Tanpa terasa renovasi Masjidil Haram yang dimulai pada tahun 90-an akan segera rampung. Masjidil Haram yang beberapa tahun belakangan disesaki bangunan crane, kini terasa semakin lapang. Crane yang pada bulan haji 2015 beberapa diantaranya sempat roboh kini sudah mulai disingkirkan. Pada awal Mei lalu wajah Masjidil Haram terlihat makin segar dan tak begitu ‘kusut’ lagi.
Bahkan, pada bulan Ramadhan lalu bentuk perluasan mataf (pelataran tawaf) sudah bisa dikatakan hampir rampung. Bagian bangunan berbentuk kerucut putih peninggalan Kesultanan Otoman tidak tak banyak terlihat lagi. Satu persatu pilar, atap, dan tembok banguan yang berdiri pada tahun 1920-an dirobohkan.
‘’Rencananya satu sisi tempat mataf pengerjaan pembongkaran memakan waktu satu pekan. Jadi kalau ada delapan sisi, maka proses pembongkaran ini akan selesai dalam waktu dua bulan. Jadi nanti menjelang Ramadhan perluasan tempat tawaf telah rampung dan siap digunakan,’’ kata mantan Kadaker Makkah yang kini menjabat sebagai staf Kantor Urusan Haji (KUH) RI di Arab Saudi, Arsyad Hidayat, di Makkah awal Mei silam.
Saat itu, berbarengan penggusuran bangunan atap berbentuk kubus putih itu, tempat tawaf sementara ‘knock down’ juga ikut dibongkar. Satu persatu besi penyangganya dicopoti. Pagi, siang, malam, ratusan pekerja sibuk melakukan pembongkaran. Pekerjaan hanya berhenti ketika waktu shalat tiba.
Maka hingga saat ini bila melakukan tawaf di lantai dasar atau berada di tempat tawaf yang di seputaran Ka’bah terasa sesak. Ini karena di beberapa sudutnya terpaksa sedikit disekat karena ada proyek pembongkaran itu. Jamaah yang memakai kursi roda pun dilarang keras melakukan tawaf di ‘mataf’. Mereka diminta bertawaf di lantai dua Masjidil Haram yang pembangunannya juga sudah hampir usai itu.
Sebagai akibat kian selesainya perluasan Masjidil Haram, maka bangunan ini pun akan segera semakin luas. Pengerjaan pembangunan masjid baru yang berada di samping belakang Masjidil Haram yang pada bulan Mei llau sudah memasuki masa finishing, kini dipastikan sudah disambungkan. Saat itu tinggal beberapa pengerjaan fasilitas masjid yang tengah dilakukan seperti pembuatan jembatan, pemasangan lantai, dan pengerjaan berbagai panel listrik, pendingin udara, dan lainnya.
Bagi jamaah umrah atau jamaah haji yang sehat memang akan segera melihat suasana masjid yang megah dan lapang. Luas lantai tawaf (maaf) menjadi berlipat-lipat luasnya. Suasana berdesakan akan bisa terurai terutama di masa akhir Ramadhan dan puncak haji.
Namun, pihak jamaah yang nanti akan terkena beban berat sebagai imbas perluasan masjid ini adalah jamaah lanjut usia atau yang berhaji menggunakan berkursi roda saat mereka harus melakukan tawaf di lantai dua Masjidil Haram. Jarak tempuh tawafmenjadi sangat panjang. Setiap satu putarannya akan mencapai sekitar satu kilo meter. Jadi kalau jumlah putaran tawaf mencapai tujuh putaran, maka nanti jamaah lansia dan mengenakan kursi roda tersebut, harus menempuh perjaanan hingga lebih dari tujuh kilo meter.
Tentu saja, setelah tawaf untuk menuntaskan ibadah haji atau umrah sebelum diperbolehkan melakukan ‘tahalul’, para jamaah harus melakukan sa’i. Prosesi untuk mengenang gerak Siti Hajar yang harus berjalan dan berlari kecil sebanyak tujuh kali antara buit Safa dan Marwah ketika kebingungan mencari air, harus membutuhkan tenaga ekstra untuk berjalan. Bila satu jalur jaraknya mencapai 500 m, maka untuk tujuh kali jalan tersebut jamaah pun harus berjalan hingga 3,5 kilo meter.
Alhasil bila ditotal, untuk menyelesaikan prosesi tawaf dan sa’i seorang jamaah haji dan umrah harus menempuh perjalanan sekitar 11 kilo meter. Sebuah jarak yang lumayan jauh.
Untuk menjawab soal berapa lamanya waktu untuk menuntaskan proses ibadah tawaf dan sa’i pada rangkaian ibadah umrah atau haji, maka jawabnya: Relatif…!
Mengapa demikian? Ini karena tergantung dari kemampuan jasmani, kesempatan waktu, suasana kepadatan area tawaf yang ada di Masjidil Haram. Pada hari ketika tidak ada jamaah umrah (yakni setelah Idul Fitri sampai datangnya rombongan pertama jamaah haji), suasana arena tawaf sangat lenggang. Orang tawaf memang masih tetap ada sepanjang waktu, cuma jumlahnya tak terlalu banyak. Bahkan antrean untuk mencium Hajar Aswad hanya sekitar sepulu orang saja.
Nah, pada saat itu orang yang berada di Masjidil Haram dapat mencium Hajar Aswad sepuasnya. Waktu untuk tawaf pun sangat singkat, tak lebih hanya 10 menit untuk tujuh putaran. Saking longgarnya pada saat itu bisa shalat sunat di Hijir Ismail sepuasnya atau berulangkali.
Tapi suasana ini sontak berbalik ketika jamaah haji sudah mulai berdatangan atau pada bulan-bulan biasa ketika kesempatan umrah dibuka. Area tawaf menjad hiruk-pikuk. Mencium Hajar Aswad dan shalat di Hijir Ismail atau berdoa persis di depan Multazam menjadi barang langka. Nah, dalam suasana padat itu maka tawaf di lantai dua bersama para lansia dan jamaah yang memakai kursi roda jadi pilihan.
Akibatnya, karena memakai area tawaf di lantai dua itu, waktu tawaf menjadi panjang yang awalnya tak lebih dari 10 menit itu. Berangkat dari pengalaman melakukan umrah pada awal Mei ini, bila melakukan tawaf di lantai dua sembari mendorong kursi roda, dan dilakukan pada hari yang padat yakni pada malam Jumat, maka proses tawaf ini tampaknya bisa memakan waktu hingga 3,5 jam. Dan total jendral, bila disertai dengan Sa’i ditambah istirahat serta mengerjaan berbagai shalat sunat, proses ini akan memakan waktu sekitar 5 jam. Ini dijalani dalam suasana hari umrah biasa, bukan pada masa puncak haji atau akhir Ramadhan.
‘’Dengan semakin luasnya area tawaf, maka proses tawaf akan memakan jarak yang lama. Memang kalau memakai tempat tawaf di lantai dua dan sealigus menyelesaikan sa’i maka setiap jamaah harus menempuh perjalanan sepanjang 11 kiometer. Maka para calon jamaah haji harus menyiapkan kebugaran jasmani yang baik. Ingat ibadah haji itu lebih banyak merupakan ibadah fisik,’’ kata Arsyad Hidayat.
sumber: Republika Online