Beramal karena Allah

Anjuran untuk beramal sembunyi-sembunyi ini bukan berarti larangan beramal secara terang-terangan.

Kewajiban seorang Muslim dalam kehidupannya adalah beramal saleh dan beribadah kepada Allah dengan ikhlas semata-mata karena Allah, mengharapkan keridhaan dan pahala semata-mata dari-Nya. Dalam beramal dan beribadah ini, manusia tidak diperkenankan untuk pamer atau riya dengan tujuan agar orang-orang memuji-muji, menyanjung-nyanjung, dan mengaguminya sebagai ahli amal atau ahli…

KHAZANAH REPUBLIKA

Beramal Pahalanya Diberikan pada Orang Lain, Boleh?

Sewaktu kecil, saya lebih banyak dirawat nenek, karena orangtua sibuk bekerja. Sekarang nenek sudah wafat, dan saya ingin membalas budinya.

Bagaimana cara dan usaha terbaik kami dalam beramal tapi amalan tersebut kami tujukan untuk nenek? Apa yang mesti kami lakukan sebagai cucu untuk membalas budinya?

 Z di kota S

 Jawab:

 Kakek atau nenek memang tidak sama dengan orangtua (ayah atau ibu). Akan tetapi secara hirarkis, kedudukan mereka dalam nasab sangat dekat. Kakek bisa menjadi wali ketika ayah tidak ada atau berhalangan, demikian juga sebaliknya. Dalam hal waris, juga demikian.

Anda sangat beruntung. Ketika orangtua Anda sibuk bekerja, maka nenek yang merawat, membesarkan, membimbing, dan mendidik dengan penuh kasih sayang.

 Setelah nenek wafat, ada beberapa amalan yang bisa dilakukan, di antaranya:

Pertama, mendoakan. Selain mendoakan orangtua, jangan lupa juga kakek nenek. Lafaznya bisa sama dengan doa untuk orangtua, hanya saja diniatkan untuk nenek.

 Doa untuk orang yang sudah wafat itu tidak terbatas hanya untuk keluarga, tapi makbul juga untuk semua orang yang telah meninggal dunia.

Rasulullah SAW bersabda, 

دَعْوةُ المرءِ المُسْلِمِ لأَخيهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابةٌ، عِنْد رأْسِهِ ملَكٌ مُوكَّلٌ كلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بخيرٍ قَال المَلَكُ المُوكَّلُ بِهِ: آمِينَ، ولَكَ بمِثْلٍ” رواه مسلم

“Doa seorang Muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa yang mustajab. Di sisi orang yang akan mendoakan saudaranya itu ada malaikat yang bertugas mengaminkan doanya. Tatkala dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan malaikat tersebut akan berkata: “Amin”. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (Riwayat Muslim).

 Kedua, bersedekah atas namanya. Semua ulama sepakat bahwa pahala sedekah yang diniatkan untuk orang lain, terutama untuk orangtua, termasuk kakek atau nenek, juga anak-anak, tidak terhalang atau diterima Allah SWT.

Dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah SAW bersabda:

 أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

Suatu hari ibu dari Sa’ad bin Ubadah RA meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. “Wahai Rasulullah, ibu telah meninggal dunia sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya, apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?” Nabi menjawab, “Ya, bermanfaat.” Kemudian Sa’ad berkata, “Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya.” (Riwayat Bukhari).

 Ketiga, membadalkan haji dan umrah atas namanya. Syaratnya, anak atau cucu sudah melaksanakan haji atau umrah atas dirinya sendiri. Bisa juga meminta bantuan orang lain untuk menghajikan orangtua, anak, atau kakek neneknya.

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ « حُجِّى عَنْ أَبِيكِ ».

Dari Ibnu Abbas, ada seorang wanita yang pernah bertanya pada Nabi SAW mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.”… (Riwayat Bukhari dan Muslim).

 Keempat, membayar utang nazarnya. Jika ahli waris mendapati orangtua, kakek nenek, atau anaknya pernah bernazar dan itu belum dilaksanakan, maka mereka berkewajiban untuk memenuhinya. Nazar adalah utang, dan utang kepada Allah SWT lebih utama untuk didahulukan.

 Sa’ad bin Ubadah RA pernah meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, 

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

“Ibuku telah meninggal dunia, namun dia memiliki nazar (yang belum ditunaikan).”

Nabi lantas bersabda:

 اقْضِهِ عَنْهَا

 “Tunakan nazar ibumu.”  (Riwayat Bukhari).

 Kelima, amalan shalih dari anak yang shalih. Diniatkan atau tidak, semua amal shalih yang dilakukan anak yang shalih, termasuk cucu yang shalih, sangat bermanfaat bagi orangtua yang telah meninggal dunia. Amal shalih ini merupakan investasi yang pahalanya akan mengalir kepadanya. Berbahagialah orangtua yang memiliki anak shalih yang berbuat shalih.

 Dari A’isyah RA, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri.. Dan anak merupakan hasil jerih payah orangtua.” (Riwayat Abu Daud dan an-Nasa’i).*

*Anggota Dewan Pertimbangan DPP Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Yang Manakah Niat Kita saat Beramal?

NIAT seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)

INILAH MOZAIK

Mereka yang Beramal karena Omongan Orang

Ikhlas adalah perjuangan sampai akhir usia, dan  ini adalah sebuah nasehat untuk hati yang sedang berjuang dalam kaikhlasan

Ikhlas, Sebuah Usaha Menuju Surga

Surga, adalah cita-cita setiap insan. Namun tentu jalan menuju ke sana membutuhkan perjuangan berat. Di antaranya adalah dengan berusaha mengikhlaskan karena Allah ta’ala segala aktivitas yang kita kerjakan. Sebagaimana perintah-Nya,

“قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ”

Artinya: “Katakanlah sesungguhnya shalatku, sembelihanku, kehidupanku dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam”. QS. Al-An’am (6): 162.

Mereka yang Beramal karena Omongan Orang

Namun sadarkah kita, seringkali kita berbuat sesuatu atau meninggalkan sesuatu hanya karena omongan orang? Padahal bisa jadi sesuatu yang kita perbuat itu jelek dan sesuatu yang kita tinggalkan itu baik.

Ada orang tidak ke masjid, karena khawatir diomongin tetangga sok alim. Ada muslimah tidak pakai jilbab menutup aurat, karena ndak enak diomongin sok suci. Semua itu hanya karena takut omongan orang atau tidak enak dengan komentar orang.

Ketahuilah bahwa omongan orang itu tidak ada habisnya dan keridhaan mereka adalah sesuatu yang mustahil untuk diraih. Sebab apa yang disukai si A belum tentu disukai si B. Begitu pula sebaliknya. Lebih baik kita mencari ridha Allah yang sudah jelas pasti mungkin dicapai.

Saat Anda menjadi baik, orang yang jahat tidak akan suka. Sebaliknya ketika Anda menjadi jahat, orang yang baik juga tidak akan suka. Mendingan Anda menjadi orang baik.

Nasehat Untukmu yang Berjuang untuk Ikhlas

Satu hal penting yang harus kita ingat, bahwa saat kita meninggalkan kebaikan atau melakukan keburukan; dikarenakan omongan orang, ingat bahwa orang tersebut tidak akan membantu kita kelak di akhirat! Dia tidak akan menolong kita saat masuk neraka. Juga tidak akan membantu kita untuk masuk surga. Jadi untuk apa omongan dia kita pertimbangkan?!

Masih segar dalam ingatan kita kisah Abu Thalib; pamanda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang enggan masuk Islam. Tahukah Anda apa yang melatarbelakangi keputusan fatal tersebut? Tidak lain karena kekhawatiran beliau terhadap omongan kaumnya! Dia bersyair,

وَلقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ دِينَ مُحَمَّدٍ … مِنْ خَيرِ أَدْياَنِ البَرِيَّـةِ دِيناًلَوْ لَا المَلاَمَةَ أَوْ حَذَارَ مَسَبَّةٍ … لَوَجَدْتَنِي سَمْحًا بِذَاكَ مُبِيناً

“Sungguh, aku yakin bahwa agama Muhammad adalah agama terbaik di muka bumi ini
Andaikan bukan karena celaan dan khawatir adanya ejekan, engkau akan mengetahui diriku menerima secara terang-terangan”.

Imam Syafi’i berpetuah, “Barang siapa mengira ia bakal selamat dari omongan orang, sungguh ia adalah orang yang tidak waras. Sebab Allah saja tidak selamat dari omongan orang. Ada yang mengatai-Nya tiga. Begitu pula Muhammad tidak selamat dari omongan orang. Ada yang mengatai beliau tukang sihir dan orang gila”.

Jadi, anggaplah omongan orang itu bagaikan bongkahan-bongkahan batu besar. Engkau akan rugi bila bongkahan-bongkahan itu engkau letakkan di atas pundakmu. Sebab lama kelamaan pundakmu akan ambruk. Sebaliknya engkau akan beruntung, saat kau tumpuk bongkahan-bongkahan itu di bawah telapak kakimu. Karena engkau akan semakin tinggi berpijak di atasnya.

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc. MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52970-beramal-karena-omongan-orang.html

Menjaga Niat dalam Beramal

ORANG yang ikhlas akan tetap bersungguh-sungguh dalam beramal, tidak terpengaruh apakah ia sedang sendirian ataukah sedang berada di keramaian.

Tetapi jikalau amal yang dilakukan secara terang-terangan itu dilandasi niat supaya orang lain mendapatkan hikmah, maka in syaa Allah akan bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.

Sahabat yang baik, marilah kita terus melatih diri kita untuk peka membaca perubahan isi hati ketika beramal. Sehingga kita semakin terlatih untuk menjaga keikhlasan kita.

Setiap amal bergantung kepada niatnya. Semoga kita tergolong hamba-hamba Allah SWT yang senantiasa ikhlas. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [*].

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Niat, Beramal Mengikuti Perintah Hati

BILA amal yang satu bisa diniati sebagai beberapa kebaikan, tentu pahalanya menjadi berlipat-lipat. Tetapi, ini membutuhkan ‘kecerdasan’. Imam al-Tirmidzi menggarisbawahi hal ini dalam salah satu bab pada kitabnya, Riyad-hat al Nafs.

Niat secara bahasa berarti bangkit. Dalam hal ini, bangkit menuju Allah swt hingga sampai Sidrat al-Muntaha tatkala jalan ke sana terbuka. Jika ternyata hamba tertahan di jalan, sesuatu telah menahannya atau adab membuat jalannya tertutup. Namun, bagaimana pun juga ia bangkit dan beranjak dari tempatnya, entah menemukan jalan atau tidak.

Hati berkata kepada anggota badan yang melaksanakan amal, “Lakukanlah amal dengan gerakanmu dan ikutilah jejakku! Aku berdiri di pintu guna mencari rida-Nya.” Inilah yang disebut niat.

Dalam masalah niat, manusia terbagi atas beberapa tingkatan sesuai dengan kapasitas akal mereka. Karena itu, Rasulullah saw bersabda, “Manusia melakukan amal kebaikan dan mereka mendapat ganjaran sesuai dengan kadar akal mereka.”

Dari Abd al-Malik al-Jazari, Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa tidak menunaikan salat di saf pertama karena khawatir mengganggu atau menyulitkan muslim lain, sehingga ia salat di saf kedua atau ketiga, niscaya Allah melipatgandakan pahalanya di atas mereka yang salat di saf pertama.”

Dengan pemahamannya, hamba ini meraih tambahan pahala melebihi mereka yang berada di barisan pertama. Orang lain yang lalai dan tidak memahami ini tidak mendapatkan pahala tersebut. Itulah maksudnya perkataan: “Manusia mendapatkan pahala sesuai dengan kadar akalnya.”

Karena itu, Rasulullah saw bersabda, “Janganlah keislaman seseorang membuat kalian kagum sebelum kalian mengetahui kadar akalnya.”

Orang yang tak sungguh-sungguh, kalbu mereka terhijab oleh syahwat. Niat mereka adalah bila bangkit dengan kalbunya. Namun, bila mereka tak menemukan jalan ketika bangkit, mereka mereka berhenti di situ.

Adapun orang yang baginya pintu gaib dibukakan, hati mereka bangkit menuju maqam yang tinggi hingga mencapai posisi itu. Di sana ia menggapai rida Tuhan. Gerakan anggota badan dalam beramal mengikuti perintah hati. Inilah yang disebut niat. [Chairunnisa Dhiee]

 

INILAH MOZAIK

Beramal Selagi Hidup, Tak Menyesal Ketika Mati

BARU lahir diadzani, saat mati dishalati. Dari lahir menuju mati ternyata sependek waktu antara adzan dan shalat. Rentang waktu yang tak lama. Penungguan antara adzan dan iqamah shalat adalah waktu yang baik untuk berdoa dan berdzikir. Merugilah mereka yang mengisinya dengan hanya leha-leha dan bermainan saja.

Waktu yang sangat pendek untuk hidup kita sudah diisi dengan apa? Sudahkah kita menabung bekal untuk akhirat kita? Sudahkan kita beramal untuk menjadikan hidup kita lebih bermakna? Mari kita fokus untuk beramal shalih dan berhenti melakukan kesia-siaan.

Kata al-Qur’an, begitu banyak jenis manusia yang menyesal setelah mati dan meminta kepada Allah untuk dihidupkan kembali. Namun hidup di dunia ini cuma sekali untuk kemudian berpindah pada alam lain yang belum pernah dialami. Bahagia derita di alam berikutnya adalah ditentukan oleh amal kita hari ini.

Tak usah sibuk-sibuk mengerjakan pekerjaan orang lain atau mengurus dan ikut campur urusan orang lain dalam makna yang negatif. Cukup persembahkan yang terbaik dalam mengerjakan pekerjaan sendiri dan mengurusi urusan sendiri. Setiap orang memiliki amanah sendiri-sendiri.

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Amalan Setelah Beramal

Setelah kita melakukan suatu amal kebaikan, baik yang bersifat habluminallah maupun hablumminannas bukan berarti urusan selesai. Masih ada amalan lanjutan yang harus kita lakukan. Yakni, berdoa agar amal yang telah kita lakukan diterima oleh Allah SWT.

Berdoa agar amalan yang telah kita lakukan diterima oleh Allah SWT merupakan bentuk dari kekhawatiran diri kita atas amal yang telah dilakukan karena tidak setiap amal yang dilakukan itu diterima-Nya.

Allah SWT berfirman, Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan (QS al-Furqon [25]:23).

Khawatir terhadap amal yang telah kita lakukan yang dilanjutkan dengan berdoa semoga amal kita diterima-Nya merupakan bagian dari sikap seorang mukmin. Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, Sesungguhnya seorang mukmin mengumpulkan amal kebaikan dan rasa takut, sedangkan seorang munafik menggabungkan amal keburukan dan rasa aman.

Dalam Alquran, Allah SWT menjelaskan tentang hal ini, sebagaimana terdapat di dalam surah al-Mukminun (23) ayat 60, Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.

Aisyah RA mengatakan, Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?

Nabi SAW lantas menjawab, Wahai putri Ash Shidiq! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan, yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang shalat, tapi ia khawatir amalannya tidak diterima.

Sikap seperti ini diamalkan oleh para salafussalih.Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Aziz bin Abi Rawwad rahimahullah:

Aku perhatikan mereka bersungguh-sungguh dalam beramal saleh. Jika mereka telah merampungkannya, mereka pun merasa prihatin; apakah amal mereka itu diterima ataukah ditolak.

Bahkan, sikap ini pun dilakukan oleh para nabi dan rasul. Hal ini bisa kita lihat di dalam Alquran surah al- Baqarah (2) ayat 127, Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan, kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita raih bila kita membiasakan diri berdoa agar amal yang telah kita lakukan diterima oleh Allah SWT sebagai bentuk kekhawatiran kita terhadap amal yang telah kita lakukan.Pertama, akan menjauhkan diri kita dari sikap sombong atas amal yang telah kita lakukan.

Allah SWT berfirman, Dan Tuhanmu berfirman:’Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina (QS al-Mukmin [40]: 60).

Kedua, memotivasi diri kita untuk meningkatlan kualitas amal-amal yang akan kita lakukan. Karena ketika kita kekhawatiran amal tidak diterima berkumpul dengan keinginan agar amal kita diterima akan menjadikan kita bersungguh-sunnguh dalam setiap beramal. Ketiga, menghantarkan kita meraih kemuliaan. Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah dibandingkan doa(HR at-Tirmidzi).

 

OLEH MOCH HISYAM

REPUBLIKA

Seorang Mukmin Tak Beramal demi Tujuan Dunia

ADAPUN seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan tidak menginginkan mendapatkan dunia sama sekali.

Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak ridho jika mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka pun tidak mencari-cari dunia karena yang selalu mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan untuk senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap pada kehidupan akhirat. Mereka sama sekali tidak menyukai untuk disegerakan balasan terhadap kebaikan yang mereka lakukan di dunia. Akan tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa ada rasa keinginan sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak terhadap dunia, maka dia boleh mengambilnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari Umar bin Khottob,

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sekali lagi, begitulah orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun tidak, amalan sholehnya tidak akan pernah berkurang. Karena orang mukmin sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu mengharap dunia dengan amalan sholehnya, dia akan bersikap berbeda. Jika dia diberi nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak diberi, dia akan murka dan marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia murka karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung menghampirinya padahal dia sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah sebabnya orang-orang seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian.

 

INILAH MOZAIK