Kita Iri Padanya

DAI itu milik umat ketika sehat, milik istri ketika sakit, dan milik Allah karena kita semua milik-Nya dan kepada-Nyalah kita akan kembali. Sebenarnya kita sedih ditinggal Ustadz Syuhada Bahri.

Seorang dai sekaligus Bapak Para Dai (Abu Duat). Bahkan kemarin siang dalam sambutannya Ustadz Abdul Wahid Alwi menyebut almarhum termasuk ulul azmi minaddu’at, di antara dai yang sabar menghadapi sulitnya tantangan dakwah.

Betapa banyak jasa beliau mendakwahi dan mengislamkan orang-orang di pedalaman. Hampir seluruh pelosok tanah air pernah beliau datangi, bukan untuk berwisata, tapi untuk berdakwah.

Khususnya Timor timur sebelum lepas dari NKRI. Pernah beliau berkata kepada kami, beliau hapal betul sampai gang-gang kecil di kota Dili saking seringnya di sana.

Tidak cuma berdakwah, tapi beliau juga mengirim dai-dari ke pelosok, pulau-pulau terpencil dan wilayah perbatasan tanah air. Sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah periode 2007-2014, beliau meneruskan kebijakan -Allahu yarham Pak Natsir yang dari dulu mengirimkan dai ke pelosok.

Hanya saja di jaman Ustadz Syuhada dainya bergelar S1 yang sebelumnya digembleng di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah M. Natsir di Tambun, Bekasi.

Di jaman kepemimpinan Ustadz Syuhada juga dilaksanakan Program KSU, Kaderisasi Seribu Ulama (yang sekarang diadopsi Baznas), dengan tujuan mencetak 200 doktor, 400 magister dan 400 non-gelar (mulazamah).

Dari tahun 2007 sd 2014, di mana kerjasama dengan Baznas terhenti, program ini sudah menghasilkan 69 doktor dan 254 magister yang tersebar di berbagai ormas, tidak cuma di Dewan Dakwah. Tahun 2021 program kaderisasi ulama di bawah Ketua Umum Dr. Adian Husaini kembali dilanjutkan.

Di setiap pembekalan terhadap peserta KSU, Ustadz Syuhada sering menekankan pentingnya niat (nawaitu) dalam berjuang. Dan contoh yang beliau berikan adalah Perang Uhud.

“Satu  orang saja tidak lurus niatnya, pertolongan Allah tidak akan datang,” kata beliau.

Sebagaimana kita ketahui, dalam Perang Uhud ada 35 tentara Islam yang niatnya tidak lurus karena silau dengan harta, sehingga kaum muslimin akhirnya menderita kekalahan waktu itu. Berkaca dari situ Ustadz Syuhada berpesan, “Kalau ada satu orang saja niatnya tidak lurus, hanya ingin mengejar gelar doktor, jangan harap pertolongan Allah akan tiba!” Demikian beliau mengarahkan kadernya yang level intelektual.

Selepas menjalankan amanat sebagai ketua umum Dewan Dakwah tidak membuat beliau berhenti berdakwah. Beliau tetap berdakwah dan terus berdakwah, karena memang itulah DNA beliau.

Ustadz Syuhada juga bersama Ketua Umum Parmusi, organisasi yang dulu bergerak di bidang politik praktis, mengubah organisasi tersebut menjadi organisasi yang fokus di bidang dakwah. Bahkan dari tahun 2017 sampai sekarang beliau sudah membina 5000 dai di berbagai daerah bawah Parmusi.

Soal pembangunan masjid, termasuk masjid al-Muhajirin di depan rumahnya, tidak terhitung banyaknya beliau membantu. Dewan dakwah sendiri sampai sekarang sudah membantu pembangunan 800-an masjid di seluruh penjuru tanah air. Belum lagi sekolah dan pesantren yang berada di bawah Dewan Dakwah.

Hidup Ustadz Syuhada memang untuk dakwah dan umat. Maka kata beliau, dai ini milik umat.

Baru kalau beliau sakit, di rumah saja tidak bisa kemana-mana menjadi milik dan dirawat istri.

Minggu lalu, saya sempet menjenguk beliau di kediamannya. Beliau hanya tiduran di tempat tidur dengan bantuan oksigen sambil mendengarkan bacaan murotal, istrinyalah -Bu Dewi yang merawatnya.

Kememarin,  saya menyaksikan orang-orang menshalatkan beliau di masjid al-Muhajirin bergantian tak habis-habis. Pada saat pelepasan ke Masjid al-Furqan juga kata-kata persaksian yang disampaikan membuat orang banyak menangis.

Saya memang tidak mengiringinya ke masjid al-Furqan di Jl. Kramat Raya 45 Salemba, markas Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia karena sedang kurang sehat. Tapi saya menyaksikan secara live dari video kawan di Facebook.

Begitu banyak orang yang menshalatkan di sana termasuk pak Gubernur DKI, Anies Baswedan, Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva dan banyak orang penting lainnya. Kembali, untaian kata orang-orang yang memberikan sambutan membuat kita semua terharu.

Beliau yang sudah banyak meninggalkan legacy (warisan) bagi dakwah Islam dan NKRI, wafat di hari Jumat, sayyidul ayyam, hari baik. Juga wafat di bulan Rajab, bulan haram, bulan mulia. Almarhum dishalatkan dan didoakan oleh banyak orang-orang baik di tempat mulia, di masjid al-Furqon Kramat Raya. Itulah tanda kebaikan wafatnya beliau.

Kita sedih ditinggal beliau. Tapi sebenarnya kita iri kepadanya.

Almarhum meninggal dengan cara dan kesempatan yang baik setelah meninggalkan kebaikan yang banyak. Semoga hamba yang jauh kedudukan dengan almarhum ini kelak Allah kumpulkan bersamanya di Surga, bersama Nabi, para shiddiqin, dan orang-orang shalih lainnya. Amiin.*

Dosen UIKA-Bogor dan Peneliti INSISTS

HIDAYATULLAH

Perkuat Konten Dakwah Digital

Tren digitalisasi dalam dakwah telah mengalami perubahan luar biasa.

Tenaga Ahli Komisi Informasi Jabar, Mahi Hikmat, menyampaikan, tren digitalisasi telah mengalami perubahan luar biasa. Konten berbasis digital termasuk tinggi pengaruhnya, khususnya terhadap dakwah.

Mahi menuturkan, secara perlahan tapi pasti, ada percepatan minat masyarakat terhadap konten-konten yang ada di media daring atau yang berbasis platform digital. Angkanya naik di atas 50 persen. Artinya, yang menggunakan media digital itu terus meningkat.

“Peningkatan ini termasuk juga pengukuran waktu jam per jamnya. Maka seharusnya ini menjadi rujukan bagi semua pendakwah untuk hijrah menggunakan media berplatform digital,” kata dia dalam agenda virtual Konferensi Dakwah dan Media Islam bertajuk ‘Prospek Dakwah Digital di Era Pandemi: Peluang, Tantangan dan Dinamika’ yang digelar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Selasa (30/11).

Mahi melanjutkan, ada sebanyak 54,68 persen penduduk Indonesia atau 143,26 juta penduduk Indonesia yang menggunakan media berplatform digital. Sehingga, dia menilai wajar bila para pendakwah beramai-ramai berdakwah melalui media digital. Menurutnya, ini merupakan keharusan meski perlu beradaptasi dengan konten.

Di era sekarang, menurut Mahi, para pendakwah bisa memilih bebas kontennya sehingga konten-konten dakwah pun menjadi ramai di jagat maya. Namun, meski jumlahnya banyak, terkadang konten dakwah yang yang dihadirkan secara digital menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat.

“Tapi itu sebetulnya tidak dapat dihindari di dunia maya terkait konten dakwah. Maka inilah yang harus dikuatkan, bagaimana mencetak pendakwah-pendakwah di era kebebasan yang luar biasa ini dalam menyajikan konten dakwah, yang tentunya tetap berdasarkan Alquran dan hadits,” kata dia.

Menurut Mahi, mungkin tidak sedikit masyarakat yang ragu terhadap konten dakwah yang ada di media digital. Apalagi jika pendakwahnya terbilang pendatang baru atau tidak memiliki latar belakang keagamaan yang cukup. Hal ini bermunculan di era kekinian karena mereka punya sarana untuk belajar menggunakan teknologi digital.

“Maka yang terpenting adalah komitmen pendakwah untuk menguatkan konten sehingga konten-konten dakwahnya tetap terkendali karena merujuk pada Alquran dan hadits atau kaidah lain berdasarkan kesepakatan ulama. Ini penting agar umat tidak kebablasan dalam melakukan tindakan-tindakan,” katanya.

Sementara itu, Akademisi dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Moch Fakhruroji menyampaikan, di jagat maya, otoritas keagamaan dari seseorang bersifat cair sehingga hal ini menjadi tantangan dan perlu dikuatkan kembali.

Misalnya, dia mengatakan, seorang Muslim bisa berdakwah ketika memiliki pemahaman keagamaan yang cukup. Atau punya relasi dengan tokoh atau institusi keagamaan yang bersifat otoritatif seperti pernah mengenyam pendidikan di pesantren.

“Namun diperlukan kajian mendalam tentang berbagai macam praktik baru dalam dakwah. Kajian dakwah ini kajian paling elastis, jadi harusnya bisa menyesuakan sehingga tidak perlu menganggap pendatang baru sebagai ancaman,” jelas dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Sisi Dakwah dan Sosial dalam Surat Al-Insan

Kali ini kita akan belajar beberapa poin indah dari Surat Al-Insan tentang dakwah dan sosial, yaitu :

1. Dalam berdakwah seseorang harus konsisten dan terus bergerak. Jangan hiraukan para pendosa dan orang-orang kafir yang ingin mengalihkanmu dari tujuanmu. Jangan hiraukan tawaran-tawaran mereka seperti harta, kedudukan dan sebagainya agar engkau meninggalkan kebenaran.

Karena itu pesan dari Al-Qur’an untuk menguatkan Nabi dan orang-orang mukmin tercantum dalam firman-Nya :

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا

“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.” (QS.al-Insan:24)

2. Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah. Dan kitab ini adalah manhaj terbaik yang Allah turunkan di muka bumi ini, maka berpeganglah dengannya !

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. (QS.al-Insan:23)

3. Mengingat Allah dan bertahajjud di malam hari adalah bekal terbaik yang akan membantumu di jalan dakwah.

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari. (QS.al-Insan:25-26)

4. Manusia yang lalai selalu mengutamakan dunia di atas akhirat. Maka mereka tenggelam dalam kenikmatan dunia dan lupa dengan sesuatu yang menanti mereka kelak di hari kiamat.

إِنَّ هَٰؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا

Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat). (QS.al-Insan:27)

5. Allah adalah Sang Pencipta seluruh makhluk. Dia lah yang berhak menentukan segalanya. Dan Allah Swt sangat mampu untuk mengganti sebuah generasi dengan generasi yang baru apabila kita menjadi para perusak bumi ini.

نَحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَشَدَدْنَا أَسْرَهُمْ ۖ وَإِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَا أَمْثَالَهُمْ تَبْدِيلًا

Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka. (QS.al-Insan:28)

6. Peringatan atau nasihat itu sangat penting bagi orang-orang mukmin dan orang yang sedang berjalan di jalan Allah.

إِنَّ هَٰذِهِ تَذْكِرَةٌ ۖ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِ سَبِيلًا

Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. (QS.al-Insan:29)

7. Segala sesuatu berada di tangan-Nya. Dia lah yang mengasihi orang-orang mukmin dan mendatangkan siksaan bagi orang-orang dzalim. Dia lah yang paling berhak disembah dan dipatuhi.

يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ ۚ وَالظَّالِمِينَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Dan memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (surga). Dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih. (QS.al-Insan:31)

Itulah beberapa pelajaran dari Surat al-Insan khususnya untuk menguatkan dan memberi energi baru bagi para pendakwah di jalan kebenaran.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

‘Dakwah Hendaknya Memberi Hikmah dan Pembelajaran yang Baik’

Dakwah harusnya dijaga keagungan dan keluhurannya sebagai tugas yang sangat mulia.

Dakwah pada hakikatnya adalah mengajak kepada kebaikan. Mengajak kepada kebaikan sendiri harusnya dengan cara yang baik, sehingga dakwah tidak sekedar menyampaikan, tetapi juga menanamkan nilai. Maka dakwah harusnya membawa rahmat kepada umatnya, bukan laknat atau bahkan menghardik yang berbeda pandangan.

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo, KH Mohammad Dian Nafi mengatakan bahwa dakwah harusnya dijaga keagungan dan keluhurannya sebagai tugas yang sangat mulia. Karena dakwah hendaknya selalu dilaksanakan oleh para ulama dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan berbagi argumentasi secara terpelajar.

“Karenanya keteladanan menjadi kebutuhan niscaya di dalam kegiatan dakwah. Keteladanan memudahkan orang-orang menangkap contoh berupa keseharian sang pelaku dakwah. Orang-orang yang tidak membaca Kitab Suci Alquran, hadis Nabi Muhammad SAW dan kitab-kitab agama Islam akan membaca teladan para juru dakwah itu,” ujar Dian Nafi di Sukoharjo, Rabu (2/12).

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah itu menuturkan yang dilihat dan dibaca oleh orang-orang adalah tutur kata, pola pikir, pola sikap, dan juga pilihan tindakannya sebagai pribadi dan tokoh masyarakat. Karena menurutnya para ulama atau juru dakwah ini juga hadir untuk mengisi kebutuhan masyarakat dalam lapis informasional, pergaulan, keilmuan dan keagamaan.

“Masyarakat sendiri mencermati, siapakah ulama yang menenteramkan dirinya untuk diikuti. Bahkan di banyak daerah ada keluarga ulama dari generasi ke generasi menjadi sandaran warga masyarakatnya juga dari generasi ke generasi mengikuti kultur sosial budaya masyarakat setempat,” ucap Dian.

Oleh sebab itu, menurutnya dari situlah masyarakat menaruh kepercayaan kepada para ulama. Karena dalam berbagai peran di berbagai lingkup kehidupan, para ulama selalu memberikan suluh penerang di saat masyarakat butuh pencerahan. Yang mana menurutnya hal itu menempatkan dakwah para ulama sebagai bagian yang penting di dalam nation and character building

“Itulah sebabnya, maka dakwah juga berarti memperkuat sikap proaktif di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sikap proaktif diteladankan oleh para ulama dengan cara hidup menjadi warga negara yang baik,” tutur lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret itu.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa sebetulnya ada nilai-nilai yang dikembangkan oleh para ulama adalah tafahum atau saling memahami, tarahum atau saling menyayangi, tasamuh atau ramah kepada perbedaan; tawazun atau keseimbangan dan keselarasan; dan ta’adul atau saling menegakkan ukuran objektif dan keadilan.

“Sejarah bangsa kita memberikan pelajaran yang sangat berharga. Tantangan-tantangan berat dapat kita atasi dengan baik selama kita menjaga persatuan nasional. Umat Islam dapat menjadi teladan yang baik dalam urgensi itu dengan dukungan para ulama yang juga memberi keteladanan,” ucapnya.

Selain itu, peraih gelar master Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu juga menegaskan bahwa para ulama harusnya meneladankan untuk mendahulukan hal-hal terpenting di dalam dakwahnya. Misalnya, hal-hal yang wajib sebagai Muslim, sebagai warga masyarakat dan warga negara akan didahulukan. Kemudian hal-hal yang sunah atau anjuran dan utama.

“Para ulama hendaknya tidak memperuncing segi-segi khilafiyah atau polemik karena perbedaan pendapat. Kalaupun jika harus diutarakan sampaikan secara seimbang. Karena hal-hal yang rinci seperti itu mungkin dipahami berbeda-beda oleh para ulama dalam aneka pendapat atau qaul yang dibahas di dalam pertemuan terbatas dan itupun menggunakan rujukan kitab-kitab yang jelas,” jelasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Berguguran di Jalan Hijrah dan Dakwah

Bisa jadi ada dari saudara kita yang dahulunya istiqamah di jalan hijrah dan dakwah. Dahulunya bersemangat akan agama, amal shalih dan memberi manfaat bagi sesama, akan tetapi seiring berjalannya waktu ia hilang dari peredaran hijrah dan dakwah. Seolah-olah gugur sebelum waktunya dan mengingatkan kita pada ayat yang menjelaskan kerasnya hari seiring berjalannya waktu akibat fitnah yang begitu dahsyat.

Allah berfirman,

فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ

“kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Hadiid: 16]

Saudara kita yang berguguran dijalan hijrah dan dakwah kini sudah tidak tahu rimbanya, sudah hilang dari majelis ilmu, sudah tidak lama kita berjumpa lagi. Sekali berjumpa, tiba-tiba ia terlihat sudah banyak meninggalkan sunnah dan ajaran Islam semisal sudah memotong jenggot, sudah melepas jilbab atau kembali memakai jilbab kecil dan ketat atau sudah kembali bekerja di instansi riba 

Hal ini bisa saja terjadi akibat tidak menempuh sebab-sebab istiqamah sedangkan fitnah dan manisnya dunia benar-benar menipu dan menyeret secara perlahan-lahan orang-orang yang dahulunya istiqamah. Fitnah yang datang secara perlahan-lahan dan terus-menerus inilah yang lebih berbahaya, menyebabkan orang yang terkena fitnah tidak sadar bahwa mereka digiring dalam kelalaikan akan akhirat serta tamak akan dunia. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memisalkan dengan fitnah seperti ini dengan anyaman tikar yang lepas satu-persatu dan perlahan-lahan.

Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا

“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. [HR.Muslim no 144]

Agar tidak gugur di jalan hijrah dan dakwah ada dua hal yang kami sangat tekankan, meskipun banyak sebab-sebab lainnya yang menyebabkan seseorang istiqamah dalam agama. Dua poin tersebut:

Pertama: Jangan pernah tinggalkan majelis ilmu sama sekali

Setelah kita perhatikan bahwa orang-orang yang meninggalkan majelis ilmu secara perlahan-lahanlalu  hilang secara total, mereka Inilah yang futur dan berguguran di jalan hijrah dan dakwah. Pada majelis ilmu hampir terkumpul semua sebab istiqmahnya seseorang, sebagaimana dalam hadits berikut:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim]

Majelis dzikir adalah majelis apapun yang di dalamnya ada kegiatan mengingat Allah dan hari akhir. Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan,

المراد بمجالس الذكر وأنها التي تشتمل على ذكر الله بأنواع الذكر الواردة من تسبيح وتكبير وغيرهما وعلى تلاوة كتاب الله سبحانه وتعالى وعلى الدعاء بخيري الدنيا والآخرة وفي دخول قراءة الحديث النبوي ومدارسة العلم الشرعي ومذاكرته والاجتماع على صلاة النافلة في هذه المجالس نظر والأشبه اختصاص ذلك بمجالس التسبيح والتكبير ونحوهما والتلاوة حسب وإن كانت قراءة الحديث ومدارسة العلم والمناظرة فيه من جملة ما يدخل تحت مسمى ذكر الله تعالى

 “Yang dimaksud dengan majelis-majelis dzikir adalah mencakup majlis-majlis yang berisi dzikrullah, dengan macam-macam dzikir yang ada (tuntunannya, Pent) berupa tasbih, takbir, dan lainnya. Juga yang berisi bacaan Kitab Allah Azza wa Jalla dan berisi doa kebaikan dunia dan akhirat. menghadiri majelis pembacaan hadits Nabi, mempelajari ilmu agama, mengulang-ulanginya, berkumpul melakukan shalat nafilah (sunah) ke dalam majlis-majlis dzikir adalah suatu visi. Yang lebih nyatamajlis-majlis dzikir adalah lebih khusus pada majlis-majlis tasbih, takbir dan lainnya, juga qiraatul Qur’an saja. Walaupun pembacaan hadits, mempelajari dan berdiskusi ilmu (agama) termasuk jumlah yang masuk di bawah istilah dzikrullah Ta’ala”. [Fathul Bari, 11/212]

Kedua:  Mencari teman dan lingkungan yang baik

Hal ini juga sangat penting karena agama seseorang itu tergantung dengan teman dekatnya.

ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳﻦِ ﺧَﻠِﻴﻠِﻪِ ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻞُ 

“Seseorang akan sesuai dengan kebiasaan/sifat sahabatnya. Oleh karena jtu, perhatikanlah siapa
yang akan menjadi sahabat kalian ”. [HR. Abu Daud]

Teman sangat mempengaruhi dan memberikan sifat yang ‘menular’ kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)

Serta perintah Allah dalam Al-Quran agar kita senantiasa sering berkumpul bersama orang-orang yang jujur dalam keimanannya. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Haruskah Berdakwah dengan Lemah Lembut di Zaman Ini?

Bagi aktivis dakwah di zaman ini hendaknya kita benar-benar meluruskan niat agar berdakwah hanya kepada Allah dan benar-benar bersabar dalam berdakwah. Bersabar dalam menyampaikan dakwah dan bersabar dengan sikap manusia dalam menghadapi dakwah yang kita sampaikan.

Bisa jadi sebagian manusia mencela, marah, bahkan mengganggu kita dengan berbagai macam cara.

Sekali lagi hendaknya kita bersabar dan hukum asalnya berlemah-lembut dengan mereka. Hal ini dikarenakan manusia di zaman ini benar-benar cinta dengan dunia dan tenggelam dengan kepentingan dunia. Tidak jarang dakwah mengganggu urusan dunia mereka sehingga mereka merespon negatif.

Cara dakwah inilah yang dicontohkan oleh para ulama kita saat ini. Mereka berdakwah dengan lemah-lembut, kita bisa saksikan dalam ceramah dan sikap mereka yang penuh bimbingan dan ilmiah. Hal ini dijelaskan oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau berkata

هذا العصر عصر الرفق والصبر والحكمة ، وليس عصر الشدة ، الناس أكثرهم في جهل ،في غفلة وإيثار للدنيا ، فلا بد من الصبر ، ولا بد من الرفق حتى تصل الدعوة ، وحتى يبلغ الناس وحتى يعلموا

“Zaman ini adalah zamannya untuk berlemah-lembut, sabar dan hikmah, Bukan zamannya bersikap keras, karena kebanyakan manusia banyak yang jahil, lalai dan lebih mementingkan urusan dunia. Oleh karena ini harus bersabar dan lemah lembut sampai dakwah ini tersampaikan dan sampai pada manusia agar mereka mengetahuinya.” [Majmu’ Fatawa 8/376]

Hukum asal dakwah adalah lemah lembut, terlebih pada hal “memperbaiki/mengkoreksi kebiasaan seseorang/kaum” dan terkadang dalam dakwah tidak boleh terlalu gengsi semisal tidak mau “jemput bola” mendatangi mereka yang butuh dakwah. Terkadang dakwah itu perlu mendatangi manusia dan menjelaskan dengan hikmah dan lembut. Hal ini dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin, beliau berkata:

ينبغي لطلبة العلم أن ينبهوا الناس ،ولكن يالرفق، لأن العامة إذا أنكر عليهم ما اعتادوه نفروا، فإذا أتوا بالحكمة واللين قبلوا 

“Hendaknya para penuntut ilmu memperingatkan manusia, namun haruslah dengan lemah lembut, karena kebanyakan manusia jika diingkari sesuatu hal yang sudah menjadi kebiasaan mereka, akan lari menjauh, akan tetapi jika mereka didatangi dengan cara yang hikmah dan lembut, mereka akan menerima.” [Syarh al-Mumti’ 3/204]

Dakwah seperti inilah yang diperintahkan oleh agama kita yaitu lembut dan penuh hikmah.

Allah Ta’ala berfirman

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah (lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Dakwah adalah perkara yang agung, hendaknya kita isi dengan kelembutan sebagaimana arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidak berada pada sesuatu melainkan dia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, tidaklah sifat itu dicabut dari sesuatu, melainkan dia akan membuatnya menjadi buruk.” [HR. Muslim]

Memang benar dakwah juga bisa dengan ketegasan, akan tetapi hukum asalnya adalah hikmah dan lemah-lembut. Jangan sampai dakwah lebih banyak keras dan tegasnya dari pada kelembutan, terlebih di zaman ini. Apabila dakwah dilakukan dengan keras tentu manusia akan menjauh.

Allah berfiman

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap KERAS LAGI BERHATI KASAR, tentulah mereka akan MENJAUHKAN DIRI dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jug bersabda,

ﻳَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻌَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﺑَﺸِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨَﻔِّﺮُﻭﺍ 

“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari]

Demikian semoga bermanfaat

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47423-zaman-ini-dakwah-dengan-lemah-lembut-dan-bersabar.html

Penyakit Berbahaya: Merasa Punya Jasa dalam Dakwah

Ketika kita mendapatkan kemudahan dan pertolongan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dalam bentuk ibadah apa pun, hendaknya kita senantiasa bersyukur kepada-Nya dan senantiasa memohon taufik dan hidayah dari Allah Ta’ala agar kita senantiasa istiqamah di dalamnya. Termasuk ketika mendapatkan kemudahan dari Allah Ta’ala sehingga kita dimudahkan untuk (sedikit) berkontribusi dalam dakwah.

Namun, setan memanfaatkan sedikit celah untuk menjerumuskan manusia dalam hal ini. Yaitu dengan mengajak manusia yang telah berkhidmat dalam dakwah untuk menyombongkan diri di hadapan manusia yang lainnya. Dia merasa bahwa dia punya jasa besar dalam dakwah. Dia merasa bahwa tersebarnya dakwah Islam saat ini adalah karena peran besarnya. Dia merasa bahwa jika dia tidak ada dan tidak ikut andil dalam dakwah, maka dakwah tidak akan jalan dan dakwah pun akan berhenti. Dia merasa dibutuhkan dalam dakwah. Dan perasaan-perasaan lain yang berpotensi merusak amalnya.

Merasa punya jasa dalam agama adalah di antara ciri khas orang-orang musyrikin jahiliyyah

Merasa bangga dan merasa punya jasa dalam agama dan dakwah, adalah di antara ciri khas orang-orang musyrikin jahiliyyah. Dulu, mereka membanggakan diri mereka dan menyombongkan diri bahwa mereka punya jasa besar dalam mengurus ibadah haji. Mereka sombong karena telah memelihara tempat-tempat pelaksanaan manasik haji, menjadi pengurusnya, serta memberi makan dan minum untuk jamaah haji yang miskin.

Allah Ta’ala pun mencela perbuatan mereka ini dengan mengatakan,

مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ

“Dengan menyombongkan diri (terhadap Al-Qur’an atau iman) dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 67)

Maksudnya, mereka sombong karena telah mengurusi baitullah (ka’bah) dan melayani jamaah haji yang mendatanginya. Dengan amal itu, mereka menyombongkan diri di hadapan bangsa Arab lainnya. Lebih parah dari itu, beralasan dengan amal-amal tersebut, mereka merasa cukup sehingga merasa tidak butuh lagi terhadap Al-Qur’an dan tidak butuh beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyangka bahwa amal mereka tersebut telah mencukupi untuk diri mereka.

 

Allah Ta’ala pun mencela sikap mereka tersebut dengan mengatakan,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram itu kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 19)

Betul, memberi makan dan minum jamaah haji serta memakmurkan Masjidil Haram adalah termasuk amal shalih. Akan tetapi, tidak selayaknya seseorang membangga-banggakan amal tersebut di hadapan manusia. Bahkan menganggap amal tersebut telah cukup untuk diri mereka. Lalu merasa tidak butuh dengan amal yang lebih agung, di antaranya adalah jihad di jalan Allah, beriman kepada Allah Ta’ala, serta beriman kepada hari akhir. [1]

Jadi, membanggakan amal shalih di hadapan manusia, pada asalnya adalah ciri khas (karakter) masyarakat jahiliyyah.

Janganlah merasa telah memberi jasa kepada Islam

Allah Ta’ala mencela orang-orang yang merasa punya jasa ketika masuk Islam. Allah Ta’ala berfirman,

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepada-Ku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allah, Dia-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 17)

Ketika sebagian orang merasa punya jasa dengan masuk Islam, merasa bahwa keislaman mereka itu adalah jasa besar untuk Islam, Allah Ta’ala pun membantahnya. Yaitu sebenarnya, Allah-lah yang memberikan nikmat kepada mereka dengan memberikan hidayah kepada mereka dengan masuk Islam.

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata menjelaskan ayat ini,

هذه حالة من أحوال من ادعى لنفسه الإيمان، وليس به، فإنه إما أن يكون ذلك تعليمًا لله، وقد علم أنه عالم بكل شيء، وإما أن يكون قصدهم بهذا الكلام، المنة على رسوله، وأنهم قد بذلوا له [وتبرعوا] بما ليس من مصالحهم، بل هو من حظوظه الدنيوية، وهذا تجمل بما لا يجمل، وفخر بما لا ينبغي لهم أن يفتخروا على رسوله به فإن المنة لله تعالى عليهم، فكما أنه تعالى يمن عليهم، بالخلق والرزق، والنعم الظاهرة والباطنة، فمنته عليهم بهدايتهم إلى الإسلام، ومنته عليهم بالإيمان، أعظم من كل شيء

“Ini adalah kondisi orang-orang yang mengklaim telah beriman, padahal tidak. Klaim itu bisa jadi adalah untuk memberi tahu kepada Allah, padahal dia telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu. Atau bisa jadi maksud mereka dengan ucapan itu adalah untuk mengungkit jasa mereka kepada Rasul-Nya, bahwa mereka telah mencurahkan segala usaha mereka dan berbuat baik kepada Rasul-Nya, dengan sesuatu yang hakikatnya bukan merupakan amal shalih mereka, namun hanya karena motivasi duniawi semata. Mereka telah menghiasi diri dengan sesuatu yang tidak bisa dipakai untuk berhias (karena amal tersebut memiliki tendensi duniawi).

Mereka telah menyombongkan diri dengan sesuatu yang tidak sepantasnya, yaitu menyombongkan diri kepada Rasul-Nya. Karena sesungguhnya nikmat Allah Ta’ala kepada mereka, yaitu dengan menciptakan dan memberi mereka rizki, juga nikmat lahir dan batin, atau nikmat telah memberikan hidayah kepada mereka dengan masuk Islam dan memberikan hidayah untuk beriman, itu adalah nikmat yang jauh lebih besar dari segala nikmat yang ada.” (Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 802)

 

‘Ujub terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain

Berdakwah adalah di antara bentuk ibadah yang terpuji. Sehingga tidak boleh atas seseorang untuk berbangga diri, menepuk dada, dan sombong dengan amal ibadah tersebut. Karena ibadah adalah saran untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, bukan untuk mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia. Bahkan, hendaknya dia memuji Allah Ta’ala karena telah menjadikan dirinya sebagai orang yang menunaikan amal tersebut, bukan membangga-banggakan dan menyombongkan diri sendiri di hadapan manusia.

Sombong terhadap amal atau dakwah yang telah dilakukan, akan menyebabkan ‘ujub terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain. Dia akan cenderung menganggap remeh apa yang telah dilakukan orang lain.

Yang perlu kita sadari adalah betapa pun besar atau hebat amal dakwah yang telah kita lakukan, tetap saja pasti ada kekurangan di sana-sini. Amal besar itu belum mampu menunaikan hak Allah Ta’ala dengan sempurna. Sehingga amal kebaikan atau dakwah yang kita lakukan itu pada hakikatnya adalah amal yang sedikit, yang penuh kekurangan. Oleh karena itu, membanggakan amal yang dilakukan antara dia dengan Allah Ta’ala itu sangat berbahaya, karena hal itu akan menyeret kepada ‘ujub, sekedar memperbanyak amal, dan pada akhirnya akan membatalkan pahala amal tersebut.

Inilah yang seharusnya kita lakukan, yaitu menganggap amal kita adalah amal yang sedikit. Karena itulah yang akan mendorongnya untuk tawadhu’ (rendah hati) di hadapan manusia. Selain itu, juga akan mendorongnya untuk terus-menerus memperbanyak amal kebaikan yang lainnya.

Kesimpulan

Kesimpulan, merasa punya jasa dalam Islam atau merasa punya jasa dalam dakwah adalah penyakit yang bisa jadi menggerogoti amal para aktivis dakwah. Hendaknya kita senantiasa menyadari, bahwa ketika kita dimudahkan untuk banyak beramal, termasuk amal untuk berdakwah, itu semata-mata karena pertolongan dan kemudahan dari Allah Ta’ala. Lalu, apa alasan untuk menyombongkannya di hadapan manusia?

Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ يَنْقُلُ مَعَنَا التُّرَابَ، وَلَقَدْ وَارَى التُّرَابُ بَيَاضَ بَطْنِهِ، وَهُوَ يَقُولُ: وَاللهِ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا، وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا

“Ketika terjadi perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turut bersama-sama dengan kami mengangkat tanah. Sehingga perut putih beliau menjadi kotor karena tanah. Beliau pun bersenandung, “Ya Allah, sekiranya bukan karena Engkau, tidaklah kami mendapatkan petunjuk, tidaklah kami bersedekah, dan tidaklah kami mendirikan shalat.“(HR. Bukhari no. 4104 dan Muslim no. 1803)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46732-penyakit-berbahaya-merasa-punya-jasa-dalam-dakwah.html

Kekuatan Cinta Kasih dalam Dakwah

CINTA kasih, kelembutan dan akhlak mulia adalah di antara kekuatan signifikan dalam kesuksesan berdakwah. Dalam surah Ali Imran, ada potongan ayat yang menandaskan:

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali-Imran [3]: 159)

Dengan sangat jelas, pada ayat tersebut ada pesan penting mengenai sejauh mana peran kasih sayang, cinta dan kelembutan bagi penerimaan orang terhadap dakwah Nabi. Jika beliau dalam menjalankan misinya menggunakan pendekatan represif, maka akan ditinggalkan oleh komunikan dakwah.

Syeikh Sa’dy dalam “Taisīr al-Karīm al-Rahmān” (2000: 154) memberikan catatan penting setelah menafsirkan ayat tersebut. Katanya, “Akhlak mulia adalah bagian primer dalam agama. Dengan menjalankannya, akan menarik hati orang pada agama Allah dan membuat mereka senang padanya. Selain itu, pelakunya pun mendapat pujian serta pahala khusus (dari Allah). Sementara akhlak tercela, bisa membuat orang lari dari dan murka pada agama. Pelakunya pun akan mendapat celaan dan sanksi khusus.”

“Jika Rasul saja dinasehati Allah dengan demikian,” lanjut Sa’dy, “maka (sebagai umatnya) bukankah kita lebih wajib meneladani akhlak mulia beliau dalam berinteraksi dengan manusia. Dengan menjalankan sikap lemah lembut, akhlak luhur dan hati simpatik, itu adalah bagian dari ketaatan kita dalam menjalankan perintah Allah dan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Bila dilihat dalam sejarah hayat Nabi Muhammad ﷺ, dalam menyampaikan pesan dakwah, kasih sayang dan cinta kasih selalu menjadi andalan. Selama dua puluh tiga tahun berdakwah, bagian yang paling menonjol dari dakwah beliau adalah kasih sayang.

Interaksi luhur itu terus beliau jalankan meski terkadang di lapangan harus mendapat perlakuan kasar dari komunikan dakwahnya.  Sebagai contoh, beliau pernah dilempari batu oleh penduduk Tha`if hingga kakinya bersimbah darah. Perbuatan mereka tentu membuat murka Allah, dan ditawarkan kepada beliau bahwa mereka akan dihancurkan dengan gunung. Namun, dengan akhlak mulia beliau malah berujar, “Ya Allah, anugerahkanlah hidayah kepada kaumku; sesungguhnya mereka tidak tau.” Kata-kata bersejarah itu menunjukkan betapa tinggi kasih sayang beliau dalam berdakwah.

Saat Pembebasan Mekah pun, sebenarnya Nabi memiliki kesempatan untuk menghabisi orang-orang musyrik dan kafir yang selama ini menyakiti dan menyebarkan berita miring seputar beliau. Pada waktu itu mereka sudah menjadi tawanan. Namun apa yang keluar dari lisan suci beliau, “Sekarang adalah hari kasih sayang, bukan hari pembantaian. Pergilah kalian, sekarang kalian bebas.” Beliau meneladani sikap luhur Nabi Yusuf yang memaafkan kesalahan-kesalahan saudaranya yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 92.

Bilapun beliau harus menggunakan cara-cara yang tegas seperti jihad di medan perang, namun semua itu tak lepas dari bingkai kasih sayang. Setelah dakwah-dakwah penuh cinta kasih dan lembut sudah tidak berguna, malah umat Islam diserang, maka alternatif terakhir –setelah semua cara lembut sudah dikerahkan—adalah mempertahankan diri dan jihad.

Perang di sini tentu tidak bisa dipahami secara serampangan sebagaimana tuduhan orang-orang orientalis yang menyatakan bahwa Islam disebar dengan pedang. Perlu diingat bahwa perang dalam Islam itu ada syarat-syarat dan adab-adab yang menggambarkan kasih sayang Islam. Dalam peperangan, umat Islam dilarang membunuh anak-anak, perempuan, orang tua renta, pemimpin agama, merusak tanaman, memutilasi dan lain sebagainya.

Catatan sejarah tersebut menunjukkan bahwa umat Islam dalam berdakwah senantiasa mengedepankan cinta kasih dan kelembutan. Namun, jika mereka diserang, maka mereka adalah orang yang paling siap mengorbankan jiwanya untuk didedikasikan di jalan Allah.

Contoh lain adalah Abdullah bin Yasin. Dalam waktu semalam –dengan dakwah berbasis cinta– sekitar enam ribu penduduk Lamtunah masuk Islam, dan mengikuti dakwahnya. Berkat dakwah beliau banyak sekali wilayah Afrika yang kemudian memeluk Islam, hingga kemudian berdiri Daulah Murabithun.

Rupanya, cara itu juga yang digunakan musuh Islam untuk mengalahkan umat Islam. Setelah berabad-abad kemudian, ketika sudah lelah dalam pertempuran Salib yang mendapat resistensi perlawanan hebat dari umat Islam, maka tokoh-tokoh mereka menggunakan cara lemah lembut untuk menaklukkan umat Islam.

Perhatikan kata-kata veteran Perang Salib, Peter The Venerable, “Aku menyerangmu bukan sebagaimana sebagian dari kami (orang-orang Kristen) sering melakukan, dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan, namun dengan akal: bukan dengan kebencian, namun dengan cinta.” (Adnin, 2005: 22)

Senada dengan Venerable, seorang misionaris legendaris Henry Martyn menyatakan, “Saya datang menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta.” (Adian, 2005: XXVII)

Langkah ini ditempuh karena mereka merasa gagal dalam perang Salib ketika menggunakan kekuatan senjata. Maka kemudian mereka menggunakan kata, logika dan cinta. Akhirnya, muncullah kemudian gerakan orientalis dan diakonia yang kemudian lebih efektif dibandingkan dengan cara represif.

Bukankah masuknya Islam ke Indonesia juga dengan damai dan penuh cinta kasih, sehingga, bisa merebut simpati dan hati masyarakat sekitar? Demikianlah kekuatan dakwah dengan cinta yang harus digalakkan oleh setiap dai agar rahmat Islam bisa menyebar ke seantero alam.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Dakwah dan Ukhuwah

Dikisahkan dalam sebuah sirah bahwa sang Nabi hari itu terlihat semringah. Meluncur dari lisan fasihnya, untaian cinta yang menghangatkan telinga si pendengarnya, “Selamat datang duhai orang yang karenanya aku ditegur oleh Rabbku!”

Sang Nabi sendiri selalu tersenyum ketika melafalkan kalimat ini. Dan, orang yang dimaksud pun juga tersipu. Padahal, ia berpenghalang dengan penglihatanya alias buta. Ke arah Majelis Nabawi itu Abdullah ibnu Ummi Maktum, pemilik nama ini, tertatih mendekat. Lalu, Rasulullah bersegera mengulurkan tangan, menggandengnya, menggenggam jemari lelaki ini erat-erat, dan mendudukkannya di sebelah Beliau.

Teguran Allah pada Beliau itu sudah lama sekali. Tetapi, sang Nabi takkan pernah melupakannya. Beliau pernah bermasam muka, merasa enggan, dan mengalihkan wajah dari Abdullah ibnu Ummi Maktum. Tak sepenuhnya abai sebenarnya.

Hanya saja, saat itu Rasulullah SAW sedang berada di hadapan para pembesar Quraisy dan sedang membacakan ayat-ayat Allah pada mereka. Saat itu, teramat tinggi hasrat sang Nabi agar para pemuka itu mau menerima dakwah. Karena, mereka adalah pemimpin kaumnya, pikir Beliau, insya Allah akan banyak manusia yang mengikuti langkah mereka.

Maka, kedatangan Abdullah ibnu Ummi Maktum yang buta, yang lemah, yang pinggiran, dan tanpa kuasa itu terasa seperti sebuah usikan kecil bagi asa dakwah Beliau. Kehadirannya seolah menjadi citra bahwa yang mengikuti Muhammad adalah orang-orang dhuafa dan fakir, orang-orang belakang dan pandir.

Itu pasti akan membuat para pemuka Quraisy tak nyaman dan makin enggan. Jadi, Beliau bermuka masam dan berpaling. Lalu, Allah menegurnya. “Dia bermasam muka dan berpaling karena datang seorang buta kepadanya.” (QS Abasa [80]: 1-2).

Tak ada yang salah dengan hasrat kuat sang Nabi agar pembesar Quraisy itu segera beriman. Allah memang telah mengamanahi Beliau untuk menyeru mereka kepada hidayah. Dan, secara pribadi sang Nabi pun sama sekali tak punya benci, jijik, atau risih kepada Ibnu Ummi Maktum ini. Beliau hanya merasa kemunculannya terjadi pada saat yang tak tepat.

Antara dakwah dan ukhuwah. Ya, kedua materi ini seperti dua mata perkuliahan yang hendak Allah sampaikan kepada Nabi-Nya supaya lebih bijak mendudukkannya. Hari itu, Nabi seperti merasakan gelombang hikmah dari teguran Allah. Gelombang keinsyafan dari untaian salam Nabi kepada Ibnu Ummi Maktum di atas begitu terasa.

Beliau kini lebih memahami bahwa dakwah ini milik Allah. Bahwa, hidayah juga adalah milik-Nya. Tugasnya hanya ikhtiar semata. Beliau tidak akan dipersalahkan atau menanggung dosa jika para pemuka Quraisy tak juga beriman.

Beliau seperti sedang dididik untuk lebih adil dan tak membeda-bedakan sikap. Baik kepada pemuka kaya atau kepada yang buta papa. Sikap cinta dan mesra Beliau harus serupa. Begitulah seharusnya kita, para juru dakwah. Ikhtiar dalam dakwah dan tetap berupaya melebarkan ukhuwah. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

KHAZANAH REPUBLIKA

Dakwah Lewat Akhlak Lebih Manjur dari Ceramah

PEDAGANG umumnya lebih dikenal sebagai agen penipuan. Padahal sadarkah anda, islam masuk di indonesia karena peran pedagang muslim. Kejujuran dan keindahan akhlak mereka membuat masyarakat kita tertarik masuk islam.

Sejak zaman dahulu, para pedagang memainkan peran vital dalam kehidupan kaum muslimin. Ribuan mil mereka tempuh dalam berniaga demi memenuhi hajat manusia. Melalui akhlak mereka yang indah dan mengagumkan, banyak negeri kafir yang masuk dalam pangkuan Islam. Bahkan, luasnya daerah yang ditaklukkan oleh para pedagang, melebihi apa yang dicapai melalui perang dan pedang!

Lihatlah negeri kita tercinta, bagaimana indonesia menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia? Tak lain adalah berkat jasa para pedagang. Mereka berlayar jauh-jauh dari Hadramaut dan India, dan terombang-ambing di tengah samudra berbulan-bulan lamanya, untuk menjejakkan kaki dan berniaga di bumi pertiwi.

Negeri yang subur makmur loh jinawi ini, dari Sabang sampai Merauke-nya konon tak ada yang mengenal Islam sebelum kedatangan mereka. Yang tumbuh subur kala itu adalah agama Hindu, Budha, dan penyembahan terhadap berhala.

Para pedagang tadi bukanlah ulama. Dan kalaupun ada yang berilmu di antara mereka, paling hanya satu-dua. Mereka tak pandai berceramah dan memberi pengajian. Lagi pula, untuk apa berceramah? Toh masyarakat Indonesia takkan faham dengan bahasa mereka. Akan tetapi, sikap amanah mereka dalam berniaga demikian mengesankan. Akhlak mereka dalam berdagang sungguh mengagumkan.

Perlahan-lahan, masyarakat Indonesia pun mulai tertarik dengan kejujuran dan sifat amanah mereka. Ternyata, sifat amanah dan jujur tadi bukan sekedar kebiasaan, namun lahir dari akidah dan keyakinan. Islam-lah yang mengajarkan mereka untuk tidak menipu, tidak memakan harta orang secara batil, dan tidak memungut riba.

Memang, karakter bangsa Indonesia yang mudah terpedaya oleh perilaku, menjadi faktor penting dalam penyebaran setiap ajaran, termasuk Islam. Oleh karenanya, berdakwah lewat tingkah laku lebih manjur dari pada ceramah melulu.

Kesan yang kita rasakan saat bermuamalah dengan orang yang amanah, jauh lebih mendalam dari pada mendengar sepuluh kali ceramah. Namun sayangnya, sifat amanah hari ini sangat jarang dijumpai. Amanah -sebagaimana sabda Nabi- adalah sifat yang pertama kali dicabut dari umat ini.

 

INILAH MOZAIK