Faedah Sirah Nabi: Pensyariatan Azan

Berikut adalah kisah tentang pensyariatan azan dari Fikih Sirah Nabi.

Ajakan dan seruan untuk menyembah Allah telah dimulai sejak di Makkah. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pengikutnya mendapat banyak siksaan, cacian, dan rintangan dari kafir Quraisy dalam menyebarkan dakwah. Adapun fokus utama dakwah di Makkah adalah pembinaan tauhid dan pengokohan akidah yang lurus pada setiap sanubari manusia dan menyucikan mereka dari berhala-berhala yang telah mereka jadikan tuhan.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah dan hati pun telah tenteram dengan terbentuknya masyarakat muslim, maka mulailah turun beberapa syariat, seperti azan, pemindahan arah kiblat, puasa, zakat, jihad, dan sebagainya.

Awal Pensyariatan Azan

Nafi’ meriwayatkan: Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ketika orang-orang mukmin tiba di Madinah, mereka berkumpul dan saling menyeru untuk melakukan shalat, sebab belum ada saat itu seruan khusus untuk melakukan shalat.

Pada suatu hari, sebagian mereka berkata, “Pakailah naaqus (kayu panjang dipukul dengan kayu kecil), seperti naaqus-nya orang-orang Nasrani. Sementara sebagian yang lain mengatakan, “Pakailah buq (seruling jika ditiup mengeluarkan bunyi), seperti orang Yahudi mengumpulkan pengikutnya. Kemudian Umar bin Khaththab bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mengutus seseorang untuk menyerukan shalat?” Beliau berkata, “Wahai Bilal, banghun dan serukan shalat.” (HR. Bukhari, 2:77 dan Muslim, 4:75-76)

Pada awal mula pensyariatan shalat, orang-orang mukmin mengerjakannya tanpa ada satu seruan yang baku atau tetap sebagai pertanda telah masuknya waktu shalat. Namun, mereka saling mengajak dan mengingatkan sebagai pertanda waktu shalat telah tiba, lalu mereka pun berkumpul untuk menunaikannya. Hal tersebut memang menyulitkan dan menyusahkan, mungkin karena terlalu lama menunggu antara sesama mereka, atau sebagian lain terlambat sehingga ketinggalan dari shalat berjamaah. Kemudian mereka membicarakannya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi menyudahinya dengan memerintahkan Bilal untuk menyerukan shalat. Seruan tersebut hanya sebagai pemberitahuan waktu shalat dan bukan panggilan atau azan syari seperti sekarang ini, karena saat itu belum ada syariatnya.

Diriwayatkan oleh Sa’ad dalam Tabaqat-nya: Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebelum azan disyariatkan, mereka menyeru dengan seruan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘ash-shalaatul jaami’ah’, maka orang-orang pun berkumpul.”

Kemudian disyariatkan azan, sementara seruan ash-shalaatul jaami’ah masih berlaku, karena ia merupakan seruan yang sudah familiar, jika mereka mendengarnya, mereka pun hadir. Selain itu, seruan tersebut juga berfungsi sebagai pembuka dari pengumuman, seperti dibacalan pada pembukaan acara atau ketika Nabi menyuruh sesuatu. Oleh karena itu, seruan ash-shalaatul jaami’ah itu masih ada. Meskipun hal tersebut bukan pada waktu-waktu shalat.

‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bermimpi tentang azan. Diriwayatkan dari Abu Laila, “Shalat itu ada tiga kondisi. Kemudian Abu Laila berkata, ‘Para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan shalatnya kaum muslimin.” Dalam riwayat lain disebutkan dengan “kaum mukminin”. Mereka melakukannya secara serentak, lantas aku tertarik memperhatikan seseorang dari ketinggian mengajak manusia untuk shalat, mereka berdiri di atas atham (bangunan yang tinggi) sambil memukul naaqus (kayu panjang yang dipukul dengan kayu kecil) guna mengajak manusia untuk melaksanakan shalat. Ia berkata, “Kemudian datang seseorang dari Anshar seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat besarnya perhatianmu terhadap azan. Aku bermimpi melihat orang yang memakai baju hijau, berdiri di masjid kemudian mengumandangkan azan. Kemudian duduk sesaat, selanjutnya berdiri kembali mengumandangkan kalimat serupa dan menambah kalimat ‘qad qaamatish-shalaah’.” Ibnu Mutsanna berkata, ‘Katakanlah., aku dalam keadaan sadar, bukan tidur, kemudian beliau bersabda, (Ibnu Mutsanna berkata), “Allah telah memperlihatkan kepadamu suatu kebaikan. Ia tidak menyebutkan Amr. Allah telah memperlihatkan kepadamu suatu kebaikan. Maka suruhlah Bilal untuk mengumandangkan azan.” Kemudian Umar bin Khaththab berkata, “Aku telah bermimpi sama seperti mimpinya Abu Mutsanna, tetapi ia lebih dahulu menceritakannya sehingga aku pun malu menceritakannya kembali.” (HR. Abu Daud, no. 478, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dari Abu ‘Umair bin Anas berkata, “Nabi sangat memperhatikan shalat dan bagaimana cara mengumpulkan umat dalam melaksanakannya.” Lalu dikatakan kepadanya, “Pancangnkan bendera ketika telah masuk waktu shalat. Jika orang melihatnya, maka mereka akan memberitahukannya kepada yang lain. Namun, hal itu tidak membuat beliau tertarik. Lalu disebutkan juga kepada beliau agar menggunakan qan’u atau syabbur (alat yang digunakan untuk mengumpulkan orang).” Ziyad berkata, “Syabbur merupakan syiarnya orang Yahudi.” Kemudian disebutkan naaqus di hadapan Ziyad, ia pun berkata, “Itu merupakan syiarnya orang Nashrani.” Kemudian ‘Abdullah bin Zaid pergi sambil memikirkan kegelisahan Nabi. Pada saat ia tidur, ia pun memimpikan tentang azan.

Pada pagi harinya, ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan mimpi tersebut, kemudian ia berkata, “Ya Rasulullah, aku seperti berada dalam kondisi antara tidur dan sadar, kemudian datanglah kepadaku seseorang mengajarkan azan.” Abu Umair berkata, “Padahal Umar bin Khaththab telah mimpi serupa sebelum itu, tetapi ia menyembunyikannya selama dua pulu hari, kemudian baru ia memberitahukannya kepada nabi, beliau berkata kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk tidak memberitahukannya kepadaku?” Umar menjawab, “Abdullah bin Zaid telah mendahuluiku, lalu aku pun jadi malu untuk menceritakannya.”

Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Bilal, bangunlah dan perhatikan apa yang disampaikan oleh ‘Abdullah bin Zaid, dan lakukanlah!” Kemudian Bilal pun mengumandangkan azan.”

Abu Basyar berkata, “Abu Umair mengabarkannya kepadaku bahwasanya orang-orang Anshar menyangka bahwa sekirarnya saat itu ‘Abdullah bin Zaid tidak sakit, niscaya Rasulullah akan menjadikannya sebagai muazin.”

Dari ‘Abdullah bin Zaid berkata, “Ketika beberapa sahabat memberikan usulan kepada Nabi untuk menggunakan naqus dalam mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat, tiba-tiba saya bermimpi melihat seseorang dengan naqus di tangannya berputar di sisiku, kemudian aku berkata, “Wahai hamba Allah, apa engkau menjual naqus itu?” Ia menjawab, “Apa yang akan kamu perbuat dengan naqus?” Kemudian ‘Abdullah bin Zaid menjawab, “Sebagai seruan untuk shalat.” Kemudian ia berkata, “Maukah engkau aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?” ‘Abdullah menjawab, “Ya, mau.” Dia berkata, “Kumandanglah:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ

حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Tidak lama setelah itu, ia berkata, “Jika kamu mendirikan shalat, maka ucapkanlah:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ

حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Pada paginya, aku menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku kabarkan kepadanya apa yang ada dalam mimpiku. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar. Katakan kepada Bilal mengenai mimpimu itu, suruhlah dia mengumandangkannya. Sesungguhnya ia lebih baik suaranya dibandingkan kamu.” Kemudian aku menyampaikan kepada Bilal dan ia pun mengumandangkannya. Umar bin Khaththab mendengarnya dari rumah, lalu keluar dan menarik selendangnya seraya berkata, “Demi Rabb yang telah mengutusmu wahai Rasulullah, aku telah bermimpi seperti ‘Abdullah bermimpi.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah.” (HR. Abu Daud, sahih).

Begitulah proses pensyariatan azan shalat, yaitu pada awal mulanya tanpa seruan yang baku, kemudian seruan dengan lafaz ash-shalaatu jaami’ah, kemudian dengan cara dan lafaz yang khusus.

Pensyariatan azan dengan cara yang terakhir adalah pada tahun pertama Hijriyah.

Pelajaran dari Pensyariatan Azan

Pertama: Azan secara syari adalah pemberitahuan tentang telah masuknya waktu shalat dengan lafaz tertentu.

Kedua: Hikmah pensyariatan azan sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi:

  1. Sebagai syiar Islam.
  2. Sebagai syiar tauhid.
  3. Sebagai pemberitahuan akan masuknya waktu shalat sekaligus memberitahukan tempatnya.
  4. Seruan untuk melaksanakan shalat secara berjamaah.

Ketiga: Hikmah menggunakan seruan atau panggilan ketika shalat, tidak dalam bentuk perbuatan, karena ucapan itu lebih ringan, memudahkan semua orang dalam melaksanakannya pada segala tempat dan waktu.

Keempat: Pentingnya shalat berjamaah.

Kelima: Pentingnya musyawarah dalam mencapai mufakat.

Keenam: Agungnya suara azan karena mengandung dzikir yang sangat mulia.

Ketujuh: Hikmah disyariatkannya azan berdasarkan mimpi dan bukan berasal dari nabi sendiri menunjukkan tentang tingginya pujian beliau terhadap orang lain dan sebagai penghormatan baginya.

Keutamaan Azan

1- Setan menjauh saat mendengar azan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Apabila azan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqamah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari, no. 608 dan Muslim, no. 389)

2- Yang mendengar azan akan menjadi saksi bagi muazin pada hari kiamat

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَىْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah suara azan yang keras dari yang mengumandangkan azan didengar oleh jin, manusia, segala sesuatu yang mendegarnya melainkan itu semua akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 609). Termasuk juga di sini jika yang mendengar adalah hewan dan benda mati sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah. Dalam riwayat lain disebutkan,

الْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ وَيَشْهَدُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ

Muazin diberi ampunan dari suara kerasnya saat azan serta segala yang basah maupun yang kering akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 515; Ibnu Majah, no. 724; dan An-Nasai, no. 646. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dinilai oleh Al-Hafizh Abu Thahir). Termasuk juga yang mendengarnya adalah malaikat karena sama-sama tidak terlihat seperti jin. Lihat Fath Al-Bari, 2:88-89.

3- Kalau tahu keutamaan azan pasti akan jadi rebutan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا

Seandainya setiap orang tahu keutamaan azan dan shaf pertama, kemudian mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan berundi.” (HR. Bukhari, no. 615 dan Muslim, no. 437)

Fikih Azan

Syarat sah untuk muazin

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Tamyiz
  4. Laki-laki

Catatan: Azan wanita untuk laki-laki tidak boleh sebagaimana tidak sahnya wanita mengimami laki-laki.

  1. Mengeraskan suara
  2. Sudah masuk waktu shalat
  3. Mengetahui waktu-waktu shalat
  4. Azan mesti diucapkan secara berurutan
  5. Kalimat azan diucapkan secara berkesinambungan (muwalah)

Sunnah azan

  1. Berdiri
  2. Menghadap kiblat
  3. Dalam keadaan suci

Catatan: Disunnahkan muazin dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun hadats besar. Dimakruhkan muazin dalam keadaan berhadats, lebih-lebih lagi jika dalam keadaan junub.

  1. Baligh, lebih utama dari anak kecil yang tamyiz
  2. Adalah, bagus agamanya dan berakhlak mulia
  3. Suara muazin bagus
  4. Bisa melihat, yaitu melihat langsung waktu shalat
  5. Menoleh dengan leher (bukan dengan dada) ke kanan saat ucapan “hayya ‘alash sholaah” dan ke kiri saat ucapan “hayya ‘alal falaah”
  6. Mengucapkan dengan tartil, perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa
  7. Melakukan tarji’, mengucapkan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali, pertama secara lirih, kedua secara jahar
  8. Mengucapkan tatswib pada azan Shubuh (ash-shalaatu khairum minan nauum) setelah ucapan hayya ‘alash sholaah dan hayya ‘alal falaah
  9. Menetapkan dua muazin, ada yang mengumandangkan azan sebelum Shubuh dan ada yang setelah masuk Fajar
  10. Yang mendengarkan azan disunnahkan inshat (diam) dan ijabah (mengikuti azan)
  11. Shalawat kepada Nabi dengan suara lirih bagi muazin, bagi yang mendengar azan, lalu meminta kepada Allah wasilah dan berdoa kepada-Nya setelah selesai azan (dengan diberi jeda)
  12. Berdoa untuk diri sendiri karena waktu antara azan dan iqamah adalah waktu mustajabnya doa

Syarat iqamah

  1. Iqamah itu furada (umumnya satu kalimat yang diucapkan)
  2. Isra’ (cepat pengucapannya)
  3. Iqamah diulang untuk setiap shalat wajib, termasuk shalat yang dijamak atau shalat yang luput
  4. Sudah masuk waktu

Sunnah iqamah

  1. Menunggu jamaah
  2. Berpindah tempat
  3. Yang azan itulah yang iqamah
  4. Meninggikan suara untuk iqamah, tetapi lebih rendah dari suara azan
  5. Musafir boleh mengumandangkan iqamah di kendaraannya

Lima Amalan Ketika Mendengar Azan

Lima amalan tersebut telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebagai berikut:

(1) mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh muazin.

(2) bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan: ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD atau membaca shalawat ibrahimiyyah seperti yang dibaca saat tasyahud.

(3) minta kepada Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah dan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah: ALLAHUMMA ROBBA HADZIHID DA’WATIT TAAMMAH WASH SHOLATIL QOO-IMAH, AATI MUHAMMADANIL WASILATA WAL FADHILAH, WAB’ATSHU MAQOOMAM MAHMUUDA ALLADZI WA ‘ADTAH.

(4) membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH WA ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUH, RADHITU BILLAHI ROBBAA WA BI MUHAMMADIN ROSULAA WA BIL ISLAMI DIINAA, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash.

(5) memanjatkan doa sesuai yang diinginkan. (Lihat Jalaa-ul Afham hlm. 329-331)

Referensi

  1. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  2. Fiqh As-Sirah. Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
  3. Jalaa-ul Afham fii Fadhli Ash-Shalah wa As-Salaam ‘ala Muhammad Khoir Al-Anam. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Dar Ibn Katsir.

— 

Selesai disusun pada Jumat sore, 24 Rajab 1443 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/31959-faedah-sirah-nabi-pensyariatan-azan.html

Faedah Sirah Nabi: Orang Yahudi Mengkhianati Piagam Madinah

Perjanjian dengan orang Yahudi atau piagam Madinah ternyata dilanggar oleh Yahudi. Berikut lanjutan kisahnya yang kami ambil dari Fiqh As-Sirah karya Syaikh Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid.

Sebelumnya ada beberapa poin perjanjian yang dideklarasikan antara orang Yahudi Madinah dengan orang Islam, mereka hidup dalam masyarakat baru di bawah kepemimpinan Rasulullah. Ada tiga kabilah, yaitu Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah yang tidak menepati perjanjian yang telah mereka sepakati dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka menyerang dan memeranginya sehingga turunlah surah Al-Hasyr yang berkenaan dengan Bani An-Nadhir, surah Al-Ahzab turun pada peristiwa Bani Quraizhah.

Bani Qainuqa’

Setelah perang Badar (tahun 2 H), Bani Qainuqa’ menampakkan kemarahan, kebencian, serta kedengkian mereka terhadap orang Islam sehingga mereka pun secara terang-terangan menyatakan permusuhannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui mereka untuk menasihati dan mengajak mereka memeluk Islam. Akan tetapi, mereka enggan, menantang, serta mengancam beliau. Hal ini bukanlah menjadi sebab satu-satunya permusuhan itu, tetapi ada sebab lain.

Sebab lainnya adalah ketika seorang perempuan muslim pergi ke pasar Bani Qainuqa’, maka seorang Yahudi berkeinginan agar perempuan tersebut membuka cadarnya. Namun, permintaan itu ditolak. Lalu dengan sengaja dan diam-diam, Yahudi tersebut mengikatkan ujung pakaian perempuan itu ke lehernya. Ketika perempuan itu berdiri, maka terbukalah auratnya. Wanita itu pun berteriak sehingga datanglah seorang muslim menghampiri dan membunuh Yahudi tadi. Melihat hal itu, Yahudi yang lain pun mendatanginya lalu membunuh muslim tersebut. Kemudian terjadilah pertengkaran antara kaum muslimin yang ada di sana dengan Bani Qainuqa’.

Ini reaksi yang ditampakkan oleh mereka untuk melahirkan permusuhan, merusak kedamaian, dan melanggar kehormatan kota Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengepung mereka dengan ketat. Lalu ‘Abdullah bin Ubay Ibnu Salul menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Hai Muhammad! Berlaku baiklah pada bekas budak-budakku dengan kata-kata yang baik dan lembut.” Ketika pembicaraan berkepanjangan, dia memasukkan tangannya ke kantong baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau pun marah dan berkata, “Apakah mereka bekerja untukmu?”

Adapun ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu–salah seorang Bani ‘Auf bin Khazraj, mereka mengikat janji setia dengan Ibnu Ubay–, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas tangan dari mereka. Dalam kejadian ini, Allah menurunkan ayat-Nya yang berkenaan dengan ‘Abdullah bin Ubay Ibnu Salul,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 51)

Kemudian mereka pun diperintahkan oleh Nabi untuk meninggalkan Madinah menuju Syam serta membawa perbekalan dan harta. Namun, mereka tidak diizinkan untuk membawa senjata.

Bani Nadhir

Kaum kafir Quraisy menyurati Yahudi Bani Nadhir dan mengancam mereka dengan penyerangan jika Muhammad tidak dibunuh. Ketika surat itu diterima oleh Yahudi, Bani Nadhir berkumpul dan menyurati Nabi dengan permintaan supaya Nabi beserta tiga puluh orang sahabatnya menemui mereka. Ketika Yahudi menghampiri Nabi, mereka meminta supaya tiga orang keluar beserta beliau. Ketika Nabi keluar beserta tiga sahabatnya, Yahudi tersebut menyembunyikan senjatanya untuk membunuh beliau. Namun, seorang perempuan dari mereka memberitahukan kepada keponakannya yang muslim, lalu bergegas menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukannya. Lalu beliau kembali pulang. Keesokan harinya, mereka dikepung dan diperangi lalu diperintahkan membawa perbekalan dan tanpa senjata. Kemudian Allah menurunkan surah Al-Hasyr, dan mereka pun diusir kembali. Di antara mereka ada yang pergi ke Khaibar dan Syam (Syria).

Sebab, pengusiran mereka yang kedua adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk meminta bantuan dan diyat (denda) terhadap dua orang yang dibunuh oleh Amru bin Umayah Adh-Dhamiri tetangga yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengambil sumpah kepada mereka. Mereka pun menjawab, “Baik wahai Abul Qasim, kami akan membantumu.” Kemudian mereka masuk ke dalam rumah dan membuat siasat untuk menjatuhkan batu kepada beliau dari atas dinding. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahukan oleh malaikat mengenai tipu daya mereka, beliau pun bangun dan bergegas pulang ke Madinah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan diri dan pergi untuk memerangi mereka.

Kemudian kaum muslimin mengepung mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk memotong pohon kurma dan membakarnya.

Ibnu Ishaq menyebutkan, “Kaum muslimin mengepung mereka selama enam malam. Lalu sebagian delegasi dari orang munafik diutus untuk menyiasati dan berjaga-jaga.” “Jika kamu dibunuh, maka kami pun akan berperang membantu kalian”, demikian kata mereka. Namun, Allah Ta’ala memberikan rasa takut dalam dada mereka sehingga tidak jadi menolong orang yang sudah mereka janjikan dengan pertolongan. Lalu mereka meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka dan mereka pun diusir. Begitulah ketetapan Allah terhadap kelompok Yahudi.

Adapun mengenai Yahudi Bani Quraizhah akan dijelaskan setelah pembahasan perang Ahzab (perang Khandaq, tahun 5 H). Karena perang Ahzab berkaitan erat dengan perang Bani Quraizhah.

Pelajaran yang Bisa Diambil dari Pengkhianatan Piagam Madinah

Pertama: Perjanjian yang dibuat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang Yahudi menunjukkan bahwa Islam memiliki hukum yang sempurna. Sebagaimana halnya Islam mengatur hubungan antara seorang hamba dengan Rabbnya, antara satu muslim dan lainnya, bahkan dengan komunitas non-muslim.

Kedua: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan orang Yahudi Madinah tinggal di sana dan memberi jaminan kepada mereka atas keselamatan agama dan harta mereka dengan syarat-syarat yang telah disepakati.

Ketiga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu toleran terhadap kaum Yahudi yaitu dengan membiarkan mereka tinggal di rumah-rumah mereka dengan aman, tanpa mengganggu harta dan keluarga mereka. Oleh karena itu, hal ini membuktikan bahwa sikap toleransi telah dirintis oleh Islam secara umum ketika kafir dzimmi dilindungi dan dijamin ketenangan hidup mereka di negeri Islam. Namun, hal ini tidak dirasakan oleh minoritas muslimin yang tinggal di negeri kafir.

Keempat: Pemenuhan janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disepakati dengan orang-orang Yahudi atau selainnya. Hal ini seperti yang telah diungkapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala,

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji.” (QS. An-Nahl: 91)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: (1) jika diberi amanat, khianat; (2) jika berbicara, dusta; (3) jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; (4) jika berselisih, dia akan berbuat zalim.” (HR. Muslim, no. 58)

Kelima: Penjelasan tentang keji dan buruknya tabiat orang Yahudi, yang selalu menampakkan permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin. Hal tersebut terlihat ketika tidak berapa lama setelah membuat perjanjian, mereka pun melanggarnya, mereka telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Kekejian mereka juga tidak hanya pada kata-kata, bahkan sampai ke tahap aksi yaitu ketika mereka membuat tipu muslihat untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, Allah melenyapkan dan memusnahkan tipu daya mereka tersebut dan memberikan keselamatan kepada Nabi-Nya. Mereka juga berusaha untuk membantu Bani Aus dan Khazraj untuk merusak kehormatan orang-orang Islam.

Keenam: Penjelasan tentang perbuatan yang melampaui batas yang dilakukan oleh orang Yahudi terhadap perempuan muslim dalam upaya menyingkap wajahnya serta pembelaan seorang muslim terhadap saudaranya yang muslimah, yang diikuti dengan pengepungan dan pengusiran Yahudi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu menjelaskan tentang mulianya kedudukan kaum perempuan dalam Islam. Dengan ketinggian dan kemuliaannya, maka Islam tidak akan membiarkan perempuan dilecehkan. Agama mana yang lebih menjunjung tinggi kedudukan perempuan selain Islam?

Ketujuh: Penjelasan tentang pentingnya hijab bagi wanita muslimah. Wanita Anshar yang disebutkan di dalam kisah berusaha untuk memperjuangkan harga dirinya, ia tidak rela jika Yahudi tersebut berusaha untuk melepaskan hijabnya. Yahudi sekarang berusaha dan berjuang supaya wanita Muslimah menanggalkan hijabnya. Sehingga wanita yang tidak memahami pengtingnya hijab telah berpengaruh dan ikut menanggalkannya. Padahal hijab itu sebagai pelindung dan pengaman serta kemuliaan bagi diri wanita.

Kedelapan: Kisah Bani Qainuqa’ menunjukkan bahwa dalam hati orang Yahudi itu ada sifat dengki dan iri terhadap orang Islam. Ini disebabkan oleh kemenangan yang diperoleh orang Islam dan kekalahan bagi orang kafir dalam perang Badar. Kedengkian itu semakin tampak ketika mereka berupaya membunuh Rasulullah dan melanggar perjanjian damai yang telah disepakati.

Kesembilan: Yahudi merupakan orang pertama yang bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berhijrah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat yang kemungkinan itu ditujukan kepada mereka yang dianggap sebagai munafik,

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”.” (QS. Al-Baqarah: 14). Syayaathiinihim dalam ayat yang dimaksud adalah kaum Yahudi. Ini menunjukkan bahwa Yahudi itu termasuk munafik yang lihai dalam tipu daya. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya.

Kesepuluh: Sikap Yahudi dan musyrikin, baik dulu maupun sekarang, dapat diketahui dari respon mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalahnya. Kedua kelompok tersebut berpendapat tentang kedatangan Nabi yang baru ini bahwa orang-orang Arab pada umumnya menerima pribadinya, tetapi menolak wahyu yang dibawanya. Sebaliknya kaum Yahudi menerima ajarannya, tetapi menolak pribadinya sebagai nabi. Mereka tidak mau menerima seorang nabi di luar mereka. Sebab anggapan mereka, Yahudi adalah bangsa pilihan. Sejatinya mereka tidaklah meyakini laa ilaha illallah dan Muhammad Rasulullah.

Kesebelas: Penjelasan tentang sikap kaum Yahudi yang saling membantu dengan orang-orang munafik untuk melemahkan dan mengalahkan orang Islam. Oleh sebab itu, umat Islam harus menyadari bahwa kekafiran adalah sama, baik Yahudi, Nasrani, munafik, atheism, maupun penyembahan berhala. Tujuan dan target mereka hanyalah satu yaitu mereka bersatu untuk memerangi agama Islam dan melakukan tipu daya terhadap pemeluknya.

Kedua belas: Bagi seorang muslim dilarang untuk menjadikan orang kafir sebagai pemimpin mereka. Allah Ta’alaberfirman,

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (QS. Ali Imran: 28)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan larangan bagi orang beriman untuk bersikap wala’ (loyal) kepada orang kafir dalam hal mencintai, menolong, meminta tolong kepada mereka pada urusan kaum muslimin. Allah memberikan ancaman ‘Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah’. Ini berarti ia terputus dari Allah. Ia tidak mendapatkan bagian dari agama Allah. Karena wala’ pada orang kafir tidak menandakan orang tersebut beriman. Karena iman pasti mengantarkan kepada wala’ kepada Allah dan wali-Nya yang beriman, saling tolong menolong dalam menegakkan agama Allah dan berjihad melawan musuh-Nya.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 121)

Ketiga belas: Kisah Bani Nadhir yang ingin membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan datangnya berita tersebut lewat wahyu, memberikan bukti kepada beliau bahwa,

وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ

Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS. Al-Maidah: 67)

Keempat belas: Kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Yahudi Bani Nadhir menuntut denda terhadap kematian dua orang mukmin, menunjukkan tentang dibolehkannya mengambil bantuan dan santunan keuangan dari non-muslim jika hal tersebut tidak membahayakan kaum muslimin.

Kelima belas: Pengusiran Bani Nadhir setelah Bani Qainuqa’ menyebabkan timbulnya perpecahan antara Yahudi dan munafik Madinah, yang membawa kepada pembaharuan perjanjian di pihak Quraizhah bersama orang Islam selama penawanan Bani Nadhir, timbul semangat untuk menjaga perjanjian tersebut hingga tercetus perang Ahzab. Sementara orang munafik tidak menepati janji terhadap Bani Nadhir. Hal tersebut menjelaskan bagi kaum Yahudi bahwa melakukan perjanjian dengan Bani Nadhir tidak akan memberikan faedah. Dengan berpisahnya dari Bani Nadhir, maka pertahanan Islam semakin kuat, mereka bisa memetik hasil dari lahan mereka yang diperuntukkan bagi Muhajirin yang Muhajirin sendiri bertahan hidup dari lahan dan rumah yang dihadiahkan Anshar.

Keenam belas: Sifat Yahudi adalah beretika buruk dan jahat, melakukan tipu daya, tidak saling mencegah dari dosa dan kemungkaran yang mereka lakukan. Hal ini terbukti dengan apa yang kita lihat mengenai Yahudi pada zaman sekarang yang merampas hak Palestina dan mengotori kehormatan Baitul Maqdis, melanggar kehormatan orang-orang muslim, rumah, dan harta mereka. Sifat Yahudi pantas mendapatkan laknat sebagaimana disebutkan dalam ayat,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ,كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah: 78-79)

Ketujuh belas: Peristiwa ini memberikan pelajaran kepada kita untuk melihat dengan mata terbuka dan mengajarkan kepada kit acara bergaul dengan Yahudi setiap saat, terutama bagi generasi sekarang. Mereka harus belajar dari pengalaman orang-orang dahulu supaya tidak terjerumus dalam langkah mereka dan menyebabkan hati tertutup mengikut jejak mereka.

Kedelapan belas: Pengusiran yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Yahudi dari Madinah setelah mereka mengkhianati janji, menyebabkan janji itu tidak lagi berkesan dan tidak mempunyai nilai. Ini dibuktikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di detik-detik terakhir ajal beliau untuk mengusir Yahudi dari jazirah Arab.

Kesembilan belas: Yahudi itu sebenarnya mengetahui kenabian dan kebenaran Rasulullah, tetapi karena hasad, mereka tidak mau beriman kepada Rasulullah. Dalam ayat, Allah menyebutkan tentang sifat Yahudi,

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 109)

Kedua puluh: Permusuhan Yahudi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah digambarkan dalam ayat,

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al-Maidah: 82)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat permusuhan dan kezaliman yang dilancarkan oleh Yahudi terhadap beliau. Sebab, mereka telah terbiasa membunuh para nabi dan rasul serta menentang perintah dan larangan Allah, serta berusaha menyelewengkan apa yang telah diturunkan dalam kitab sucinya.

Ini sangat berlawanan dari apa yang didapatkan beliau dengan kaum Nashrani Habasyah. Mereka memberi perlindungan dan pertolongan bagi Muhajirin yang hijrah ke Habasyah karena takut dianiaya musyrikin Makkah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat kepada raja-raja dan pemimpin kabilah, maka raja Nashrani termasuk orang yang baik dalam cara menolak surat beliau. Heraklius, raja Romawi di Syam mencoba meyakinkan rakyatnya untuk menerima Islam, tetapi usahanya tersebut tidak berhasil. Meskipun demikian, cara penolakannya tergolong baik, ia takut tergeser kedudukannya.

Muqauqis, pembesar Qibthy di Mesir juga tergolong baik penolakannya terhadap ajakan beliau, walaupun ia tidak begitu tertarik dengan Islam, tetapi ia mengirimkan hadiah yang baik untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Syiria dan Mesir ditaklukkan, maka diperkenalkanlah kepada penduduknya tentang Islam dan mereka pun berbondong-bondong memeluk Islam.

Referensi:

Fiqh As-Sirah. Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah. hlm. 348 – 362.

Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Disusun di #darushsholihin, 18 Jumadal Akhirah 1443 H, 21 Januari 2022 (Jumat siang)

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/31434-faedah-sirah-nabi-orang-yahudi-mengkhianati-piagam-madinah.html