Kisah Umar bin Abdul Aziz dan Putranya, Abdul Malik Dua Pemimpin Kaum Muslimin di Bumi Syam

“Tahukah engkau bahwa setiap kaum terdapat bintang yang istimewa. Dan bintang Bani Umayyah adalah Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya ia di bangkitkan pada hari kiamat bagaikan satu ummat”

(Muhammad bin Ali bin Husain)

Sungguh Umar bin Abdul Aziz adalah seorang tabi’in yang mulia. Dikisahkan bahwa ketika ia di angkat menjadi khalifah ia sangat menolaknya. Padahal masyarakat begitu berharap pada kepemimpinannya.

Mereka terus membujuknya untuk menjadi khalifah, melihat dari sifat amanahnya, zuhud serta waro’nya. Sampai akhirnya Allah melapangkan dadanya untuk menerima amanah tersebut. Kemudian ia berkhutbah,

“Wahai sekalian manusia, Barang siapa yang taat pada Allah maka wajib pula bagi kita untuk mentaatinya. Dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah, maka tidak ada ketaatan baginya. Wahai manusia, taatlah kepadaku selama aku berbuat taat kepada Alloh. Namun tiada ketaatan bagiku jika telah bermaksiat kepada Alloh”

Sepulang dari khutbah tersebut, ia menuju rumahnya untuk beristirahat. Setelah ia di sibuk kan dengan urusan kaum muslimin sejak wafatnya khalifah sebelumnya.

Namun ketika ia hendak beristirahat, datanglah putranya, Abdul Malik. Saat itu usianya baru menginjak tujuh belas tahun. Kemudian Abdul Malik berkata,

“Apa yang hendak engkau lakukan wahai amirul mukminin?”

“Duhai anakku, aku ingin beristirahat sejenak. Ayahmu ini sungguh sangat letih”

“Engkau ingin beristirahat padahal engkau belum mengembalikan hak-hak orang yang didzolimi kepada pemiliknya?”

“Sungguh aku telah begadang semalaman di tempat pamanmu, Sulaiman. Jika tiba waktu dzuhur maka aku akan sholat berjamaah lalu akan aku kembalikan hak-hak tersebut”

“Siapa yang menjaminmu bisa hidup sampai waktu dzuhur?”

Mendengar jawaban tersebut, Umar pun terbangun dari tempat tidurnya. Lalu berkata,

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dari tulang sulbiku sesorang yang menolongku menegakkan agamaku”

Kemudian ia pergi dan mengumpulkan manusia. Lalu berkata,

“Barang siapa yang merasa didzolimi maka ambillah haknya!”

Lalu siapakah Abdul Malik?

Umar bin Abdul Aziz di dikaruniai 15 putra. Mereka semua terdidik dalam tarbiyah yang luar biasa. Sedang Abdul Malik bagaikan bintang bersinar di antara saudara saudara yang lain.

‘Ashim, sepupunya pernah berkisah tentangnya,

“Suatu hari ketika kami berada di Damaskus kami mendirikan sholat berjamaah. Kemudian kami pergi tidur. Sedang Abdul Aziz tetap bangun, bahkan ketika aku bangun ditengah malam aku masih melihat Abdul Malik shalat. Ia terus mengulang-ulang ayat yang ia baca. Melihat ia terus menangis seolah-olah ia akan terbunuh karna tangisannya. Namun ketika ia melihatku terbangun, sesegera ia hentikan tangisannya, dan aku tak lagi mendengar apapun.”

Maimun bin Mahron, salah satu mentri Umar bin Abdul Aziz pernah bercerita,

“Aku mendatangi Umar bin Abdul Aziz, ku dapati ia sedang menulis surat untuk anaknya. Ia pun merangkai nasehat untuk sang putra,

“Duhai putraku, sungguh orang yang paling memahami perkataanku adalah engkau.

“Sungguh Allah telah memperbaiki urusan kita baik yang kecil maupun yang besar.

“Ingatlah nikmat Allah bagimu dan Ayahmu ini.

“Jauhilah sikap sombong, karena sombong adalah sifat setan. Dan ia adalah musuh yang nyata bagi kaum muslimin.

“Ketahuilah, aku tak menulis surat ini karena sebuah perkara yang aku dengar tentangmu. Aku tak mengenal sifatmu kecuali kebaikan.

“Hanya aku mendengar sikap ujubmu, sungguh sikap ini sikap yang aku benci.”

Kemudian Umar memandangku dan berkata,

“Wahai Maimun, sungguh anakku Abdul Malik terlihat begitu baik di mataku. Sungguh aku takut jika rasa cintaku kepadanya membuatku menutupi aibnya. Sebagaimana seorang bapak yang terbutakan dari aib putra nya. Maka pergilah kepadanya bersama surat ini! Dan jika kamu mendapati sikap sombong atau bermegah-megahan darinya, perbaikilah. Karena ia masih begitu muda, ia masih mudah untuk tergoda setan.”

“Lalu aku pun pergi menemui Abdul Malik, lalu mulai menanyainya tentang kehidupannya sehari-hari. Namun tak ku dapati kecuali kebaikan. Sampai pada sore hari datang seorang pemuda menemuinya. Lalu berkata,

“Kami sudah selesai”

Ia hanya terdiam, lalu aku pun bertanya,

“Selesai dari apa?”

“Kamar mandi”

“Maksudnya?”

“Para penduduk mengosongkan kamar kamar mandinya untukku”

“Sungguh engkau telah berbuat sombong.”

“Aku memberikan upah bagi pemilik kamar mandi.”

“Kenapa kau tak masuk kamar mandi bersama mereka?”

“Karena aku tak ingin melihat aurat mereka. Jika aku memerintahkan mereka untuk memakai kain maka seolah olah aku meminta penghormatan dari mereka. Nasehatilah aku!”

“Tunggulah sampai para penduduk masuk ke rumah mereka, lalu pergilah pada malam hari!”

“Baiklah. Aku tak akan masuk ke sana pada siang hari selamanya. Dan aku mohon agar engkau tidak mengadukan ini kepada ayahku, aku takut dia akan marah. Bagaimana jika aku meninggal dan ia belum ridho kepadaku?”

“Kau ingin aku membohonginya?”

“Tidak, tapi katakan jika aku telah berbuat salah, dan engkau telah menasehatiku. Lantas akupun menerimanya. Ia tidak akan menanyakan apa apa yang engkau tak sampaikan kepadanya. Bukankah Allah melarang untuk mencari tahu hal yang di sembunyikan orang lain.”

“Sungguh aku tak pernah melihat ada sosok bapak dan anak seperti kalian berdua, semoga Allah merahmati keduanya.”

Sungguh Allah telah ridho kepada khalifah yang kelima ini, dan ia pun ridho padaNya.

Keselamtan atas keduanya sampai Allah bangkitkan pada hari kiamat bersama orang orang terbaik/

Disarikan dari kitab Shuwar min hayati Tabi’in, DR Abdurrahman Rafat Basya

 

Oleh: Reny Istiqomah

sumber: Bumi Syam