Dakwah dan Ukhuwah

Dikisahkan dalam sebuah sirah bahwa sang Nabi hari itu terlihat semringah. Meluncur dari lisan fasihnya, untaian cinta yang menghangatkan telinga si pendengarnya, “Selamat datang duhai orang yang karenanya aku ditegur oleh Rabbku!”

Sang Nabi sendiri selalu tersenyum ketika melafalkan kalimat ini. Dan, orang yang dimaksud pun juga tersipu. Padahal, ia berpenghalang dengan penglihatanya alias buta. Ke arah Majelis Nabawi itu Abdullah ibnu Ummi Maktum, pemilik nama ini, tertatih mendekat. Lalu, Rasulullah bersegera mengulurkan tangan, menggandengnya, menggenggam jemari lelaki ini erat-erat, dan mendudukkannya di sebelah Beliau.

Teguran Allah pada Beliau itu sudah lama sekali. Tetapi, sang Nabi takkan pernah melupakannya. Beliau pernah bermasam muka, merasa enggan, dan mengalihkan wajah dari Abdullah ibnu Ummi Maktum. Tak sepenuhnya abai sebenarnya.

Hanya saja, saat itu Rasulullah SAW sedang berada di hadapan para pembesar Quraisy dan sedang membacakan ayat-ayat Allah pada mereka. Saat itu, teramat tinggi hasrat sang Nabi agar para pemuka itu mau menerima dakwah. Karena, mereka adalah pemimpin kaumnya, pikir Beliau, insya Allah akan banyak manusia yang mengikuti langkah mereka.

Maka, kedatangan Abdullah ibnu Ummi Maktum yang buta, yang lemah, yang pinggiran, dan tanpa kuasa itu terasa seperti sebuah usikan kecil bagi asa dakwah Beliau. Kehadirannya seolah menjadi citra bahwa yang mengikuti Muhammad adalah orang-orang dhuafa dan fakir, orang-orang belakang dan pandir.

Itu pasti akan membuat para pemuka Quraisy tak nyaman dan makin enggan. Jadi, Beliau bermuka masam dan berpaling. Lalu, Allah menegurnya. “Dia bermasam muka dan berpaling karena datang seorang buta kepadanya.” (QS Abasa [80]: 1-2).

Tak ada yang salah dengan hasrat kuat sang Nabi agar pembesar Quraisy itu segera beriman. Allah memang telah mengamanahi Beliau untuk menyeru mereka kepada hidayah. Dan, secara pribadi sang Nabi pun sama sekali tak punya benci, jijik, atau risih kepada Ibnu Ummi Maktum ini. Beliau hanya merasa kemunculannya terjadi pada saat yang tak tepat.

Antara dakwah dan ukhuwah. Ya, kedua materi ini seperti dua mata perkuliahan yang hendak Allah sampaikan kepada Nabi-Nya supaya lebih bijak mendudukkannya. Hari itu, Nabi seperti merasakan gelombang hikmah dari teguran Allah. Gelombang keinsyafan dari untaian salam Nabi kepada Ibnu Ummi Maktum di atas begitu terasa.

Beliau kini lebih memahami bahwa dakwah ini milik Allah. Bahwa, hidayah juga adalah milik-Nya. Tugasnya hanya ikhtiar semata. Beliau tidak akan dipersalahkan atau menanggung dosa jika para pemuka Quraisy tak juga beriman.

Beliau seperti sedang dididik untuk lebih adil dan tak membeda-bedakan sikap. Baik kepada pemuka kaya atau kepada yang buta papa. Sikap cinta dan mesra Beliau harus serupa. Begitulah seharusnya kita, para juru dakwah. Ikhtiar dalam dakwah dan tetap berupaya melebarkan ukhuwah. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

KHAZANAH REPUBLIKA

Nasihat Fajar

Subuh itu terasa nikmat. Selepas shalat berjamaah, dilanjutkan dengan zikir maktubah, penulis melihat kedua anak penulis, Alvin dan Amer, sedang terlibat diskusi kecil dengan mushaf di tangannya, persis di salah satu tiang masjid yang menghadap keluar.

Udara segar dan cuaca yang sangat sejuk pagi itu membersitkan keharuan bercampur bahagia. Kedua anak penulis yang kini sudah menginjak remaja itu terlihat begitu akrab membincangkan sesuatu yang ada dalam kitab pegangan hidupnya, Alquran.

Rupanya, pagi itu jamaah lain dan para generasi rabbani juga sedang membuat halakah-halakah kecil untuk saling menyimak Alquran dan ilmu-ilmu lain dalam al-Uluum ad-Diiniyyah. Dengan mata berkaca-kaca, penulis nasihatkan ini untuk kita semua, semoga di setiap Subuh atau dalam mengawali hari, yang selalu membuncah adalah rasa bahagia dan nikmat; karena buah dari ketaatan kita yang istiqamah di jalan Allah SWT.

Ikhwah, inilah keutamaan berhalakah dan bersimpuh dalam majelis ilmu, apalagi setelah shalat Subuh berjamaah di masjid sampai matahari terbit. Pertama, meraih pahala haji dan umrah sempurna. “Barang siapa menegakkan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu ia duduk berzikir (tadarusan) sampai matahari terbit, lalu menegakkan shalat dua rakaat, maka ia akan meraih pahala haji dan umrah, “Sempurna, sempurna, sempurna!” (HR At-Tirmidzi).

Kedua, seakan duduk di taman surga Allah. “Jika kalian melewati taman surga maka singgahlah dengan hati senang.” Para sahabat bertanya, “Apakah taman surga itu?” Beliau SAW menjawab, “Halakah-halakah zikir (atau halakah ilmu).” (HR at-Tirmidzi).

Ketiga, masuk menjadi generasi termulia, yaitu generasi rabbani. “Jadilah kalian generasi rabbani, yang selalu mengajarkan Alquran (dan sunah) dan terus mempelajarinya. (QS Ali Imron [3]: 79).

Keempat, termasuk dalam sebutan mujahid di jalan Allah. “Siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu syar’i, maka ia berjihad di jalan Allah hingga ia kembali.” (HR at-Tirmidzi). Kelima, didoakan para malaikat, meraih rahmat Allah, hati dibuat senang, tenang, dan bahagia. Serta, dibanggakan oleh Allah di hadapan para malaikat-Nya. (HR Muslim).

Keenam, jauh dari murka Allah. “Dunia ini terkutuk dengan segala isinya kecuali zikrullah (taat kepada Allah) dan yang serupa itu, berilmu dan penuntut ilmu.” (HR At-Tirmidzi). Ketujuh, menjadi kelompok umat terbaik. Sabda Kanjeng Rasul, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari).

Satu di antara tujuh golongan di akhirat kelak yang mendapat “perlindungan Allah”, yaitu “Ijtama’a ‘alaihi wa tafarroqo alaihi”, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. (HR Bukhari Muslim). Ia menjadi jalan mudah menuju surga Allah. “Siapa yang melalui satu jalan untuk menuntut ilmu Allah, Allah mudahkan menuju jalan surga-Nya.” (HR Abu Daud dan At Tirmidzi).

Bahkan, kelak kembali berkumpul bersama di akhirat. “Seseorang kelak di akhirat dikumpulkan bersama siapa yang dicintai di dunia.” (HR Muslim). Nah, apalagi alasan kita untuk tidak menghadirinya. Jangan sia-siakan hidup yang sebentar ini. Ayo raih semua kemuliaan itu dengan duduk di taman surga. Wallahu A’lam.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

REPUBLIKA

Semua Masih Punya Harapan Hijrah

Subhanallah walhamdulillah, sungguh sebesar apapun dosa seseorang selama ia masih hidup, berarti masih ada harapan untuk baik. Dan sungguh tiada kesempatan terindah dalam sejarah hidup di dunia selain kesempatan taubat. Sebaliknya sealim kayak apapun seseorang,  selama ia masih hidup, bisa saja ia kemudian kufur nikmat.

Karena itulah Allah melarang diri kita merasa paling suci. “Jangan sekali kali kalian merasa paling suci, karena hanya Allah yang paling tahu siapa yg paling bertakwa.” (QS An-Najm: 32). Semua kita punya aib, hanya saja masih ditutupi Allah. Jadi,  jangan sinis, jangan pesimistis, apalagi memvonis, semua boleh hancur, semua sudah terjadi, tetapi semua masih punya harapan hijrah, yakni berpindah dari akhlak dan perikehidupan yang buruk kepada akhlak dan perikehidupan yang baik. Allahu akbar.

Ingat sahabatku! Sebesar apapun dosa seorang hamba, sungguh rahmat dan ampunan Allah lebih besar dari dosa hamba-Nya sebanyak apapun. Simaklah kalam Allah ini dengan  iman,  “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar: 53).

Berita gembira dari Rasulullah, “Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dari barat niscaya Allah menerima taubatnya.” (HR Muslim). Betapa sayang dan  cintanya Allah kepada hamba-Nya yang bertaubat, alhamdulillah.

Allahumma ya Allah ampunilah seluruh dosa dosa kami, terimalah taubat kami, dan jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang istiqomah taat hingga Engkau mewafatkan kami. Aamiin.

Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham

REPUBLIKA

 

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Ustaz Arifin Beberkan Keistimewaan Umrah

Pimpinan Majelis Az-Zikra Ustadz Muhammad Arifin Ilham hari ini, Kamis (22/12/2016) berangkat menunaikan ibadah umrah. Seperti biasa, Ustadz Arifin Ilham hanya berangkat umrah sekali dalam setahun.

“Alhamdulillah, pagi ini Arifin dilepas oleh para sahabat tercinta fillah, untuk pergi menunaikan ibadah umrah, di Majelis Az-Zikra Sentul, Bogor,” kata Ustadz Arifin Ilham kepada Republika.co.id, Kamis (22/12/2016).

Arifin mengemukakan, banyak sekali fadhilah atau keistimewaan ibadah umrah.  “Banyak sekali keistimewaan ibadah umrah, sehingga mendorong kita lebih semangat menunaikannya,” ujarnya.

Pertama, kata Arifin, umrah adalah jihad sebagaimana ibadah haji. Ia mengutip hadits Rasulullah SAW, dari Aisyah yang  bertanya kepada Rasulullah,  “Wahai Rasulullah, apakah wanita juga wajib berjihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Dia wajib berjihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu dengan haji dan umrah.” (HR Ibnu Majah)

Fadhilah kedua, kata Arifin, menghapus dosa di antara dua umrah. Arifin mengutip hadits Rasulullah SAW dari Abu Hurairah, “Antara umrah yang satu dan umrah lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” (HR Bukhari  dan Muslim)

Keistimewaan ketiga ibadah umrah adalah menghilangkan kefakiran dan mendapatkan  hadiah surge Allah SWT. Arifin mengutip hadits Rasulullah SAW dari Abdullah,  “Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga,” (HR An Nasai, Tirmidzi dan Ahmad)

Arifin menegaskan, masih banyak hikmah lainnya menunaikan ibadah umrah. “Misalnya, doa mustajab, dan perjalanannya penuh berkah Allah,” tuturnya.

“Selain itu, umrah adalah napak  tilas perjalanan nabi Allah Ibrahim dan Nabi Muhammad. Umrah juga menumbuhkan kekuatan iman. Umrah juga merupakan gladi resik kematian, dengan pakaian ihram, penyemangat ibadah. Tidak kalah pentingnya, umrah membawa hijrah dan tobat nasuha,” papar Ustadz Muhammad Arifin Ilham.

 

sumber: Republika Online

Waspadai Bahaya Ujub

Subhanallah. Sungguh hanya Allah yang Mahasuci. Selain-Nya, pasti berbintik noda, kotor, hitam, pekat, dan legam. Terjerumus pada dosa bahkan terjerembap pada jejaring maksiat halus, seperti merasa dirinya paling saleh, paling dermawan, paling benar jihadnya, paling taat, dan paling bersih.

Tiada godaan terhebat dari seorang yang sukses rezekinya, jabatannya, popularitasnya, ilmunya, dan keturunannya kecuali bangga dan kagum pada dirinya sendiri. Merasa paling hebat, paling pintar, paling benar, paling suci. Dan sungguh, inilah penyakit hati orang sukses termasuk tentu “si penulis” ini. Begini-begitu kan kesannya saja. Padahal aib dan kekurangan seabrek-abrek. Untungnya saja, aib kita semua masih ditutupi Allah. Kalau dibuka, pasti sangat malu dan hina.

“Jangan kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang terlalu membanggakan diri.” (QS al-Qashash:76).  “Maka jangan kamu mengatakan dirimu suci. Dialah (Allah) paling mengetahui orang yang bertakwa.” (QS an-Najm:32). Rasulullah mengingatkan dengan mengulang sampai tiga kali, “Takutlah kalian pada al-Uzba”, yaitu bangga dan kagum pada diri sendiri.

Ketika Rasulullah SAW mengingatkan dengan sabdanya tersebut, di hadapan beliau adalah para sahabat yang mulia. Mereka saleh-saleh dan para penghapal Alquran. Karena itu, dosa ujub boleh jadi jebakan dan jerat halus, tapi mematikan bagi para pelakunya, yang kebanyakan dari kalangan orang-orang hebat. Dosa ujub ini lebih halus dari langkah semut.

Bisa jadi kesannya tawadhu, tetapi di hati ingin dipuji. Sangat marah jika dihina ternyata karena berharap dipuji. Inilah Dho’ful aqli wal-iimaani, tanda lemahnya akal dan iman. Padahal jelas sangat rugi, sudah capek-capek beramal, tapi hancur karena ujub.

Karena itu sahabatku, seringlah duduk di majelis ilmu dan zikir. Saat  menengadah dan menatap wajah guru, rontoklah kebanggaan diri. Duduklah bersama fakir miskin, yatim piatu, orang-orang susah, ziarahilah kuburan, perkuat puasa sunah, tadaburkan Alquran, perhebat istighfar, dan selalu harus sempatkan diri secara khusus muhasabah diri selesai shalat malam, “Siapa aku, dari mana, di mana, dan mau ke mana akhirnya aku?”

Sungguh tidak pantas bangga diri kecuali hanya Allah yang Mahasuci dan Terpuji. “Tiga hal yang membinasakan; kekikiran yang  diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar, dan kekaguman seseorang pada dirinya sendiri.” (HR Thabrani).

Sifat ujub membawa akibat buruk dan menjerat kepada kehancuran, baik bagi pelakunya maupun bagi amal perbuatannya. Di antara dampak dari sifat ujub tersebut adalah membatalkan pahala. Seseorang yang merasa ujub dengan amal kebajikannya, pahalanya akan gugur dan amalannya menguap karena Allah tidak akan menerima amalan kebajikan sedikit pun, kecuali dengan ikhlas karena-Nya.

Allahumma ya Allah, jadikanlah kami hamba-Mu yang Kau ridhai, minal mukhlishiin. Berilah kami rezeki teragung, yaitu sifat ikhlas dan bersihkan hati kami dari riya, sum’ah, ujub, dan semua penyakit hati. Aamiin.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

sumber: Republika ONline