Sejarah Poligami yang Dipelintir dan Tidak Sesuai dengan Hukum Islam

Bagaimana sejarah poligami dalam Islam yang kerap disalahpahami

Sebagian orang berpendapat bahwa Islam mendukung praktik poligami. Pandangan ini dapat dimaklumi karena Al-Qur’an pada Surat An-Nisa ayat 3 secara harfiah menyatakan demikian:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Artinya, “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,” (Surat An-Nisa ayat 3).

Namun demikian, Islam sejatinya tidak memerintahkan poligami. Islam tidak mewajibkan dan tidak menganjurkan poligami. Hal ini telah menjadi kesepakatan ulama (ijma’) sebagaimana keterangan Syekh M Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj berikut ini:

إنَّمَا لَمْ يَجِبْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ إذ الْوَاجِبُ لَا يَتَعَلَّقُ بِالِاسْتِطَابَةِ وَلِقَوْلِهِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ وَلَا يَجِبُ الْعَدَدُ بِالْإِجْمَاعِ
Artinya, “Nikah itu tidak wajib berdasarkan firman Allah (Surat An-Nisa ayat 3) ‘Nikahilah perempuan yang baik menurutmu.’ Pasalnya (secara kaidah), kewajiban tidak berkaitan dengan sebuah (seorang perempuan) pilihan yang baik. Nikah juga tidak wajib berdasarkan, ‘Dua, tiga, atau empat perempuan.’ Tidak ada kewajiban poligami berdasarkan ijma‘ ulama,” (Lihat Syekh M Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Fikr, tanpa keterangan tahun, juz 3, halaman 125).

Syekh Wahbah Az-Zuhayli berpendapat bahwa poligami bukan bangunan ideal rumah tangga Muslim. Bangunan ideal rumah tangga itu adalah monogami. Menurutnya, poligami adalah sebuah pengecualian dalam praktik rumah tangga. Praktik ini dapat dijalankan karena sebab-sebab umum dan sebab khusus. Walhasil, hanya kondisi darurat yang membolehkan seseorang menempuh poligami.

إن نظام وحدة الزوجة هو الأفضل وهو الغالب وهو الأصل شرعاً، وأما تعدد الزوجات فهو أمر نادر استثنائي وخلاف الأصل، لا يلجأ إليه إلا عند الحاجة الملحة، ولم توجبه الشريعة على أحد، بل ولم ترغب فيه، وإنما أباحته الشريعة لأسباب عامة وخاصة

Artinya, “Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara’.

Model poligami tidak bisa dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun untuk melakukan poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 169).

Logika para ulama ini dalam memahami perintah poligami dalam Surat An-Nisa ayat 3 bersandar pada aspek sejarah sosial bangsa Arab ketika itu atau asbabun nuzul ayat tersebut. Surat An-Nisa ayat 3 dipahami oleh ulama bukan sebagai perintah untuk poligami, tetapi sekadar membolehkannya.

Surat An-Nisa ayat 3 justru ingin membatasi jumlah istri masyarakat Arab dan masyarakat lainnya yang ketika itu tidak ada batasan. Surat An-Nisa ayat 3 membatasi jumlah maksimal istri hanya empat dari jumlah tak terhingga sebelumnya, bukan menganjurkan menambah istri dari satu hingga empat perempuan.

Dari faktor sosio-historis perkawinan bangsa Arab saat itu, Surat An-Nisa ayat 3 dimaknai oleh para ulama sebagai kebolehan, bukan perintah poligami sebagai keterangan Syekh M Khudhari berikut ini.

ولم يكن عند العرب حد يرجعون إليه في عدد الزوجات فربما تزوج أحدهم عشرا فوضع القرآن حدا وسطا فأباح التعدد لمن لم يخف أن يجور في معاملة نسائه قال تعالى في سورة النساء

Artinya, “Di kalangan masyarakat Arab zaman itu tidak ada batasan terkait bilangan istri. Seorang pria Arab zaman itu dapat beristri 10 perempuan sehingga Al-Qur’an menetapkan batasan moderat, lalu Al-Qur’an membolehkan poligami bagi mereka yang tidak khawatir berlaku zalim dalam memperlakukan istrinya sebagaimana firman Allah pada Surat An-Nisa ayat 3,” (Syekh M Khudhari, Tarikhut Tasyri‘ Al-Islami, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 42).

Syekh M Khudhari menambahkan bahwa dalam pandangan Allah sebagai pembuat syariat poligami bukan syiar fundamental Islam yang harus diamalkan.

وليس تعدد الزوجات من الشعائر الأساسية التي لا بد منها في نظر الشارع الإسلامي بل هو من المباحات التي يرجع أمرها إلى المكلف إن شاء فعل وإن شاء ترك ما لم يتعد حدود الله

Artinya, “Poligami bukan bagian dari syiar prinsipil yang harus dipraktikkan dalam pandangan Allah dan Rasulullah sebagai pembuat syariat Islam. Poligami bagian dari mubah yang pertimbangannya berpulang kepada individu mukalaf. Jika seseorang mau, ia dapat berpoligami. Jika ia memilih monogami, dia boleh mengabaikan poligami sejauh tidak melewati batas,” (Syekh M Khudhari, Tarikhut Tasyri‘ Al-Islami, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 43).

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Surat An-Nisa ayat 3 tidak dapat dijadikan dalil perintah poligami. Surat An-Nisa ayat 3 hanya mengizinkan poligami yang pada zamannya digunakan justru untuk mengurangi atau tepatnya membatasi jumlah istri masyarakat Arab yang tanpa batas.

Oleh karena itu, jika sisi asbabun nuzul Surat An-Nisa ayat 3 berupa sosio-historis yang melingkupi zamannya, maka ayat ini kehilangan konteks dan semangat pembatasan jumlah istri masyarakat Arab yang tanpa batas. Tetapi sayangnya Surat An-Nisa ayat 3 ditumpangi oleh segelintir orang sebagai dalil anjuran poligami.

ISLAMco

Manfaat dan Mudarat Berpoligami

PERTANYAAN itu dilontarkan seorang jemaah pengajian kepada Ustaz Abu Fatah Amrullah dalam sebuah kesempatan. Dijawab sebagai berikut:

Ketika Allah subhanahu wa taala mensyariatkan sesuatu, maka syariat yang Allah turunkan tersebut memiliki maslahat yang murni ataupun maslahat yang lebih besar. Sebaliknya, ketika Allah melarang sesuatu maka larangan tersebut pasti memiliki bahaya yang murni maupun bahaya yang lebih besar.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Qs. An Nahl: 90)

Sebagai contoh Allah subhanahu wa taala memerintahkan kita untuk bertauhid yang mengandung maslahat yang murni dan tidak memiliki mudarat sama sekali bagi seorang hamba. Demikian pula, Allahsubhanahu wa taala melarang perbuatan syirik yang mengandung keburukan dan sama sekali tidak bermanfaat bagi seorang hamba. Allah subhanahu wa taala mensyariatkan jihad dengan berperang, walaupun di dalamnya terdapat mudarat bagi manusia berupa rasa susah dan payah, namun di balik syariat tersebut terdapat manfaat yang besar ketika seorang berjihad dan berperang dengan ikhlas yaitu tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya agama Islam di muka bumi yang pada hakikatnya, ini adalah kebaikan bagi seluruh hamba Allah.

Allah berfirman:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 216)

Demikian pula, Allah subhanahu wa taala mengharamkan judi dan minuman keras, walaupun di dalam judi dan minuman keras tersebut terdapat manfaat yang bisa diambil seperti mendapatkan penghasilan dari judi atau menghangatkan badan dengan khamar/minuman keras. Namun mudarat yang ditimbulkan oleh keduanya berupa timbulnya permusuhan di antara manusia dan jatuhnya mereka dalam perbuatan maksiat lainnya jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang didapatkan.

Allah berfirman:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat keburukan yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi keburukan keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Qs. Al Baqarah: 219)

Setelah kita memahami kaidah tersebut, maka kita bisa menerapkan kaidah tersebut pada syariat poligami yang telah Allah perbolehkan. Tentu di dalamnya terdapat manfaat yang sangat besar walaupun ada beberapa mudarat yang ditimbulkan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan syariat tersebut. Sebagai contoh misalnya: terkadang terjadi kasus saling cemburu di antara para istri karena beberapa permasalahan, maka hal ini adalah mudarat yang ditimbulkan dari praktek poligami.

Namun, manfaat yang didapatkan dengan berpoligami untuk kaum muslimin berupa bertambahnya banyaknya jumlah kaum muslimin dan terjaganya kehormatan wanita-wanita muslimah baik yang belum menikah maupun para janda merupakan kebaikan dan maslahat yang sangat besar bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, jika kita melihat kebanyakan orang-orang yang menentang syariat poligami adalah orang-orang yang lemah pembelaannya terhadap syariat islam bahkan terkadang melecehkan syariat Islam. Pemikiran mereka terpengaruh dengan pemikiran orang-orang kafir yang jelas-jelas tidak menghendaki kebaikan bagi kaum muslimin.

Bolehnya melakukan poligami dalam Islam berdasarkan firman Allah subhanahu wa taala:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)

Bolehnya syariat poligami ini juga dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallamdan perbuatan para sahabat sesudah beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Anehnya para penentang poligami baik pria maupun wanita, mayoritas mereka tidak mengerti tata cara wudhu dan sholat yang benar, tapi dalam masalah poligami, mereka merasa sebagai ulama besar!!” (Umdah Tafsir I/458-460 seperti dikutip majalah Al Furqon Edisi 6 1428 H, halaman 62).

Perkataan beliau ini, kiranya cukup menjadi bahan renungan bagi orang-orang yang menentang poligami tersebut, hendaknya mereka lebih banyak dan lebih dalam mempelajari ajaran agama Allah kemudian mengamalkannya sampai mereka menyadari bahwa sesungguhnya aturan Allah akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Berikut kami sebutkan beberapa hikmah dan manfaat poligami yang kami ringkas dari tulisan Ustadz Kholid Syamhudi yang berjudul “Keindahan Poligami Dalam Islam” yang dimuat pada majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H sebagai berikut:

Poligami adalah syariat yang Allah pilihkan pada umat Islam untuk kemaslahatan mereka. Seorang wanita terkadang mengalami sakit, haid dan nifas. Sedangkan seorang lelaki selalu siap untuk menjadi penyebab bertambahnya umat ini. Dengan adanya syariat poligami ini, tentunya manfaat ini tidak akan hilang sia-sia. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami Ahkamin Nisaa 3/443-3445).

Jumlah lelaki yang lebih sedikit dibanding wanita dan lelaki lebih banyak menghadapi sebab kematian dalam hidupnya. Jika tidak ada syariat poligami sehingga seorang lelaki hanya diizinkan menikahi seorang wanita maka akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kotor dan berpaling dari petunjuk Al Quran dan Sunnah. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami Ahkamin Nisaa 3/443-3445).

Secara umum, seluruh wanita siap menikah sedangkan lelaki banyak yang belum siap menikah karena kefakirannya sehingga lelaki yang siap menikah lebih sedikit dibandingkan dengan wanita. (Sahih Fiqih Sunnah 3/217).

Syariat poligami dapat mengangkat derajat seorang wanita yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya dan ia tidak memiliki seorang pun keluarga yang dapat menanggungnya sehingga dengan poligami, ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya. Kami tambahkan, betapa banyak manfaat ini telah dirasakan bagi pasangan yang berpoligami, Alhamdulillah.

Poligami merupakan cara efektif menundukkan pandangan, memelihara kehormatan dan memperbanyak keturunan. Kami tambahkan, betapa telah terbaliknya pandangan banyk orang sekarang ini, banyak wanita yang lebih rela suaminya berbuat zina dari pada berpoligami, Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Menjaga kaum laki-laki dan wanita dari berbagai keburukan dan penyimpangan.

Memperbanyak jumlah kaum muslimin sehingga memiliki sumbar daya manusia yang cukup untuk menghadapi musuh-musuhnya dengan berjihad. Kami tambahkan, kaum muslimin dicekoki oleh program Keluarga Berencana atau yang semisalnya agar jumlah mereka semakin sedikit, sementara jika kita melihat banyak orang-orang kafir yang justru memperbanyak jumlah keturunan mereka.Wallahul mustaan.

Demikian pula, poligami ini bukanlah sebuah syariat yang bisa dilakukan dengan main pukul rata oleh semua orang. Ketika hendak berpoligami, seorang muslim hendaknya mengintropeksi dirinya, apakah dia mampu melakukannya atau tidak? Sebagian orang menolak syariat poligami dengan alasan beberapa kasus yang terjadi di masyarakat yang ternyata gagal dalam berpoligami. Ini adalah sebuah alasan yang keliru untuk menolak syariat poligami.

Dampak buruk yang terjadi dalam sebuah pelaksanaan syariat karena kesalahan individu yang menjalankan syariat tersebut tidaklah bisa menjadi alasan untuk menolak syariat tersebut. Apakah dengan adanya kesalahan orang dalam menerapkan syariat jihad dengan memerangi orang yang tidak seharusnya dia perangi dapat menjadi alasan untuk menolak syariat jihad? Apakah dengan terjadinya beberapa kasus di mana seseorang yang sudah berulang kali melaksanakan ibadah haji, namun ternyata tidak ada perubahan dalam prilaku dan kehidupan agamanya menjadi lebih baik dapat menjadi alasan untuk menolak syariat haji?

Demikian juga dengan poligami ini. Terkadang juga banyak di antara penolak syariat poligami yang menutup mata atau berpura-pura tidak tahu bahwa banyak praktek poligami yang dilakukan dan berhasil. Dari mulai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, para ulama di zaman dahulu dan sekarang, bahkan banyak kaum muslimin yang sudah menjalankannya di negara kita dan berhasil.

Sebagaimana syariat lainnya, dalam menjalankan poligami ini, ada syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum melangkah untuk melakukannya. Ada dua syarat bagi seseorang untuk melakukan poligami yaitu (kami ringkas dari tulisan Ustadz Abu Ismail Muslim Al Atsari dalam majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H):

Berlaku adil pada istri dalam pembagian giliran dan nafkah. Dan tidak dipersyaratkan untuk berlaku adil dalam masalah kecintaan. Karena hal ini adalah perkara hati yang berada di luar batas kemampuan manusia.

Mampu untuk melakukan poligami yaitu: pertama, mampu untuk memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan, misalnya jika seorang lelaki makan telur, maka ia juga mampu memberi makan telur pada istri-istrinya. Kedua, kemampuan untuk memberi kebutuhan biologis pada istri-istrinya.

Adapun adab dalam berpoligami bagi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut (kami ringkas dari tulisan Ustadz Abu Ismail Muslim Al Atsari dalam majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H):

Berpoligami tidak boleh menjadikan seorang lelaki lalai dalam ketaatan pada Allah.

Orang yang berpoligami tidak boleh beristri lebih dari empat dalam satu waktu.

Jika seorang lelaki menikahi istri ke lima dan dia mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka dia dirajam. Sedangkan jika dia tidak mengetahui, maka dia terkena hukum dera.

Tidak boleh memperistri dua orang wanita bersaudara (kakak beradik) dalam satu waktu.

Tidak boleh memperistri seorang wanita dengan bibinya dalam satu waktu.

Walimah dan mahar boleh berbeda dia antara para istri.

Jika seorang pria menikah dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari. Jika yang dinikahi janda, maka dia tinggal bersamanya selama 3 hari. Setelah itu melakukan giliran yang sama terhadap istri lainnya.

Wanita yang dipinang oleh seorang pria yang beristri tidak boleh mensyaratkan lelaki itu untuk menceraikan istri sebelumnya (madunya).

Suami wajib berlaku adil dalam memberi waktu giliran bagi istri-istrinya.

Suami tidak boleh berjima dengan istri yang bukan gilirannya kecuali atas seizin dan ridha istri yang sedang mendapatkan giliran.

Demikian jawaban ringkas yang bisa kami sampaikan, semoaga bermanfaat. Wallahu alam []

 

 

Beda “Benci Syariat Poligami” dan “Benci Poligami”

Mungkin ada yang berkata:

“Siapa sih wanita yang tidak benci poligami? Kalau tidak benci berarti dia bukan wanita”

Sebagian orang menyatakan bahwa pasti semua wanita benci dengan poligami, yaitu benci (tidak suka) apabila suaminya melakukan poligami, karena semua wanita ingin hanya menjadi satu-satunya hati di tempat suaminya. Hal ini perlu dijelaskan bahwa berbeda antara “benci syariat poligami” dan “benci poligami”:

  1. “Benci syariat poligami” yaitu benci terhadap syariat ini dan menganggap syariat poligami tidak sesuai dengan kemaslahatan manusia serta mendatangkan kerusakan rumah tangga dan kerusakan masyarakat.
  2. “Benci poligami” yaitu benci yang merupakan naluri wanita karena cemburu, karena hal ini menimbulkan rasa berat bagi wanita itu sendiri apabila dipoligami.

 

1. Benci syariat poligami

Hal ini yang digaungkan dan dipromosikan oleh orang-orang munafik yang tidak suka dengan ajaran Islam. Mereka “menunggangi” dan memprovokasi dengan memanfaatkan perasaan wanita agar benci dengan syariat Islam, salah satunya melalui poligami. Hal ini bisa dilihat dari sikap mereka, apabila ada tokoh-tokoh Islam melakukan poligami mereka langsung bersuara lantang dan keras serta mencela poligami, tetapi mereka diam terhadap mantan presiden Soekarno yang melakukan poligami atau tokoh selain Islam yang melakukan poligami seperti eyang Subur dan lain-lain.

Mereka juga mencela Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam karena melakukan poligami padahal mereka sendiri beragama Nasrani dan Yahudi, yang mana Nabi-Nabi yang disebut dalam kitab suci mereka Taurat dan Injil juga melakukan poligami seperti Nabi Sulaiman, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub dan lain-lainnya.

 

Intinya mereka sebenarnya benci dengan ajaran Islam.

Allah berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9)

Hendaknya berhati-hati, karena membenci salah satu syariat Islam merupakan tanda munafik akbar yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam. Hendaknya patuh dan taat kepada syariat, karena Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Allah yang paling tahu apa yang paling maslahat bagi manusia.

Allah berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS al-Ahzaab:36)

Poligami juga memiliki hikmah dan kemaslahatan sebagaimana yang telah dijelaskan ulama, asalkan dilakukan oleh laki-laki yang adil dan bertanggung jawab.

 

2. Benci Poligami

Maksudnya wanita benci secara naluri karena cemburu dan tidak suka apabila ada istri lain bersama suaminya, maka hal ini adalah hal naluri pada wanita. Hanya saja “benci ini” jangan sampai menimbulkan mudarat lebih besar, seperti menjadi benci terhadap syariat poligami, atau ketika suami melakukan poligami dengan adil dan bertanggungjawab ia tetap benci terhadap suaminya.

Benci yang naluri adalah hal manusiawi sebagaimana kisah para sahabat yang “benci perang” yaitu tidak suka saat itu diwajibkan perang karena adanya rasa berat dan rasa tidak siap yang manusiawi.

Perhatikan ayat berikut, Allah berfirman ,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Sementara boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagi kalian. Dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, Padahal itu amat buruk bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan bahwa benci yang dimaksud adalah benci karena dampak perang, bukan benci terhadap syariat perang. Beliau berkata,

وأخبر أنه مكروه للنفوس, لما فيه من التعب والمشقة, وحصول أنواع المخاوف والتعرض للمتالف

“Allah memberitakan bahwa perang dibenci oleh jiwa (naluriyah) karena perang menimbulkan rasa berat dan keletihan serta terjadinya rasa takut dan berbagai kerusakan/kehancuran.” (Lihat Tafsir As-Sa’diy)

 

Demikian juga Al-Qutrhubi menjelaskan bahwa benci ini adalah benci tabiat, beliau berkata,

وهو كره في الطباع

“Yaitu benci secara tabiat manusia.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubi)

Demikian juga dengan poligami, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan,

والمرأة التي عندها غيرة لا تكره أن الله أباح لزوجها أن يتزوج أكثر من واحدة لكن تكره الزوجة معها ، وبين الأمرين فرق ظاهر

“Wanita ketika cemburu, ia tidak benci (syariat) Allah membolehkan suaminya untuk menikah lebih dari satu (poligami), tetapi ia membenci adanya istri suaminya yang lain yang akan bersamanya (berbagi suami). Kedua hal ini (benci ini) adalah berbeda jelas.” (Fatwa Syaikh Al-Utsaimin limajallatid da’wah)

Jadi, apabila wanita membenci poligami secara naluri atau tabiat wanita, maka ini adalah suatu hal yang wajar, hanya saja jangan sampai benci naluri seperti ini mengarahkan pada benci pada syariat poligami.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44565-beda-benci-syariat-poligami-dan-benci-poligami.html

Jika Laki-laki Boleh Poligami, Mengapa Perempuan Dilarang Poliandri?

Mengapa laki-laki beristri lebih satu (poligami) dibolehkan dalam Islam, sedang poliandri dilarang (perempuan yang mempunyai suami lebih dari satu)?

Islam sungguh ajaran yang sangat sempurna. Islam tidak pernah merendahkan perempuan. Islam justru memuliakan derajat kaum perempuan. Perempuan terhormat tidak rela dirinya digerayangi banyak laki-laki. Ia hanya mau melihat satu saja laki-laki pendampingnya. Bahkan, karena saking setianya, tidak jarang perempuan yang menolak menikah lagi sepeninggal suaminya walaupun itu dihalalkan agama Islam. Dan kita melihat itu banyak di sekitar kita.

Orang-orang orientalis kerap menghasut kaum perempuan. Katanya, ”Coba lihat, nanti di surga laki-laki boleh punya bidadari-bidadari tapi perempuan tidak boleh punya banyak lelaki.”

Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rowi pernah berceramah di Amerika, ada yang bertanya seperti cemoohan orientalis itu. Apa jawaban Syeikh?

Ia menjawab dengan pertanyaan balik, ”Bukankah di negeri tuan tempat-tempat pelacuran dilegalisasi?”

”Betul,” jawabnya.

Syeikh lulusan terbaik Al-Azhar itu tanya lagi, ”Bagaimana tuan menjaga kesehatan pelacur-pelacur itu dan menghindarkannya dari penyakit?”

Mereka menjawabnya, ”Mereka disuntik dua kali seminggu supaya tidak menularkan penyakitnya kepada tamu-tamu lain.”

”Bagus”, jawab Syeikh. ”Lalu, apakah tuan-tuan tidak meagadakan pemeriksaan kepada istri-istri dari suami yang datang ke tempat pelacur?”

“Tidak! Kenapa?”

”Karena mereka bersih, sebab hanya satu saja laki-laki yang bersetubuh, yaitu suaminya. Lain halnya jika ia banyak suami, bisa saja terkena penyakit. Sebab, wanita yang wadahnya disiram banyak laki-laki bisa mengakibatkan penyakit.”

“Kalau begitu, benar sekali ketentuan Islam melarang wanita berpoliandri,” ujar Syeikh.

Syeikh tanya lagi pada mereka, “Tuan-tuan menyediakan tempat pelacuran dengan pemuasnya kaum wanita. Kenapa Tuan tidak menyediakan tempat pelacuran yang berpenghuni pria, dengan pengunjung wanita?”

Mereka menjawab, ”ltu bertentangan dengan fitrah wanita. Apabila ada wanita yang mendatangi atau mencari laki-laki untuk memenuhi kebutuhan seksnya adalah ganjil dan tidak normal.”

[@paramuda/BersamaDakwah]

Memberi Syarat untuk tidak Dimadu

Halalnya poligami di dalam syariat, bukan tanpa syarat. Sikap adil sang suami terhadap istri menjadi contoh syarat mutlak bagi mereka yang hendak melakukan poligami. Bagaimana dengan hak calon istri yang menolak poligami?

Ternyata, agama juga memberi jalan tengah terhadap perempuan yang tidak mau dimadu. Calon istri dapat mengajukan janji kepada calon suaminya untuk tidak menikah lagi.

Imam Ahmad bin Hanbal Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh Ibn Qayyim Al Jauziy mengungkapkan, berbagai persyaratan yang mengikat sebuah perkawinan lebih kuat dan lebih utama untuk dipatuhi daripada segala persyaratan akad lainnya. Contohnya, transaksi perdagangan, sewa menyewa, dan sebagainya meski juga wajib untuk dipatuhi.

Dalilnya, yakni sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Di antara berbagai persayaratan yang kamu sekalian paling berkewajiban mematuhinya ialah yang dibuat demi menghalalkan seorang perempuan untuk kalian nikahi.

Dikutip dari buku Panduan Lengkap Muamalah karangan Muhammad Bakhir, Bukhari, dan Muslim juga merawikan dari Al-Miswar bin Makhramah bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW berpidato di atas mimbar.

…. Bahwasanya keluarga Hisayam ibn Al Mughirah (yakni keluarga Abu Jahl)telah meminta dariku agar mengizinkan mereka mengawinkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Tidak! Aku tidak mengizinkan mereka! Aku tidak mengizinkan, kecuali (sebelum itu) Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku dan (baru setelah itu) menikahi putri mereka! Putriku (Fatimah) adalah bagian dari darah dagingku; apa saja yang menggelisahkannya, menggelisahkan aku juga. Dan apa saja yang mengganggunya, menggangu aku juga.

Selanjutnya, Rasulullah SAW mengisyaratkan tentang salah satu menantunya yang lain. Nabi pun memujinya seraya bersabda. Ia berkata jujur kepadaku dan berjanji kepadaku, lalu memenuhi janjinya. Dan sungguh, aku tidak hendak mengharamkan sesuatu yang halal. Tetapi, demi Allah, tak akan pernah putri Rasulullah dan putri musuh Allah berhimpun di satu tempat.

Ibnu Qayyim Aljauziy mengungkapkan, sabda Rasulullah SAW tersebut mengandung nilai hukum, yakni apabila seseorang telah menjanjikan kepada istrinya bahwa ia tidak akan dimadu, wajib atasnya untuk memenuhi janjinya itu. Dan, sekiranya ia kemudian kawin lagi dengan perempuan lain maka istri pertamanya berhak untuk melakukan pembatalan (fasakh) atas perkawinannya.

Dalam peristiwa adanya keinginan keluarga Abu Jahl untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib Ra, Nabi SAW mengungkapkan kegelisahannya. Tentunya, dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau tidak mengawinkan Ali dengan Fatimah kecuali atas janji bahwa dia tidak akan menimbulkan kegelisahan kepada Fatimah dan Rasulullah sebagai ayahandanya.

Kalaupun itu tidak disebutkan resmi dalam batang akad nikah, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan persyaratan itu Ali bin Abi Thalib menerima untuk menikahi Fatimah. Begitulah kaidah-kaidah yang juga ditetapkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahwa sesuatu yang dipahami bersama sebagai persyaratan berdasar adat kebiasaan sama berlakunya seperti yang dipersyaratkan dengan lisan.

Atas dasar itu, seandainya telah menjadi kebiasaan setempat bahwa para istri tidak dimadu, kebiasaan itu tetap berlaku walaupun tidak dipersyaratkan secara resmi sebelumnya. Wallahua’lam.

 

REPUBLIKA

Ingat Poligami Bukan Hal yang Wajib!

Poligami, seperti ditulis cendekiawan Mesir kenamaan, Abbas Mahmud al’Aqqad, bukan anjuran apalagi kewajiban. Ayat yang mengizinkan berpoligami, mengandung makna boleh atau mubah dengan syarat-syarat tertentu.

Firman Allah yang berbicara tentang poligami: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 4)

Dikutip dari buku yang berjudul “Membumikan Alquran” karya M Quraish Shihab bahwa beberapa hal perlu digaris bawahi menyangkut ayat di atas: Pertama, ayat tersebut ditujukan kepada para pemelihara anak-anak yatim yang hendak mengawini mereka tanpa berlaku adil. Secara redaksional, orang boleh jadi berkata, jika demikian izin berpoligami hanya diberikan kepada para  pemelihara anak-anak yatim, bukan kepada setiap orang.

Kendati konteksnya demikian, tetapi karena kenyataan sejak masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat Beliau menunjukkan bahwa yang tidak memelihara anak yatim pun berpoligami dan itu terjadi sepengatahuan Rasul SAW, maka tidaklah tepat menjadikan ayat di atas hanya terbatas kepada para pemelihara anak-anak yatim.

Kedua takut, yang merupakan terjemahan dari kata khiftum dapat juga berarti mengetahui. Ini mengandung makna bahwa siapa yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduga, tidak akan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan oleh ayat di atas melakukan poligami.

Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu/diragukan apakah dapat berlaku adil atau tidak seyogiana tidak diizinkan berpoligami, sebagaimana ditegaskan ulang oleh penutup ayat jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja.

Ketiga, ayat di atas menggunakan kata tuqsithu pada awal ayat dan ta’dilupada akhir ayat yang keduanya, karena keterbatasan bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berlaku adil. Memang ada sementara ulama yang mempersamakan maknanya, tetapi dalam pengetahuan bahasa yang membedakannya adalah tuqsithu berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang atau menerima baik.

Sedang ta’dillu adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tetapi keadilan itu bisa saja tidak menyengangkan salah satu pihak. Jika demikian, maka itu berarti izin berpoligami hanya diberikan kepada mereka yang menduga bahwa langkahnya itu dia harapkan dapat diterima baik semua istri yang dikawininya. Ini dipahami dari kata tuqsithu.

Namun demikian, kalau hal tersebut tidak dapat tercapai, maka paling tidak sang suami harus berlaku adil, walaupun poligami itu bisa jadi tidak menyenangkan salah seorang di antara mereka.

Keempat, sekali lagi ayat di atas bukan perintah, apalagi anjuran berpoligami. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dia berkata, “Jika Anda khawatir akan sakit bila maka makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda.”

Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekadar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu. Seandainya berpoligami yang berpontensi untuk dikawini haruslah empat kali lipat jumlah lelaki, karena apa arti anjuran jika apa yang dianjurkan tidak tersedia.

Maka, tidak serta merta poligami adalah ibadah, sebelum melihat kesesuaiannya dengan tuntunan agama. Sebab pernikahan dapat dinilai haram jika tidak sejalan dengan tujuan disyariatkan pernikahan.

 

REPUBLIKA

Manfaat Berpoligami

PERTANYAAN tersebut dilontarkan seorang jemaah pengajian kepada Ustaz Abu Fatah Amrullah dalam sebuah kesempatan. Ustaz menjawab sebagai berikut:

Ketika Allah subhanahu wa taala mensyariatkan sesuatu, maka syariat yang Allah turunkan tersebut memiliki maslahat yang murni ataupun maslahat yang lebih besar. Sebaliknya, ketika Allah melarang sesuatu maka larangan tersebut pasti memiliki bahaya yang murni maupun bahaya yang lebih besar.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Qs. An Nahl: 90)

Sebagai contoh Allah subhanahu wa taala memerintahkan kita untuk bertauhid yang mengandung maslahat yang murni dan tidak memiliki mudarat sama sekali bagi seorang hamba. Demikian pula, Allahsubhanahu wa taala melarang perbuatan syirik yang mengandung keburukan dan sama sekali tidak bermanfaat bagi seorang hamba. Allah ssubhanahu wa taala mensyariatkan jihad dengan berperang, walaupun di dalamnya terdapat mudarat bagi manusia berupa rasa susah dan payah, namun di balik syariat tersebut terdapat manfaat yang besar ketika seorang berjihad dan berperang dengan ikhlas yaitu tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya agama Islam di muka bumi yang pada hakikatnya, ini adalah kebaikan bagi seluruh hamba Allah.

Allah berfirman:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 216)

Demikian pula, Allah subhanahu wa taala mengharamkan judi dan minuman keras, walaupun di dalam judi dan minuman keras tersebut terdapat manfaat yang bisa diambil seperti mendapatkan penghasilan dari judi atau menghangatkan badan dengan khamar/minuman keras. Namun mudarat yang ditimbulkan oleh keduanya berupa timbulnya permusuhan di antara manusia dan jatuhnya mereka dalam perbuatan maksiat lainnya jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang didapatkan.

Allah berfirman:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat keburukan yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi keburukan keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Qs. Al Baqarah: 219)

Setelah kita memahami kaidah tersebut, maka kita bisa menerapkan kaidah tersebut pada syariat poligami yang telah Allah perbolehkan. Tentu di dalamnya terdapat manfaat yang sangat besar walaupun ada beberapa mudarat yang ditimbulkan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan syariat tersebut. Sebagai contoh misalnya: terkadang terjadi kasus saling cemburu di antara para istri karena beberapa permasalahan, maka hal ini adalah mudarat yang ditimbulkan dari praktik poligami.

Namun, manfaat yang didapatkan dengan berpoligami untuk kaum muslimin berupa bertambahnya banyaknya jumlah kaum muslimin dan terjaganya kehormatan wanita-wanita muslimah baik yang belum menikah maupun para janda merupakan kebaikan dan maslahat yang sangat besar bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, jika kita melihat kebanyakan orang-orang yang menentang syariat poligami adalah orang-orang yang lemah pembelaannya terhadap syariat Islam bahkan terkadang melecehkan syariat Islam. Pemikiran mereka terpengaruh dengan pemikiran orang-orang kafir yang jelas-jelas tidak menghendaki kebaikan bagi kaum muslimin.

Bolehnya melakukan poligami dalam Islam berdasarkan firman Allah subhanahu wa taala:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)

Bolehnya syariat poligami ini juga dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallamdan perbuatan para sahabat sesudah beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Anehnya para penentang poligami baik pria maupun wanita, mayoritas mereka tidak mengerti tata cara wudhu dan sholat yang benar, tapi dalam masalah poligami, mereka merasa sebagai ulama besar!!” (Umdah Tafsir I/458-460 seperti dikutip majalah Al Furqon Edisi 6 1428 H, halaman 62).

Perkataan beliau ini, kiranya cukup menjadi bahan renungan bagi orang-orang yang menentang poligami tersebut, hendaknya mereka lebih banyak dan lebih dalam mempelajari ajaran agama Allah kemudian mengamalkannya sampai mereka menyadari bahwa sesungguhnya aturan Allah akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Berikut kami sebutkan beberapa hikmah dan manfaat poligami yang kami ringkas dari tulisan Ustadz Kholid Syamhudi yang berjudul “Keindahan Poligami Dalam Islam” yang dimuat pada majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H sebagai berikut:

Poligami adalah syariat yang Allah pilihkan pada umat Islam untuk kemaslahatan mereka. Seorang wanita terkadang mengalami sakit, haid dan nifas. Sedangkan seorang lelaki selalu siap untuk menjadi penyebab bertambahnya umat ini. Dengan adanya syariat poligami ini, tentunya manfaat ini tidak akan hilang sia-sia. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami Ahkamin Nisaa 3/443-3445).

Jumlah lelaki yang lebih sedikit dibanding wanita dan lelaki lebih banyak menghadapi sebab kematian dalam hidupnya. Jika tidak ada syariat poligami sehingga seorang lelaki hanya diizinkan menikahi seorang wanita, maka akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kotor dan berpaling dari petunjuk Alquran dan Sunah. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami Ahkamin Nisaa 3/443-3445).

Secara umum, seluruh wanita siap menikah sedangkan lelaki banyak yang belum siap menikah karena kefakirannya sehingga lelaki yang siap menikah lebih sedikit dibandingkan dengan wanita. (Sahih Fiqih Sunnah 3/217).

Syariat poligami dapat mengangkat derajat seorang wanita yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya dan ia tidak memiliki seorang pun keluarga yang dapat menanggungnya sehingga dengan poligami, ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya. Kami tambahkan, betapa banyak manfaat ini telah dirasakan bagi pasangan yang berpoligami, Alhamdulillah.

Poligami merupakan cara efektif menundukkan pandangan, memelihara kehormatan dan memperbanyak keturunan. Kami tambahkan, betapa telah terbaliknya pandangan banyak orang sekarang ini, banyak wanita yang lebih rela suaminya berbuat zina daripada berpoligami, Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Menjaga kaum laki-laki dan wanita dari berbagai keburukan dan penyimpangan.

Memperbanyak jumlah kaum muslimin sehingga memiliki sumbar daya manusia yang cukup untuk menghadapi musuh-musuhnya dengan berjihad. Kami tambahkan, kaum muslimin dicekoki oleh program Keluarga Berencana atau yang semisalnya agar jumlah mereka semakin sedikit, sementara jika kita melihat banyak orang-orang kafir yang justru memperbanyak jumlah keturunan mereka. Wallahul mustaan.

Demikian pula, poligami ini bukanlah sebuah syariat yang bisa dilakukan dengan main pukul rata oleh semua orang. Ketika hendak berpoligami, seorang muslim hendaknya mengintropeksi dirinya, apakah dia mampu melakukannya atau tidak? Sebagian orang menolak syariat poligami dengan alasan beberapa kasus yang terjadi di masyarakat yang ternyata gagal dalam berpoligami. Ini adalah sebuah alasan yang keliru untuk menolak syariat poligami.

Dampak buruk yang terjadi dalam sebuah pelaksanaan syariat karena kesalahan individu yang menjalankan syariat tersebut tidaklah bisa menjadi alasan untuk menolak syariat tersebut. Apakah dengan adanya kesalahan orang dalam menerapkan syariat jihad dengan memerangi orang yang tidak seharusnya dia perangi dapat menjadi alasan untuk menolak syariat jihad? Apakah dengan terjadinya beberapa kasus di mana seseorang yang sudah berulang kali melaksanakan ibadah haji, namun ternyata tidak ada perubahan dalam prilaku dan kehidupan agamanya menjadi lebih baik dapat menjadi alasan untuk menolak syariat haji?

Demikian juga dengan poligami ini. Terkadang juga banyak di antara penolak syariat poligami yang menutup mata atau berpura-pura tidak tahu bahwa banyak praktek poligami yang dilakukan dan berhasil. Dari mulai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, para ulama di zaman dahulu dan sekarang, bahkan banyak kaum muslimin yang sudah menjalankannya di negara kita dan berhasil.

Sebagaimana syariat lainnya, dalam menjalankan poligami ini, ada syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum melangkah untuk melakukannya. Ada dua syarat bagi seseorang untuk melakukan poligami yaitu (kami ringkas dari tulisan Ustaz Abu Ismail Muslim Al Atsari dalam majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H):

Berlaku adil pada istri dalam pembagian giliran dan nafkah. Dan tidak dipersyaratkan untuk berlaku adil dalam masalah kecintaan. Karena hal ini adalah perkara hati yang berada di luar batas kemampuan manusia.

Mampu untuk melakukan poligami yaitu: pertama, mampu untuk memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan, misalnya jika seorang lelaki makan telur, maka ia juga mampu memberi makan telur pada istri-istrinya. Kedua, kemampuan untuk memberi kebutuhan biologis pada istri-istrinya.

Adapun adab dalam berpoligami bagi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut (kami ringkas dari tulisan Ustaz Abu Ismail Muslim Al Atsari dalam majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H):

  • Berpoligami tidak boleh menjadikan seorang lelaki lalai dalam ketaatan pada Allah.
  • Orang yang berpoligami tidak boleh beristri lebih dari empat dalam satu waktu.
  • Jika seorang lelaki menikahi istri ke lima dan dia mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka dia dirajam. Sedangkan jika dia tidak mengetahui, maka dia terkena hukum dera.
  • Tidak boleh memperistri dua orang wanita bersaudara (kakak beradik) dalam satu waktu.
  • Tidak boleh memperistri seorang wanita dengan bibinya dalam satu waktu.
  • Walimah dan mahar boleh berbeda dia antara para istri.
  • Jika seorang pria menikah dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari. Jika yang dinikahi janda, maka dia tinggal bersamanya selama 3 hari. Setelah itu melakukan giliran yang sama terhadap istri lainnya.
  • Wanita yang dipinang oleh seorang pria yang beristri tidak boleh mensyaratkan lelaki itu untuk menceraikan istri sebelumnya (madunya).
  • Suami wajib berlaku adil dalam memberi waktu giliran bagi istri-istrinya.
  • Suami tidak boleh berjima dengan istri yang bukan gilirannya kecuali atas seizin dan ridha istri yang sedang mendapatkan giliran.

Demikian jawaban ringkas yang bisa kami sampaikan, semoaga bermanfaat. Wallahu alam

 

INILAH MOZAIK

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Mengapa Harus Pamer Jumlah Istri?

Belakangan publik dihebohkan dengan seorang ustadz masyhur yang menunjukkan rekaman video bersama tiga orang istrinya. Ketiganya tampak berbinar.

Lewat sebuah unggahan video di akun media sosial, sang Ustadz menunjukkan dia tengah menceramahi tiga istrinya tentang pilar rumah tangga sakinah.

Video tersebut menjadi ramai dan ditonton sampai 169.000 kali, mendapat 900 lebih komentar, dan mendapat 7.900 reaksi beragam.

Salah satu komentar dari warganet tentang foto itu, “Pamer!”

Benarkah yang dilakukan oleh Ustadz tersebut adalah sebuah praktik pamer? Mengapa harus pamer jumlah istri?

Poligami adalah isu yang sangat sensitif di Indonesia. Tak sedikit yang menilai bahwa memiliki istri lebih dari satu adalah praktik besar mencederai dan mengkhianati ikatan suci bernama pernikahan. Ada pula adagium “lebih baik selingkuh daripada harus poligami”. Selingkuh dianggap ‘jalan keluar’ terbaik daripada harus mengkhianati pernikahan. Hai, bukankah selingkuh juga pengkhianatan? Tidak dianjurkan agama pula. Sementara pihak lain membolehkan, “Asal jangan suami saya!”

Kita masih ingat terang benderang ketika ada dai kondang yang sedang lagi hits-hitsnya ketika itu, melakukan praktik poligami. Kabar itu pun disorot sejumlah media dan dikabarkan tidak hanya sehari dua hari namun berminggu-minggu nongkrong di berita ghibah. Sang Ustadz seolah melakukan dosa besar dan layak untuk dihujat sepanjang masa. Di saat bersamaan, ada kasus heboh seorang vokalis band ngetop melakukan praktik mesum dengan dua orang artis cantik. Videonya tersebar kemana-mana. Ada yang menghujat, namun tak sedikit malah tak henti memberikan empati serta tetap menggilai. Dua kasus tersebut seolah “pembanding” yang diperlihatkan oleh Allah: kamu berpihak ke pelaku poligami atau vokalis pezina?

Poligami statusnya sudah jelas. Diperbolehkan dengan tanda asterix di atasnya: syarat dan ketentuan berlaku. Dari Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka (Dari buku Prof. Yunahar Ilyas “Kesetaraan Gender dalam Al Qur’an”), Buya tidak melarang poligami. Buya Hamka hanya menganjurkan lebih baik beristri satu. Beliau tidak sampai mengharamkannya. Keadilan yang dituntut pada An Nisaa’ ayat 129, menurut beliau tidak berlaku untuk semua hal, ada perkecualian pada masalah hati. Karena memang tak ada yang bisa memaksa hati manusia. Beda dengan keadilan dalam nafkah rumah tangga dan pergiliran di malam hari misalnya.

Lalu, kembali ke pertanyaan mengapa harus pamer jumlah istri?

Kita tentu tidak perlu genit dan menuntut pertanyaan ini kepada sang ustadz. Barangkali suatu waktu beliau akan menjelaskan perihal itu. Namun jawaban seorang teman, seorang ibu rumah tangga ini patut untuk disimak.

“Mungkin mau pengumuman, biar gak jadi fitnah pas dia jalan sama istri barunya.
Mungkin mau syiar, bahwasanya dengan dia poligami, istrinya bahagia. Ah yang baik-baik sajalah dugaannya. Daripada puyeng.”

Wallahu a’lam. [@paramuda /BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH

Tolak Poligami, tak Berarti Menolak Firman Allah

SUATU hal yang patut disayangkan pada saat ini. Wahyu yang sudah semestinya hamba tunduk untuk mengikutinya, malah ditolak begitu saja. Padahal wahyu adalah ruh, cahaya, dan penopang kehidupan alam semesta. Apa yang terjadi jika wahyu ilahi ini ditolak ?

Wahyu adalah ruh

Allah taala menyebut wahyu-Nya dengan ruh. Apabila ruh tersebut hilang, maka kehidupan juga akan hilang. Allah Taala berfirman yang artinya, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Alquran itu nur (cahaya), yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (QS. Asy Syuro: 52). Dalam ayat ini disebutkan kata ruh dan nur. Di mana ruh adalah kehidupan dan nur adalah cahaya. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah).

Kebahagiaan Hanya Akan Diraih Dengan Mengikuti Wahyu

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Kebutuhan hamba terhadap risalah (wahyu) lebih besar daripada kebutuhan pasien kepada dokter. Apabila suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan kecuali dengan dokter tersebut ditangguhkan, tentu seorang pasien bisa kehilangan jiwanya. Adapun jika seorang hamba tidak memperoleh cahaya dan pelita wahyu, maka hatinya pasti akan mati dan kehidupannya tidak akan kembali selamanya. Atau dia akan mendapatkan penderitaan yang penuh dengan kesengsaraan dan tidak merasakan kebahagiaan selamanya. Maka tidak ada keberuntungan kecuali dengan mengikuti Rasul (wahyu yang beliau bawa dari Alquran dan As Sunnah, pen). Allah menegaskan hanya orang yang mengikuti Rasul -yaitu orang mumin dan orang yang menolongnya- yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya yang artinya, “Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Araf: 157) (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah).

Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak

Saat ini, poligami telah menjadi perdebatan yang sangat sengit di tengah kaum muslimin dan sampai terjadi penolakan terhadap hukum poligami itu sendiri. Dan yang menolaknya bukanlah tokoh yang tidak mengerti agama, bahkan mereka adalah tokoh-tokoh yang dikatakan sebagai cendekiawan muslim. Lalu bagaimana sebenarnya hukum poligami itu sendiri [?] Marilah kita kembalikan perselisihan ini kepada Alquran dan As Sunnah.

Allah Taala telah menyebutkan hukum poligami ini melalui wahyu-Nya yang suci, yang patut setiap orang yang mengaku muslim tunduk pada wahyu tersebut. Allah Taala berfirman yang artinya, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa: 3)

Poligami juga tersirat dari perkataan Anas bin Malik, beliau berkata,”Sungguh Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menggilir istri-istrinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki sembilan isteri.” (HR. Bukhari). Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Nikahilah wanita yang kalian suka selain wanita yang yatim tersebut. Jika kalian ingin, maka nikahilah dua, atau tiga atau jika kalian ingin lagi boleh menikahi empat wanita.” (Shohih Tafsir Ibnu Katsir).

Syaikh Nashir As Sadi -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Poligami ini dibolehkan karena terkadang seorang pria kebutuhan biologisnya belum terpenuhi bila dengan hanya satu istri (karena seringnya istri berhalangan melayani suaminya seperti tatkala haidh, pen). Maka Allah membolehkan untuk memiliki lebih dari satu istri dan dibatasi dengan empat istri. Dibatasi demikian karena biasanya setiap orang sudah merasa cukup dengan empat istri, dan jarang sekali yang belum merasa puas dengan yang demikian. Dan poligami ini diperbolehkan baginya jika dia yakin tidak berbuat aniaya dan kezaliman (dalam hal pembagian giliran dan nafkah, pen) serta yakin dapat menunaikan hak-hak istri. (Taisirul Karimir Rohman).

Imam Syafii mengatakan bahwa tidak boleh memperistri lebih dari empat wanita sekaligus merupakan ijma (konsensus) para ulama dan yang menyelisihinya adalah sekelompok orang Syiah. Memiliki istri lebih dari empat hanya merupakan kekhususan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. (Lihat Shohih Tafsir Ibnu Katsir).

Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadii ketika ditanya mengenai hukum berpoligami, apakah dianjurkan atau tidak? Beliau menjawab: “Tidak disunnahkan, tetapi hanya dibolehkan.” (Lihat Inilah hakmu wahai muslimah, hal 123, Media Hidayah). Maka dari penjelasan ini, jelaslah bahwa poligami memiliki ketetapan hukum dalam Alquran dan As Sunnah yang seharusnya setiap orang tunduk pada wahyu tersebut.

Tidak Mau Poligami, Janganlah Menolak Wahyu Ilahi

Jadi sebenarnya poligami sifatnya tidaklah memaksa. Kalau pun seorang wanita tidak mau di madu atau seorang lelaki tidak mau berpoligami tidak ada masalah. Dan hal ini tidak perlu diikuti dengan menolak hukum poligami (menggugat hukum poligami). Seakan-akan ingin menjadi pahlawan bagi wanita, kemudian mati-matian untuk menolak konsep poligami.

Di antara mereka mengatakan bahwa poligami adalah sumber kesengsaraan dan kehinaan wanita. Poligami juga dianggap sebagai biang keladi rumah tangga yang berantakan. Dan berbagai alasan lainnya yang muncul di tengah masyarakat saat ini sehingga dianggap cukup jadi alasan agar poligami di negeri ini dilarang.

Hikmah Wahyu Ilahi

Setiap wahyu yang diturunkan oleh pembuat syariat pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar. Begitu juga dibolehkannya poligami oleh Allah, pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar baik bagi individu, masyarakat dan umat Islam. Di antaranya: (1) Dengan banyak istri akan memperbanyak jumlah kaum muslimin. (2) Bagi laki-laki, manfaat yang ada pada dirinya bisa dioptimalkan untuk memperbanyak umat ini, dan tidak mungkin optimalisasi ini terlaksana jika hanya memiliki satu istri saja. (3) Untuk kebaikan wanita, karena sebagian wanita terhalang untuk menikah dan jumlah laki-laki itu lebih sedikit dibanding wanita, sehingga akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami. (4) Dapat mengangkat kemuliaan wanita yang suaminya meninggal atau menceraikannya, dengan menikah lagi ada yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan dia dan anak-anaknya. (Lihat penjelasan ini di Majalah As Sunnah, edisi 12/X/1428)

Menepis Kekeliruan Pandangan Terhadap Poligami

Saat ini terdapat berbagai macam penolakan terhadap hukum Allah yang satu ini, dikomandoi oleh tokoh-tokoh Islam itu sendiri. Di antara pernyataan penolak wahyu tersebut adalah : “Tidak mungkin para suami mampu berbuat adil di antara para isteri tatkala berpoligami, dengan dalih firman Allah yang artinya,”Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An Nisaa: 3). Dan firman Allah yang artinya,”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (QS. An Nisaa: 129).”

Sanggahan: Yang dimaksud dengan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil” dalam ayat di atas adalah kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil dalam rasa cinta, kecondongan hati dan berhubungan intim. Karena kaum muslimin telah sepakat, bahwa menyamakan yang demikian kepada para istri sangatlah tidak mungkin dan ini di luar kemampuan manusia, kecuali jika Allah menghendakinya. Dan telah diketahui bersama bahwa Ibunda kita, Aisyah radhiyallahu anha lebih dicintai Rasulullah daripada istri beliau yang lain, karena Aisyah masih muda, cantik dan cerdas.

Adapun hal-hal yang bersifat lahiriah seperti tempat tinggal, uang belanja dan waktu bermalam, maka wajib bagi seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu untuk berbuat adil. Hal ini sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi, dan Ibnu Hajar.

Ada juga di antara tokoh tersebut yang menyatakan bahwa poligami akan mengancam mahligai rumah tangga (sering timbul percekcokan). Sanggahan: Perselisihan yang muncul di antara para istri merupakan sesuatu yang wajar, karena rasa cemburu adalah tabiat mereka. Untuk mengatasi hal ini, tergantung dari para suami untuk mengatur urusan rumah tangganya, keadilan terhadap istri-istrinya, dan rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga, juga tawakkal kepada Allah. Dan kenyataannya dalam kehidupan rumah tangga dengan satu istri (monogami) juga sering terjadi pertengkaran/percekcokan dan bahkan lebih. Jadi, ini bukanlah alasan untuk menolak poligami. (Silakan lihat Majalah As Sunnah edisi 12/X/1428)

Apa yang Terjadi Jika Wahyu Ilahi Ditolak ?

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah-. Renungkanlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berikut ini, apa yang terjadi jika wahyu ilahi yang suci itu ditentang.

Allah telah banyak mengisahkan di dalam Alquran kepada kita tentang umat-umat yang mendustakan para rasul. Mereka ditimpa berbagai macam bencana dan masih nampak bekas-bekas dari negeri-negeri mereka sebagai pelajaran bagi umat-umat sesudahnya. Mereka di rubah bentuknya menjadi kera dan babi disebabkan menyelisihi rasul mereka. Ada juga yang terbenam dalam tanah, dihujani batu dari langit, ditenggelamkan di laut, ditimpa petir dan disiksa dengan berbagai siksaan lainnya. Semua ini disebabkan karena mereka menyelisihi para rasul, menentang wahyu yang mereka bawa, dan mengambil penolong-penolong selain Allah.

Allah menyebutkan seperti ini dalam surat Asy Syuara mulai dari kisah Musa, Ibrahim, Nuh, kaum Aad, Tsamud, Luth, dan Syuaib. Allah menyebut pada setiap Nabi tentang kebinasaan orang yang menyelisihi mereka dan keselamatan bagi para rasul dan pengikut mereka. Kemudian Allah menutup kisah tersebut dengan firman-Nya yang artinya,”Maka mereka ditimpa azab. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata, dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy Syuara: 158-159). Allah mengakhiri kisah tersebut dengan dua asma (nama) -Nya yang agung dan dari kedua nama itu akan menunjukkan sifat-Nya. Kedua nama tersebut adalah Al Aziz dan Ar Rohim (Maha Perkasa dan Maha Penyayang). Yaitu Allah akan membinasakan musuh-Nya dengan izzah/keperkasaan-Nya. Dan Allah akan menyelamatkan rasul dan pengikutnya dengan rahmat/kasih sayang-Nya. (Diringkas dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah).

 

[Muhammad Abduh Tuasikal/Muslimorid]

Menggauli Istri Secara Bersamaan Dilarang

SEORANG pelaku poligami bertanya, bolehkah ia yang saat ini memiliki dua istri mencampuri istri-istrinya pada waktu yang bersamaan? Bagaimana hukumnya dalam Islam?

Untuk pertanyaan itu, ustaz menjawab sebagai berikut. Sesungguhnya seorang suami yang menggauli dua istrinya sekaligus akan membawa pengaruh negatif bagi istri-istrinya itu sendiri selain dari penampakkan aurat seorang istri kepada istri yang lainnya.

Kemampuan seorang suami sangatlah terbatas untuk bisa memberikan kepuasan yang sama kepada kedua istrinya yang digaulinya secara bersamaan itu baik di dalam permainan-permaianan jimanya maupun tempat ditumpahkan spermanya. Hal ini akan memunculkan kecemburuan bahkan kebencian di dalam diri istrinya yang tidak merasa terpuaskan oleh suaminya sementara dia menyaksikan secara langsung bahwa kepuasan itu dirasakan oleh istrinya yang lain.

Abdul Wahab Hamudah, penulis kitab “Ar Rasul Fii Baitih” mengatakan bahwa cemburu merupakan salah satu pembawaan wanita yang khas. Kecemburuan merupakan watak wanita dan memiliki bentuk yang bermacam-macam. Seorang perempuan umumnya cemburu kepada jenisnya yang berpenampilan cantik, walau perempuan itu bukan saingannya terhadap laki-laki yang dicintainya. Perasaan cemburu itu lebih-lebih terhadap perempuan yang benar-benar menjadi saingan atau madunya.

Selain itu kaum perempuan juga begitu cemburu atau tidak senang dengan memperlihatkan ekspresi sinisme, karena melihat seorang perempuan yang berhias secara mencolok atau berpakaian secara berlebih-lebihan, sehingga tampak tak wajar.” (lihat: Romantika dan Problematika Rumah Tangga Rasul hal 127).

Tentunya kecemburuan seorang istri terhadap istri suaminya yang lain akan jauh lebih besar jika sudah menyangkut perihal hubungan seks diantara mereka dengan suaminya terlebih lagi jika satu sama lain saling melihat mereka berhubungan.

Hal lainnya adalah didalam persetubuhan yang dilakukan seorang suami dengan kedua istrinya secara bersamaan memungkinkan di antara kedua istrinya akan saling memandang aurat mereka dan hal ini diharamkan menurut kesepakatan para fuqaha berdasarkan sabda Rasulullah saw ,”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki (lain) dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita (lain) dan berada didalam satu selimut.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Dengan demikian tidak diperbolehkan bagi seorang suami menggauli kedua istrinya secara bersamaan dalam satu tempat tidur atau menggauli salah satunya dengan disaksikan oleh istrinya yang lain.

Dibolehkan baginya untuk menggauli seorang istrinya setelah ia menggauli istrinya yang di lain di tempat yang terpisah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang berkeliling untuk menggauli istri-istrinya dalam satu malam.

Diriwayatkan dari Qatadah berkata bahwa Anas bin Malik pernah bercerita kepada kami bahwa Nabi saw pernah menggilir istri-istrinya dalam satu waktu sehari semalam dan jumlah mereka ada sebelas orang.

Qatadah mengatakan,Aku bertanya kepada Anas,Seberapa kuat beliau saw? Dia menjawab,Kami pernah memperbincangkannya bahwa kekuatan beliau saw sebanding dengan (kekuatan) tiga puluh orang.” Said berkata dari Qatadah,Sesungguhnya Anas menceritakan kepada mereka bahwa jumlah istri-istrinya saw adalah sembilan orang.” (HR. Bukhori). Wallahu Alam [ ]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2377911/menggauli-istri-secara-bersamaan-dilarang#sthash.BZYMY9TO.dpuf