Teguh Menjaga Amal

Amal saleh, baik yang bersifat mahdah (ritual) maupun ghair mahdah(sosial), perlu dijaga dengan terus-menerus melakukannya atau konsisten tanpa pernah bosan apalagi sampai berhenti.

Nabi SAW bersabda, Jangan membiasakan ibadah, lalu meninggalkannya. (HR ad Dailami). Allah sangat menyukai orang yang melakukan hal seperti itu, meskipun sedikit. Nabi ber sabda, Amal (kebaikan) yang disukai Allah ialah yang langgeng meskipun sedikit.(HR al-Bukhari).

Dikisahkan, pada suatu ketika, Alqamah pernah bertanya pada Ummul Mukminin Aisyah mengenai amal ke seharian Rasulullah, Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal? Aisyah menjawab, Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Jika beliau beramal, be liau selalu terus-menerus me la kukannya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ibnu Rajab dalam kitabnya, Fath al- Bari, menjelaskan, Nabi selalu melakukan amal secara konsisten dan melarang memutuskan atau meninggalkan amal begitu saja. Dalam hadis di se but kan, Nabi pernah melarang melakukan hal ini kepada Abdullah bin Umar (Ibnu Umar).Nabi mencelanya karena meninggalkan amal (absen) shalat malam. Nabi berkata kepadanya, Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dahulu dia biasa mengerjakan shalat malam, tetapi sekarang dia tidak me nger jakannya lagi.(HR al-Bukhari dan Muslim).

Sementara itu, Imam Hasan al- Bash ri, seperti dikutip Ibnu Rajab dalam kitabnya yang lain, al-Mahajjah fi Sair ad-Duljah, berpesan kepada kita, Wahai kaum Muslimin, konsistenlah dalam ber amal, konsistenlah dalam beramal.Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan akhir amal dari seseorang selain ke matiannya. Jika setan melihatmu konsisten dalam melakukan amal ketaatan, dia pun akan menjauhimu.

Namun, jika setan melihatmu beramal kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, setan pun akan makin bersemangat untuk menggodamu.

Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, begitulah amal yang dilakukan, meskipun sedikit tetapi terus-menerus dijaga. Pahalanya kian bertambah banyak. Pesan untuk menjaga amal saleh ini setidaknya berintikan pada dua hal. Pertama, agar kita terbiasa beribadah atau beramal dalam kehidupan kita karena hal itu menjadi jalan kita mendapatkan pahala dan keridhaan Allah. Kedua, agar kita menjadi orang yang rajin, tidak malas- malasan, apalagi beramal saleh dalam wujud ibadah mahdahyang merupakan takarub kepada Allah.

Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim, mengatakan, Ingatlah bahwa amal sedikit yang konsisten dilakukan akan melanggengkan amal ketaatan, zikir, takarub kepada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amal tersebut diterima oleh Allah. Amal sedikit yang rutin dilakukan juga akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amal yang sedikit tetapi sesekali saja dilakukan.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya, Fath al-Bari, menjelaskan, dengan melakukan amal secara rutin meskipun sedikit maka akan ber ke sinam bunganlah ketaatan dalam bentuk zikir, merasa diawasi oleh Allah, men jaga keikhlasan, dan hati senantiasa terhu bung kepada Allah. Berbeda halnya dengan amal yang sekaligus banyak dan berat. Hingga sesuatu yang sedikit tetapi rutin lebih cepat penambahannya daripada banyak tetapi terputus.

Melakukan satu amal saleh terkadang lebih mudah dibanding menjaganya di lain waktu. Rasa malas, bosan, dan enggan kerap kali menghalangi untuk itu. Di sinilah salah satu ujian besar dan berat seorang beriman yang sesungguhnya. Apakah ia berhasil melewati halangan itu, lalu dengan penuh semangat dan tulus menjaga amal untuk terus dilakukan, atau tidak. Nabi pernah mengingatkan bahwa Allah tidak akan pernah bosan memberikan pahala sampai seseorang bosan beramal (HR al-Bukhari).

REPUBLIKA

Ketika Amal tak Cukup Untuk Menerangi Alam Kubur

KEMATIAN adalah sesuatu yang pasti terjadi dalam hidup kita, karena itu sudah menjadi salah satu fase kehidupan.

Ketika jasad telah masuk ke dalam kubur, dan jasad kita telah tertutup rapih di dalam tanah, maka saat itulah kita mulai memasuki alam Barzah atau alam kubur. Di mana ketenangan atau pun kegelisahan kita di dalamnya itu tergantung amal kita saat ini.

Ketika amal tak cukup untuk menerangi alam kubur, di sanalah siksa kubur mulai terasa. Lalu, apa saja penyebab dari siksa kubur itu? Siksa kubur memiliki beberapa faktor penyebab, di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut:

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata bahwa Nabi pernah melewati dua kuburan, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya penghuni kubur sedang disiksa, keduanya tidak disiksa dalam masalah yang berat, salah satunya karena tidak menjaga dari air kencing, adapun yang kedua dia suka mengadu domba.”

Lalu Rasulullah SAW mengambil pelepah kurma yang masih basah dan membelahnya menjadi dua dan menancapkan pada masing-masing kubur satu buah. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa engkau lakukan ini?” Beliau menjawab, “Agar diringankan siksa keduanya selama belum kering.”

Dalam hadis tersebut menjelaskan kepada umatNya tentang sebagian faktor penyebab azab kubur yaitu meremehkan najisnya air kencing dan namimah.

Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata, “Sebagian ulama menyebutkan rahasia di balik pengkhususan air kencing dan namimah sebagai faktor siksa kubur, yaitu karena alam kubur adalah rumah utama menuju kampung akhirat.”

Kemaksiatan yang akan diberi balasan besok pada hari kiamat ada dua macam: Hak Allah SWT dan hak hamba. Hak Allah SWT pertama kali yang diadili adalah shalat, sedang hak hamba adalah darah.

Ada pun Barzah adalah tempat untuk mengadili perantara dua hak tersebut. Perantara shalat adalah suci dari hadas dan najis, sedangkan perantara pertumpahan darah adalah namimah dan mencela kehormatan. Jadi, di alam Barzah dimulai untuk membalas kedua perantara tersebut. [ ]

Sumber: 1001 Siksa Alam Kubur, Karya: Ust. Asan Sani ar Rafif, Penerbit: Kunci Iman

 

INILAH MOZAIK

Seorang Mukmin Tak Beramal demi Tujuan Dunia

ADAPUN seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan tidak menginginkan mendapatkan dunia sama sekali.

Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak ridho jika mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka pun tidak mencari-cari dunia karena yang selalu mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan untuk senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap pada kehidupan akhirat. Mereka sama sekali tidak menyukai untuk disegerakan balasan terhadap kebaikan yang mereka lakukan di dunia. Akan tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa ada rasa keinginan sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak terhadap dunia, maka dia boleh mengambilnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari Umar bin Khottob,

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sekali lagi, begitulah orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun tidak, amalan sholehnya tidak akan pernah berkurang. Karena orang mukmin sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu mengharap dunia dengan amalan sholehnya, dia akan bersikap berbeda. Jika dia diberi nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak diberi, dia akan murka dan marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia murka karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung menghampirinya padahal dia sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah sebabnya orang-orang seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian.

 

INILAH MOZAIK

Amalan Sedikit tapi Rutin Itu Lebih Baik

“AMALAN yang paling dicintai Allah Taala adalah amalanyang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR.Muslim)

“Sesungguhnya sebaik-baik amal adalah yang paling kontinu meski ia sedikit.” ( HR.Ibnu Majah)

Imam Nawawi menasihatkan,

“Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin dilakukan. Itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sekali saja dilakukan. Ingatlah, bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, zikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Allah. Amalan sedikit yang rutin dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang banyak namun sesekali dilakukan.”

Amalan yang kontinu itu, meski ia sedikit, tapi kita akan terus mendapatkan pahalanya. Sampai pun ketika kita berhalangan melakukannya karena ada uzur, maka kita tetap akan dihitung memperoleh pahalanya.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Jika seseorang sakit atau melakukan safar (bepergian), maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalanrutin yang dia lakukan ketika mukim (atau tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.” (HR.Bukhari)

Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja, meski jumlahnya banyak, maka pahalanya akan terhenti pada waktu kita beramal.

“Sesungguhnya bangunan di surga dibangun oleh para malaikat disebabkan amalan zikir yang terus dilakukan. Apabila seorang hamba mengalami rasa jenuh untuk berzikir, maka malaikat pun akan berhenti dari pekerjaannya tadi. Lantas malaikat pun mengatakan, “Apa yang terjadi padamu, wahai fulan?”

Sebab malaikat bisa menghentikan pekerjaan mereka karena orang yang berzikir tadi mengalami kefuturan (kemalasan) dalam beramal.” (Imam Hasan Al-Bashri)[Chairunnisa Dhiee]

 

INILAH MOZAIK

Amal Membahagiakan Hati

CAPEK yang disebabkan berbuat sesuatu yang disenangi Allah adalah membahagiakan. Merasa senang dengan berbuat sesuatu yang tidak disuka Allah adalah melelahkan pada akhirnya. Kondisi hati itu terus berputar mengikuti zona dan radius pekerjaan kita. Baiknya amal akan membahagiakan hati, jeleknya amal akan menggelisahkan hati.

Capek karena berbuat sesuatu yang memiliki tujuan itu akan terbalaskan dengan lega hati. Senang menikmati sesuatu yang tak bertujuan itu pada akhirnya akan membuat capek. Capek dengan berbuat sesuatu yang tak memiliki tujuan apapun adalah salah satu bentuk dari kegoblokan dan kesia-siaan. Berbuatlah yang bertujuan, dan jadikanlah ridla Allah sebagai tujuan akhir.

Lakukan segala kebaikan yang mungkin dilakukan, sekecil apapun. Jangan pernah menunggu hal-hal besar untuk dilakukan sementara yang dimampu hanyalah hal-hal kecil. Manusia itu sesungguhnya akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dimiliki, bukan atas apa yang belum dimiliki. Manfaatkan semaksimal mungkin apa yang bisa dimiliki untuk kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat nanti.

Dulu dan juga kini, di masjidil haram ada seorang lelaki yang pekerjaannya sejak pagi hingga sore adalah mengambilkan bergelas-gelas air zamzam untuk jamaah yang kehausan dalam ibadahnya. Ada yang menegornya dan bertanya kepadanya mengapa melakukan hal itu tanpa merasa capek padahal tak ada yang membayar.

 

Jawabannya: “Saya tak punya apapun yang bisa dipersembahkan untuk Islam kecuali tenaga mengangkut air. Saya tak punya ilmu untuk diajarkan. Saya tidak punya harta untuk disedekahkan. Saya tak punya keahlian untuk dipekerjakan. Tapi saya punya hati yang memerintahkan saya untuk berbuat demi ridla Allah dengan melayani hamba-hamba Allah.” Sambil terisak dan menghapus tetes air matanya dia berkata: “Hanya ini yang bisa saya lakukan. Semoga Allah berkenan.”

Pertanyaannya: “Apa yang bisa dan telah kita lakukan untuk Islam?” Salam, AIM. [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2344873/amal-membahagiakan-hati#sthash.yIL6U75Q.dpuf

Menyegerakan Amal

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali menukil ungkapan Al-Mandzir, “Aku mendengar Malik bin Dinar berkata kepada dirinya, ‘Celakalah kamu. Bersegeralah sebelum urusan datang kepadamu. Celakalah kamu. Bersegeralah sebelum urusan datang kepadamu.’ Sehingga, ia mengulangi yang demikian itu sampai 60 kali yang aku dengarnya dan ia tidak melihatku.”

Tindakan Malik bin Dinar tentu didorong oleh pemahaman yang kuat terhadap perintah Allah Ta’ala agar bersegera dalam beramal (QS Ali Imran: 133-134 dan QS al-Hadid: 21). Kata “segera” berarti tidak bisa dipisahkan dari waktu.  

Ibn Al-Jauzi dalam bukunya Shaid Al-Khatir mengatakan, “Seorang manusia mesti mengetahui nilai dan kedudukan waktu agar ia tak menyia-nyiakan sesaat pun darinya untuk sesuatu yang tak bisa mendekatkan diri kepada Allah.” 

Pemahaman mendalam terhadap nilai dan kedudukan waktu menjadikan ulama terdahulu amat selektif dalam memanfaatkan nikmat yang menurut Rasulullah kebanyakan manusia tertipu, yakni waktu. Fudhail bin Iyadh berkata, “Aku kenal orang yang menghitung perkataannya dari minggu ke minggu.”

Kemudian ada Dawud al-Tha’i, meski sedang membuat adonan roti, lisannya tak pernah kering dari ayat-ayat Alquran. “Antara membuat adonan dan makan roti aku telah berhasil membaca 50 ayat.”

Suatu hari seseorang berkata kepada Amir bin Abd Qais (55 H), murid dari Abu Musa al-Asy’ari, “Berhentilah, aku ingin berbicara kepada Anda!” Amir bin Abd Qais pun menjawab, “Coba hentikan matahari.”

Sikap Amir bin Abd Qais itu menunjukkan bahwa dirinya telah menetapkan beragam amal di setiap pergantian waktu sehingga menjadi tidak mungkin dirinya meluangkan waktu kepada orang yang secara tiba-tiba memintanya untuk berhenti tanpa niat dan tujuan yang jelas.

Kebanyakan manusia memang cukup longgar dalam menggunakan waktu, terutama pada malam hari. Kebanyakan menghabiskan waktu dengan mengobrol yang kurang, bahkan tidak berguna sehingga tidur sangat larut yang menjadikan sebagian waktu siang habis untuk tidur atau berfoya-foya di keramaian. Dirinya seakan lupa bahwa kematian bisa datang kapan saja.

Seorang pemuda yang gagah dan memiliki warisan harta melimpah tetapi tidak pernah bersegera dalam amal saleh justru tenggelam dalam beragam jenis kemaksiatan dan terus asyik menunda-nunda tobat. Sangat mungkin mengalami kebinasaan bersebab ajal yang datang tiba-tiba.

Oleh karena itu, Islam mengutuk kebiasaan menunda-nunda suatu pekerjaan ataupun menghafal, mempelajari, memahami dan menguasai ilmu. Sebab, waktu akan habis bila ditunda-tunda dan tidak ada lagi cita-cita, kecuali tinggal cerita. Benarlah pepatah Arab yang mengatakan, “Waktu itu bagaikan pedang, jika kau tak memanfaatkannya, ia akan menebasmu.”

Lantas, jenis amal yang mana yang mesti disegerakan? Mengacu pada ayat 134 surah Ali Imran, amalan tersebut meliputi: menafkahkan harta baik dalam kondisi lapang maupun sempit, menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang.

Dalam soal menafkahkan harta di jalan Allah, Sayyidah Aisyah RA sangat patut kita teladani. Suatu waktu Ibn Zubari memberikan uang sebesar 100 ribu dirham. Aisyah menerima uang itu dan langsung membagi-bagikannya kepada fakir miskin. Sampai-sampai, Ummu Dzarrah berkata, “Wahai Ummul Mukminin, tidak bisakah engkau membelikan kami sepotong daging satu dirham saja?”

Aisyah menjawab, “Jangan keras-keras kepadaku. Andai engkau mengingatkan aku, niscaya aku akan membelinya.” Aisyah RA benar-benar tidak mau ketinggalan momentum sehingga jika ada kesempatan bersedekah, hal itu akan dilakukan tidak saja dengan bersegera, tetapi juga seluruhnya disedekahkan.

Karena itu, terhadap amal saleh bersegeralah. Pesan Nabi, “Ambillah kesempatan lima sebelum lima, yaitu mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, kekosonganmu sebelum kesibukanmu, dan hidupmu sebelum matimu” (HR Ibn Abi al-Dunya). Insya Allah surga seluas langit dan bumi sedang berhias menanti penuh cinta kehadiran kita. Wallahu a’lam.

 Oleh Imam Nawawi