Penyakit cinta dunia (hubbud-dunya) adalah penyakit berbahaya, maka janganlah jadi hamba dunia
PENYAKIT Cinta dunia (hubbud-dunya) adalah penyakit masyarakat yang secara fakta ada dan sudah ditegas sendiri dalam Al-Quran. Berapa banyak kasus di sekitar kita, bahkan yang terbaru seorang jenderal bintang dua membunuh anak buah sendiri hingga merekayasa fakta, tujuanya tidak lain menyelamatkan kecintaanya pada dunia dan isinya.
Benang merah yang bisa diambil pelajaran kasus terbaru ini adalah; bahaya cinta dunia itu merusak dirinya sendiri dan orang lain. Dengan perilakunya ini menyebabkan hak-hak orang terampas oleh manusia serakah, pengidap penyakit cinta dunia.
Rasulullah ﷺ telah lama mengingatkan masalah ini;
حب الدنيا رأس كل خطيئة
“Cinta dunia adalah biang keladi dari semua kesalahan.” (HR. Baihaqi).
Bahkan Sayyidina Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu pernah berujar dalam khotbahnya, “Dunia ini ibarat ladang tempat makan orang baik dan orang jahat.”
Jika melihat berbagai ayat Al Qur’an serta hadis Nabi, mayoritas “orang tidak baik” lah yang mendominasi kehidupan di dunia ini. Karena hampir tidak ada yang tidak “menoleh’ kepada dunia kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.
Imam Ghozali menyebutkan di dalam Ihya’ Ulumuddin bahwa ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang keburukan dunia sangat banyak sekali. Dan kebanyakan ayat-ayat Al Qur’an memuat mengenai keburukan (fitnah) dunia dan anjuran untuk memalingkan makhluk dari dunia serta mengajak kepada akhirat.
Zaid bin Arqom pernah bersama Sayyidina Abubakar Asshidiq Radiyallahu Anhu, saat itu beliau meminta minuman lalu diberikan kepadanya air dan madu. Maka ketika beliau telah kenyang dari minuman itu beliau menangis hingga sahabat-sahabatnya juga ikut menangis.
Lalu para sahabatnya itu diam dari tangisnya dan tidak demikian dengan Abubakar, beliau menangis lagi dan para sahabatnya menyangka bahwa Abubakar ada masalah yang mereka tidak mampu membantunya. Lalu Abubakar mengusap kedua matanya dan para sahabatnya bertanya, “Wahai Khalifah penerus Rasulullah ﷺ, apa yang membuat engkau menangis?”, Abubakar menjawab, “Aku pernah bersama Rasulullah ﷺ dan aku melihat beliau menolak sesuatu dari dirinya padahal aku tidak melihat seorangpun bersamanya. Maka aku bertanya kepada beliau apa yang engkau tolak tadi? Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda,
هذه الدنيا مثلت لي فقلت لها إليك عني ثم رجعت فقالت إنك افلت مني لم يفلت مني من بعدك
“Inilah dunia menampakkan diri kepadaku dan aku berkata kepadanya pergilah dariku kemudian dia kembali dan berkata sesungguhnya engkau (Rasulullah ﷺ) bisa lepas dariku namun tidak akan ada yang bisa lepas dariku sepeninggalmu.” (HR. Bazzar, Hakim, Baihaqi).
Lihat bagaimana angkuhnya dunia yang memproklamirkan diri di depan Rasulullah ﷺ bahwa tidak ada yang bisa lepas dari cengkeramannya (dunia) sepeninggal Nabi Muhammad ﷺ kelak. Hujjatul Islam Imam Al Ghazali menukil sebuah hadis di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dalam bab fitnah (kejelekan) dunia yang berbunyi,
حديث موسى بن يسار “ان الله جل ثناؤه لم يخلق خلقا ابغض اليه من الدنيا وانه منذ خلقها لم ينظر
اليها” اخرجه ابن ابي الدنيا من هذا الوجه بلاغا وللبيهقي في الشعب من طريقه وهو مرسل
“Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluk yang lebih dibenci daripada dunia. Dan sesungguhnya Allah tidak pernah melihat kepada dunia sejak Dia menciptakannya.” (HR. Ibnu Abi Dunya dan Baihaqi).
Lantas setelah melihat berbagai celaan kepada dunia yang banyak tersebar di Al-Quran dan Hadis Nabi tersebut, apakah itu artinya kita dilarang untuk ‘menikmati’ dunia? Tentu bukan demikian maksudnya.
Syeikh Abdul Wahhab As Sya’roni di dalam kitabnya mengatakan hendaknya kita meniru akhlak para Salaf Saleh dalam menyikapi dunia. Disebutkan oleh Imam Sya’roni bagaimana Salaf Saleh menyikapi dunia;
النظر إلى الدنيا بعين الاعتبار لا بعين المحبة لها وشهواتها، كما قد درج عليه جمهور السلف الصالح رضي الله عنهم
“Melihat kepada dunia dengan pandangan pertimbangan (untuk diambil pelajaran) bukan dengan pandangan cinta dan berkeinginan kepada dunia. Seperti yang dilakukan oleh mayoritas Salaf Soleh Radiyallahu Anhum” (Syekh Abdul Wahhab As Sya’roni, Kitab Tanbihul Mughtarin hal. 65, cet. Darul Kutub Islamiyyah Jakarta).
Hatim Al-A’shom pernah ditanya seseorang perihal kriteria manusia yang bisa menjadi Ahlul I’tibar,
وقيل لحاتم الأصم : متى يكون أحدنا من أهل الاعتبار فى الدنيا ؟
فقال : إذا رأى كل شيء فى الدنيا عاقبته إلى الخراب وصاحبه يذهب إلى التراب.
Ditanyakan kepada Hatim Al A’shom, “Kapan kita dianggap termasuk daripada orang yang bisa mengambil pelajaran di dunia? Hatim menjawab, “Tatkala sudah bisa melihat setiap sesuatu di dunia ini akibatnya adalah kehancuran dan pemilik (harta) dunia akan mati menjadi tanah.”
Maknanya adalah semua yang berkaitan dengan dunia akan musnah belaka, ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Quran,
كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُۥ ۚ لَهُ ٱلْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS: Al Qashash : 88)
Walhasil orang beriman telah diingatkan berkali-kali di dalam Al Qur’an bahwa dunia adalah kesenangan yang menipu (QS. Al Hadid : 20). Maka mewaspadai tipuannya adalah sebuah keniscayaan.
Imam Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menukil wasiat dari Ruhullah Nabi Isa Alaihis Salam yang berbunyi,
وقال عيسى عليه السلام : لا تتخذوا الدنيا ربا فتتخذكم عبيدا
“Jangan kalian menjadikan dunia sebagai Tuhan, maka dunia akan menjadikan kalian sebagai hamba.”
Barangsiapa yang menjadi hamba dunia maka dunia akan menghancurkannya sehancur-hancurnya baik secara cepat atau lambat. Dan itu yang kini sedang terjadi di belahan dunia manapun di akhir zaman ini.
Lihat bagaimana para koruptor dan penguasa zalim. Kehancuran hidup mereka pasti akan datang, dan jika masih bisa lepas di dunia, ingat pengadilan akhirat sudah menanti.
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip wasiat dari Nabi Isa ibnu Maryam Alaihis Salam yang bisa menjadi pegangan bagi orang beriman dalam menyikapi dunia. Beliau berkata,
وقال عيسى عليه السلام : لا يستقيم حب الدنيا والآخرة في مؤمن كما لا يستقيم الماء والنار في إناء واحد.
“Tidak (mungkin) tegak (akur) cinta dunia dan akhirat pada diri seorang mukmin seperti tidak akan bisa akur air dan api di dalam satu wadah.” Wallahu A’lam Bis Showab.*/ Muhammad Syafii Kudo, murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan