Di dalam kajian fikih madzhab, penyerahan harta kepada pihak lain dihukumi sah bilamana penyerahan tersebut mengikut pada aturan dan ketentuan syara’ yang berlaku. Kita bisa memetakannya berdasar ada atau tidaknya akad pertukaran barang dan jasa.
Penyerahan yang sah yang disertai ketiadaan akad pertukaran barang atau jasa, ada meliputi: 1) zakat, 2) infaq, 3) shadaqah, 4) hibah, 5) hadiah, 6) wakaf, 7) waris, 8) utang, 9) rampasan perang, dan 10) harta khumus dari harta rikaz. Adapun penyerahan yang sah dan disertai akad pertukaran barang dan jasa, meliputi: 1) jual beli dan barter, 2) qiradl (permodalan), 3) istitsmar (investasi), syirkah 4) gadai, 5) upah (fee), 6) ju’lu (komisi) 7) ganti rugi (ta’widl), 8) iuran. Pajak dalam kajian sebelumnya masuk dalam rumpun nafkah. Adapun cukai masuk dalam rumpun ganti rugi. (Baca: Pajak dalam Pandangan Hukum Islam)
Adapun penyerahan harta kepada pihak lain, bisa dipandang sebagai tidak sah, manakala ditemui adanya illat keharaman di dalamnya. Kita juga bisa membedakannya menjadi 2, yaitu berdasar ada atau tidaknya barang yang dijadikan wasilah.
Penyerahan harta yang tanpa disertai wasilah berupa barang atau jasa dan hukumnya tidak sah, antara lain: 1) harta curian, 2) harta hasil perampokan, 3) harta pemaksaan (mustakrah) dari selain hakim, 4) harta ghashab, 5) harta rampasan yang bukan akibat perang, 6) harta hasil kecurangan, 7) harta riba qardli, dan lain sebagainya. Sementara itu, penyerahan yang tidak sah dengan ditanda adanya wasilah berupa barang atau jasa, antara lain: 1) harta hasil riba jual beli (riba nasiah, fadhly, dan al-yad), 2) suap (risywah), 3) harta hasil jual beli dengan curang, 4) harta judi, 5) harta hasil undi nasib, 6) pungutan liar karena alasan jasa keamanan, dan lain sebagainya.
Sebenarnya yang membedakan antara sah dan tidaknya suatu penyerahan harta kepada pihak lain adalah tergantung pada ada atau tidaknya illat keharaman. Pada kasus money game misalnya, mengapa penyerahan harta itu disebut sebagai tidak sah, adalah disebabkan karena ketiadaan kerja / usaha dan ruang penyaluran usaha. Ketika tidak ada kerja dan usaha, maka penyerahan harta yang disertai janji pengembalian lebih dari yang harta yang diserahkan, merupakan buah dari relasi adanya unsur eksploitatif dan aniaya. Sedikit atau banyak janji kembalian, tetaplah tersimpan makna sebagai penyerahan yang aniaya karena unsur melazimkan sesuatu kepada pihak lain yang tidak seharusnya. Syara’ melabelinya sebagai haram. Setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka ada hisabnya kelak di akhirat sebagai wa al-naru aula bihi (neraka merupakan yang utama baginya).
Melazimkan sesuatu kepada pihak lain, hanya dibenarkan adanya relasi yang dibenarkan oleh syara’. Misalnya, karena relasi juragan dan pekerja, penjual dan pembeli, pemodal dan yang dimodali, pengusaha dengan pemodal, pernikahan, orang tua dan anak, anak yatim dan walinya, mayit dan ahli waris, orang yang wasiat dan diwasiati, pihak yang merugikan dan yang dirugikan, negara dan warganya (muwathanah). Akad kelaziman tidak berlaku terhadap relasi penganggur dan pendapatan (income), tidak bermodal dengan pendapatan, perampok dan harta hasil rampokan, hakim dengan uang suap, dan relasi-relasi lain sejenisnya. Relasi ini selain tidak disahkan oleh syara’ (hukum taklifi), juga merupakan relasi yang tidak masuk akal, sehingga menyalahi hukum sebab-akibat (hukum wadl’i).
Dalam konteks seperti ini, maka sebenarnya yang dikehendaki oleh syariat, adalah bukan hanya kemaslahatan dunia, melainkan juga kemaslahatan di akhirat yaitu selamat dari api neraka. Itu maknanya, setiap individu harus selamat dari mengambil harta secara aniaya dan menindas pihak lain.
Oleh karena itu, syara’ menggariskan pula bahwa suatu akad akan dipandang sah selain karena faktor illat yang ditetapkan, juga karena hikmah yang didapatkan, seperti saling ridla (an taradlin), dan thayyibi al-anfus (cara pengambilan dilakukan dengan cara yang baik).
Illat dan hikmah ini selanjutnya bisa kita gunakan untuk menetapkan status hukum pungutan liar (pungli), suap, dan apa yang membedakannya dari iuran, pajak atau cukai. Jika kita berhenti pada makna pungutan harta unsigh, maka berhenti pada pengertian ini dapat menggiring kita pada penyamaan. Namun, bila kita memandang adanya faktor luar (aridly) yang menyertainya, maka kita akan menjadi lain memandangnya. Itulah sebabnya para ulama dari lembaga fatwa al-Azhar menyatakan:
ليس المراد منه ما قد يتبادر إلى ذهن البعض؛ من مواساة الفقراء والمحتاجين فقط، بل مرادنا ما هو أعم من ذلك؛ من حق المجتمع على الفرد في التعاون على إقامة مصالح الدولة كافة، ولجماعة المسلمين حق في مال الفرد
“Tidak ada maksud kami untuk bersikap tergesa-gesa menyampaikan kabar gembira bagi orang fakir dan pihak yang berkebutuhan unsigh, namun lebih dari itu, kami bermaksud ke hal yang lebih umum lagi, yaitu haknya masyarakat yang wajib berlaku atas individu di dalam ikut serta membantu mewujudkan kemaslahatan umum bagi negaranya, sebagaimana layaknya hak jamaah (perkumpulan) kaum muslimin atas individu pembentuk jamaah.” (Fatawi al-Azhar)
Pajak dan cukai, memiliki relasi kelaziman (sebab akibat) yaitu berupa ikatan akad muwathanah (relasi negara dan warga negara) dan wajibnya ganti rugi terhadap kerugian yang muhaqqaq (nyata dan bisa dipastikan). Relasi muwathanah ini kedudukannya sama dengan relasi munakahah, sehingga melazimkan nafkah. Demikian halnya dengan cukai, yang memiliki relasi penyebab tidak langsung terhadap timbulnya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dewasa ini menjadi sangat penting diperhatikan, bahkan dtetapkan oleh UU tentang Lingkungan Hidup.
Lain halnya dengan pungutan liar dan suap. Keduanya selain dicela oleh syariat, juga ditetapkan sebagai terlarang oleh hukum positif (wadl’i) negara.
Pajak dan cukai dibolehkan oleh ulama jumhur (ulama yang berafiliasi dengan pemerintahan), karena faktor khidmahnya penyelenggara negara. Setiap khidmah merupakan kulfah (kerja). Dan setiap kerja, membutuhkan ujrah (fee). Adapun karena khidmah, maka berlaku wajibnya nafkah, sebagamana khidmahnya istri, berlaku wajibnya nafkah baginya. Antara nafkah dan ujrah menduduki posisi yang hampir setara, dan dibedakan oleh unsur thayyibi al-anfus.
Hal semacam ini tidak kita temui pada pungutan liar (pungli) dan risywah. Pungli ini dalam literasi Arab juga disebut sebagai al-maks. Ada jiwa yang tertindas di dalam pungli dan suap, sehingga menjadi antitesa dari thayyibi al-anfus yang berlaku pada pajak. Itu sebabnya kita mendapati keterangan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يدخل الجنة صاحب مكس
“Tidak masuk surga orang yang berprofesi sebagai shahibu maksin (pungutan liar).”
Mushannif dari kitab Auni al-Ma’bud menjelaskan pengertian dari shahibu maksin ini sebagai:
صاحب المكس هو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به مكسا باسم العشر
“Shahibu al-maks adalah pihak yang memungut pedagang yang ditemuinya, yang kemudian dikenal sebagai al-‘usyur (10%).” (Aunu al-ma’bud, Juz 8, halaman 111)
Batasan bahwa suatu pungutan itu disebut maksin, adalah bila terdapat indikasi, sebagai berikut:
المكس النقص والظلم ودراهم كانت تؤخذ من بائعي السلع في الأسواق في الجاهلية أو درهم كان يأخذه المصدق بعد فراغه من الصدقة انتهى
“Al-maksu yang bersifat mengurangi dan mendhalimi, adalah dirham yang dipungut dari pedagang yang ada di pasar pada masa jahiliyah atau dirham yang diambil oleh penarik zakat dari orang yang sudah membayarnya.” (Aunu al-ma’bud, Juz 8, halaman 111)
Berangkat dari penjelasan terakhir ini dapat kita simpulkan bedanya al-maks dengan pajak. Al-Maks merupakan pungutan liar atau pungutan lain selain yang ditentukan kewajibannya, misalnya menarik lagi zakat setelah selesai ditunaikanya zakat sehingga zakatnya menjadi double. Jadi, ada unsur aniaya yang terdapat di dalam pungutan itu sehingga jauh berbeda pengertiannya dengan pajak. Di dalam al-maks tidak ada akad kelaziman yang berlaku dan dibenarkan oleh syara’.
Wallahu a’lam bi al-shawab.