Hikmah Pembelahan Dada Nabi Muhammad Menurut Ramadhan Al-Buthi

Rabiul Awwal adalah bulan bahagia sekaligus sendu, bagi mereka yang mengetahui kisah di dalamnya. Sedari kecil Nabi Saw sudah dibekali dengan pelbagai ciri-ciri yang mengarahkan kearah mana ia akan berjalan (Irhas; peristiwa besar sebelum kenabian). Banyak kisah yang menyebutkan terkait Irhas Nabi Muhammad Saw. Salah satunya ialah kisah pembelahan dada Nabi Muhammad Saw oleh malaikat Jibril.

Pengisahan pembelahan dada Nabi Muhammad dari beberapa riwayat ini tujuannya ialah membuang bagian setan dari diri Nabi Muhammad Saw yang “ma’sum”, terjaga dari segala hal buruk. Sangat tidak masuk diakal jika hikmah dari pembelahan dada tersebut memang untuk membersihkan bagian buruk manusia yang melekat pada manusia terpilih seperti Nabi Muhammad Saw.

Kisah Pembelahan Dada Nabi Muhammad Saw

Dikisahkan, Nabi Muhammad kecil yang waktu itu sedang menggembala kambing dengan saudara sepersusuannya didatangi oleh dua laki-laki yang berpakaian putih yang membawa bejana emas yang penuh dengan air salju. Nabi Muhammad kecil dibawa oleh dua laki-laki tadi. Nabi Saw ditidurkan miring, dua laki-laki tadi membelah dada Nabi dan mengeluarkan gumpalan daging hitam dan membuangnya. Kemudian dua laki-laki tersebut membasuh dada serta hati Nabi dengan air salju dari bejana emas yang mereka bawa.

Sontak kejadian tersebut membuat saudara sepersusuannya panik dan melaporkannya kepada ibunya, Halimah al-Sa’diyah. Halimah yang mendengar kejadian tersebut keluar bersama suaminya mencari Nabi Muhammad kecil dan ia menemukannya dalam keadaan pucat pasi. Di mana selanjutnya, seperti yang maklum diketahui kejadian tersebut membuat Halimah yang sebelumnya ngotot ingin terus merawat Nabi Muhammad hendak memulangkannya pada ibunya.

Pendapat Ramadhan Al-Buthi Terkait Hikmah Pembelahan Dada Nabi Saw

Seperti yang telah penulis singgung di awal, peristiwa pembelahan dada Nabi Saw yang konon bertujuan membersihkan bagian keburukan dari diri Nabi Saw tersebut agak sedikit “janggal di telinga”. Masa, Nabi Muhammad Saw yang notabene bersifat “ma’sum” serta apalagi predikat “afdhal al-makhluqat”, makhluk terbaik pilihan Allah yang disematkan pada Nabi tidak cukup untuk membuat diri Nabi “istighna”, tidak butuh dari hal yang semacam itu.

Dr, Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam kitabnya “Fiqh al-Sirah an-Nabawiyah” mengomentari peristiwa pembelahan dada Nabi Saw sebagai berikut:

وليست الحكمة من هذه الحادثة_والله أعلم_ استئصال غدة الشر من جسم رسول الله صلى الله عليه وسلم, إذ لو كان الشر منبعه غدة في الجسم أو علقة في بعض أنحائه,لأمكن أن يصبح الشرير خيرا بعملية جراحية, ولكن يبدو أن الحكمة هي إعلان أمر الرسول صم وتهييئه للعصمة والوحي منذ صغره بوسائل مادية, ليكون ذلك أقرب إلى إيمان الناس به وتصديقهم برسالته.. إنها إذن عملية تطهير معنوي, ولكنها اتخذت هذا الشكل المادي الحسي, ليكون فيه ذلك الاعلان الالهي بين أسماع الناس وأبصارهم.

“Hikmah dari kejadian ini (pembelahan dada Nabi Saw)_ wallahu a’lam_ bukanlah menghilangkan bagian keburukan dari diri Rasulullah Saw. Karena jika sumber dari keburukan tersebut ialah bagian atau daging tertentu dalam tubuh, maka setiap orang buruk akan dapat menjadi baik dengan melakukan operasi bedah. Akan tetapi yang tampak ialah bahwa hikmah yang terkandung dalam kejadian tersebut merupakan “i’lan”, pengumuman perihal persiapan Nabi Saw sebagai rasul dan mempersiapkannya juga dalam kemaksuman dan penerimaan wahyu dimulai dari masa kecilnya dengan perantara-perantara kejadian materi, fisik. Dan juga supaya hal tersebut menjadi sesuatu yang menjembatani agar risalah Nabi Saw kelak lebih mudah untuk diimani dan dipercayai oleh masyarakat. Kejadian pembelahan dada tersebut merupakan praktik pembersihan secara maknawi akan tetapi diberi bentuk fisik dengan kejadian yang ada dengan tujuan hal tersebut merupakan pengumuman dari Tuhan untuk umat manusia”.

Demikian, semoga di bulan Rabiul Awwal ini kita dapat merayakan kelahiran Nabi Muhammad Saw dan mendapatkan keberkahannya. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

12 Rabiul Awal Kelahiran Nabi Muhammad?

Perbedaan pendapat tentang tanggal kelahiran Nabi Muhammad adalah sesuatu yang wajar. Sebab, semua pendapat itu merujuk pada riwayat yang didapat oleh ulama tertentu. Ada riwayat yang kuat ada pula yang lemah.

Jika status sebuah riwayat sudah diketahui, maka seharusnya kita mengambil yang lebih kuat dan meninggalkan yang lemah.

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa terdapat dalil tentang tanggal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan. Namun, mereka juga tetap berbeda pendapat tentang kepastian tanggalnya.

Ada yang mengatakan, malam tanggal 2 Rabiul Awal, ada yang mengatakan tanggal 8, tanggal 10, tanggal 12, tanggal 17, tanggal 18, dan ada yang mengatakan tanggal 22. Ada pula yang mengatakan bahwa dua pendapat terakhir tidak benar.

Pendapat populer yang dipegang oleh jumhur adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu Ishaq dan lainnya.

Sementara itu, berkaitan dengan tahunnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam lahir pada tahun Gajah. Di antara orang yang berpendapat demikian adalah Qais bin Makhramah, Qabats bin Asyyam, dan Ibnu Abbas.

Sebuah riwayat menyatakan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan pada hari tentara bergajah menyerbu Ka’bah. Namun, pendapat lain menyangkal kebenaran riwayat ini dengan mengatakan bahwa riwayat ini keliru, karena riwayat yang benar adalah tahun Gajah.

Di antara ulama ada yang menyatakan bahwa pendapat ini sudah disepakati oleh mayoritas ulama dan orang yang tidak sependapat dengan ini, berarti ia telah keliru. Menurut riwayat yang populer, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan 50 hari setelah peristiwa penyerbuan tentara bergajah.

Pendapat lain mengatakan, 55 hari setelah peristiwa tentara bergajah. Ada yang mengatakan, sebulan setelahnya. Ada yang mengatakan, 40 hari setelahnya. Ada yang mengatakan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan 10 tahun setelah peristiwa tentara bergajah. Ada yang mengatakan, 23 tahun setelahnya.

Di samping itu, ada yang mengatakan, 40 puluh tahun setelahnya, dan ada yang mengatakan, 15 tahun sebelum peristiwa tentara bergajah.

Menurut jumhur ulama, semua pendapat tersebut merupakan kekeliruan dan di antaranya ada yang tidak benar penyandarannya terhadap seorang perawi.

Sebagian tulisan ini dikutip dari kitab Latha`if Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab. Semoga bermanfaat. Aamiin.

Abu Syafiq

BERSAMA DAKWAH