Hukum Menerima Hewan untuk Kurban dari Non Muslim

TIDAK ada salahnya menerima hadiah dari non muslim dengan segala jenisnya baik itu berupa kambing sembelihan atau yang lainnya yang dibolehkan oleh Allah untuk memanfaatkannya.

Hal ini diperbolehkan dengan syarat apa yang mereka berikan tersebut tidak ada kaitannya dengan agama islam, jadi hanya murni pemberian tanpa ada embel-embelan pahala untuk mereka.

Tecatat dalam sejarah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat menerima hadiah dari orang-orang non muslim, bahkan sebaliknya umat islam juga memberikan hadiah kepada mereka.

Sudah maruf (diketahui bersama) bahwa Rasulullah terkadang menerima hadiah dari orang kafir. Dan terkadang beliau menolak hadiah dari sebagian para raja dan pemimpin kaum kafirin. Oleh karena itu para ulama memberikan kaidah dalam menerima hadiah dari orang kafir. Demikian juga halnya hadiah dari ahli maksiat dan orang yang menyimpang.

Yaitu, jika hadiah tersebut tidak berpotensi membahayakan bagi si penerima, dari segi syari (agama), maka boleh. Namun jika hadiah itu diberikan tujuannya agar si penerima tidak mengatakan kebenaran, atau agar tidak melakukan suatu hal yang merupakan kebenaran, maka hadiah tersebut tidak boleh diterima.

Demikian juga jika hadiah itu diberikan dengan tujuan agar masyarakat bisa menerima orang-orang kafir yang dikenal tipu daya dan makarnya, maka saat itu tidak boleh menerima hadiah. Intinya, jika dengan menerima hadiah tersebut akan menimbulkan sesuatu berupa penghinaan atau setidaknya ada tuntutan untuk menentang suatu bagian dari agama kita, atau membuat kita diam tidak mengerjakan apa yang diwajibkan oleh Allah, atau membuat kita melakukan yang diharamkan oleh Allah, maka ketika itu hadiah tersebut tidak boleh diterima.

Selain itu, pada dasarnya Islam adalah ad-Dien yang Rahamatan lil Alamin, menjadi Rahmat bagi semesta Alam. Sesuai dengan namanya “al-Islam” yang berasal dari kata “As-Salam” (perdamaian), karena as-Salaam dan al-Islaam sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan dan ketenangan.

Oleh karenanya Islam membolehkan seorang muslim mengunjungi non Muslim, menjenguk, memberikan hadiah, berjual beli dan bentuk muamalah lainnya selama mereka tidak memerangi umat Islam. Ini sesuai dengan isi surat Al-Mumtahanah ayat 8:

“Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu…”

Rasulullah pernah menerima hadiah-hadiah yang diberikan kepada beliau dan beliaupun memberikan balasan atasnya. Ali menceritakan: “Seorang kisra (non muslim) pernah memberikan hadiah kepada Rasulullah, dan beliau menerimanya. Seorang Kaisarpun pernah memberikan hadiah kepada beliau, beliaupun menerimanya” (HR Ahmad dan Tirmizi)

Seorang raja Romawi pernah menghadiahkan kepada Rasulullah sebuah baju kulit, lalu beliau mengenakannya (HR. Abu Daud).

Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah pernah berkata: “Sesungguhnya aku pernah menghadiahkan kepada Najasyi minyak misik, dan aku tidak melihat Najasyi melainkan telah meninggal dan tidak mengetahui hadiahku melainkan ditolak, dan jika hadiah itu dikembalikan padaku, maka hadiah itu untukmu.” (HR Ahmad dan Thabrani). [*]

INILAH MOZAIK

Larangan Menjual Bagian Apapun dari Hasil Kurban!

TERTULIS dalam Tasisul Ahkam, “Bersedekah itu adalah dengan semua qurban dan semua hal yang terkait dengannya.” Imam Al Aini mengatakan:

Dalam hadis ini (hadis Ali Radhiallahu ‘Anhu di atas) terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan terlarangnya menjual kulit. Berkata Al Qurthubi: “Pada hadis ini terdapat dalil bahwa kulit hewan qurban dan Jilal (daging punuk Unta) tidaklah dijual belikan, karena hukum menyedekahkannya itu satu kesatuan dengan daging. Mereka (para ulama) sepakat bahwa daging tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya.”

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan, “Maka, tidak boleh bagimu memberikan kulit sebagai upah bagi penjagal, sebagaimana tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan qurban, seperti kulit atau lainnya.”

Ada pula yang membolehkan, yakni Al Auzai, Ishaq, Ahmad, Abu Tsaur, dan segolongan Syafiiyah. Abu Tsaur beralasan karena semua ulama sepakat bahwa kulit boleh dimanfaatkan, maka menjual kulit termasuk makna “memanfaatkan.”

Menurut mayoritas ulama adalah tidak boleh. Berkata Imam Ash Shanani Rahimahullah,

“Para ulama berbeda pendapat tentang menjual kulit dan bulunya, yang termasuk bisa dimanfaatkan. Mayoritas ulama mengatakan tidak boleh, Abu Hanifah berpendapat boleh menjualnya dengan bukan dinar dan dirham, yakni dengan uruudh (barang berharga selain emas).”

Imam An Nawawi menjelaskan, “Pendapat mazhab kami adalah tidak boleh menjual kulit hewan qurban, tidak pula boleh dijual sedikit pun bagian-bagiannya.”

Beliau juga mengatakan,”Ibnul Mundzir menceritakan bahwa Ibnu Umar, Ahmad, dan Ishaq menyatakan bahwa boleh menjual kulit hewan qurban, dan mensedekahkan uangnya. Katanya: Abu Tsaur memberikan keringanan dalam menjual kulit.”

Lalu, Imam An Nawawi juga menceritakan bahwa Al Auzai dan An Nakhai membolehkan menjual kulit dengan ayakan, timbangan, dan semisalnya. Al Hasan Al Bashri membolehkan kulit diberikan untuk penjagal. Lalu semua pendapat ini dikomentari Imam An Nawawi, katanya, “Semua ini berlawanan dengan sunah. Wallahu Alam.”

Demkianlah adanya perbedaan pendapat dalam hal menjual kulit. Namun, yang sahih wallahu alam- adalah tidak boleh menjualnya sesuai zahir hadits tersebut, dan apa yang dikatakan oleh Imam An Nawawi, bahwa menjualnya adalah: “Berlawanan dengan sunah.”

 

INILAH MOZAIK

Akikah dan Kurban Digabungkan, Bolehkah?

Akikah dan kurban adalah dua ibadah yang sama-sama menyembelih hewan. Keduanya sama-sama dihukumi sunah mu’akkadah (yang sangat dianjurkan) pelaksanaannya. Waktu pelaksanaan masing-masing juga jelas. Kurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyrik, sedangkan akikah pada hari ketujuh, ke-14, dan ke-21 kelahiran.

Lantas, jika waktu akikah dan kurban bertepatan, apakah boleh pelaksanaannya sekaligus saja? Artinya, ada satu amalan dilakukan dengan dua niat, yaitu niat berkurban dan niat berakikah. Permasalahan juga timbul bagi mereka yang telah dewasa dan belum sempat diakikahkan oleh orang tuanya. Jika ia mempunyai kesanggupan, manakah yang lebih utama baginya, berkurban atau mengakikahkan dirinya terlebih dahulu? Atau, bisakah kedua-duanya digabung terlaksana sekaligus?

Tentang permasalahan ini, ada perbedaan pendapat ulama. Ada yang mengatakan, jika waktu kurban bertepatan dengan waktu akikah, cukup melakukan satu jenis sembelihan saja, yaitu akikah. Pendapat ini diyakini Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali), Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), dan beberapa ulama lain, seperti Hasan Basri, Ibnu Sirin, dan Qatadah.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan kurban, maka kurban tersebut bisa jadi satu dengan akikah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika kurban digabungkan dengan akikah,” demikian seperti diterangkan dalam kitab Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah.

Mereka berdalil, beberapa ibadah bisa mencukupi ibadah lainnya seperti dalam kasus kur ban bisa mencukupi akikah atau sebaliknya. Sebagaimana seorang yang menyembelih dam ketika menunaikan haji tamattu’. Sembelihan tersebut ia niatkan juga untuk kurban, maka ia mendapatkan pahala dam dan pahala kurban. Demikian juga shalat Id yang jatuh pada hari Jumat, maka diperbolehkan tidak mengikuti shalat Jumat karena sudah menunaikan shalat Id pada paginya.

Sedangkan pendapat dari Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i), Imam Malik (Mazhab Maliki), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan tidak boleh digabung. Alasannya, karena keduanya mempunyai tujuan yang berbeda dan sebab yang berbeda pula. Misalkan, dalam kasus pembayaran dam pada haji tamattu’ dan fidyah. Keduanya tidak bisa saling mencukupi dan harus dilaksanakan terpisah.

Masalah ini menyimpulkan, tidak seluruh jenis ibadah yang bisa digabung pelaksanaannya dalam dua niat sekaligus. Kurban dan akikah masuk dalam kategori ini. Tujuan kurban adalah tebusan untuk diri sendiri, sedangkan akikah adalah tebusan untuk anak yang lahir. Jika keduanya digabung, tujuannya tentu akan menjadi tidak jelas.

Ini ditegaskan dalam Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah yang menyebutkan, “Akikah dilaksanakan untuk mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan kurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).”

Bahkan, salah seorang ulama Syafi’iyah, al- Haitami, menegaskan, seandainya seseorang berniat satu kambing untuk kurban dan akikah sekaligus, keduanya sama-sama tidak dianggap. “Inilah yang lebih tepat karena maksud dari kurban dan akikah itu berbeda,” tulis Al Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj.

Pandangan ulama yang lebih kuat dalam dua perbedaan pendapat ini adalah pendapat yang tidak membolehkan untuk menggabung pelaksanaan akikah dan kurban. Terkecuali, waktu akikah pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 kelahiran anak bisa bertepatan jatuh pada hari berkurban. Maka, mereka yang tidak punya kemampuan lebih untuk menyembelih hewan, bisa meniatkan untuk dua pelaksanaan sekaligus, yaitu melaksanakan akikah sekaligus bisa pula berkurban.

Pendapat ini pernah difatwakan Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Dalam Majmu’ Fatawa wa Rosail Al Utsaimin dijelaskan, mereka yang punya kecukupan rezeki dan ada dalam posisi ini, maka hendaklah menyembelih dua ekor kambing jika anaknya laki-laki. Hal itu disebabkan wajibnya akikah untuk anak laki-laki memang menyembelih dua ekor kambing.

Adapun mereka yang telah mencapai usia dewasa, sementara belum diakikahkan orang tuanya, maka tidak wajib baginya mengakikahkan dirinya sendiri. Inilah pendapat ulama yang lebih kuat dari Mazhab Syafi’i dan Hanbali. Akikah hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya, atau mereka yang menanggung beban nafkah atasnya. Jadi, ia bisa melakukan kurban dan tidak perlu lagi memikirkan akikah untuk dirinya.

Sementara, beberapa ulama dari Hanbali lainnya memang mengatakan, boleh melakukan akikah kapan pun. Menurut mereka, waktu menunaikan akikah tidak dibatasi (seperti pendapat yang lebih kuat mengatakan hari ke-7, ke-14, dan ke-21). Jadi, mereka yang memegang pendapat ini, ketika sudah mampu, ia disukai jika dia mengakikahkan dirinya sendiri. Namun, pendapat ini lemah dan tidak dianjurkan untuk diikuti. Demikian seperti diterangkan dalam Kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu.

Adapun orang yang sudah dewasa dan ingin mengakikahkan dirinya sendiri sekaligus menunaikan kurban, maka perilaku seperti ini dilemahkan para ulama dan tidak dianjurkan untuk diikuti. Wallahu’alam.

REPUBLIKA

Hong Jai, Mualaf Tionghoa yang Baru Belajar Kurban

Lebaran Haji yang selalu diperingati umat Islam sebentar lagi akan tiba. Sejak memutuskan berpindah keyakinan menjadi mualaf 1 tahun lalu, Ahmad Hong Jai pun tak menyiakan kesempatan untuk berkurban.

“Idul Adha pada tahun ini merupakan Lebaran Besar kali pertama bagi saya sehingga ingin lebih banyak tahu tentang makna Idul Adha dengan berpartisipasi membeli satu hewan kurban berupa kambing,” kata Ahmad Hong Jai di Masjid Muhammad Cheng Hoo Jember, Jumat.

Baginya melakukan kurban pada Idul Adha merupakan panggilan hati nuraninya untuk saling memberi kepada warga yang kurang mampu dan berharap bisa membersihkan dosa-dosa sebelum menjadi mualaf.

“Sebenarnya belum banyak makna yang saya ketahui tentang Idul Adha dan berkurban karena ini kali pertama saya berkurban sebagai Muslim. Namun, saya yakin banyak hikmah yang bisa diambil dalam momentum hari raya ini,” tutur pria kelahiran Jember tahun 1978.

Berbeda dengan umat Islam dan kaum Tionghoa lain yang keluarganya sudah menjadi mualaf, Hong Jai merupakan satu-satunya mualaf di rumahnya. Ini karena istri dan anaknya memeluk agama Kristen Katolik. Sementara orang tuanya pemeluk agama Kong Hu Cu.

“Alhamdulillah keluarga saya bisa menerima saya menjadi mualaf sehingga saya bisa aktif melakukan kegiatan di Masjid Muhammad Cheng Hoo Jember, seperti kegiatan Idul Adha nanti,” ujar warga keturunan etnis Tionghoa itu.

Hong Jai bersyukur bisa membeli hewan kurban dari hasil jerih payahnya dan perlahan-lahan belajar banyak tentang makna Idul Adha melalui kehidupan sehari-hari yang harus ikhlas. Kemudian selalu berbagi dengan orang yang kurang mampu.

Ibadah kurban memiliki hikmah dan mengajarkan umat Islam untuk menjaga fitrahnya tetap suci, menguji tingkat ketakwaan, memotivasi diri untuk memiliki harta dengan bekerja keras, dan berjiwa sosial untuk berbagi dengan sesama.

“Mudah-mudahan saya selalu mendapatkan hidayah dari Allah Swt. melalui momentum Iduladha dan saya bisa belajar banyak tentang makna hari raya tersebut,” ujarnya.

Sumber : Antara

Filosofi Berkurban dalam Berumah Tangga

Menyembelih hewan kurban saat 10 Dzulhijjah nanti ternyata menyimpan nilai filosofi dalam berumah tangga.

“Filosofi berkurban sangat terkait dengan rumah tangga. Yakni, mencerminkan etapa hebatnya cinta Nabi Ibrahim AS kepada anaknya Nabi Ismail AS,” tutur pimpinan Ar-Rahman Qur’anic Learning (AQL) Islamic Center Ustaz Bachtiar Nasir, Jumat (4/9).

Ustaz Bachtiar juga melihat kesabaran Ismail mengorbankan cintanya kepada sang ayah dengan merelakan diri untuk disembelih, namun Allah menggantikan dengan seekor kibas (domba).

“Kita nih kadang melihat anak sakit, kita juga ikut sakit. Tapi, kita tidak pernah pikirkan bagaimana sakitnya anak di akhirat kelak jika hidup tanpa tauhid. Luka iman yang membuat anak-anak ditempatkan di neraka kelak juga harus dipikirkan,” katanya.

Maka, Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar mendekatkan diri dengan menyembelih hewan kurban agar meneladani hubungan antara Ibrahim dan Ismail dalam keluarga. Seperti yang disebutkan dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 34-35.

Arab Saudi Siapkan Jutaan Hewan Kurban Saat Musim Haji

Salah satu perusahaan importer di Arab Saudi mengklaim akan mengimpor sebanyak 3 juta hewan kurban pada musim haji 2015. Hewan ternak yang akan mereka impor adalah unta dan domba yang juga nantinya akan digunakan oleh para peserta haji untuk berkurban.

Dikutip dari ArabNews, Jumat (31/7),  juru bicara perusahaan importer di Arab Saudi Fahd Al-Salmi mengatakan, jumlah hewan kurban yang akan mereka impor tahun ini tidak mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan jumlah tahun lalu.

“Hal ini disebabkan stabilnya harga pasar baik lokal maupun harga secara internasional,” ungkapnya.

Ia bahkan menyebutkan bahwa 3 juta dari hewan kurban yang diimpor tersebut, sebanyak 1 juta di antaranya diimpor oleh Bank Islamic Development Bank (IDB), dan sisanya diimpor oleh importer lokal.

Fahd menyebut, negara-negara pengekspor seperti Sudan, Somalia, dan Djibouti sudah menjamin bahwa pasokan tersedia untuk memenuhi permintaan selama musim haji. Selain jaminan dari negara pengekspor, Fahd juga menyebut adanya jaminan dari pasar hewan lokal mengenenai ketersediaan kebutuhan hewan kurban.

“Pasar lokal juga memiliki cadangan strategis yang cukup di peternakan lokal, kami berdoa agar tidak ada kenaikan harga,” katakata Fahd.

Mohammed Al-Mateeri, yang juga salah satu importer lokal juga mengharapkan agar harga hewan ternak selama musim haji tetap stabil. Ia melihat kecenderungan dari tahun ke tahun harga hewan ternak naik saat memasuki musim haji.

Untuk mengatasi hal ini, Al-Mateeri berharap pihak pemerintah ikut menekan kestabilan harga guna mencegah kenaika harga secara mendadak. Sebab ia mengeluhkan bila harga naik secara tiba-tiba akan membuat usahanya tidak mendapatkan keumtungan sesuai yang diinginkan.

“Kami berharap Kementerian Perdagangan dan Industri akan memantau masalah ini dan melarang pedagang menaikkan harga secara dramatis,” ucap Al-Mateeri.