PERTENGKARAN demi pertengkaran selalu terjadi setiap hari dalam rumah tanggaku. Seakan menjadi makanan harianku dan suami. Selalu terjadi pertengkaran, sekalipun tidak bertengkar, suamiku tetap bersikap dingin, kaku, cuek bahkan mendiamiku.
Akalasia Esaphagus, inilah awal ujian itu datang. Adikku Dika, divonis mengidap penyakit langka yang belum diketahui pasti penyebabnya. Penyakit yang membuat penderitanya akan sangat sulit untuk menelan, hanya bisa minum atau membuat makanan menjadi benar-benar cair untuk bisa tetap memberi asupan ke tubuh.
Penyakit ini membuat tenggorokan adikku tidak berfungsi untuk menelan makanan, yang ada hanya rasa panas dan terbakar di tenggorokannya saat menelan. Jika tidak dalam bentuk cairan, makanan-makanan yang masuk akan keluar kembali. Aku tidak bisa menahan air mataku, setiap kali melihat kondisi Dika, adikku.
Orangtuaku bukanlah orang berada, memiliki lima orang anak dan aku adalah yang ketiga, sementara Dika adalah adik lelaki bungsuku. Dalam keluarga, bisa dibilang akulah satu-satunya yang memiliki kemampuan finansial yang lebih baik dari kakak dan adikku yang lain. Walaupun masing-masing kami telah berkeluarga, terkecuali Dika.
Inilah yang membuatku berjibaku mencari informasi pengobatan dan mengurus adikku yang sedang melawan penyakit Akalasia Esaphagus. Waktu, tenaga, dan tentunya biaya kubagi antara kehidupan rumah tanggaku dan juga pengobatan medis Dika. Allah, izinkan hamba membantu adik hamba, tanpa sedikitpun melupakan kewajiban hamba sebagai seorang istri dan ibu.
Hari demi hari berganti menjadi berbulan-bulan, entah sudah berapa bulan Dika sakit dan alhamdulillah aku tetap dipercaya Allah untuk mengurus Dika dari semua hal. Hingga pada akhirnya, suamiku meradang, ia marah. Alasan kemarahannya adalah aku terlalu fokus pada adikku, sampai tak mempedulikan dan mengurusi dirinya dan juga anakku.
Astaghfirullah, mengapa suamiku merasa demikian? Sedang ia melihat sendiri aku masih setia mengurusnya dan anak kami. Aku harus mengurangi waktuku mengurus Dika, dan yang tidak pernah kusangka adalah, ia melarangku membantu biaya pengobatan medis Dika.
Di sudut kamar Dika, aku duduk memperhatikan tubuh ringkihnya. Hatiku penuh tanya, mungkin ada berjuta tanya dalam hati. Bagaimana ini, aku berada di pilihan yang benar-benar sulit sepanjang hidupku. Satu sisi aku adalah istri yang harus menuruti perkataan dan perintah suami, sebagai imamku, sedang di satu sisi ada sosok lemah yang perlu aku bantu. Ya Allah, berikan jalan terbaik dari dua persimpangan ini.
Seorang teman, memberiku saran untuk salat istikharah dan mendirikan salat tahajud di setiap malamku. “Tanyakan pada-Nya dengan kesungguhanmu” begitu isi pesan terakhir teman ku. Setiap hari ku isi hari dengan salat istikharah dan tidak lupa dua rakaat di pertiga malamku.
Ada banyak cara Allah menjawab doa hamba-nya, dan mungkin inilah salah satunya. Tepat selesai tahajud, teman yang sama mengirim ku pesan.
“Assalammuallaikum Dewi, apakabar mu ? Maaf aku mengganggu tidurmu. Cuma ingin mengingatkan untuk tahajud. Wassalam”
“Walaikumsalam. Baik san, kamu sendiri gimana kabar? Alhamdulillah aku baru selesai tahajud” balasku.
“Alhamdulillah, begitupun dengan ku. Sudah mendapat jawaban atas kegalauan mu ?”
“Belum san, tapi keinginan untuk mengobati Dika selalu ada dalam pikiranku. Bahkan kian semangat. Tapi apalah daya san, istri harus menuruti suami bukan ?”
Lama kuterima balasan pesan dari Santi, temanku. Menjelang berakhirnya waktu subuh. Balasan pesan dari Santi seakan menjadi jawaban dari Allah dan memperkuat niatku membantu Dika.
“Dew, maaf sebelumnya. Bukan maksudku membuatmu menjadi istri durhaka dan tidak menuruti suamimu. Tapi, bisakah kau merasa ini seakan menjadi cara Allah membantumu membuat tabungan amal di Jannah-Nya melalui sakitnya Dika?. Dew, kita tidak tau kapan umur kita akan diambil, begitu juga dengan Dika. Mungkin dengan membantu pengobatan Dika, Allah juga sedang mempersiapkan atau mungkin menambah tabungan amal ibadahmu. Coba bicarakan lagi dengan suamimu. Kamu membantu orang sakit, bukan membantu orang melakukan kejahatan atau maksiat. Bismillah, yakinlah Allah bersama orang yang berniat baik.”
Siang itu juga, aku membicarakan kembali pada suami tentang niatku membantu biaya pengobatan Dika. Sungguh disayangkan, suamiku tetap pada keras hatinya, dengan alasan anak kami membutuhkan biaya sekolah. Aku meminta maaf pada suamiku, sungguh sangat memohon maaf. Aku tetap pada niatku, membantu Dika semampuku sampai Allah sendiri yang menghentikan kemampuanku.
Keesokan harinya, kubawa Dika ke salah satu rumah sakit terbaik di kotaku. Bermodal informasi dari temanku yang seorang dokter, bahwa RS tersebut sedang melakukan riset tentang Akalasia Esaphagus kubawa Dika ke sana. Muncul satu pertanyaan lagi di depanku, relakah aku menjadikan Dika kelinci percobaan riset mereka?
Bismillah, dengan yakin aku merelakan Dika dijadikan objek riset mereka. Allah, aku percaya atas kuasa dan rencana-Mu, berikan hasil terbaik untuk Dika. Aku percaya, apapun dariMu adalah yang terbaik untuk hamba-Mu.
Waktu berlalu, berkali-kali sudah Dika menjalani pengobatan di rumah sakit terbaik itu. Terlalu banyak teknik pengobatannya, sampai aku sendiri sulit mengingatnya. Tapi benar adanya, manusia hanya bisa berencana, dan serahkan hasil akhir pada sang pemilik rencana terbaik. Hari ini untuk pertama kalinya ku lihat Dika makan bubur bercampur potongan roti. Rasanya sudah lama tidak melihatnya makan senikmat itu. Walau belum sembuh total, setidaknya kondisi Dika sudah berkurang dan lebih baik dari sebelum ia dijadikan kelinci percobaan. Dan hubunganku dengan suamiku? alhamdulillah, Allah membuka pintu hati suami ku, ia sadar atas keegoisan dan ketakutannya selama ini. Alhamdulillah.. rasa syukur tiada henti ku panjatkan pada-Nya atas kondisi Dika. Dan rasa syukur yang khususku sampaikan pada pemilik hati atas hubunganku dengan suami yang semakin membaik mengikuti membaiknya kondisi Dika. []
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301846/suamiku-izinkan-aku-tak-menurutimu-satu-kali-saja#sthash.tlMF5wlt.dpuf