Bolehkah Perempuan Haid Wukuf di Arafah?

Bolehkah perempuan yang sedang haid melakukan wukuf di Arafah? Salah satu rukun haji yang harus dilakukan adalah wukuf di Arafah, wukuf di Arafah merupakan rukun yang sentral dalam ibadah haji. Sebagaimana hadits Riwayat Tirnidzi, Rasulullah SAW menyerukan:

الْحَجُّ عَرَفَةُ، مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعِ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ، 

Artinya: “Haji itu adalah wukuf di Arafah, barang siapa yang telah datang untuk wukuf di Arafah pada malam sebelum terbit fajar, maka ia sungguh telah mendapati haji.” (HR.Tirmidzi 889)

Dalam penjelasannya, diterangkan bahwa inti dari haji dan sebagian besar rukun-rukunnya adalah wukuf di Arafah, karena haji tidak sah jika wukuf di Arafah terlewatkan. Hal ini juga sependapat dengan yang dikatakan oleh Syekh Izzuddin Abdul Salam yang mengatakan bahwa sahnya haji tergantung pada wukuf di Arafah. (Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfauri, Tuhfah al-Ahwadzi, juz 3, hal 540)

Namun kemudian terdapat pertanyaan, apakah boleh perempuan yang sedang haid melaksanakan wukuf di Arafah?

Untuk menjawab itu, perlu kiranya kita ketahui bahwa terdapat dua kewajiban utama dalam pelaksanaan wukuf di Arafah. Pertama, wukuf harus dilakukan pada waktu yang ditentukan, yaitu mulai dari tergelincirnya matahari pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga terbitnya fajar shadiq pada hari Nahar (10 Dzulhijjah). Kedua, wukuf harus dilakukan oleh orang yang dianggap ibadahnya (ahlan lil ‘ibadah). (Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, Kifayatul Akhyar, hal 214)

Sehingga seseorang tetap dikatakan telah melakukan wukuf meski ia hanya berada di wilayah Arafah sebentar saja, atau bahkan ketika ia hanya tidur di Arafah. Dengan begitu, maka perempuan yang sedang haid tidak terlarang untuk melakukan wukuf di Arafah. Ini karena dua kewajiban wukuf hanya mencakup batas waktu wukuf dan seseorang yang dianggap mampu untuk beribadah (ahlan lil ‘ibadah).

Kendati demikian, terdapat keterangan mengenai beberapa adab yang dianjurkan untuk dipenuhi oleh seseorang yang melakukan wukuf di Arafah, yaitu sebagaimana keterangan dalam kitab al-Idlah:

السابعة: الأَفضلُ أن يكونَ مُسْتَقْبلاً لِلْقِبْلَةِ مُتَطهِراً سَاتِراً عَوْرَتَهُ فَلَوْ وَقَفَ مُحْدثاً أو جُنُباً أو حَائِضاً أوْ عَلَيْهِ نَجَاسَة أوْ مكشُوفَ الْعَوْرَةِ صَحَّ وقُوفُهُ وفَاتَتْهُ الفَضيلةُ

Artinya: “Kesunahan dan adab wukuf yang ketujuh: yang lebih utama adalah menghadap kiblat, suci dari hadats dan menutupi aurat. Sehingga jika seseorang wukuf dalam keadaan berhadast, junub, haid, terkena najis atau terbuka auratnya, maka sah wukufnya dan ia kehilangan keutamaan” (Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Idlah, hal 283)

Berdasarkan keterangan kitab tersebut, maka haid tidak menghalangi seseorang untuk melakukan wukuf. Karena suci dari hadats hanya merupakan adab, bukan syarat, walaupun itu berarti ia telah kehilangan keutamaan. Jika ia tidak takut kehilangan waktu wukuf, hendaknya ia menunggu dirinya suci.

Namun jika ditakutkan waktu wukuf segera habis, makai a boleh melakukan wukuf di Arafah meski dalam keadaan haid. Hal ini juga dikuatkan dengan keumuman hadits Rasulullah SAW, sebagai jawaban atas sayyidah Aisyah RA yang berada di Makkah sedang beliau dalam keadaan haid:

افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

Artinya: “lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh orang haji, kecuali kamu tidak melakukan thawaf di Baitullah hingga kamu suci” (Muttafaqun ‘alaih)

Dilihat dari hadits tersebut, dapat dipahami bahwa ketika seorang perempuan sedang melakukan ibadah haji, namun ia dalam keadaan haid, maka dia boleh melakukan apa saja yang menjadi ritual haji, kecuali thawaf. Termasuk menunjukkan kebolehan dan keabsahan dalam melakukan wukuf di Arafah. Perempuan tersebut bisa melakukan ibadah yang diperbolehkan ketika haid seperti berdzikir, dan sebagainya selama ia wukuf di Arafah.

Demikian penjelasan mengenai hukum keabsahan wukuf di Arafah bagi perempuan haid. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshowab.

BINCANG SYARIAH