Derai Air Mata Harun Ar-Rasyid (2-habis)

Para khalifah kerap meminta nasihat kepada para ulama.

Beberapa saat kemudian, diketuklah pintu rumah Ibnu Iyadh. “Siapa yang datang?” kata pemilik rumah. “Pemimpin umat,” jawab Ibnu ar-Rabi’.

Saya tidak ada urusan dengannya,” jawab al-Fadhil bin ‘Iyadh. “Subhanallah, apakah kau tidak menaatinya?” ujar Ibnu ar-Rabi’.

Akhirnya, Ibnu ‘Iyadh membuka pintu lantas kembali naik ke lantai atas, lalu mematikan lampu dan kembali ke sudut rumahnya untuk beribadah.

Sontak, rumah gelap gulita. Para tamu mencoba meraba-raba dan secara tak sengaja tangan Khalifah Harun ar-Rasyid menyentuh telapak tangan al-Fadhil bin ‘Iyadh.

Betapa lembutnya tangan ini, seandainya besok selamat dari siksa Allah SWT,” ujar Ibnu ‘Iyadh. Harun kaget bukan main, ia pun meminta tokoh sufi itu meneruskan petuahnya.

Ketika Umar bin Abd al-Aziz memimpin, ia merasa tanggung jawab yang diemban sangat berat, ia pun meminta asupan semangat kepada tiga ulama, yaitu yang pertama, Salim bin Abdullah. Ia berpetuah, jika Anda ingin selamat dari siksa Allah, berpuasalah dari dunia dan jadikan kematian adalah waktu berbukanya.

Kedua, Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhi berpesan hormati ayahmu, muliakan saudaramu, dan sayangi buah hatimu.

Sedangkan, ketiga, Raja’ bin Hayawih berujar, berikanlah apa yang mereka suka seperti kesukaanmu dan hindari apa yang tidak mereka senang seperti kau juga merasa tidak suka.

Silakan Anda meninggal, tetapi aku takut ketika datang waktu itu, tak seorang pun yang mengatakan ini seperti mereka berpesan kepada Umar bin Abd al-Aziz. Apakah Anda pernah mendapat pesan semacam ini?” ujar Ibnu ‘Iyadh.

Harun ar-Rasyid menangis tersedu-sedu, air matanya tak berhenti berderai. Ia jatuh pingsan. Ibnu ar-Rabi’ sempat iba dan meminta agar Ibnu ‘Iyadh jangan terlalu keras menasihati. “Kalian telah membunuh (jiwanya) dan aku harus berhalus ria?” tutur Ibnu ‘Iyadh.

Begitu sadar, Harun meminta agar nasihat itu diteruskan. Ia kembali menangis. Tangisan itu semakin kencang saat Ibnu ‘Iyadh berpesan tentang bahaya kecurangan dan kezaliman jika ia memimpin rakyat.

Ia pun tersadar dan berjanji akan menunaikan segala utang dan mengemban jabatannya dengan penuh amanat.

Rombongan pun meminta izin pulang. Harun ar-Rasyid memberikan hadiah kepada Ibnu ‘Iyad seribu dinar. Tetapi, pemberian itu ditolak.

“Aku menunjukkanmu kepada keselamatan dan engkau membayarku dengan dunia. Semoga Allah menyelamatkanmu,” ujar Ibnu ‘Iyadh.

Harun ar-Rasyid pun lalu terdiam. Rombongan memutuskan pergi dan sempat membujuk istrinya supaya menerima itu lantaran kondisi ekonomi yang mengimpit keluarga mereka. Tetapi, Ibnu ‘Iyadh bersikeras menolaknya.

 

 

Oleh: Nashih Nashrullah

Sumber: Republika Online

Kenapa Besaran Rezeki Kita Berbeda?

Oleh Nashih Nashrullah

Rezeki yang diterima oleh manusia, tak pernah sama. Ada yang seharian memeras keringat, rupiah yang diperoleh tak setimpal, bahkan nihil. Sementara di sisi lain, sebagian anak Adam begitu mendapat rezeki begitu mudah, hingga melimpah ruah. Kenapa perbedaan itu terjadi?

Syekh Mutawalli as-Sya’rawi mengungkapkan rahasia di balik perbedaan pembagian rezeki tersebut melalui kitabnya yang berjudulTilka Hiya al-Arzaq.
Risalah sederhana Menteri Urusan Wakaf dan Al-Azhar Republik Arab  Mesir pada 1976-1978 itu berusaha menguak hikmah di balik sejumlah fenomena menarik soal pencarian rezeki.

Tokoh kelahiran Daqadus, sebuah desa di Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir, mengatakan perbedaan tersebut dimaksudkan agar rezeki dapat mengalir ke individu dengan cara yang berbeda-beda. Jika terjadi perbedaan rezeki, Allah akan memberikan haknya dalam bentuk yang lain. Hal ini karena—sekali lagi—rezeki bukan hanya uang semata, tetapi rezeki adalah segala sesuatu yang dirasakan manfaatnya oleh manusia.

Karenanya, bentuk rezeki yang diberikan Allah tidak terbatas. “Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS al-Baqarah [2]: 212). Dalam ketentuan dan hitungan matematis besaran output akan ditentukan oleh besaran input.

Tetapi, tidak dalam konteks rezeki yang Allah berikan, Allah tidak memberikan batas. Bahkan, tak jarang Allah memberikan rezeki di luar batas usaha yang telah ditempuh oleh seorang hamba, apa yang diperoleh bisa lebih banyak dari yang dikira dan telah diusahakan.

Sebagian Muslim lalu bersikap sinis dan terheran dengan rezeki lebih yang diterima oleh orang kafir. Tetapi, mengapa kaum Muslim itu tidak mencoba menghitung betapa besarnya nilai kebajikan yang Allah berikan kepada mereka.

Belum lagi rezeki berupa rasa nyaman yang dirasakan oleh hati. Terlebih jika mereka mengetahui bahwa hari pembalasan pasti akan tiba. Allah akan memberikan balasan sesuai dengan keyakinan dan amal yang telah diperbuat selama di dunia (QS an-Nahl [16]: 96-97).

Menurut Syekh, di sinilah umat Islam perlu bersikap qanaah, menerima bagian yang telah diterima. Hidup akan tambah bermakna dengan sikap qanaah terhadap rezeki yang halal. “Hendaknya menjaga etika jika melihat orang lain telah diberikan rezeki lebih.”

Tidak ada yang tahu apa hikmah di balik pemberian yang berlimpah itu. Tetapi, kata dia, perlu diperhatikan bahwa rezeki adalah ujian. Rezeki yang dianugerahkan tak boleh digunakan sebagai sarana untuk saling menyanjung ataupun menghina satu sama lain. Kemuliaan bukan terdapat pada bertambahnya rezeki. “Kemuliaan itu terletak pada sejauh manakah ia mampu memanfaatkan sebaik-baiknya dalam pendayagunaan rezeki itu,”ujar Syekh Sya’rawi.

Minimnya rezeki yang diperoleh bukan berarti rendah dan hina. “Maka, tenanglah wahai mereka kaum miskin dhuafa. Allah tak akan menelantarkan hamba-Nya tanpa rezeki sedikit pun. Dan, bersikaplah mawas bagi mereka yang berkecukupan dan lebih rezekinya. Apa yang mereka peroleh adalah ajang ujian untuk mereka,” tuturnya mengingatkan.

Simaklah surah al-Fajr [89]: 14-15. “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Adapun bila Tuhannya Mengujinya lalu membatasi rezekinya, dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku.”

 

sumber: Republika Online