Apa Hukum Takbir Keliling?

Beberapa hari terakhir Ramadhan, suasana Idul Fitri 1438 H mulai terasa. Takbir keliling atau semarak lebaran menjadi salah satu tandanya. Meski demikian, sejumlah masyarakat bertanya kepada Komisi Fatwa MUI tentang hukum takbir keliling.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan takbir di malam Idul Fitri hukumnya sunnah bagi setiap muslim. Ini menjadi salah satu tanda hari kemenangan dan keberasan Allah. Meski demikian, gema takbir ini bisa dilakukan dimana saja.

“Takbir dapat dilaksanakan dengan sendiri atau berjamaah, dapat dilaksanakan di rumah, di masjid, di mushalla, juga di jalan. Bisa dilaksanakan dengan duduk berdiam diri, jalan, atau dengan berkendara, baik darat, laut maupun udara,” katanya, dilansir siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (24/6).

MUI pun mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk menghidupkan malam Idul Fitri dengan syiar kumandang takbir, tahmid, dan tahlil, di manapun berada. Asrorun menyarankan untuk menyemarakkan masjid, mushalla, rumah, jalanan, dengan semarak syiar takbir dan memuji asma Allah.

“Syiar takbir yang menggema di seluruh negeri diharapkan dapat menjadi penyebab diturunkannya rahmat Allah, sehingga negeri ini dikaruniai kedamaian, keamanan,  dan kesejahteraan,” kata dia.

 

REPUBLIKA

Idul Fitri Memperkuat Persatuan, Bukan Umbar Kekerasan

Perayaan hari raya Idul Fitri atau lebaran sejatinya harus digunakan untuk mempersatukan diri dari berbagai macam perpecahan yang terjadi selama ini. Bukan mengumbar aksi kekerasan seperti aksi bom bunuh diri di Mapolres Solo, juga bom-bom lain menjelang Idul Fitri di Masjid Nabawi, bom di Baghdad, dan Bandara Istanbul, Turki.

“Di Indonesia momentum perayaan hari raya Idul Fitri menunjukkan adanya persatuan antara keluarga, kerabat,  kampung, negara dan juga agama. Jadi jangan Idul Fitri dijadikan momentum untuk mengajarkan kekerasan ataupun perpecahan antar sesama umat, seperti yang dilakukan kelompok-kelompok radikal,” ujar peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Adnan Anwar, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (15/7).

Pria yang juga tokoh pemuda Nahdlatul Ulama (NU) ini mengatakan dalam  agama Islam sendiri tidak pernah mengajarkan kebencian ataupun kekerasan yang tentunya dapat merusak pondasi persatuan bangsa dan juga agama dalam menjalankan tali silaturahmi yang selama ini sudah berjalan dengan baik sesuai tradisi di Indonesia.

“Agama Islam yang rahmatan lil ialamin ini mengajarkan kepada umatnya bagaimana pentingnya menjaga persatuan dan menjalin silaturahmi antar sesama umat,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Sekjen PBNU ini.

Sementara islam yang dijadikan ‘kendaraan’ oleh kelompok tertentu untuk melakukan kekerasan, menurutnya telah disalah tafsirkan dengan mengajarkan perpecahan dan kebencian, termasuk kepada umat Islam yang tidak sepaham dan dianggap kafir.

“Kekerasan ini yang keliru dan salah tapi tetap diikuti oleh orang-orang yang beraliran keras dan tidak mengerti Islam sebenarnya. Seperti bom bunuh diri di Polres Solo beberapa hari lalu sehari sebelum lebaran. Padahal agama Islam itu sangat mengajarkan kedamaian, toleransi dan kasih sayang antar sesama umat lainnya,” sesal Adnan.

Dijelaskan alumnus Fisip Universitas Airlangga Surabaya ini, sejatinya Idul Fitri juga bisa diartikan sebagai puncak dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Idul Fitri sendiri memiliki keterkaitan makna dengan tujuan akhir yang ingin diraih dari pelaksanaan kewajiban berpuasa yang bisa diartikan sebagai hari kemenangan bagi umat Islam.

“Kemenangan disini adalah bentuk dari kemenangan dalam menggapai kesucian atau perwujudan dari kembali kepada keadaan fitrah atau fitri. Dari dua makna diatas,sangat bertolak belakang, radikalisme mengarah kepada perbuatan kepada kekerasan, sementara Idul Fitri, bermakna kesucian,” ujarnya.

Ia menegaskan, apabila dalam perayaan Idul Fitri, ada perbuatan radikalisme yang dilakukan juga oleh umat muslim karena ketidaksepahaman keyakinan ataupun menganggap kelompoknyalah yang paling benar dalam melakukan ibadah, maka orang tersebut tidak benar memaknai hari raya Idul Fitri.

Pria yang juga menjadi penghubung PBNU dengan negara-negara di Timur Tengah ini mengatakan bahwa silaturahim adalah sarana aktivitas yang sangat penting untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan tali persaudaraan demi terwujudunya persatuan umat yang lebih kuat. Karena kekuatan silaturahim umat yang begitu besar dampaknya akan berujung pada kekuatan persatuan nasional yang lebih baik ke depannya.

“Dengan sesama umat Islam kita diwajibkan untuk menjalin persaudaraan yang kuat oleh karena sesungguhnya setiap orang yang beriman adalah bersaudara. Sebagai saudara maka umat Islam harus saling tolong menolong dalam kebaikan dan kebajikan, demikian juga terhadap orang-orang lain yang berbeda suku, agama, dan golongan, umat Islam juga diperintahkan untuk saling mengenal dan bersaudara. Jadi bukan mengajarkan kekerasan,” katanya.

Tidak hanya itu, dirinya juga berpesan bahwa momentum Idul Fitri yang mengajarkan perdamaian silaturahmi dan halal bi halal ini juga harus dikampanyekan juga melalui dunia maya karena berbagai negara pun juga sangat respek dengan budaya Islam yang ada di Indonesia.

“Hal seperti ini harus disebarkan juga melalui internet. Karena model Idul Fitri ala Islam di Indonesia ini  juga mulai banyak ditiru negara-negara Islam dunia lainnya termasuk di Arab Saudi yang berpaham wahabi pun juga tertarik dengan model Islam di Indonesia,” kata Adnan Anwar.

 

 

sumber: Republka Online

Makna dan Hakikat Idul Fitri

IDUL Fitri bagi sebagian masyarakat Indonesia memiliki arti yang sangat sakral sehingga jauh-jauh hari dia sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangannya, mulai dari mudik ke kampung halaman, mempersiapkan pakaian baru untuk bersilaturahim, melengkapi perabot rumah agar ia menjadi indah ketika tamu berkunjung, dan menyiapkan beraneka ragam makanan dan minuman. Namun sebagian orang ada yang terlalu memaksakan diri untuk mewujudkan hal tersebut walaupun di luar batas kemampuannya, bahkan tidak jarang berujung pada terganggunya hubungan dengan pasangan. Waktunya banyak terkuras untuk mempersiapkan lebaran, sehingga menjadikan Ramadhan hanya sebagai sebuah rutinitas belaka tanpa menyadari akan hakikat dan keistimewaan bulan suci Ramadhan yang hanya hadir sekali dalam satu tahun.

Sebagian orang merasa kurang afdhal jika tidak memakai atau menggunakan sesuatu yang baru di saat lebaran, padahal lebaran Idul Fitri tidaklah melulu identik dengan sesuatu yang baru, tetapi sejatinya ia lebih pada kesucian jiwa dan rasa tulus kepada Allah dalam melaksanakan perintah-Nya. Menyiapkan aneka makanan dan minuman di rumah ketika lebaran sah-sah saja dilakukan apabila dilandasi dengan niat yang tulus dan murni karena Allah. Tetapi jangan sampai memberatkan diri dan melampau batas serta menyimpang dari ajaran agama, misalnya karena ingin mendapat pujian dan sanjungan. Unsur riya‘ dengan memamerkan kekayaan, bersikap mubazir dan lain-lain merupakan sifat iblis yang harus dijauhi.

Menggapai kesucian
Idul Fitri bagi umat Islam merupakan hari bergembira dan hari kemenangan karena telah berhasil dalam menggapai kesucian sehingga kembali kepada keadaan fitrah, yang dalam konteks ini berarti kembali kepada asal kejadiannya yang suci dan mengikuti petunjuk Islam yang benar. Jadi, pengertian Idul Fitri ialah menjadi suci kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya sebagaimana sabda Nabi saw: “Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci.” Hal ini dapat terwujud apabila yang bersangkutan telah menunaikan ibadah puasa secara maksimal yang diiringi dengan ibadah lainnya berdasarkan keimanan dan semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah.

Ramadhan sangat erat kaitannya dengan Idul Fitri karena ibadah puasa merupakan suatu proses berkesinambungan yang melatih manusia untuk memperoleh gelar muttaqin sehingga diibaratkan seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Maka wajar ia bergembira karena telah lulus dalam madrasah Ramadhan yang tetap menjiwai semangat Ramadhan di luar Ramadhan. Orang-orang muttaqin tidak melokalisir kesalehan hanya di bulan Ramadhan, tetapi mereka membelenggu setan, nafsu dan menghambakan diri hanya kepada sang Khalik juga di luar Ramadhan. Selalu berusaha untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya karena menyadari bahwa Allah itu benar-benar ada, Maha Melihat, dan pertolongan-Nya itu dekat dan benar-benar siksa-Nya itu berat.

Dengan demikian, selalu berusaha untuk berakhlak mulia semenjak kecil, seperti menghargai orang tua, guru, teman, dengan tidak melakukan tawuran di sekolah, ketika menempuh ujian tidak melakukan kecurangan, tidak memalsukan gelar dan ijazah, tidak mencorat coret baju seragam ketika lulus karena ini merupakan sikap mubazir yang bertentangan dengan nilai-nilai ramadhan, tetapi banyak melakukan hal baik, seperti melakukan sujud syukur, shalat, mengaji dan lain sebagainya. Mereka menjadi hamba yang saleh karena selalu merasakan kehadiran Allah dalam jiwanya sepanjang masa, sepanjang usia, sampai Allah mencabut nyawa mereka.

Sudah menjadi tradisi yang mengakar di Indonesia apabila lebaran Idul Fitri tiba, pada umumnya masyarakat saling bersilaturahim antar sesama. Tradisi seperti ini dinilai sesuatu yang baik dan mulia sebagaimana sabda Nabi saw: “Barang siapa yang menginginkan kelapangan rezeki dan keberkahan usia, maka hendaklah dia menjalin silaturahim.” Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata shilat dan rahim. Kata shilat berarti “menyambung”, dan “menghimpun”. Ini berarti bahwa hanya yang putus dan yang terseraklah yang dituju oleh kata shilat. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti “kasih sayang” kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.

 

Dengan demikian, hakikat dari silaturahim bukan hanya sekadar berjabat tangan ataupun kunjungan yang bersifat formalitas, tetapi apabila kunjungan tersebut dapat membawa nuansa ukhuwah yang mencairkan suasana beku dan menjernihkan apa yang keruh sehingga jiwa menjadi bening dan suci laksana embun di pagi hari, sebagaimana sabda Nabi saw: “Tidak bersilaturahim (namanya) orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (yang dinamakan bersilaturahim adalah) yang menyambung apa yang putus.”

Dalam Idul Fitri, silaturahim dan saling memaafkan sangat dianjurkan sebagai isyarat peluntur dosa. Namun hal itu sejatinya tidak hanya dapat dilakukan pada saat Idul Fitri tetapi bisa dilakukan kapan saja tanpa menunggu moment-moment tertentu seperti idil fitri. Salah satu cara bersilaturahim adalah dengan diperintahkannya shalat berjamaah setiap hari, karena shalat berjamaah merupakan pertemuan sesama umat Islam untuk saling menjalin rasa persaudaraan. Pada saat itulah kita saling bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang dihadapi, maupun masalah yang menyangkut kepentingan bangsa.

Harapan dan doa
Satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri adalah “minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin”. Minal aidzin berarti (semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, atau “agama yang benar”. Sedangkan al-faidzin berarti “keberuntungan”. Dan ini harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah Swt sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surga-Nya. Kemudian kata maaf berasal dari bahasa Alquran al-afwu yang berarti “menghapus”, karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Dan bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu di dalam hati dan rasa dendam yang membara.

Alquran yang berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dulu dari orang yang bersalah (lihat QS. Ali Imran: 152 dan 155, Al-Maidah: 95 dan 101). Dalam beberapa ayat ini tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf. Allah berfirman: “Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada. Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah?” (QS. an-Nur: 22).

Kesan yang disampaikan oleh ayat di atas adalah anjuran untuk tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk berkata: “tiada maaf bagimu”, karena segalanya telah dijamin dan ditanggung oleh Allah Swt (Quraish Shihab, 2013).

Beberapa ayat Alquran yang mengupas mengenai maaf sering beriringan dengan kata as-shafht. Dan berjabat tangan dalam bahasa Arab disebut dengan mushafahat yaitu lambang kesediaan seseorang untuk membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau menggunakan lagi lembaran lama. Sebab, walaupun kesalahan telah dihapus, kadang-kadang masih saja ada kekusutan masalah. Memaafkan kesalahan adalah satu sifat terpuji. Bahkan Rasulullah telah mempergunakan sifat pemaaf ini dalam menghadapi kawan dan lawan, dan ternyata memaafkan kesalahan itu menyebabkan orang banyak masuk Islam. Jadi, marilah kita saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal aidzin wal faidzin. Semoga kita dapat kembali menemukan jati diri kita dan semoga kita memperoleh ampunan, ridha dan kenikmatan surgawi. Amin!

 

* Dr. H. Agustin Hanafi, MA.

sumber: Aceh TriubunNews

Makna Idul Fitri

Hari raya Idul Fitri adalah merupakan puncak dari pelaksanaan ibadah puasa. Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri yaitu manusia yang bertaqwa. Kata Id berdasar dari akar kata aada yauudu yang artinya kembali sedangkan fitri bisa berarti buka puasa untuk makan dan bisa berarti suci. Adapun fitri yang berarti buka puasa berdasarkan akar kata ifthar (sighat mashdar dari aftharo – yufthiru) dan berdasar hadis Rasulullah SAWyang artinya :”Dari Anas bin Malik: Tak sekali pun Nabi Muhammad SAW. Pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitritanpa makan beberapa kurma sebelumnya.” Dalam Riwayat lain: “Nabi SAW. Makan kurma dalam jumlah ganjil.” (HR Bukhari).

Dengan demikian, makna Idul Fitri berdasarkan uraian di atas adalah hari raya dimana umat Islam untuk kembali berbuka atau makan. Oleh karena itulah salah satu sunah sebelum melaksanakan shalat Idul Fitria dalah makan atau minum walaupun sedikit. Hal ini untuk menunjukkan bahwa hari raya Idul Fitri 1 syawal itu waktunya berbuka dan haram untuk berpuasa.

Sedangkan kata Fitri yang berarti suci, bersih dari segala dosa, kesalahan, kejelekan, keburukan berdasarkan dari akar kata fathoro-yafthiru dan hadis Rasulullah SAW yang artinya “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alayh). Barangsiapa yang shalat malam di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq ‘alayh) . Dari penjelasan ini dapat disimpulkan pula bahwa Idul Fitri bisa berarti kembalinya kita kepada keadaan suci, atau keterbebasan dari segala dosa dan noda sehingga berada dalam kesucian (fitrah).

Jadi yang dimaksud dengan Idul Fitri dalam konteks ini berarti kembali kepada asal kejadiannya yang suci dan mengikuti petunjuk Islam yang benar. Bagi ummat Islam yang telah lulus melaksanakan Ibadah puasa di Bulan Ramadhan akan diampuni dosanya sehingga menjadi suci kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan Ibunya. Sebagaimana Sabda Nabi SAW yang Artinya“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci.”

Dalam bahasa Jawa, hari raya Idul Fitri disebut juga dengan istilah “lebaran”. Lebaran mengandung maksud lebar-lebur-luber-labur. Lebar artinya kita akan bisa lebaran dari kemaksiatan. Lebur artinya lebur dari dosa. Luber artinya luber dari pahala, luber dari keberkahan, luber dari rahmat Allah SWT. Labur artinya bersih sebab bagi orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa, maka hati kita akan dilabur menjadi putih bersih tanpa dosa,makanya wajar klo mau lebaran rumah-rumah banyak yang di labur hal ini mengandung arti pembersihan dhohir disamping pembersihan batin yang telah di lakukan.

Adapun terkait hidangan khas waktu lebaran yaitu ketupat, dalam bahasa Jawa ketupat diartikan dengan ngaku lepat alias mengaku kesalahan, bentuk segi empat dari ketupat mempunyai makna kiblat papat lima pancer yang berarti empat arah mata angin dan satu pusat yaitu arah jalan hidup manusia. Ke mana pun arah yang ingin ditempuh manusia hendaknya tidak akan lepas dari pusatnya yaitu Allah SWT.

Oleh sebab itu ke mana pun manusia menuju, pasti akan kembali kepada Allah. Rumitnya membuat anyaman ketupat dari janur mencerminkan kesalahan manusia. Warna putih ketupat ketika dibelah melambangkan kebersihan setelah bermaaf-maafan. Butiran beras yang dibungkus dalam janur merupakan simbol kebersamaan dan kemakmuran. Janur yang ada di ketupat berasal dari kata jaa-a al-nur bermakna telah datang cahaya atau janur adalah sejatine nur atau cahaya. Dalam arti lebih luas berarti keadaan suci manusia setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan Ramadan.

Adapun makna filosofis santen yang ada di masakan ketupat adalah suwun pangapunten atau memohon maaf. Dengan demikian ketupat ini hanyalah simbolisasi yang mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan hal ini merupakan makna filosofis dari warna putih ketupat jika dibelah menjadi dua. Sedangkan, janur melambangkan manusia yang telah mendapatkan sinar ilahiah atau cahaya spiritual/cahaya jiwa. Anyaman-anyaman diharapkan memberikan penguatan satu sama lain antara jasmani dan rohani.

Pemaknaan hari raya Idul Fitri hendaknya bersifat positif seperti menjalin silaturrahmi sebagai sarana membebaskan diri dari dosa yang bertautan antar sesama makhluk. Silaturahmi tidak hanya berbentuk pertemuan formal seperti Halal bi Halal, namun juga bisa dengan cara menyambangi dari rumah ke rumah, saling duduk bercengkerama, saling mengenalkan dan mengikat kerabat. Apalagi sekarang permohonan maaf dan silaturahmi sudah tidak mengenal batas dan waktu sebab bisa menggunakan jejaring media sosial seperti contoh lewat sms, up date status, inbox di facebook, twiter, yahoo mesenger, skype dan email.

Begitulah pentingnya silaturahmi sebagaimana Sabda Rasulullah SAW yang artinya “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan melainkan keduanya akan diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah. (HR.Daud,Tirmidzi&Ibnu Majah) . “

Kini kita dengan rasa suka cita dan senang karena kita menyambut hari kemenagan disamping itu kita juga bercampur sedih, dan dengan linangan air mata bahagia kita di tinggalkan bulan Ramadhan yang penuh berkah, maghfiroh dan Rahmat Allah SWT. Banyak pelajaran dan hikmah, faidah dan fadhilah yang kita dapatkan. Kini bulan Ramadhan telah berlalu, tapi satu hal yang tidak boleh meninggalkan kita dan harus tetap bersama kita yaitu spirit dan akhlakiyah puasa Ramadhan, sehingga 1 Syawal harus menjadi Imtidad lanjutan Ramadhan dengan ibadah serta kesalehan sosial. Sebab Kata Syawal itu sendiri artinya peningkatan. Inilah yang harus mengisi sebelas bulan ke depan dalam perjalanan hidup kita.

Oleh Hadi Mulyanto

 

 

sumber: NU.or.id