang secara tegas menetapkan atau meniadakan kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak. Hadits-hadits tersebut diperselisihkan oleh alim ulama, baik dari sisi keabsahan maupun dalalah-nya.
  3. Emas dan perak yang menjadi obyek pembahasan memiliki 3 batasan, yaitu terbuat dari emas dan/atau perak; dipergunakan secara mubah; dan dipergunakan sebagai perhiasan.
  4. Pendapat terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak.
  5. Hadits-hadits seperti hadits ‘Amru ibn Syu’aib dan semisalnya yang dijadikan dalil oleh alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita tidak secara tegas menunjukkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita karena mengandung berbagai kemungkinan. Berbagai kemungkinan ini membatalkan penggunaan hadits-hadits tersebut sebagai dalil untuk menyatakan wajibnya zakat pada perhiasan emas/perak wanita. Dengan demikian hendaknya merujuk pada prinsip umum dalam pensyari’atan zakat, yang di antara prinsip tersebut adalah zakat hanya diwajibkan pada harta yang dikembangkan dan tidak diwajibkan pada harta yang tidak dikembangkan.

Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Serial Fiqh Zakat (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 5): Syarat Wajib Zakat (2)D

Zakat Emas dan Perak

Hukum Zakat Emas dan Perak

Emas dan perak yang telah mencapai nishab dan memenuhi haul wajib ditunaikan zakatnya. Dalilnya terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah (hadits), dan ijmak.

Dalil al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا۟ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” [QS. at-Taubah: 34-35]

Allah Ta’ala juga berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. at-Taubah: 103]

Ayat di atas secara umum menerangkan kewajiban menunaikan zakat yang terdapat dalam harta, dimana emas dan perak tercakup di dalamnya [asy-Syarh al-Mumti’, 6: 93] 

Dalil as-Sunnah

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa yang memiliki emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, niscaya di hari kiamat akan dibuatkan setrika api untuknya yang dinyalakan di dalam neraka, lalu disetrikakan ke perut, dahi dan punggungnya. Setiap setrika itu dingin, maka akan dipanaskan kembali lalu disetrikakan kembali kepadanya setiap hari –di mana sehari setara lima puluh tahun di dunia – hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia melihat jalannya keluar, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka.” [HR. Muslim: 987]

Demikian pula dalam hadits Anas perihal surat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu terkait sejumlah zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin sebagaimana yang diperintahkan Allah. Dalam surat tersebut tercantum,

وفي الرِّقَةِ رُبُعُ العُشرِ، فإن لم تكُن إلَّا تِسعينَ ومئةً، فليس فيها شيءٌ إلَّا أن يشاءَ رَبُّها

“Dan untuk zakat uang perak (riqqah), maka ketentuannya seperempat puluh (2,5%) bila telah mencapai 200 dirham. Apabila tidak mencapai jumlah itu namun hanya mencapai 190 dirham, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali pemilik ingin mengeluarkannya.” [HR. al-Bukhari: 1454]

Dalil Ijmak

Sejumlah ulama mengutip adanya ijmak bahwa emas dan perak wajib ditunaikan zakatnya.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, 

زكاة الذهب والفضَّة، وهي واجبةٌ بالكتاب، والسنَّة، والإجماع

“Zakat emas dan perak adalah wajib ditunaikan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, dan ijmak” [al-Mughni, 3: 35]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

تجب الزَّكاة في الذهب والفضَّة بالإجماع، ودليلُ المسألة النُّصوصُ والإجماع، وسواء فيهما المسكوكُ والتِّبرُ والحجارة منهما والسبائك وغيرها من جنسها، إلَّا الحُلِيَّ المباحَ على أصحِّ القولين

“Zakat atas emas dan perak adalah wajib berdasarkan ijmak. Dalil hal ini adalah nash (al-Quran dan as-Sunnah) dan ijmak’, baik yang berupa mata uang resmi, bijih, bongkahan, koin, atau bentuk lain yang sejenis, kecuali berbentuk perhiasan yang mubah menurut pendapat yang terpilih dari dua pendapat yang ada” [al-Majmu’, 6: 6]  

Hikmah Ketetapan Zakat Emas dan Perak

Uang seyogyanya bergerak dan beredar, sehingga pasti ada manfaat yang dipetik dari setiap orang yang mengedarkannya. Jika uang ditimbun dan ditahan, maka hal itu akan menyebabkan bisnis merosot, pengangguran merebak, pasar mengalami stagnasi, dan pergerakan ekonomi mengalami resesi secara merata. Berangkat dari hal inilah kita bisa melihat peran penting diwajibkannya zakat terhadap emas dan perak (termasuk di dalamnya mata uang) yang telah mencapai nishab dan setiap kali memenuhi satu haul, baik emas dan perak itu diinvestasikan ataupun tidak.

Al-Qardhawi mengatakan,

وهو أمثلُ خطَّةٍ عمليَّةٍ للقضاء على حبْسِ النقود واكتنازِها؛ ذلك الداءُ الوَبيلُ الذي حار علماء الاقتصاد في علاجِه، حتى اقترح بعضهم أن تكون النقودُ غيرَ قابلةٍ للاكتناز بأن يحدَّدَ لها تاريخُ إصدارٍ، ومن ثَمَّ تفقِدُ قيمَتَها بعد مُضيِّ مدَّة معيَّنة من الزمن، فتبطُلُ صلاحيتها للادِّخار والكَنْز

“Oleh karena itu, penetapan zakat atas uang (termasuk di dalamnya emas dan perak) merupakan rencana aksi yang terbaik untuk mengeliminasi aktifitas menahan dan menimbun uang. Itulah penyakit kronis yang selalu diupayakan penyembuhannya oleh para pakar ekonomi. Agar tidak lagi dapat ditimbun, sejumlah pakar bahkan merekomendasikan agar uang memiliki tanggal rilis, dimana nilai uang tersebut tidak lagi ada ketika telah melewati masa tertentu. Dengan begitu uang tersebut tidak berguna lagi untuk disimpan dan ditimbun.” [Fiqh az-Zakat, hlm. 242]

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id