Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa Ramadhan? (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Hukum Asal

Hukum asal bagi wanita hamil atau menyusui adalah wajib berpuasa Ramadhan.

Namun kondisi wanita hamil atau menyusui itu beraneka ragam, sehingga hukumnyapun juga mengikuti kondisi yang dialaminya.

Kondisi wanita hamil atau menyusui beserta hukumnya

  1. Apabila bagi wanita hamil/ menyusui berpuasa Ramadhan itu

– tidak berat, atau

– berat/kesulitan yang wajar dan lumrah dialami serta masih kuat menjalaninya, atau

– tidak dikhawatirkan membahayakan bayi/janinnya, maka ia wajib berpuasa Ramadhan. Dan apabila ia nekad tidak berpuasa padahal ia tahu hukumnya, maka ia berdosa.

  1. Wanita menyusui atau hamil apabila berpuasa Ramadhan menyebabkan :

– rasa berat yang tidak wajar, atau

– khawatir membahayakan dirinya, atau

– khawatir membahayakan bayi/janinnya, atau

– menurut dokter yang amanah bahwa ia disarankan untuk tidak berpuasa,

maka berarti ia memiliki udzur Syar’i untuk tidak berpuasa sehingga tidak berdosa jika tidak berpuasa, dan ini pendapat empat madzhab sekaligus : Hanafiyyah, Malikiyyah,  Syafi’iyyah, & Hanabilah.

Dan hukum tidak berpuasa bagi wanita menyusui atau hamil merasa berat yang tidak wajar

Hukum tidak berpuasa baginya adalah afdhol, sehingga justru makruh baginya berpuasa.

Sedangkan apabila puasanya sampai membahayakan dirinya atau janin/bayinya, maka wajib baginya tidak berpuasa, dan haram berpuasa.

Apa kewajiban wanita hamil atau menyusui, jika tidak berpuasa Ramadhan karena udzur Syar’i hamil/menyusui?

Dalam masalah ini terdapat 7 pendapat[1] :

Pendapat Pertama :

Apabila wanita hamil/lmenyusui tidak berpuasa karena khawatir membahayakan janin/bayi, maka ia wajib menqodho’ dan menunaikan fidyah,

namun apabila ia tidak puasa karena khawatir membahayakan diri sendiri atau membahayakan diri sendiri & janin/bayi sekaligus, maka ia wajib mengqodho’ saja.

Ini adalah pendapat Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan Syafi’iyyah, pendapat Sufyan, serta sebuah riwayat dari Mujahid.

Pendapat Kedua :

Apabila wanita hamil/lmenyusui tidak berpuasa karena khawatir membahayakan diri sendiri atau janin/bayi, maka wajib qodho’ saja, ini madzhab Hanafiyyah, pendapat Al-‘Auza’i, Abu ‘Ubaid dan Abu Tsaur

Pendapat Ketiga :

Apabila wanita hamil/lmenyusui tidak puasa karena udzur Syar’i hamil/menyusui, maka untuk wanita hamil wajib mengqodho’ saja, sedangkan wanita menyusui wajib menqodho’ dan menunaikan fidyah apabila mengkhawatirkan bayinya, ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyyah.

Pendapat Keempat :

Apabila wanita menyusui tidak puasa karena mengkhawatirkan bahaya, maka ia menunaikan fidyah, sedangkan wanita hamil jika tidak puasa karena mengkhawatirkan bahaya menimpa dirinya, maka ia mengqodho’, ini pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan sebuah riwayat dari Yunus bin ‘Ubaid.

Pendapat Kelima :

Wanita hamil / menyusui jika tidak puasa karena udzur Syar’i hamil/menyusui, maka bebas memilih antara menunaikan fidyah saja atau mengqodho’ saja, ini adalah pendapat Ishaq.

Pendapat Keenam :

Apabila wanita yang hamil / menyusui tidak berpuasa karena mengkhawatirkan janin atau bayinya, maka tidak ada kewajiban qodho’ dan fidyah bagi keduanya, ini pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiri.

Pendapat Ketujuh :

Wanita hamil / menyusui jika tidak puasa karena udzur Syar’i hamil/menyusui, maka wajib menunaikan fidyah saja, dan ini pendapat dua sahabat yang mulia, yaitu Ibnu Abbas, dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma serta pendapat para imam dari kalangan Tabi’iin, seperti : Sa’id bin Al-Musayyib (tentang wanita hamil), Sa’id bin Jubair (tentang wanita hamil), Al-Qosim bin Muhammad (tentang wanita hamil), Atha’, Mujahid, Thawus, ‘Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’i (tentang wanita hamil), As-Suddi (tentang wanita menyusui) serta selain mereka, seperti Ishaq bin Rohawaih[2]. Dan diantara ulama zaman-zaman ini adalah Syaikh Al-Albani, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi rahimahumullah.  Wallahu a’lam

Pendapat ketujuh ini adalah pendapat terkuat dengan beberapa alasan ilmiah yang akan kami sampaikan, in sya Allah.

Wallahu a’lam

[1]              . https://www.almoslim.net/node/280212

[2]              . Al-Istidzkar, Mushannaf Abdur Razzaq, Tafsir Ath-Thabari (https://www.almoslim.net/node/280212)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/63340-wajibkah-fidyah-bagi-wanita-hamil-atau-menyusui-jika-tidak-puasa-ramadhan-bag-1.html

Orang yang Mendapat Keringanan Fidyah dan Cara Membayarnya

RAMADHAN sebentar lagi akan tiba. Umat muslim di seluruh dunia diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Namun di antara mereka ada yang diberi keringanan sehingga tidak harus berpuasa. Lalu siapa sajakah orang yang boleh mengganti puasa dengan membayar fidyah?

Para ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat bahwa fidyah dalam puasa dikenakan pada orang yang tidak mampu menunaikan qodho’ puasa. Hal ini berlaku pada orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang sakit yang sakitnya tidak kunjung sembuh. Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”. (HR. Bukhari no. 4505). 

Inti pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan satu orang miskin. Namun cara atau model pembayaran fidyah dapat diterapkan dengan dua cara:

1. Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa).

2. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.

Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” []

SUMBER: RUMAYSHO

ISLAMPOS



Cara Mudah Membayar Fidyah

Sering muncul pertanyaan bagaimana cara membayar fidyah bagi orang yang tidak mampu berpuasa dan tidak mampu mengqadhanya. Berikut pertanyaan yang sering muncul dan jawabannya :


1. Bagaimana cara bayar fidyah?
Jawab: dengan memberi makan orang miskin

2. Bagaimana cara memberi makan?
Jawab: dengan berikan makanan pokok negeri tersebut sampai terasa kenyang. Di indonesia umumnya memberi makan nasi, lauk dan sayur

3. Berapa kali memberi makan?
Jawab: Sejumlah hari yang ditinggalkan (tidak berpuasa). Apabila tidak puasa 30 hari, maka beri makan 30 orang miskin

4. Apakah beri makan sehari itu 3x sehari?
Jawab: Tidak, hanya sekali saja hari itu

5. Bagaimana bentuk makanan itu?
Jawab: Bentuk makanan sesuai ‘urf/adat setempat dan masyarakat menilai itu memberi makan. Misalnya memberi makan 1 piring, makan 1 bungkus dan lain-lainnya

Bisa juga memberikan makanan yang belum dimasak seperti satu mud burr, beras (makanan pokok) dan lain-lain, lebih baik lagi dengan lauknya


6. Apakah diberikan setiap hari satu orang miskin saja, kemudian besok satu orang lagi?
Jawab: Tidak harus, bisa diberikan sekaligus. Dikumpulkan 30 orang miskin kemudian diberi makan semuanya

7. Bagaimana kategori orang miskin?
Jawab: orang miskin adalah orang yang kurang mampu memenuhi kebutuhan hariannya (termasuk orang faqir juga berhak) dan masyarakat menilai bahwa orang itu memang miskin

8. Kapan waktu membayar fidyah?
Jawab: Ada dua cara:
[1] dibayar setiap hari setelah magrib pada hari itu juga
[2] Dibayar sekaligus setelah Ramadhan, semakin cepat semakin baik

9. Bagaimana cara mudahnya bayar fidyah?
Jawab: Cara mudah dan praktisnya adalah memesan nasi bungkus/ nasi kotak (tidak terlalu murah dan tidak terlalu mahal) sebanyak 30 bungkus/kotak, kemudian berikan kepada orang miskin SEKALIGUS. Bisa mendatangi kampung/keluarga miskin dan berikan atau anak yatim yang miskin 


CATATAN:

1. Orang yang tidak mampu berpuasa sama sekali dan tidak mampu qadha seperti orang tua sekali (sepuh) dan orang yang sakit parah dan sulit sembuh, diperbolehlan tidak puasa dan tidak qadha tetapi wajib membayar fidyah.

Allah berfirman,

ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻄِﻴﻘُﻮﻧَﻪُ ﻓِﺪْﻳَﺔٌ ﻃَﻌَﺎﻡُ ﻣِﺴْﻜِﻴﻦٍ

“Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah: 184]

2. Cara mudah dan praktis membayar fidyah sebagaimana perbuatan Anas bin Malik. Dalam sebuah riwayat:

أَنَّه ضَعُف عَن الصَّومِ عَامًا فَصَنَع جفنَةَ ثَريدٍ ودَعَا ثَلاثِين مِسكِينًا فَأشبَعَهُم

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika dirinya sudah tidak mampu puasa setahun, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin, kemudian beliau memberi makan mereka sampai kenyang. [HR. Daruquthni dan dishahihkan al-Albani]


Demikian semoga bermanfaat

MUSLIMAFIYAH

Fidyah Tidak Bisa Ditunaikan Dalam Bentuk Uang

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : Ada seorang lelaki tua yang sedang sakit sehingga tidak bisa menunaikan ibadah puasa. Cukupkah atau sahkah jika kita mengeluarkan uang sebagai ganti dari kewajiban memberikan makan (fidyah)?

Beliau rahimahullah menjawab.[1]
Kita wajib mengetahui sebuah kaidah penting dalam masalah ini, yaitu semua yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan lafazh tha’am (makanan) atau ith’am (memberikan makan), maka wajib (dikerjakan atau ditunaikan) dalam bentuk makanan. (misalnya –red) Allah Azza wa Jalla berfirman tentang ibadah puasa.

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin” [al-Baqarah/2:184]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman.

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)”.[al-Maidah/5:89]

Dan tentang kewajiban zakat fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan untuk mengeluarkan satu sha’ makanan.[2] (Dan masih ada beberapa contoh lainnya)

Semua (kewajiban-red) yang disebutkan dalam nash (teks) dengan lafazh tha’am atau ith’am, maka itu tidak sah ditunaikan dengan mengeluarkan dalam bentuk uang.

Berdasarkan kaidah ini, maka orang yang sudah berusia senja yang diwajibkan mengeluarkan makanan sebagai ganti dari ibadah puasa (yang tidak bisa dikerjakannya-red), tidak sah jika dia mengeluarkan uang sebagai ganti dari makanan. Seandainya pun dia mengeluarkan uang senilai 10 kali lipat harga makanan, tetap tidak sah. Karena perbuatan ini menyimpang dari perintah yang disebutkan dalam teks. Termasuk zakat fithri, seandainya dia mengeluarkan uang senilai 10 kali lipat harga satu sha’ bahan makanan, maka itu juga tidak sah, karena (mengeluarkan) uang senilai zakat fithri tidak disebutkan dalam nash. Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَرَدٌ

Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami, maka amalan itu tertolak[3]

Berdasarkan ini, kami katakan kepada saudara yang tidak bisa lagi melaksanakan ibadah puasa karena usianya, “Berilah makan kepada satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa!”

Dalam memberikan makan ini, saudara memiliki dua pilihan teknis pelaksanaan.

Pertama (Umpama), saudara mendatangi rumah-rumah orang miskin untuk memberikan 5 sha’ beras untuk masing-masing rumah ditambah lauk (jika meninggalkan puasa 30 hari, maka mendatangi 6 rumah-red).

Kedua, saudara memasak makanan-makanan lalu mengundang sejumlah orang miskin yang berhak untuk saudara beri makanan. Misalnya,  sesudah lewat sepuluh hari (saudara tidak bisa berpuasa), saudara memasak makanan lalu mengundang sepuluh orang miskin untuk makan di rumah saudara (sampai mereka kenyang-red). Saudara bisa melakukan ini pada sepuluh hari yang kedua dan sepuluh hari yang ketiga. Teknis ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu anhu ketika beliau Radhiyallahu anhu memasuki usia senja dan tidak bisa menunaikan ibadah puasa. Beliau Radhiyallahu anhu memberikan makan kepada 30 orang fakir pada hari terakhir bulan Ramadhan.

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11667-fidyah-tidak-bisa-ditunaikan-dalam-bentuk-uang.html

Tafsir Ayat Puasa (4): Memilih Antara Puasa dan Fidyah

Pada masa awal diwajibkannya puasa, dijadikan pilihan antara puasa dan menunaikan fidyah. Bagi yang mau menunaikan fidyah saja tanpa puasa, itu baik. Namun puasa lebih baik daripada menunaikan fidyah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184).

Di Masa Awal Diwajibkannya Puasa

Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa inilah yang terjadi di masa awal diwajibkannya puasa. Di awal diwajibkannya, puasa itu masih berat. Tatkala itu diberikanlah kemudahan dengan cara yang mudah. Bagi yang berat menjalankan puasa, maka ia bisa memilih antara berpuasa atau menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin setiap kali tidak berpuasa. Namun berpuasa tetap dinilai lebih baik.

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ

Dan berpuasa lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 184). Lihat Tafsir As Sa’di, hal. 86.

Ibnu Katsir berkata, “(Di masa awal diwajibkannya puasa), orang yang sehat dan menetap -tidak bersafar- yang berat menjalankan puasa kala itu, maka ia boleh memilih antara berpuasa dan menunaikan fidyah (memberi makan). Jika ia mau, ia boleh berpuasa. Jika ia mau, ia boleh dengan menunaikan fidyah yaitu memberi makan setiap hari sekali memberi makan pada satu orang miskin. Namun jika ia memberi makan lebih dari satu orang miskin, itu baik. Adapun jika ia memilih untuk puasa, itu lebih baik. Inilah yang jadi pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thowus dan Maqotil bin Hayyan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 54).

Mu’adz bin Jabal juga berkata bahwa di masa-masa awal diwajibkannya puasa, siapa yang mau puasa, dibolehkan. Dan siapa yang mau memberi makan pada orang miskin (fidyah), dibolehkan.  Hal ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin Al Akwa’. Ia berkata ketika turun ayat yang kita bahas. Kemudian nantinya bentuk memilih antara puasa dan fidyah akan dihapus (dinaskh). Lihat Idem, 2: 56.

Masalah naskh hukum yang dibahas dalam ayat ini akan diungkap pada ayat 185. Pada ayat tersebut dibahas bahwa cuma ada satu pilihan yaitu berpuasa.

Pembahasan di atas juga menunjukkan bagaimanakah kemudahan yang diberikan dalam agama ini ketika mewajibkan suatu hukum secara bertahap agar umatnya tidak terasa berat.

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tahqiq: Abu Ishaq Al Huwainiy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H

Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Disusun menjelang ‘Ashar, 15 Ramadhan 1435 H di Pesantren DS

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/8201-tafsir-ayat-puasa-4-memilih-antara-puasa-dan-fidyah.html

Bayar Fidyah, Mazhab Mana yang Anda Ikuti?

ADA banyak ibadah yang disyariatkan karena adanya sebab tertentu. Misalnya, kaffarah sumpah, disyariatkan karena orang itu melanggar sumpah. Atau kaffarah dzihar, disyariatkan karena ada suami yang mendzihar istrinya, dst.

Termasuk diantaranya membayar fidyah. Membayar fidyah disyariatkan karena seseorang tidak mampu berpuasa.

Allah berfirman,

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. al-Baqarah: 184).

Artinya, fidyah diwajibkan ketika ada orang yang tidak puasa karena tidak mampu menjalankannya. Sehingga ketidakmampuan untuk berpuasa menjadi sebab adanya fidyah. Ketika ini belum ada, maka fidyah tidak disyariatkan.

Kita simak ilustrasi berikut: Si A sudah tidak mampu berpuasa karena sudah tua. Dia membayar fidyah untuk puasa sebulan di tanggal 5 Ramadan. Kasus yang terjadi, si A baru meninggalkan pausa selama 5 hari. Dari tanggal 1 sampai 5 ramadan. Sementara untuk puasa tanggal 6 sampai 30 ramadan, si A belum meninggalkannya. Karena ketika si A bayar fidyah, hari itu belum datang. Sehingga, si A membayar fidyah untuk kejadian yang belum ada, yaitu meninggalkan puasa tanggal 6 30 ramadan.

Inilah yang dimaksud membayar fidyah sebelum ada sebab.

Lalu bolehkah menyegerakan fidyah sebelum ada sebab tidak puasa? Ulama syafiiyah melarang hal ini.

Imam ar-Ramli ulama Syafiiyah pernah ditanya sebagai berikut,

“Apakah orangtua yang tidak mampu lagi berpuasa wajib niat ketika membayar fidyah? Bagaimana caranya? Lalu bagaimana cara membayar fidyah, apakah wajib untuk dikeluarkan setiap hari di hari itu, atau boleh dia bayarkan sekali, baik di awal Ramadhan atau pertengahannya?”

Jawaban ar-Ramli,

“Dia wajib niat. Karena fidyah termasuk ibadah harta, sebagaimana zakat atau kaffarah. Dia bisa berniat membayar fidyah karena tidak puasa. Dia boleh milih, apakah dibayarkan setiap hari yang dia tidak puasa atau setelah selesai ramadan. Namun tidak boleh mendahulukan pembayaran fidyah, karena berarti mendahulukan amal sebelum adanya kewajiban, disebabkan dia tidak puasa.” (Fatawa ar-Ramli, 2/74).

Ini berbeda dengan mazhab hanafiyah, yang membolehkan membayar fidyah untuk keseluruhan di awal bulan.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

“Ulama berbeda pendapat tentang kasus orangtua atau orang sakit menahun yang lagi tidak mampu puasa. Apakah boleh menyegerakan bayar fidyah. Hanafiyah membolehkan bayar fidyah di awal bulan, sebagimana boleh dibayarkan di akhir bulan.

Kemudian dalam ensiklopedi itu dilanjutkan keterangan dari mazhab Syafii,

“An-Nawawi mengatakan, seluruh ulama mazhab kami sepakat bahwa orangtua dan orang sakit yang tidak mampu puasa, mereka tidak boleh membayar fidyah sebelum masuk Ramadan, dan boleh setiap hari setelah masuk waktu subuh. Apakah boleh dibayarkan sebelum subuh di bulan Ramadan? Ad-Darimi menegaskan bahwa itu boleh. Dan inilah yang benar. (al-Mausuah al-Fiqhiyah, volume ke-32, hlm. 68).

Hukum Membayar Fidyah dengan Uang

Berdasarkan keterangan di atas, mengenai waktu pelaksanaan fidyah bisa dengan dua cara,

Pertama, dibayarkan harian. Batasnya adalah malam hari ramadan, sebagaimana keterangan ad-Darimi. Jika di tanggal 3 ramadan, si A tidak puasa, dia sudah boleh bayar fidyah di malam tanggal 3 ramadan.

Kedua, dibayarkan sekali untuk satu bulan. Ini hanya bisa dilakukan di akhir ramadhan atau setelah ramadan. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits/konsultasisyariah]

MOZAIK

Jangan Sampai Salah, Ini Takaran Bayar Fidyah Menurut Al-Quran dan Sunnah

Ada satu hal pelik yang dirasakan Muslim yang berhalangan untuk berpuasa pada setiap bulan Ramadan, yakni bagaimana takaran dalam membayar fidyah.

Ada yang mengatakan boleh dibayar sesuai harga nominal makan kita untuk satu porsi dikalikan jumlah puasa yang harus diganti, ada pula yang menyarankan dengan memberi makan orang miskin sebanyak 1 mud (1,25 kilogram cerealia, seperti gandum, beras dan lainnya, red.).

Lantas bagaimana kaidah fiqih mengatur pembayaran fidyah yang sesuai dengan perintah Allah dan seperti yang diteladankan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Seperti yang dikutip dari arrahmah.com lewat penjelasan Ustadz Ahmad Sarwat Lc., dalam Rumah Fiqih Indonesia, belum lama ini.

Membayar fidyah memang ditetapkan berdasarkan jumlah hari yang ditinggalkan untuk berpuasa. Setiap satu hari seseorang meninggalkan puasa, maka dia wajib membayar fidyah kepada satu orang fakir miskin.

Sedangkan teknis pelaksanaannya, apakah mau perhari atau mau sekaligus sebulan, kembali kepada keluasan masing-masing orang. Kalau seseorang nyaman memberi fidyah tiap hari, silahkan dilakukan.

Sebaliknya, bila lebih nyaman untuk diberikan sekaligus untukpuasa satu bulan, silahkan saja. Yang penting jumlah takarannya tidak kurang dari yang telah ditetapkan.

Berapakah besar fidyah?
Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi’i dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Yang dimaksud dengan mud adalah telapak tangan yang ditengadahkan ke atas untuk menampung makanan, kira-kira mirip orang berdoa.

Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau setara dengan setengah sha‘ kurma atau tepung.

Atau juga bisa disetarakan dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang kepada satu orang miskin.

Dalam kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 halaman 143 disebutkan bahwa bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 675 gram atau 0,688 liter.

Sedangkan 1 sha‘ setara dengan 4 mud . Bila ditimbang, 1 sha‘ itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha‘ setara dengan 2,75 liter.

Lalu, Siapa Saja yang Harus Membayar Fidyah?

– Orang yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi.

– Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa.

– Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika tidak puasamengakhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu. Mereka itu wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namun menurut Imam Syafi’i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha’ puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar fidyah tetapi cukup mengqadha’.

– Orang yang menunda kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan tanpa uzur syar’i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha’nya sekaligus membayar fidyah, menurut sebagian ulama. Wallahu a’lam bish shawab. (*)

 

sumber: Tribun Jabar