Berikut Inilah Waktu Melakukan I’tikaf

Berikut Inilah Waktu Melakukan I’tikaf

Berikut inilah waktu melakukan i’tikaf. Terlebih dalam 10 hari terkahir Ramadhan. Animo masyarakat tinggi untuk melaksanakan i’tikaf.  Pasalnya, guna meningkatkan ibadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah i’tikaf adalah salah satu upaya menjalaninya.

Selain itu, ini adalah salah satu ikhtiyar menggapai malam lailatul qadar. I’tikaf dilakukan di dalam masjid dengan diisi sholat, membaca Alquran, dan membaca zikir. Bagaimana mengenai waktunya? Adakah batasan waktu melakukan i’tikaf? Apakah sehari, semalam, atau berapa lamanya?

Batasan waktu dalam melakukan i’tikaf ternyata memiliki ragam pendapat. Setiap ulama mazhab memiliki pendapatnya karena perbedaan atsar yang dijadikan hujjah. Dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Zuhaili menampilkan keempat pandangan ulama mazhab utama panutan muslim dunia.

Ulama Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa waktu mengerjakan i’tikaf tidak ada batas waktunya. Asal sudah berniat melakukan i’tikaf dan menetap sejenak di masjid sudah dianggap i’tikaf.

Ibadah apapun, berapapun lamanya, sudah dianggap i’tikaf. Mereka pun tidak mensyaratkan puasa untuk melakukan i’tikaf. Jika merujuk pada dalil ini, itu artinya tiap kali kita memasuk masjid maka bisa diniati untuk melakukan i’tikaf.

Tidak jauh berbeda dengan ulama Mazhab Hanafi, ulama Mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan bermalam untuk melakukan i’tikaf. Asal waktunya melebihi kadar tuma`ninah pada ruku dan sujd, itu sudah cukup untuk melakukan i’tikaf.

Hal yang berbeda adalah ulama Mazhab Syafi’i tidak mewajibkan puasaBeda halnya dengan ulama Mazhab Maliki yang mewajibkan sehari semalam dalam beri’itikaf. Atau bisa dilakukan berapapun lamanya tapi tidak kurang 10 hari baik pada bulan Ramadhan atau tidak.

Dan ulama Mazhab Maliki mensyaratkan puasa untuk melakukan i’tikaf. Artinya dalam pandangan ulama mazhab ini, i’tikaf tidak sah bagi orang yang tidak berpuasa pada siang harinya.

Adapun pada Mazhab Hanbali, waktu melaksanakan i’tikaf paling sebentar adalah sepanjang waktu ia dianggap menetap, walau sebentar. Maka ulama mayoritas bersepakat untuk menetapkan waktu i’tikaf baik pada bulan Ramadhan atau di luarnya adalah sebentar, selama ia berniat dan menetap di masjid. Hanya Mazhab Maliki yang menetapkan minimal melakukan sehari semalam.

Hal yang membuat pendapat ulama menjadi berbeda adalah pemahaman mereka terhadap hadis Rasulullah. Hadis itu berbunyi:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Manshur] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Sa’id Al Qaththan] dari [Ubaidullah bin Umar] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] dari [Umar] ia berkata,

“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, pada masa Jahilliyah aku pernah bernadzar untuk beriktikaf di masjidil haram selama satu malam?” beliau menjawab: “Laksanakanlah nadzarmu.” Ia berkata; “Dalam bab ini hadits serupa diriwayatkan dari Abdullah bin Amru dan Ibnu Abbas.” Abu Isa berkata; “Hadits Umar derajatnya hasan shahih.

Beberapa ulama menafsirkan berbeda. Mereka memaknai hadis tersebut adalah batasan dari Rasulullah dalam melaksanakan i’tikaf. Atau mengqiyaskan tidak ada batasannya karena Umar mewajibkan dirinya melaksanakan i’tikaf semalam dengan nazar, dan nazar wajib dilaksanakan.

Adapun sebagian ulama mengartikan dari hadis ini bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktunya.

Maka dapat disimpulkan, jika mengikuti pendapat ulama mayoritas bahwa i’tikaf bisa dilakukan pada waktu kapanpun, berapapun lamanya tanpa diikuti dengan berpuasa. Memulainya dengan niat dan melakukan ibadah sebentar saja sudah dianggap i’tikaf.

BINCANG SYARIAH