Ibadah haji diwajibkan bagi setiap Muslim dan Muslimah yang mampu (istitha’ah). Istithaah ini menjadisalah satu syarat wajib haji. Ada beberapa aspek bagi jamaah disebut isthitaah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum Majelis UlamaIndonesia (MUI), KH. Ma’ruf Amin, bahwa istithaah haji mencakup aspek finansialdan kesehatan.
Secara finansial, calon jamaah dikatakan Istithaah jika memiliki cukup harta selama perjalanan untuk keperluan makanan dan kendaraaan untukdirinya sendiri, maupun bagi keperluan keluarga yang ditinggalkan selama ke Tanah Suci. Selanjutnya, keperluan jamaah itu sendiri setelah kembalinya dari haji.
Dari aspek kesehatan, kemampuan fisik dan rohani yang sehat menjadi faktor yang harus diperhatikan bagi calon jamaah haji. Permenkes No.15 tahun 2016 telah mengatur soal istithaah kesehatan jamaah haji. Yang mana di dalamnya dijelaskan, bahwa istithaahkesehatan jamaah haji memiliki makna kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan. Sehingga, jamaah bisa menjalankan ibadah haji sesuai dengan syariat agama Islam.
Meski Permenkes soal istithaah haji ini telah diterapkan, namun dalam penyelenggaraannya, kasus wafatnya jamaah haji di Arab Saudi masih tinggi. Pada musim haji 2017, jamaah haji Indonesia yang wafat mencapai 431 orang. Sementara pada 2016, jamaah haji yang wafat tercatat 390 orang.
Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan (Puskes Haji Kemenkes) Eka Jusup Singka mengatakan, angka kematian jamaah haji tersebut memiliki banyak variabel. Pertama, karena kondisi jamaah sejak dari tanah air. Kedua, lingkungannya dan pola perilaku jamaah selama berada di Tanah Suci. Misalnya, jamaah kerap melakukan kegiatanyang tidak penting di luar kegiatan rukun haji.
Kendati angka jamaah haji yang wafat masih tinggi, namun Eka mengatakan, bahwa angka kematian pada 2017 tidak bisa dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal itu karena pada 2017, Indonesia mendapat kuota sebanyak 221 ribu jamaah.
Sedangkan pada 2016, jamaah haji yang diberangkatkan ialah sebanyak 168.800 jamaah. Tahun ini, pemerintah Saudi memang telah mengembalikan kuota jamaah haji kembali normal. Bahkan, Indonesia mendapat tambahan kuota sebanyak 10 ribu jamaah.
“Jamaah yang masuk berbeda kondisi kesehatannya dan lebih parah pada 2017. Banyak jamaah usia lanjut yang diprioritaskan berangkat. Jamaah di atas usia 75 tahun itu banyak, hampir 12 ribu orang dengan lanjut usia berangkat pada musim haji 2017,” kata Eka, saat dihubungi Republika.co.id.
Dia mengatakan, hampir semua jamaah diberangkatkan saja pada musim haji 2017 tanpa dilihat betul kondisi kesehatannya mampu atau tidak. Menurutnya, sebagian kalangan berpendapat bahwa orang yang sakit agar diberangkatkan saja. Padahal, aturan terkait istithaah kesehatan telah jelas diatur oleh pemerintah.
Eka menekankan, pengukuran kesehatan atau disebut istithaah kesehatan yang ditetapkan oleh Kemenkes tentunya merujuk pada fikih islam. Yang mana, istithaah kesehatan ini menjadi syarat wajib haji yang harus disosialisasikan kepada masyarakat. Permenkes No.15 tahun2016 itu, kata dia, ditetapkan atas rekomendasi dari Komite Pengawas HajiIndonesia (KPHI) dan dibuat bersama dengan Kementerian Agama.
Dia mencatat, terdapat lebih dari4.000 jamaah haji yang dirawat di rumah sakit di Arab Saudi pada penyelenggaraan haji musim 2017. Karena itulah, Eka menekankan, agar masyarakat memahami dan tidak memaksakkan untuk berangkat ke Tanah Suci. Sementara, kondisi kesehatannya tidak memungkinkan atau tidak isthitaah.
“Sangat disayangkan jika jamaah memaksakkan berangkat ke Tanah Suci. Namun setibanya di sana tidak mampu melaksanakan ibadah haji sebagaimana mestinya,” ujar Eka.
Eka mengatakan, ada tiga hal yangmembuat jamaah haji tidak memenuhi syarat isthitaahkesehatan. Hal itu di antaranya, penyakit yang bisa membahayakan jamaah haji itu sendiri, gangguanj iwa berat, dan penyakit yang tidak mungkin bisa disembuhkan.
Dikatakan Eka, jamaah haji yang memiliki penyakit menular atau penyakit lain seperti demensia (lupa ingatan) seharusnya tidak boleh diberangkatkan ke tanah suci. “Kalau jamaah haji mengertibahwa dirinya sudah tidak Istitha’ah, maka tidak wajib baginya melaksanakanibadah haji,” lanjutnya.
Pada musim haji tahun ini, Eka mengatakan, jamaah haji yang tidak bisa diberangkatkan karena terkait istithaah kesehatan tidak sampai 1 persen atau sekitar 100 ribu orang. Namun, faktanya jumlah kecil tersebut telah menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa pemerintah menghambat mereka untuk beribadah. Padahal, kata dia, istithaah itu sendiri adalah syarat wajib dalam ibadah haji.
Dalam rangka meningkatkan keselamatan haji dan agar kasus wafat jamaah haji bisa ditekan, Eka mengatakan, ada beberapa hal yang akan dilakukan pemerintah. Dalam hal ini, ia mengatakan, Kemenkes akan terus melakukan advokasi kepada para stakeholder penyelenggara ibadah haji.
Selanjutnya, Kemenkes juga akan melakukan sosialisasi kepada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) dan masyarakat. Tidak hanya itu,Kemenkes akan melakukan testimoni kepada jamaah yang mengalami sakit selama di Tanah Suci, yang mulai dari awal mendarat hingga pulang tidak pernah melaksanakan ibadah haji dan justru harus dirawat di rumah sakit.
Kemenkes, menurut Eka, juga akan melakukan implementasi dari Permenkes No.15 tahun 2016 secara lebih baik lagi. Hal itu dengan melakukan pembinaan kesehatan, penyuluhan kesehatan, dan manasikkesehatan. Langkah-langkah tersebut bertujuan agar jamaah bisa mempersiapkan dirinya jauh hari sebelum berangkat ke Tanah Suci dan agar jamaah bisa menjalankan rukun haji dengan baik.
“Kesehatan itu pada prinsipnya mendukung jamaah haji agar bisa beribadah dengan lancar. Sehingga, bisa menjadi haji mabrur. Ini menjadi fokus pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, supaya banyak jamaah haji kembali menjadi agen-agen perubahan untuk pembangunan bangsa,” ujarnya.
Eka menjelaskan, terdapat empat keadaan isthitaah kesehatan haji. Pertama, memenuhi syarat istithaah kesehatan haji. Kedua, memenuhi syarat istithaah kesehatan haji dengan pendampingan. Ketiga, tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara. Keempat, tidak memenuhi syarat istithah kesehatan haji.
Pada poin ketiga, Eka mengatakan, bahwa calon jamaah haji tersebut masih bisa diberangkatkan setelah penyakitnya sembuh. Dalam hal ini, calon jamaah haji ditunda keberangkatannya dan diundur ke dalam kloter berikutnya.
Karena itu, Eka pun memberikan beberapa saran bagi masyarakat yang ingin menunaikan ibadah haji. Dia menyarankan, agar masyarakat bisa mempersiapkan kesehatannya jauh-jauh hari sebelum berangkat. Bagi yang tidak memenuhi syarat istithaah, seperti yang memiliki penyakit berat, menular, atau yang bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain, sebaiknya ditunda atau penyakitnya disembuhkan dulu.
Sementara itu, Eka menilai, tidak perlunya ada fatwa MUI lagi terkait istithaah kesehatan haji. Karena secara teknis, menurutya, pengukuran kesehatan dilakukan oleh institusi kesehatan yang lebih memadai. Kalaupun MUI akan memfatwakan istithaah kesehatan, hal itu, menurutnya, harus dipertimbangkan oleh semua pihak. Selain itu, menurutnya, istithaahsecara umum sudah menjadi fatwa MUI pada 1979.