Enam Hal yang Tidak Membatalkan I’tikaf Meski Keluar dari Masjid

Tinggal di masjid selama bulan Ramadhan adalah bagian dari tata cara i’tikaf yang benar, menurut ulama ada enam hal yang yang tidak membatalkan i’tikaf meski keluar dari masjid.

Pada dasarnya bagi siapa saja yang melakukan i’tikaf tidak boleh baginya keluar dari masjid. Jika ia keluar dari masjid tanpa ada keperluan, maka batal lah itikafnya. Karena i’tikaf adalah diam di masjid dalam waktu tertentu, jika ia meninggalkan masjid sebelum selesai waktunya maka ia telah melakukan perkara yang menafikan itikaf itu. (Lihat, Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/477)

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي المَسْجِدِ، فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ البَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا» (رواه البخاري)

Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, ”Dan jika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam benar-benar memasukkan kepala beliau kepadaku sedangkan beliau tetap di masjid, maka aku pun meyisir rambut beliau. Dan beliau tidak memasuki rumah kecuali untuk keperluan jika beliau melakukan itikaf.” (Riwayat Al Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa siapa yang melakukan i’tikaf tidak menyibukkan diri kecuali berdiam diri di masjid, baik untuk melaksanakan shalat-shalat, membaca Al Quran maupun berdzikir. Dan tidak keluar kecuali bagi siapa yang memiliki keperluan. (Syarh Shahih Al Bukhari li Ibni Baththal, 4/165)

Nah, apa saja hal-hal yang membolehkan seorang yang beriitikaf untuk keluar dari masjid dan hal itu tidak membatalkan itikafnya?

Buang Hajat

Dibolehkan bagi siapa saja yang beritikaf untuk keluar dari masjid dalam rangka membuang air besar maupun air kecil. Perkara ini merupakan ijma seluruh umat Islam. Demikian juga boleh untuk mandi wajib. Membuang hajat di rumah tetap dibolehkan meski di masjid tersedia tempat untuk itu. Tidak disyaratkan pula untuk boleh keluar dalam rangka membuang hajat jika hajatnya sangat mendesak, karena hal itu bisa menimbulkan madharat. Dan tidak pula diharuskan cepat-cepat dalam membuang hajatnya itu. Namun jika harus berkali-kali membuang hajat dikarenakan diare, menurut mayoritas ulama madzhab Syafii tidak merusak i’tikaf. (Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/490,491)

Makan dan Minum

Dalam madzhab Syafii dibolehkan seseorang keluar dari masjid menuju rumah ketika ia melakukan itikaf jika itu dilakukan untuk makan. Perkara itu dibolehkan meskipun ia bisa melakukannya di masjid. Demikian menurut pendapat mayoritas dan pendapat ini merupakan pendapat shahih.

Adapun minum jika seseorang merasa haus sedangkan di masjid tidak tersedia air minum, maka ia boleh pulang ke rumahnya. Namun jika tersedia air minum di masjid, maka ada perbedaan para ulama mengenai hukumnya, yang paling shahih adalah tidak boleh keluar dari masjid. (Al Majmu` fi Syarh Al Muhadzdzab, 6/434)

Shalat Jenazah

Dalam madzhab Syafii ada perbedaan antara itikaf yang hukumnya wajib seperti itikaf karena nadzar dengan i’tikaf yang hukumnya sunnah. Untuk itikaf yang hukumnya wajib tidak boleh ditinggalkan meski untuk melaksanakan shalat jenazah. Namun jika itikaf sunnah, boleh keluar untuk melaksanakan shalat jenazah. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/497)

Menjenguk Orang Sakit

Siapa saja yang melaksanakan itikaf boleh menjenguk orang yang sakit tatkala ia melaksanakan itikaf sunnah, hal itu karena masing-masing, baik itikaf maupun menjenguk orang sakit sama-sama sunnah, maka ia bisa memilih. Namun jika itikaf yang dikerjakan adalah itikah wajib, maka tidak boleh baginya meninggalkan masjid untuk menjenguk orang sakit. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 498, 499)

Sakit

Jenis sakit ada dua, yakni sakit yang ringan dan sakit yang berat. Jika seorang menderita sakit ringan seperti batuk, demam ringan dan lainnya, maka tidak diperkenankan baginya untuk keluar dari masjid. Namun untuk penderita sakit berat di mana perlu tempat tidur dan pemeriksaan dokter, maka diperbolehkan keluar dari masjid. Namun apakah i’tikafnya terputus? Pendapat yang paling shahih menyatakan bahwa itikafnya tidak terputus. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/504)

Lupa

Jika seseorang keluar dari masjid karena lupa tatkala ia melakukan itikaf, maka I’tikafnya tidak batal. Dan pendangan ini adalah pendapat madzhab menurut mayoritas. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdab, 6/508)

Meski dibolehkan bagi siapa yang melakukan i’tikaf untuk keluar karena udzur, maka ketika ia memungkinkan untuk kembali ke masjid akan tetap ia memilih tidak kembali maka batallah itikafnya, hukumnya seperti orang yang keluar dari masjid tanpa ada udzur. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/510)*

HIDAYATULLAH

Berikut Inilah Waktu Melakukan I’tikaf

Berikut inilah waktu melakukan i’tikaf. Terlebih dalam 10 hari terkahir Ramadhan. Animo masyarakat tinggi untuk melaksanakan i’tikaf.  Pasalnya, guna meningkatkan ibadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah i’tikaf adalah salah satu upaya menjalaninya.

Selain itu, ini adalah salah satu ikhtiyar menggapai malam lailatul qadar. I’tikaf dilakukan di dalam masjid dengan diisi sholat, membaca Alquran, dan membaca zikir. Bagaimana mengenai waktunya? Adakah batasan waktu melakukan i’tikaf? Apakah sehari, semalam, atau berapa lamanya?

Batasan waktu dalam melakukan i’tikaf ternyata memiliki ragam pendapat. Setiap ulama mazhab memiliki pendapatnya karena perbedaan atsar yang dijadikan hujjah. Dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Zuhaili menampilkan keempat pandangan ulama mazhab utama panutan muslim dunia.

Ulama Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa waktu mengerjakan i’tikaf tidak ada batas waktunya. Asal sudah berniat melakukan i’tikaf dan menetap sejenak di masjid sudah dianggap i’tikaf.

Ibadah apapun, berapapun lamanya, sudah dianggap i’tikaf. Mereka pun tidak mensyaratkan puasa untuk melakukan i’tikaf. Jika merujuk pada dalil ini, itu artinya tiap kali kita memasuk masjid maka bisa diniati untuk melakukan i’tikaf.

Tidak jauh berbeda dengan ulama Mazhab Hanafi, ulama Mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan bermalam untuk melakukan i’tikaf. Asal waktunya melebihi kadar tuma`ninah pada ruku dan sujd, itu sudah cukup untuk melakukan i’tikaf.

Hal yang berbeda adalah ulama Mazhab Syafi’i tidak mewajibkan puasaBeda halnya dengan ulama Mazhab Maliki yang mewajibkan sehari semalam dalam beri’itikaf. Atau bisa dilakukan berapapun lamanya tapi tidak kurang 10 hari baik pada bulan Ramadhan atau tidak.

Dan ulama Mazhab Maliki mensyaratkan puasa untuk melakukan i’tikaf. Artinya dalam pandangan ulama mazhab ini, i’tikaf tidak sah bagi orang yang tidak berpuasa pada siang harinya.

Adapun pada Mazhab Hanbali, waktu melaksanakan i’tikaf paling sebentar adalah sepanjang waktu ia dianggap menetap, walau sebentar. Maka ulama mayoritas bersepakat untuk menetapkan waktu i’tikaf baik pada bulan Ramadhan atau di luarnya adalah sebentar, selama ia berniat dan menetap di masjid. Hanya Mazhab Maliki yang menetapkan minimal melakukan sehari semalam.

Hal yang membuat pendapat ulama menjadi berbeda adalah pemahaman mereka terhadap hadis Rasulullah. Hadis itu berbunyi:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Manshur] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Sa’id Al Qaththan] dari [Ubaidullah bin Umar] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] dari [Umar] ia berkata,

“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, pada masa Jahilliyah aku pernah bernadzar untuk beriktikaf di masjidil haram selama satu malam?” beliau menjawab: “Laksanakanlah nadzarmu.” Ia berkata; “Dalam bab ini hadits serupa diriwayatkan dari Abdullah bin Amru dan Ibnu Abbas.” Abu Isa berkata; “Hadits Umar derajatnya hasan shahih.

Beberapa ulama menafsirkan berbeda. Mereka memaknai hadis tersebut adalah batasan dari Rasulullah dalam melaksanakan i’tikaf. Atau mengqiyaskan tidak ada batasannya karena Umar mewajibkan dirinya melaksanakan i’tikaf semalam dengan nazar, dan nazar wajib dilaksanakan.

Adapun sebagian ulama mengartikan dari hadis ini bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktunya.

Maka dapat disimpulkan, jika mengikuti pendapat ulama mayoritas bahwa i’tikaf bisa dilakukan pada waktu kapanpun, berapapun lamanya tanpa diikuti dengan berpuasa. Memulainya dengan niat dan melakukan ibadah sebentar saja sudah dianggap i’tikaf.

BINCANG SYARIAH

Mau I’tikaf? Inilah yang Harus Dilakukan Saat I’tikaf

Pada 10 malam terakhir Ramadhan, banyak orang yang melaksanakan i’tikaf di masjid. Ada yang melakukan di tengah malam sampai menjelang subuh. Ada juga di tengah hari. Nah berikut penjelasan mau i’tikaf? inilah yang harus dilakukan saat i’tikaf.

Masih tersisa beberapa hari lagi untuk menghabiskan bulan Ramadhan dengan beri’tikaf. Hal-hal yang semestinya kita pahami adalah apa saja yang harus dilakukan saat i’tikaf. Tentunya di dalamnya kita beribadah, shalat, membaca Al-Qur’an, dan membaca zikir.

Syekh Wahbah Zuhaili mencatatnya dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, terkait pelbagai hal yang harus dilakukan saat i’tikaf.  Pertama, para ulama fikih sepakat bahwa orang yang sedang i’tikaf untuk menetap di dalam masjid. Inilah yang harus dilakukan dalam i’tikaf.

Pasalnya, berdiam diri di masjid salah satu rukun dari i’tikaf adalah menetap di dalam masjid dan tidak keluar dari masjid kecuali uzur syar’i atau darurat.

Kedua, perbanyaklah shalat, membaca Alqur’an, dan zikir dengan membaca tahlil dan istighfar. Selain itu, saat i’tikaf  perbanyak juga membaca shalawat kepada Nabi serta merenungi penciptaan alam semesta serta hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup.

Ketiga, sibukkanlah diri dengan membaca tafsir alquran, hadis, kisah-kisah Nabi dan cerita orang-orang shaleh. Sebab ibadah tak sebatas shalat, membaca zikir, dan puasa, tapi juga mempelajari ilmu adalah ibadah terutama ilmu-ilmu agama.

Karena tujuan dari melakukan i’tikaf adalah menjernihkan hati, mendekatkan diri kepada Allah, serta rehat dari kesibukan dunia. Tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan pahala semata, tapi juga untuk membersihkan hati dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Disunnahkan juga saat melakukan i’tikaf untuk berpuasa menurut mayoritas ulama. Karena saat berpuasa, nafsu lebih terkendali dan jiwa lebih bersih. Begitu juga disunnahkan melakukan i’tikaf di masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat jumat.

I’tikaf Terbaik di Ramadhan

Ibadah i’tikaf boleh dilakukan kapanpun, tapi waktu yang paling utama adalah bulan Ramadhan. Sebab Ramadhan adalah bulan yang utama, apalagi pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Di dalamnya tersimpan rahasia malam lailatul qadr dan beruntunglah yang mendapatkannya. Karena lailatul qadr nilai pahalanya setara dengan seribu bulan bahkan lebih baik.

Kesunnahan melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan berdasarkan hadis Nabi riwayat Sayyidah Aisyah:

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَأ  قَالَتْ: كَانَ رسُول اللَّهِ ﷺ: إِذا دَخَلَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ مِنْ رمَضَانَ، أَحْيا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَه، وجَدَّ وَشَدَّ المِئزرَ متفقٌ عَلَيهِ.

Artinya: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, berkata: “Rasulullah s.a.w. itu apabila telah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka beliau menghidup-hidupkan malamnya -yakni melakukan ibadah pada malam harinya itu-, juga membangunkan istrinya, bersungguh-sungguh -dalam beribadah- dan mengeraskan ikat pinggangnya -maksudnya adalah sebagai kata kinayah menjauhi berkumpul dengan istri-istrinya-.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan disunnahkan juga untuk beri’tikaf pada malam idul fitri. Karena salah satu kesunnahan saat malam lebaran adalah menghidup-hidupkannya dengan berzikir dan beribadah. Berdasarkan hadis:

عن أبي أمامة رضي الله عنه عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: (مَنْ قَامَ لَيْلَتَيِ الْعِيدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ , لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ)

Artinya: Dari Abi Umamah R.a dari Nabi Saw bersabda, : barang siapa yang menghidupkan dua malam hari raya (idul fitri dan idul adha) maka hatinya tidak mati sampai hari di mana hati dimatikan. (HR. Ibnu Majah)

Bahkan diperkuat dengan hadis yang semakna riwayat at-Thabrani:

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (من صلَّى ليلة الفطر والأضحى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ).

Artinya: Dari ‘Ibadah bin as-Shamit R.a bahwa Nabi Saw bersabda, “barang siapa yang shalat pada malam idul fitri dan idul adha maka tidak akan mati hatinya pada hari di mana hati dimatikan.

Meski Imam Nawawi dalam al-Majmu’ megomentari bahwa kedua hadis ini bersanad lemah, para ulama tetap mengamalkannya sebab berkaitan dengan Fada`il a’mal, keutamaan amal.

Orang yang sedang i’tikaf pun dilarang berkata-kata yang buruk, berbuat yang buruk. Dilarang juga bertengkar dan melakukan perbuatan keji. I’tikaf memang tidak jadi batal karena melakukan hal-hal tersebut, tapi makruh melakukan perbuatan yang sia-sia itu.

Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan saat melakukan i’tikaf. Semoga apa yang kita upayakan untuk mendapatkan ridha Allah, hati yang jernih, dan menuju Allah senantiasa dimudahkan dan diterima oleh Allah. Aamiin.

BINCANG SYARIAH

Anjuran I’tikaf di 10 Hari Terakhir Bulan Ramadhan

Inilah penjelasan anjuran i’tikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Kendati puasa semakin terasa berat, tapi di situlah letak kemenangan setiap muslim.

Selain itu, Allah menjanjikan malam Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan yang tak diketahui secara pasti kedatangannya. Setiap hamba dijanjikan pahala setara 1000 bulan lamanya atau setara dengan sekitar 83 tahun. Maka dari itu, terdapat anjuran i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Jika ditinjau, i’tikaf bermakna “al-Labts” yang berarti menetap baik selama menetap itu berbuat baik atau buruk. Makna tersebut diambil dari asal katanya yaitu huruf ‘ain, kaf, fa`. Dan diambil dari Alquran pada surat al-A’raf ayat 138:

وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَتَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰٓى اَصْنَامٍ لَّهُمْ ۚقَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ

Artinya: Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (bagian utara dari Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata,

“Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”

Ya’kufu bermakna “tetap”. Kemudian makna tersebut disempitkan dalam istilah terminologi yang lahir dari para ulama fikih. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan i’tikaf sebagai berdiam diri dalam masjid yang dibangun untuk shalat jama’ah, yang harus dibarengi dengan niat menyengaja i’tikaf.

Adapun syarat puasa dalam i’tikaf hanya berlaku untuk i’tikaf yang dinazari dan bersifat wajib. Dalam hal ini Syekh Wahbah Zuhaili dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu mengkhususkan perempuan untuk shalat di rumah, di tempat yang dikhususkan untuk shalat. Baginya, perempuan makruh untuk shalat atau i’tikaf di masjid. Sedangkan laki-laki diutamakan melakukan i’tikaf di masjid.

Sedangkan ulama Mazhab Maliki mewajibkan puasa baik itu puasa sunnah atau puasa wajib pada bulan Ramadhan dalam menjalani i’tikaf. I’tikaf paling sedikit dilakukan selama sehari semalam dan tidak ada batasan maksimal waktunya. Begitu juga seperti ibadah lain, i’tikaf harus disertai niat.

Adapun ulama Mazhab Syafi’i hanya mendefinisikan sebatas sebuah ibadah dengan berdiam diri di masjid disertai niat. Tanpa diwajibkan puasa baik wajib maupun sunnah.

Selebihnya, Ulama Mazhab Hanbali mendefinisikan i’tikaf dengan berdiam di masjid dalam bentuk ketaatan kepada Allah yang dilakukan oleh muslim yang tamyiz, berakal, suci dari hadas dan durasi paling sedikit adalah satu jam.

Ibadah i’tikaf disebutkan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187:

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Artinya: Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.

Ayat tersebut mendeskripsikan bahwa masjid adalah tempat yang dikhsusukan untuk ibadah. Oleh karena itu dilarang melakukan hubungan seksual saat beri’tikaf. Dan ayat ini menunjukkan salah satu syarat i’tikaf adalah sepenuhnya melakukan ibadah di dalamnya.

Adapun dalil hadisnya adalah pada apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. yaitu hadis dari istri Rasulullah, Aisyah R.a yang tercatat dalam shahih Bukhari:

 أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأوَاخِرَ مِن رَمَضَانَ حتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أزْوَاجُهُ مِن بَعْدِهِ

Artinya: Sesungguhnya Nabi Saw melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya, kemudian istri-istrinya pun melakukannya setelah Nabi Muhammad wafat. (HR. Bukhari)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad memperbanyak ibadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan dengan i’tikaf. Ibadah tersebut kemudian diteruskan oleh istri-istrinya.

Demikian keterangan anjuran i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan karena Nabi juga melakukannya begitu juga istri-istrinya. Semoga kita semua dikuatkan untuk menjalani ibadah i’tikaf di 10 hari terakhir.

BINCANG SYARIAH

Panduan Lengkap Tata Cara dan Niat I’tikaf

 Assalamu’alaikum wr wb, Hai Sahabat Bincang Muslimah..

Sepuluh hari terakhir bulan Ramadan adalah waktu diperkirakan Lailatul Qadar akan terjadi. Beribadah pada malam Lailatul Qadar dijanjikan pahala yang lebih baik dari seribu bulan.

Pada hari-hari itu pula umat islam dianjurkan untuk memperbanyak i’tikaf. Ketika i’tikaf disunahkan untuk membaca doa.

Berikut doa niat i’tikaf di masjid.;

نَوَيْتُ الاِعْتِكَافَ فِي هذَا المَسْجِدِ لِلّهِ تَعَالى

Nawaitul i’tikaafa fii haadzal masjidi lillaahi ta’aalaa

“Aku niat i’tikaf di masjid ini karena Allah Ta’ala”

Selain berniat, apa saja amalan yang bisa kita lakukan selama i’tikaf? dan bagaimana tata cara i’tikaf yang baik dan benar?

Simak penjelasan selengkapnya dalam video kali ini, bersama Ustadzah Qurrota ‘Ayuni Lc, S.OS.

Demikian doa niat i’tikaf di masjid yang tercatat dalam kitab Al-Majmu’. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

BINCANG MUSLIMAH

Hal-hal Terlarang Dalam I’tikaf

BERIKUT ini aktivitas yang diperbolehkan selama Itikaf (diringkas dari Fiqhus Sunnah):

– Tawdi (melepas keluarga yang mengantar), sebagaimana yang nabi lakukan terhadap Shafiyyah

– Menyisir dan mencukur rambut, sebagaimana yang Aisyah lakukan terhadap nabi

– Keluar untuk memenuhi hajat manusiawi, seperti buang hajat

– Makan, minum, dan tidur ketika itikaf di masjid, atau mencuci pakaian, membersihkan najis, dan perbuatan lain yang tidak mungkin dilakukan di masjid.

Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan salat jumat bagi yang itikafnya di masjid ghairu jami, antara yang membolehkan dan yang mengatakan batal itikafnya.

Pembatal-pembatal Itikaf

Pembatal-pembatal tersebut antara lain:

– Secara sengaja keluar dari masjid tanpa ada keperluan walau sebentar

– Murtad

– Hilang akal

– Gila

– Mabuk

– Jima (hubungan badan). (Lihat semua dalam Fiqhus Sunnah, 1/481-483)

Aktivitas selama Itikaf

Hendaknya para mutakifin memanfaatkan waktunya selama itikaf untuk aktivitas ketaatan, seperti membaca Alquran, zikir dengan kalimat yang matsur, muhasabah, salat sunah mutlak, boleh saja diselingi dengan kajian ilmu.

Berbincang dengan tema yang membawa manfaat juga tidak mengapa, namun hal itu janganlah menjadi spirit utama. Tidak sedikit orang yang itikaf berjumpa kawan lama, akhirnya mereka ngobrol urusan dunianya; nanya kabar, jumlah anak, kerja di mana, dan seterusnya, atau disibukkan oleh SMS yang keluar masuk tanpa hajat yang jelas, akhirnya membuatnya lalai dari aktivitas ketaatan.

Syaikh Ibnul Utsaimin Rahimahullah mengomentari hal ini, katanya:

“Perkataannya (untuk ketaatan kepada Allah) huruf Lam di sini adalah untuk menunjukkan sebab (ilat- istilahnya lam talil), yaitu bahwa dia menetap di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah, bukan untuk memisahkan diri dari manusia, bukan pula karena ingin mengunjungi sahabat-sahabatnya, kerabatnya, lalu berbincang dengan mereka, tetapi untuk memfokuskan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.

Dengan inilah kita tahu bahwa mereka sedang itikaf di masjid. Lalu datang kepada mereka sahabat-sahabat mereka, dan ngobrol dengan tema pembicaraan yang tidak berfaidah, mereka ini datang tidak dengan ruh (spirit) untuk beritikaf, karena ruh yang ingin beritikaf, berdiamnya di masjid adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Benar, bahwa manusia boleh saja berbincang kepada sebagian anggota keluarganya tetapi tidaklah memperbanyaknya, sebagaimana yang dilakukan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam.”

Ada pun untuk menuntut ilmu di majelis itikaf, beliau berkata:

“Tidak ragu bahwa menuntut ilmu termasuk ketaatan kepada Allah, tetapi itikaf terdapat ketaatan khusus, seperti salat, zikir, membaca Alquran, dan yang serupa itu. Tidak apa-apa mutakif menghadiri satu pelajaran atau dua dalam sehari atau malam, sebab itu tidak mempengaruhi itikafnya, tetapi jika majelis ilmu diadakan terus menerus, akan membuatnya mengkaji materinya, menghadiri berbagai majelis yang memalingkannya dari ibadah khusus, ini tidak ragu lagi membuat itikafnya berkurang, di sini saya tidak katakan menganulir itikafnya. (Lihat semua dalam Syarhul Mumti, 6/163).

Pelajaran yang bisa kita petik dari itikaf adalah:

– Menegaskan kembali posisi masjid sebagai sentral pembinaan umat

– Sesibuk apa pun seorang muslim harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Taala secara fokus dan totalitas

– Hidup di dunia hanya persinggahan untuk menuju keabadian akhirat. [dakwatuna]

 

 
– See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2382352/hal-hal-terlarang-dalam-itikaf#sthash.mhz4kkAg.dpuf