Beginilah Marahnya Rasulullah

RASULULLAH Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam marah karena beberapa hal. Namun dapat dipastikan, semuanya bermuara pada satu sebab; sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan agama, bukan kepentingan pribadi.

Marah atau gembiranya Nabi dapat dibedakan dari rona wajahnya, karena kulitnya sangat bersih. Bila marah, pelipisnya memerah. Bila marah dan saat itu sedang berdiri, ia duduk. Bila marah dalam keadaan duduk, ia berbaring. Seketika, hilanglah amarahnya.

Bila Nabi sedang marah, tak ada seorang pun yang berani berbicara padanya, selain Ali bin Abi Thalib. Lepas dari itu, ia sulit sekali marah, dan sebaliknya, mudah sekali memaafkan. Kesaksian ini dikutip secara valid oleh Yusuf an-Nabhani dalam “Wasail al-Wushul ila Syamail al-Rasul”.

Bagaimana Nabi marah, padahal ia sendiri melarang umatnya untuk marah?

Dalam riwayat Abu Hurairah misalnya, Nabi mengatakan, “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).

Dalam riwayat Abu Said al-Khudri, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridlai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridlai.” (HR. Ahmad).

Jawabannya, kemarahan Nabi itu memang disebabkan oleh beberapa hal. Namun dapat dipastikan, kesemuanya bermuara pada satu sebab, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan agama, bukan kepentingan pribadinya. Nabi perlu marah untuk memberikan penekanan bahwa hal tertentu tak boleh dilakukan umatnya. Sebagai guru seluruh manusia dan pemberi petunjuk ke jalan yang lurus, Nabi perlu marah agar mereka menjauhi segala perbuatan yang tidak elok.

Oleh karena itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam marah saat mendengar laporan bahwa dalam medan peperangan, Usamah bin Zaid membunuh orang yang sudah mengatakan la Ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah).

Sedang Usamah membunuhnya karena menyangka orang itu melafalkan kalam tauhid hanya untuk menyelamatkan diri. Nabi menyalahkan Usamah dan berkali-kali mengatakan, “Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengatakan la Ilaha illallah?” (HR. al-Bukhari)

Raut wajah Nabi berubah karena marah, ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan seorang wanita yang mencuri. Alasan mereka, ia adalah wanita terpandang dari klan Bani Makhzum, salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, “Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di lain waktu, Nabi melihat seorang lelaki memakai cincin emas. Melihat pelanggaran agama itu, Rasulullah marah. Ia lantas mencabut cincin lelaki itu dan melemparkannya ke tanah. “Salah seorang di antara kalian dengan sengaja menceburkan diri ke jilatan api dengan menggunakannya (cincin emas, penj) di tangannya,” sabda Nabi (HR. Muslim)

Pada kejadian lain, di pasar Madinah, terjadi perselisihan antara seorang sahabat Nabi dengan pedagang Yahudi. Perselisihan itu sampai membuat si Yahudi bersumpah, “Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya.” Ungkapan sumpah ini membuat sahabat Nabi Muhammad itu marah. Ia menampar si Yahudi. “Kamu mengatakan ‘Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya’, sedang ada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam di tengah-tengah kita?” ujarnya.

Orang Yahudi tersebut tak terima dengan perlakuan sahabat Nabi. Ia pun bergegas datang menemui Nabi Muhammad untuk melaporkan kejadian itu. Mendengar aduan itu, Nabi Muhammad marah dan mengatakan, “Janganlah kalian saling mengunggulkan nabi yang satu dengan lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak hanya saat perintah Allah dilanggar, Nabi juga marah bila umatnya tak segera melakukan kebaikan atau menangguhkan sesuatu yang seharusnya diutamakan. Hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Jarir bin Abdullah yang mengisahkan, “Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassallam berkhutbah dan mendorong kami untuk bershadaqah. Namun orang-orang lamban sekali dalam melaksanakan dorongan itu, hingga terlihat raut kemarahan di wajah Nabi.”

Bila harus marah kepada seseorang, Nabi tak langsung menegurnya di depan umum. Nabi tak ingin menjatuhkan harga diri orang yang bersalah itu. Oleh karenanya, ketika ia melihat seseorang mengarahkan padangannya ke atas dalam shalat–dan hal itu dilarang, Nabi menegur perbuatan itu dengan bahasa yang umum. Nabi tidak menyebutkan nama orang yang melakukan hal itu, untuk menjaga perasaannya. Namun Nabi berkhutbah di depan para sahabat, kemudian menyampaikan, “Apa yang menyebabkan segolongan orang mengangkat pandangannya ke langit dalam shalatnya?” (HR. Bukhari)

Pertanyaan Nabi ini dalam retorika Arab disebut dengan istifham inkari, (bentuk pertanyaan untuk mengungkapkan pengingkaran terhadap sesuatu). Dalam teguran ini, Nabi tak menyebut nama orang yang berbuat salah di depan umum.

Saat marah, Nabi juga tak ‘bermain tangan’ atau menyakiti fisik. Dalam kesaksian sang istri tercinta Aisyah, Nabi tak pernah sekalipun memukul wanita atau pembantu. Bahkan, ia tak pernah memukul apapun, kecuali jika sedang berjihad. (HR. Muslim)

Aisyah menambahkan, Nabi tak pernah membalas dendam pada hal yang ditujukan pada dirinya, kecuali bila kehormatan Allah yang dilanggar. Benang merah yang dapat kita simpulkan, Rasulullah itu bergaul dengan akal, bukan hanya dengan sepengetahuan, atau bahkan perasaannya belaka (baca: Antara Perasaan, Pemahaman, dan Akal)

Senarai riwayat menjelaskan, Rasulullah memang tak pernah marah saat dirinya dilecehkan.

Suatu saat, ia duduk di majelis penuh barakah, dikelilingi para sahabat. Tiba-tiba datang seorang Arab udik. Ia meminta bantuan kepada Rasul untuk membayar kewajiban denda. Setelah memberinya sejumlah harta, dengan lembut Rasul bertanya, “Apakah aku sudah berbuat baik padamu?”

“Tidak, kamu masih belum berbuat baik,” jawab pria itu. “Kamu belum berbuat baik,” tambah dia sekali lagi, seolah memancing kemarahan Nabi. Mendengar itu, amarah sahabat membuncah. Namun dengan tenang Nabi memberi isyarat agar mereka menahan diri.

Selanjutnya Nabi mengajak orang itu masuk ke rumahnya yang terletak di samping masjid. Setelah menambah pemberiannya, Nabi bertanya, “Apakah aku sudah berbuat baik padamu?”

Kini, orang itu menjawab, “Ya, semoga Allah membalasmu, keluarga, dan kerabatmu dengan kebaikan.”

Nabi kagum dengan ucapan terakhir yang menyimbolkan kerelaan itu. Tapi ia khawatir dalam hati sahabatnya masih tersisa ganjalan. Tidak menutup kemungkinan ada di antara mereka melihat orang ini di jalan atau di pasar, dalam kondisi masih menyimpan dendam. Karena itu, ia berpesan, “Dalam hati sahabatku ada sesuatu karena kejadian tadi. Jadi, jika kamu datang kembali, katakan di depan mereka ucapan seperti yang kamu katakan padaku barusan. Sehingga sahabatku tak marah lagi.”

Ya, dalam kejadian itu Nabi tak marah, karena yang disinggung adalah pribadinya, bukan kepentingan agama. Abu Islam Muhammad bin Ali memiliki sebuah kitab berjudul “Arba’una Mauqifan Ghadhaba fiha al-Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam”. Kitab ini menghimpun 40 riwayat valid tentang kejadian-kejadian marahnya Nabi. Dapat dipastikan, semuanya karena kepentingan agama, bukan karena interest pribadi sang Nabi!

Bagaimana dengan kita?

Bayangkan, anak kita yang masih kecil minta uang saku lima ribu rupiah. Karena hanya ada pecahan lima puluh ribu, kita berikan semuanya, namun dengan pesan, “Nanti, kembalikan yang 45 ribu.” Ternyata, dia kembali ke rumah di siang hari dan uang itu sudah ia habiskan semua! Terbayangkah seperti apa kemarahan kita?

Sebaliknya, pulang dari masjid setelah shalat Ashar, kita dapati anak kita malah asyik bermain game, tidak shalat di masjid, tidak bersiap-siap pergi mengaji. Apakah kita akan marah seperti kemarahan pertama?

Seorang suami terkadang marah pada istrinya bila tak dibuatkan kopi di pagi hari, atau menu makanan yang dihidangkan tidak sesuai seleranya. Tapi, dia mendiamkan saja istrinya yang keluar rumah tak menutup aurat.

Tidak seperti Nabi, kita justru sering marah pada hal-hal yang bukan karena kepentingan agama.

Antara Perasaan, Pengetahuan, dan Akal

Melihat cahaya dengan mata, mendengar suara dengan telinga, mencium bau dengan hidung, merasakan panas atau dingin di kulit, adalah peran perasaan. Tapi, mengapa seorang anak kecil misalnya, mendekat dan menyentuh api yang menyala?

Karena baginya, api itu adalah sesuatu yang bersinar sehingga memantik perhatiannya. Seandainya dia sudah besar dan mengetahui apa itu api, ia tak akan melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu, anak kecil itu dapat melihat api dengan matanya, dapat menyentuh dengan tangannya, tapi ia belum memiliki pengetahuan (knowledge) tentang hakikat api itu.

Pengetahuan itu berdasarkan pemikiran. Seseorang mungkin pernah membaca artikel tentang bahaya merokok dan ia tahu, namun dia masih tetap merokok. Karena itu, pengetahuan belum tentu memunculkan sikap untuk menjauhi sesuatu. Namun dalam kasus tertentu, pengetahuan terkadang mencapai derajat akal, sehingga memunculkan suatu sikap (attitude).

Jadi, ada perbedaan tipis antara pengetahuan dan akal. Bila ada sesuatu yang membahayakan kemudian kita menjauhinya, berarti kita sudah menentukan sikap. Karena terkadang kita tahu, tapi kita tak mengambil sikap apapun.

Kesimpulannya, dengan perasaan kita dapat merasakan, dengan pemikiran kita dapat mengetahui, sedang dengan akal atau hati kita dapat menentukan sikap.

Saat marah, di sinilah letak perbedaan sikap Nabi dan sebagian manusia. Dalam situasi emosi pun, Nabi tetap dalam kesadaran penuh dan menggunakan akal dengan sempurna, tidak hanya dengan perasaan. Dengan akal, meski dalam kondisi marah, ia dapat mengambil sikap untuk melakukan sesuatu yang positif.

Intinya, Nabi tahu dan mampu mengendalikan emosi, kemudian mau melakukan sesuatu yang dia tahu dan mampu melaksanakannya. Itulah idealnya: tahu, mampu, dan mau. Sedangkan sebagian kita, sudah tahu bagaimana meredam kemarahan dan pasti tahu efek negatif marah dan emosi yang tak terkendali. Kita pun sebenarnya mampu meredam dan mengendalikannya. Namun, terkadang kita tak mau melakukannya. Itu artinya, kita tahu dan mampu, tapi kita tak mau.

Dengan kalam lain, berarti kita baru menggunakan perasaan dan pemahaman, tapi belum mengoptimalkan hati untuk menentukan sikap. Padahal manusia belum dianggap berakal, sampai dapat menerjemahkan hasil pemikirannya pada perilaku dan sikap. (lihat QS. Al-Anfal ayat 72 dan Al-Qashash: 50).*

 

Oleh: Faris Khoirul Anam

Penulis adalah pengurus MIUMI Malang. Artikel merupakan salah satu bagian dari buku “The Amazing Rasulullah: Menguak Sisi Unik dan Inspiratif Keseharian Nabi Muhammad” yang segera akan terbit 

 

sumber: Hidayatullah

Betapa Mesranya Nabi Muhammad dengan Istri-Istrinya

Dalam mahligai keluarga, istri adalah teman hidup yang menempati posisi sebagai buah bagi pohonnya, tangkai bagi bunganya, dan pelana bagi kudanya. Rasulullah bersabda, “Dunia adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah istri yang saleh.” [1]

Nabi Muhammad memanggil istrinya dengan panggilan mesra yang menyejukkan hati dan menentramkan pikiran. Ini adalah bagian dari akhlaq dan perilaku beliau yang agung dan cemerlang. Suatu hari dipanggilnya Aisyah dengan sebutan “Humairaa” atau yang merah-merekah karena cantiknya. Dan pernah pula beliau panggil dengan sebutan “Aisy” yang merupakan sebuah panggilan mesra. Pernah beliau memanggil Aisyah dengan penuh kasih sayang, “Wahai Aisyah, ada salam dari Jibril untukmu.”

Hati siapa yang tidak berbunga-bunga dipanggil dengan penuh kelembutan dan kemesraan seperti itu? Kemesraan Nabi Muhammad dengan istri-istrinya tidak hanya lewat perkataan, tetapi juga dalam perbuatan. Nabi Muhammad sangat penuh kasih sayang dalam memperlakukan istri-istrinya. Aisyah berkata,

Pernah aku minum sedang aku waktu itu dalam keadaan haid. Kemudian Rasulullah minum dari bekas tempat minumku dan bibirnya diletakkan di tempat bibirku minum. Dan beliau pernah memakan daging bekas gigitanku.” (H.R. Muslim)

Betapa mesranya, makan sepiring berdua, minum secangkir berdua. Memang ada cerita yang dibuat oleh kaum orientalis tentang kekasaran Rasulullah dengan para istrinya. Namun, hal itu tidak perlu dipikirkan karena itu adalah fitnah dari mereka yang sengaja mau merusak dan menjelek-jelekkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Berkata Aisyah, “Rasulullah mencium salah seorang istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu.” (H.R. Abu Daud)

 

Di banyak kesempatan beliau selalu menjelaskan bahwa wanita dalam Islam mempunyai kedudukan yang terhormat yang tidak tergantikan oleh laki-laki. Ketika Amru ibnul Ash menanyakan kepada beliau tentang hal itu, beliau menjawab bahwa sesungguhnya sayang dan cinta kepada istri tidak sedikit pun mengurangi kewibawaan dan kedudukan suami.

Diriwayatkan pula bahwa Amru ibnul Ash bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang paling engkau cintai ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aisyah.” (Muttafaq ‘alaih). Jadi barangsiapa yang ingin merasakan kebahagiaan rumah tangga, hendaklah meniru Rasulullah dalam hal ini. Tentang bagaimana Rasulullah bermesraan dengan istrinya, kita bisa melihat bagaimana Aisyah meriwayatkan tentang ini, “Saya sering mandi bersama dengan Rasulullah dari satu bak.” (H.R Bukhari)

Hal ini dilakukan oleh beliau untuk membahagiakan istri-istrinya, dengan segala sesuatu yang dibolehkan agama.

Dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Aisyah meriwayatkan bahwa dia pernah berlomba lari dengan Nabi Muhammad. Aisyah bercerita, “Aku mendampingi Rasulullah dalam sebuah perjalanan bersama para sahabat. Waktu itu aku masih kurus. Tiba-tiba Rasulullah memerintahkan rombongan untuk meninggalkan kami berdua. Maka tinggallah kami berdua di belakang rombongan (pasukan). Setelah mereka jauh, Rasulullah berkata, ‘Mari kita berlomba lari.’ Maka aku pun mendahuluinya. Beliau diam saja tidak berkomentar, sedangkan aku senang karena menang. Sampai bertahun-tahun berikutnya aku menjadi gemuk. Dan pada suatu kesempatan aku pun mendampinginya dalam sebuah perjalanan. Beliau mengajakku lagi untuk berlomba seperti dulu. Dan aku kalah karena gemuk. Melihat aku kalah, Rasulullah tertawa dan berkata, ‘Ini untuk membalas kekalahanku yang dulu.’” (H.R. Ahmad)

Masya Allah, inilah bentuk kemesraan yang sesungguhnya. Sebuah canda lembut yang penuh perhatian. Kalau kita kaji lebih dalam lagi, riwayat tadi agaknya menyentil egoisme kita yang kerap kali melupakan pentingnya menjaga perasaan wanita yang halus dan lemah. Nabi Muhammad membawa istrinya ikut dalam rombongan pasukan untuk menghibur hati yang tegang dalam menghadapi musuh. Begitu juga, istri yang diajak perlu hiburan karena tidak terbiasa dengan suasana perang. Jadi secara psikologis, tindakan Nabi Muhammad sangat manusiawi untuk menghibur kepenatan dan keletihan di perjalanan.

Imam Bukhari menceritakan, sewaktu Rasulullah pulang dari perang Khaibar dan membawa tawanan wanita yang kemudian dinikahinya, yaitu Shafiyyah binti Huyay, Rasulullah melingkari untanya dengan tabir agar Shafiyyah tidak kelihatan oleh orang lain. Kemudian beliau berjongkok di samping untanya dan menyediakan lututnya untuk pijakan Shafiyyah yang mau naik ke atas unta. Inilah salah satu contoh sikap tawadhu’ beliau. Jadi janganlah kita menganggap bahwa pekerjaan-pekerjaan yang kita anggap enteng seperti membuang sampah, menambal baju, memperbaiki sendal, dan sebagainya mengurangi derajat seseorang. Tidak! Bahkan sebaliknya, hal itu akan menambah kemuliaannya, terlebih lagi di mata Allah.

 

 

sumber: Lampu Islam

Sifat Mulia Rasulullah

Bayangkan kita mendekati rumah Nabi Muhammad dan mengetuk pintunya,kemudian ita khayalkan seakan-akan kita mendengar langsung dari orang yang pernah bertemu dengan beliau, bertatap muka, atau hidup bersama beliau. Biarkan orang itu menggambarkan kepada kita sifat dan fisik Nabi Muhammad seakan-akan kita melihatnya secara langsung, agar kita melihat pancaran sinar matanya yang agung dan senyumnya yang menawan. Diriwayatkan oleh al-Barra’ bin Azib radiyallahu ‘anhu,

Setahuku, Rasulullah itu adalah orang yang paling tampan wajahnya, paling baik akhlaqnya. Tidak tinggi sekali dan juga tidak pendek (tubuhnya).” (H.R. Bukhari)

“Rasulullah adalah orang yang sedang (tingginya), jarak antara kedua bahunya menandakan beliau lelaki yang gagah, rambutnya panjang menyentuh ujung telinganya, aku melihat (wajahnya) kemerah-merahan. Belum pernah aku melihat sesuatu yang lebih bagus dan indah daripada Rasulullah.” [1]

Di antara sifat-sifat beliau adalah malu. Malu dalam hal yang pantas untuk malu, tetapi tegas dalam hal yang menyangkut akhlaq dan kebenaran. Sampai-sampai Sahabat Abu Said al-Khudri mengatakan,

Rasulullah lebih pemalu dari seorang perawan dalam pingitan. Bila beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, kami tahu dari raut wajahnya.” (H.R. Bukhari)

Cara Nabi Muhammad Berbicara

Sekarang, mari kita lihat bagaimana Rasulullah berbicara. Sebelumnya, dengarlah apa yang dikatakan Aisyah radiyallahu ‘anha,

Rasulullah tidak pernah berbicara penuh sebagaimana bicaramu ini (cerewet), tetapi beliau berbicara dengan perkataan yang pas, jelas, padat, sehingga bisa dihafal oleh orang yang ada di sekitarnya.” (H.R. Abu Daud)

Rasulullah selalu berbicara dengan mudah dan sopan serta lemah-lembut, karena beliau ingin agar orang lain mengerti arah pembicaraannya. Beliau sangat menjaga perbedaan-perbedaan di antara umatnya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Beliau sangat peka bahwa pemahaman dan cara berpikir umatnya berbeda-beda. Oleh karena itu, beliau memilih untuk bersikap halim (menerima perbedaan walaupun tidak sesuai dengan isi hati) dan sabar, sehingga menyenangkan lawan bicaranya. Diriwayatkan dari Aisyah,

Rasulullah selalu berbicara dengan perkataan yang jelas yang bisa dipahami orang yang mendengar.”

Renungkanlah bagaimana Rasulullah yang berakhlaq mulia sangat lembut dan bersahabat, lapang dada, serta terbuka. Beliau rela mengulangi perkataannya agar dimengerti oleh orang lain. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik,

Rasulullah sering mengulang perkataannya sampai tiga kali supaya dimengerti dan dipahami.” (H.R. Bukhari)

Rasulullah juga suka bercanda dengan para Sahabat untuk mengurangi rasa takut karena sebagian di antara mereka ada yang takut kepada yang lain.

Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah pernah didatangi oleh seorang laki-laki yang sangat ketakutan hingga gemetar seluruh tubuhnya. Laki-laki itu lalu ditenangkan oleh Rasulullah sambil berkata,

Tenanglah karena aku bukanlah seorang raja. Aku adalah anak seorang wanita yang memakan daging kering (dendeng).” (H.R. Ibnu Majah)

Mencintai Nabi Muhammad Sepenuh Hati

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Kesejahteraan dan keselamatan semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan imam bagi para nabi, yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.

Sebagian besar manusia di masa sekarang ini terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang ekstrim dan yang apatis. Kelompok yang ekstrim adalah mereka yang sampai mengkultuskan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, bahkan ada yang sampai memuja beliau shalallahu ‘alaihi wassalam sampai mengantarkannya pada tingkat kemusyrikan, dengan jalan berdo’a dan memohon pertolongan kepada beliau (memposisikan beliau sebagai Tuhan). Sedangkan golongan yang apatis adalah golongan orang-orang yang lupa dan tidak mengacuhkan, bahkan mencampakkan tradisi agung Nabi Muhammad berupa akhlaqnya yang mulia. Kelompok ini tidak menjadikan beliau sebagai panutan, pelita, sekaligus petunjuk jalan hidup.

Seharusnya kita sebagai umat Muslim harus merealisasikan rasa cinta dan kasih sayang kita kepada beliau serta meneladani sisi-sisi kehidupan beliau sebagai manusia utusan Allah, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun kemasyarakatan. Dan juga tidak bisa kita pungkiri bahwa kehidupan Nabi Muhammad adalah cerminan dakwah dan kehidupan umat yang sejati. Allah sendiri memuji beliau, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlaq yang agung.”

Kita sebagai umat Muslim menempatkan Nabi Muhammad dalam posisi yang seharusnya, sebagaimana Allah memposisikan beliau dalam posisi yang tertinggi (maqaaman mahmuuda). Nabi Muhammad adalah seorang hamba Allah dan rasul-Nya. Tidak lebih dan tidak kurang, tidak dikultuskan seperti Tuhan dan tidak menyanjung-nyanjung beliau secara berlebihan. Sikap kita jelas, tidak merayakan maulid (hari kelahiran Rasulullah) sebagai ibadah, melainkan sekadar memperingati karena kecintaan kita terhadap beliau. Al-Bushiri dalam syair Burdahnya, dengan indah melukiskan kedudukan Rasulullah,

Muara segala pengetahuan kita

Tentang beliau sebagai manusia

dan sebaik-baik makhluk Allah

Cahaya putih penutup segala nabi

Bersinar melambai penuh saksi

Sandingan namanya

dengan nama Tuhan

Tak cukupkah itu sebagai bukti?

Kesaksian lima waktu

shalat dan adzan

Separuh nama penuh cinta

separuh lagi terpatri di atas ‘Arasy

Yang terpuji dan dialah Ahmad”

Walaupun kita tidak bisa melihat Nabi Muhammad secara langsung karena jarak historis, kita masih berharap mempunyai kesempatan menjadi saudara beliau. Sebagaimana sabda beliau, “Aku ingin sekali seandainya aku melihat saudara-saudaraku.” Para Sahabat bertanya, “Bukankah kami ini saudara-saudaramu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kalian adalah para sahabatku, sedangkan yang datang (generasi) setelah kalian adalah saudara-saudaraku.” Para sahabat kian bingung, “Bagaimana engkau bisa tahu tentang orang yang datang setelah kita, dari umatmu ya Rasulullah?” Nabi Muhammad berkata, “Kalau ada kuda yang bertanda putih cemerlang di mukanya dan berada di antara kuda-kuda hitam, tidakkah pemilik kuda itu akan mengenalinya? Begitu juga dengan umatu. Mereka akan datang dengan wajah cerah karena wudhu’. Dan aku akan berada di tengah-tengah mereka di telaga (surga) nanti.” (H.R. Muslim)

Mari kita berdo’a semoga Allah berkenan menjadikan kita sebagai orang yang mengikuti dan “menyisir” jejak langkah serta menjalankan Sunnah beliau. Dan, semoga kita bisa berkumpul bersama beliau di surga nanti. Semoga Allah membalas dengan sempurna apa yang telah beliau perjuangkan. Shalawat dan salam bagimu ya Rasulullah, bagi sahabatmu, dan seluruh keluargamu.

 

sumber: Lampu Islam

Rasul Mau Bermusyawarah dan Mendengar Nasihat Istrinya

Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga, Rasul bukanlah sosok yang otoriter. Beliu senantiasa bermusyawarah dan mau mendengarkan nasihat istri-istrinya. Salah satunya adalah Ummu Salamah.

Dalam kitab Muhammad Sebagai Suami dan Ayah, disebutkan, ketika berada di Hudaibiyah, Nabi memerintahkan orang-orang untuk menyembelih hewan kurban dan memotong rambut mereka. Namun orang-orang itu tak menuruti perintahnya.

Dalam keadaan jengkel, Muhammad masuk ke tendanya dan berkata kepada Ummu Salamah: “Tiga kali aku memerintahkan orang-orang untuk menyembelih hewan mereka dan mencukur rambutnya. Tapi lihatlah betapa malas dan lambannya mereka.”

Saat itu, muncullah intuisi feminim yang menyelamatkan situasi. Ummu Salahmah pun berkata dengan lembut kepada Rasul. “Ya Rasulullah, engkau tak bisa membuat 1.500 orang ini melakukan apa yang tidak mereka inginkan. Lakukan saja kewajibanmu yang telah Allah tetapkan atasmu. Majulah dan laksanakanlah ibadahmu sendiri di tempat terbuka agar setiap orang bisa melihatmu. Ini tentu akan membuat cukup membuat mereka merasa bodoh,” kata Ummu Salamah.

Nabi menyadari makna saran itu. Beliau pun keluar tenda dan melihat matahari telah terbit dan menerangi gurun yang sangat luas itu. Beliau berjalan ke tempat hewan ternak. Setiap orang kini menyaksikannya.

Bahkan kaum musrik Makkah yang ikut menginap di sana malam itu melihat sendiri beliau mengambil unta Abu Jahal. Beliau menggiringnya ke tempat terbuka dan menyembelihnya sambil berucap: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Tak lama kemudian, dia memanggil Khirasy ibn Umayyah Al Khuza’i, dan mencukur rambutnya.

Ketika kaum Muslim melihat apa yang dilakukan Rasul, mereka bangkit dan mengikutinya. Mereka menyembelih hewan dan mencukur rambut mereka.

 

sumber: Republika Online

Rasul pun Pernah Mengerjakan Pekerjaan Rumah Tangga

Dalam hidup berumah tangga, berbagi tugas dan tanggungjawab antara suami dan istri adalah suatu yang niscaya. Sebagai umat Muhammad, tentu sudah selayaknya kita berkaca pada apa yang pernah dilakukan oleh beliau.

Di zaman Rasulullah Muhammad SAW pun, hal-hal kecil yang selayaknya menjadi pekerjaan perempuan, juga pernah dilakukan oleh Rasul. Dalam buku Muhammad Sebagai Suami dan Ayah, disitu dikisahkan Muhammad sering membantu istrinya Aisyah dalam pekerjaan rumah tangga.

Sebagai istri, kepatuhan Aisyah kepada Nabi Muhammad sungguh besar. Dia selalu melayani Rasul dengan baik. Meskipun ada seorang pelayan di rumahnya, Asiyah senantiasa melakukan pekerjaannya sendiri. Dia biasa menggiling dan membuat pasta dari tepung. Memasak makanan dan merapikan tempat tidur. (HR Bukhari dan Syama’il).

Aisyah juga sering membawakan air untuk Nabi berwudhu serta mencucikan pakaian beliau.

Ketika Nabi memberikan unta untuk kurban, Aisyah sendiri yang membuatkan kalung bunga untuk kurban Nabi itu (HR Bukhari).  Ketika Nabi tidur, Aisyah meletakkan siwak atau sikat gigi yang terbuat dari akar lengkap dengan air untuk berkumur di dekat ranjang Nabi (HR Ahmad). Aisyah juga membersihkan siwak tersebut untuk menghilang kotoran yang melekat (HR Abu Dawud)

Di lain pihak, Rasul pun tidak segan-segan turun tangan membantu. Menurut Aisyah seperti diriwayatkan Bukhari, Nabi tak segang menyibukkan diri dalam pekerjaan rumah tangga. Misalnya menjahit baju yang sobek, menyapu lantai, memerah susu kambing, belanja ke pasar, membetulkan sepatu dan kantung air yang rusak, menambat dan memberi makan hewannya. Bahkan Rasul pernah memasak tepung bersama-sama dengan pelayannya.

Beliau juga memperbaiki dinding rumahnya sendiri. Rasul tak suka dibantu orang lain dalam urusan ini.

 

sumber: Republika Online

Sedekahi baju satu-satunya, Rasulullah telanjang tak berani keluar

Nabi Muhammad SAW sudah terbiasa hidup prihatin karena beliau lebih banyak memberi daripada menerima. Para fakir terbiasa meminta sedekah padanya meski beliau sendiri kekurangan.

Suatu kali seorang anak mengaku disuruh ibunya untuk meminta sedekah kepada Nabi. “Tetapi, hari ini aku sama sekali tidak punya apa-apa,” jawab beliau seperti dikutip dari buku Bilik-Bilik Cinta Muhammad, Kamis (2/7).

Namun sang anak tetap memaksa,”Kata ibu bajumu juga boleh,”. Rasulullah langsung mencopot bajunya lalu diserahkan ke anak tersebut.

Di rumah Nabi sudah tidak punya pakaian lagi, Nabi malu untuk keluar rumah. Umat muslim yang mengetahui hal ini heran sekaligus cemas.

Umar lalu menghampiri Nabi,”Apakah ini perintah Allah?”

Lalu turun lah wahyu surat Al Isra ayat 29 yang berbunyi, “Dan jangan jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena dengan begitu kamu menjadi tercela dan menyesal,”

Para istri Rasulullah pun turut mencontoh perilaku Rasulullah. Bahkan Aisyah pernah bersedekah hingga dia tidak punya makanan sama sekali untuk berbuka puasa.

Diriwayatkan Al Baihaqi diriwayatkan Aisyah berkata,” Tak pernah Rasulullah kenyang tiga hari berturut-turut. Padahal kalau mau, kami bisa kenyang. Tetapi beliau lebih memilih mendahulukan orang lain,”

 

 

sumber: Merdeka.com