Dalil Larangan KDRT dalam Islam

SAHABAT mulia Islampos, Islam melarang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Larang ini jelas tertera dalam beberapa dalil. Apa saja dalil larangan KDRT tersebut?

Seperti diketahui, kasus KDRT masih marak di masyarakat. Baru-baru ini artis yang juga anggota DPR/MPR Venna Melinda yang mengalaminya hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit akibat KDRT yang dilakukan Ferry Irawan, suaminya. Tindakan KDRT tersebut dikecam banyak pihak.

Menurut Islam, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sangat dilarang. Dikutip dari laman resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), keislaman dan kekerasan adalah dua terma yang bertentangan.

Ada yang menginterpretasikan Surat An-Nisa Ayat 34 sebagai legitimasi dari perbuatan kekerasan (memukul) terhadap istri.

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ؕ وَالّٰتِىۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَهُنَّ فَعِظُوۡهُنَّ وَاهۡجُرُوۡهُنَّ فِى الۡمَضَاجِعِ وَاضۡرِبُوۡهُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَيۡهِنَّ سَبِيۡلًا ؕاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيۡرًا‏

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS An-Nisa: 34)

Kemudian dalam kitab Shahih Muslim, berdasarkan riwayat dari sahabat Jabir, dari Nabi, bahwa Nabi pernah bersabda dalam haji wadanya:

واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.”

Sesungguhnya dalam konsep keagamaan, Islam sangat melarang kekerasan, apalagi dalam keluarga. Kerap kali KDRT terjadi karena ketidakpatuhan (durhaka) istri atau kealpaan suami dalam menjalankan kewajibannya, dalam Islam dikenal dengan nusyuz.

KDRT jelas hal yang dilarang dalam Islam. Bahkan seorang ahli hukum asal Suriah abad 19, Ibnu Abidin, mengatakan bolehnya permohonan hukuman jasmani (ta’zir, qiyas) oleh istri terhadap suami yang melakukan kekerasan terhadapnya.

Hadis lainnya menyebutkan, “Janganlah kalian memukul hamba Allah perempuan, yaitu istri-istri kalian. Lalu Umar datang kepada Nabi dan berkata ada istri yang membangkang kepada para suami. Lalu Nabi memberi keringanan memukul mereka. Namun setelah itu banyak wanita mengadu kepada keluarga Nabi karena dipukul suaminya. Nabi bersabda; Sungguh perempuan-perempuan mendatangi keluarga Muhammad yang mengadu atas perbuatan suaminya. Para suami (yang suka memukul) bukan orang-orang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud)

Berdasarkan hadis di atas, melakukan kekerasan terhadap istri dalam bentuk fisik maupun psikis, merupakan perbuatan terlarang dalam Islam. Bahkan,dalam Alquran pun terdapat banyak ayat tentang perintah melakukan perbuatan baik dan kasih sayang terhadap istri.

Di Indonesia sendiri KDRT merupakan tindakan yang bisa dipidanakan karena melanggar hukum. Bahkan, telah ada undang-undang khusus terkait KDRT. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebagai pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan.

UU PKDRT dianggap sebagai salah satu peraturan yang melakukan terobosan hukum karena terdapat beberapa pembaharuan hukum pidana yang belum pernah diatur oleh undang-undang sebelumnya.

Adapun bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk dalam KDRT yang disebutkan dalam undang-undang, terdiri atas beberapa kategori yaitu: (1) Kekerasan Fisik seperti menampar, memukul, menyiksa dengan alat bantu; (2) Kekerasan Psikis seperti menghina, melecehkan dengan kata-kata yang merendahkan martabat sebagai manusia, selingkuh; (3) Kekerasan Seksual seperti pemerkosaan, pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, ejekan dengan gerakan tubuh jika kehendak pelaku tidak dituruti korban; (4) Penelantaran Rumah Tangga di mana akses ekonomi korban dihalang-halangi dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan atau memanipulasi harta benda korban. []

SUMBER: OKEZONE / ISLAMPOS

KDRT, Memukul Wajah Istri Sampai Berdarah?

Wahai suami, jangan sampai terjadi KDRT!

Sangat sangat tidak layak seorang laki-laki memukul wanita sampai terluka berdarah, apalagi di wajahnya.

Memukul dan menempeleng di wajah itu dilarang oleh agama baik untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, dan siapa saja. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

إذَا قاتَلَ أحَدُكُمْ فلْيَجْتَنِبِ الوَجْهَ.

“Jika salah seorang dari kalian berperang (memukul), maka hendaklah ia menghindari bagian wajah.” (HR. Bukhari no. 2372)

Jika memang jantan, seharusnya engkau berhadapan dengan sesama laki-laki.

Engkau beradu otot dengan sesama laki-laki, terlebih di medan jihad.

Tetapi engkau berhadapan dengan wanita yang disifati dalam hadis sebagai kaca yang mudah pecah.

اِرْفَقْ بِالْقَوارِيْرِ

“Lembutlah kepada gelas-gelas kaca (maksudnya para wanita).” (HR. Bukhari)

Diketuk kasar saja, pecahlah kaca. Apalagi dipukul sekuat tenaga bersama kebencian dan cacian. Istrimu adalah partner bersama membangun rumah tangga, bukan rumah duka.

Memang benar, boleh memukul istri, tetapi itu sebagai langkah terakhir. Sekali lagi, sebagai langkah terakhir setelah langkah-langkah berikut:

Pertama: suami instrospeksi diri karena pembangkangan istri dan anak-anak, bisa jadi karena maksiat yang dilakukan oleh si suami sendiri.

Kedua: setelah menasihati istri secara baik-baik.

Ketiga: setelah menjauhi tempat tidurnya.

Memukulnya pun menurut penjelasan ulama itu hanya memakai siwak dan bantal yang tujuannya sekedar untuk menunjukkan puncak ketidaksukaan suami pada istri. Bukan dipukul, dibogem, atau dipukul dengan kayu, apalagi cambuk.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

عَنْ عَطَاءٍ قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا الضَّرْبُ غَيْرُ الْمُبَرِّحِ؟ قَالَ: السِّوَاكُ وَشِبْهُهُ، يَضْرِبُهَا بِهِ

Dari ‘Atha, dia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pemukulan yang tidak menyakitkan?’”

Dia menjawab, ‘Memukul dengan siwak atau yang serupa dengannya.’” (Tafsir Ibnu Jarir, 8: 314)

Cukuplah teladan bagi kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memukul istri-istrinya, pembantu, dan budaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah memukul dengan tangannya, tidak pernah memukul istri, dan tidak pernah memukul pembantu, kecuali ketika berjihad fii sabilillah.” (HR. Muslim)

Semoga Allah Ta’ala menjaga rumah tangga kaum muslimin

***

Penulis: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp.PK.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79203-kdrt-memukul-wajah-istri-sampai-berdarah.html

Makna Pemukulan Terhadap Istri dalam Islam

Baru-baru ini viral di Twitter, seolah ada pembiaran KDRT berupa pemukulan terhadap istri, lantaran dianggap aib sehingga tidak boleh diceritakan. Nah, bagaimana Islam makna pemukulan terhadap istri dalam Islam? 

Lebih lanjut, Komnas Perempuan mencatat telah terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari-Juli 2021. Angka itu melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus. Dan kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan terdapat 8.234 kasus. 

Jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus). Di dalamnya, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama, dengan 3.221 kasus (50%).

Kesadaran perempuan akan kemanusiaan yang masih tertutup itu dipicu oleh tradisi dan interpretasi agama. Budaya patriarki dan interpretasi agama yang dimonopoli oleh laki-laki adalah keterpaksaan syari’ dalam melegitimasi etos sosial kala itu yang tidak sedikit berujung diskriminasi dan operasi di masa ini.

Sehingga gradualisme Islam ini diyakini satu-satunya cara efektif dalam mengubah peradaban yang haus akan keadilan.

Kekerasan berupa pemukulan oleh suami kepada istri lantaran istri membangkang, yang seakan-akan dilegitimasi oleh agama. Kasus ini dikenal dengan istilah nusyuz, yang berakibat pada gugurnya kewajiban suami terhadap istri. 

Tetapi mengapa di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hanya ada pasal mengenai nusyuz istri, tidak ada mengenai nusyuz suami? Padahal, di dalam Al-Qur’an sendiri, nusyuz dibahas dari dua arah. Ada nusyuz suami kepada istri (QS. An-Nisaa’ [4]: 128). 

nusyuz di sini diartikan berpaling, enggan atau tidak lagi memberi perhatian kepada sang istri. Bisa jadi, itu karena suami sudah tidak tertarik lagi, atau sudah mulai tertarik dengan perempuan lain.

Dalam kondisi ini, Allah menganjurkan pasutri untuk berdamai agar kembali pada komitmen bersama sebagai pasangan yang saling mencintai dan menguatkan satu sama lain dengan cara win-win solution, sekalipun masing-masing biasanya akan egois (syukh, kikir adalah bagian dari egois).

Inilah yang dimaksud shulh dalam ayat tersebut. Kemudian Allah meminta keduanya untuk meningkatkan perbuatan baik kepada pasangan. Inilah yang dimaksud ihsan itu.

Terakhir, Allah juga meminta agar keduanya menghentikan dan membentengi diri dari segala sikap, pernyataan dan tindakan buruk kepada pasangan. Dan inilah yang disebut takwa dalam ayat tersebut. Jadi, jika terjadi nusyuz maka solusi yang ditawarkan al-Quran adalah shulh, ihsan dan takwa. 

Ayat tersebut seharusnya menjadi norma dan prinsip dalam memahami ayat lain (QS. An-Nisaa’ [4]: 34) mengenai nusyuz istri kepada suami. Sehingga ketika istri nusyuz, tidak serta-merta suami boleh memukulnya. Sebab, inti dari pengelolaan nusyuz dalam al-Quran adalah bagaimana mengembalikan pada relasi semula yang saling mencintai dan mengasihi. 

Memukul adalah jauh dari substansi relasi yang dianjurkan al-Quran. Karena itu, banyak ulama tafsir klasik otoritatif yang menganggap memukul istri itu makruh, atau setidaknya khilaful awla (bertentangan dengan akhlak mulia), bahkan kata wadhribuhunna menurut Ahmad Ali dari Pakistan diterjemahkan dengan “melakukan hubungan seksual”, sebagaimana argumen ahli kamus terkemuka, ar-Raghib bahwa dharaba fahl an-naqata, artinya pasangan onta jantan dengan onta betina. 

Oleh karena itu, jika terjadi nusyuz maka berkomunikasilah dengan yang melakukan nusyuz secara baik-baik, agar ia dapat memahami, sadar dan bisa kembali memperbaiki hubungan. Inilah makna fa’izhuhunna dalam ayat 34 tersebut. 

Lalu, beri kesempatan untuk merenung, berpikir, dan berefleksi dengan cara tidur menyendiri agar tidak diganggu pasangan, sehingga diharapkan bisa kembali segar dan memegang kembali komitmen berpasangan seperti semula. Inilah makna wahjuruhunna fil madhaji’ pada ayat tersebut. 

Nasihat dan pisah ranjang ini merupakan tahapan dan proses untuk damai (shulh) yang disebutkan pada ayat lain (QS. An-Nisa’ [4]: 128). Untuk tujuan damai, ayat ini juga menekankan pentingnya berbuat baik yang simultan (ihsan) antara suami istri, dan menjaga diri dari penyelewengan yang bisa merusak hubungan. 

Dalam perspektif Islam, pemukulan atau segala jenis kekerasan apa pun itu selain menyimbolkan dominasi laki-laki juga sama sekali tidak direkomendasikan untuk menyelesaikan persoalan relasi pasutri.

Seperti kata Ibnu Hajar al-Atsqalani, alih-alih bisa memperbaiki hubungan antara suami dan istri, pemukulan malah bisa melahirkan sakit hati dan kebencian. 

Sementara itu, anak dari pasutri akan merekam semua tindakan kekerasan dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Jika hal ini terjadi, maka akan menjadi rantai dan budaya kekerasan. 

Betapa besar dosa orang yang melakukan kekerasan ini kepada istri. Alih-alih efektif dengan tujuan menjadi lebih baik ternyata malah bikin runyam keadaan. Keburukan ini sudah diwanti-wanti oleh para psikolog, mengingat efek negatifnya yang berkepanjangan.

Dari pemaparan di atas, bisa ditarik beberapa poin berikut. Pertama, pemukulan terhadap istri tidak dibenarkan. Terkait derivasi kata “dhorb” dalam ayat di atas tidak relevan lagi kalau diartikan memukul. Kedua, KDRT itu harus dilaporkan karena sudah ada peraturannya (pelaksana, sanksi, dll).

Ketiga, KDRT bukan aib di mata mahkamah. Makanya harus segera dilaporkan. Keempat, kekerasan itu salah satu biang kerok tidak tumbuhnya sakinah, dan berpeluang besar bikin mawaddah bahkan rahmah infertil di lubuk hati. 

Demikian penjelasan terkait makna pemukulan terhadap istri dalam Islam. Semoga makna pemukulan terhadap istri tidak disalah artikan dan disalahgunakan oleh para suami.

BINCANG SYARIAH

Ini 5 Hal yang Patut Direnungkan Agar Tak Bertindak Keras pada Istri

Fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dengan pengaruh budaya patriarki yang masih melekat di tengah masyarakat. Suami tak segan bertindak keras pada istri di antaranya karena pemahaman agama yang sudah tidak relevan untuk saat ini. Anehnya, para remaja yang masih pacaran sudah berani bertindak keras kepada pasangannya padahal tidak memiliki ikatan sah baik secara Agama maupun Negara. Melihat fakta yang ada perlu untuk menamkan lebih dalam lagi nilai-nilai membangun rumah tangga khususnya bagi laki-laki yang ringan tangan dan para remaja untuk pegangan di kemudian hari. 

Dalam Surah An-Nisa ayat 34 Allah swt. Berfirman;

“… perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyuz hendaklah beri nasehat (jika tetap) tinggalkan mereka (pisah ranjang) dan pukullah mereka (kalau terpaksa melakukan). Tapi jika mereka menaatimu maka janganlah mencari-cari kesalahannya untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.” [Q.S. An-Nisa, 34]

Fakhrudin Al-Razi saat menginterpretasi ayat di atas dalam kitabnya [Mafatihu Al-Ghaib:72/10] mengatakan bahwa tujuan dari penyebutan sifat Allah (Maha Tinggi dan Maha Besar) untuk mendidik kepada suami agar tidak memperlakukan istrinya sewena-wena. Lebih lanjut, Fakhrudin Al-Razi  mengatakan;

. وَذِكْرُ هَاتَيْنِ الصِّفَتَيْنِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ فِي غَايَةِ الْحُسْنِ

“Adapun penyebutan dua sifat Allah ini (Maha Tinggi dan Maha Besar) pada tempat ini (memiliki nilai) dalam puncak kebaikan.”

Nilai-nilai tersebut. Pertama, ketika istri-istri itu tidak mampu menolak kezaliman suami maka bagi suami janganlah terpedaya untuk merasa lebih tinggi derajatnya dan lebih kuat tangannya karena Allah swt. itu Maha Agung, pemaksa dan kuasa masih mengasihi para istri dan memenuhi hak-haknya.

Kedua, bagi para suami  janganlah mencari-cari kesalahan istri karena kekuatan tangan yang dimiliki ketika istri sedang berbaik hati (ta’at) karena sesungguhnya Allah swt. lebih tinggi dari pada para suami dan Allah lebih besar kekuasaannya namun Allah tetap mengangunggkan wanita dengan tidak memberatkan kecuali dengan benar.

Ketiga, Allah swt beserta sifat kebesaran dan ketinggiannya tidak pernah memberatkan kalian, para suami kecuali sekedar apa yang dimampui oleh kalian. Maka, seharusnya engkaupun demikian kepada istri-istri mu yang katanya kau cintai dan diikrarkan dalam perjanjian yang sakral (akad nikah) karena sesungguhnya mereka secara fisik tidak sekuat kalian.

Keempat, Allah swt dengan segala keluhuran dan kebesarannya tidak ernah menyiksa orang-orang yang melakukan maksiat sekeji apapun bila bertaubat bahkan Allah akan mengampuninya. Oleh karena itu, ketika istri-istrimu sedang berbaik hati (tidak nuzuz) setelah membangkang maka seharusnya engkau lebih menerima kepada sikap-sikap mereka. Janganlah kalian menghukum apa lagi menyiksanya.

Kelima, Allah swt. Dengan segala keluhurun dan kebesarannya tetap mencukupkan dengan yang nampak-nampak saja dan tidak mencari-cari kepada kesalahan yang tersembunyi maka seharusnya para suami lebih mencukupkan lagi dengan kondisi luarnya istrimu. Janganlah engkau mencari-cari kesalahan yang berada dalam hatinya yang tersimpan baik berupa cinta kasih apa lagi kemurkaannya kecuali engkau akan bersikap lemah lembut kepadanya.

Dalam panggung sejarah tidak ada yang seganas Sayyidina Umar bin Khattab bahkan beliau juga memiliki kedudukan paling tinggi dikalangan umat islam, orang nomor satu sebagai khalifah Al-Rasyidin ke dua setelah Abu Bakar. Akan tetapi, beliau tetap berlaku baik kepada istrinya. Dalam kitab ‘Uqudul Al-Lujain Fi Huququ Al-Zaujain, karangan Syeh Nawawi Al-Bantani, pada bab-bab awal memaparkan bagaimana interkasi Sayyidina Umar kepada istrinya, yang juga dikutip oleh Syeh Sulaiman Al-Bujairami dalam kitab Hasyiah AlBujairami [441/3].

Diceritakan bahwa seorang suami datang kepada Umar bin Khattab ingin mengadukan keburukan istrinya. Setelah sampai ke rumahnya Umar, ia berdiri di pintu sambil lalu menanti Umar yang sedang ditunggu. tiba-tiba lelaki itu mendengar suara istrinya Umar sedang mengomeli sang Khalifah sementara beliau hanya berdiam tidak melawan. Maka pulanglah lelaki tersebut sambi bergumam, “jika kondisi Amirul Mukminin, Umar bin Khattab saja begitu (diomeli) lantas kondisi ku bagaimana yang Cuma rakyat biasa?”. Umar keluar rumah dan melihat lelaki itu, dipanggillah ia menghadap Umar khawatir ada urusan penting soal Agama dan administrasi Negara. Lalu Umar bertanya, “ada kebutuhan apa wahai saudaraku?”

lelaki itu menceritakan gerangan apa yang ingin diadukan. Setelah mendengar cerita itu, Umar pun memberi nasehat kepada sang suami, “aku menerima segala erlakuan buruk istriku karena dia telah menyiapkan makananku, menyediakan sarapanku, mencucikan bajuku dan menyusui anakku padahal itu bukan kewajibannya. Hati kupun aman dari hal-hal haram karena-nya. karena hal tersebut maka aku harus menerima perlakuan buruknya”. Mendegar nasihat itu, lelaki itu berkata, “ya… Amirul Mukminin istriku sama dengan istrimu”. Maka terimalah wahai saudaraku, hal itu tidak akan berlangsung lama! Teladanilah!

BINCANG SYARAIAH