3 Kunci Mengapa Komunikasi Rasulullah SAW Menyejukkan

Rasulullah SAW diberi kemampuan untuk berkomunikasi yang baik.

Mengapa Rasulullah SAW mampu menjadi seorang komunikator yang baik? Ada tiga rahasia kesuksesan komunikasi beliau.

Pertama, adanya kefasihan dan bicara (fashahah) yang bersumber dari kecerdasan beliau sebagai utusan Allah (fathanah).

Setiap Rasul, dalam menyampaikan ajarannya, harus menghadapi perdebatan dengan orang-orang yang menentangnya, harus menjawab pertanyaan para pengikutnya yang beraneka ragam, atau menghadapi pemikiran dan pelecehan para penyebar keragu-raguan. 

Karena itu, kecerdasan, kekuatan argumen, serta kefasihan berbicara setiap Rasul harus melebihi siapa pun dari kaum yang didatanginya. Kalau tidak memiliki kualitas seperti ini, semua yang disampaikannya walaupun benar akan mudah dipatahkan dan diingkari.

Rasulullah SAW diutus pada suatu kaum yang sangat mengagungkan kehebatan merangkai kata. Rasulullah SAW pun diutus tidak pada satu golongan manusia. Beliau diutus pada suatu kaum yang memiliki latar belakang ilmu, status sosial, dan spesialisasi yang berbeda-beda. 

Di antara mereka ada tokoh agama, ahli politik, ahli ekonomi, ahli hikmah, pedagang, peternak, orang kaya, fakir miskin, budak belian, dan lainnya. Semuanya harus diberi argumen agar bisa menerima Islam. 

Jika Rasulullah SAW bukan manusia paling cerdas, paling luas wawasannya, dan paling jelas juga paling fasih bicaranya, tidak mungkin beliau bisa melakukan semua itu.

Allah SWT menegaskan hal ini dalam QS An-Nisaa’ [4] ayat 165:

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

 ”(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Kedua, karena bayan atau ajaran yang Beliau sampaikan mengandung kebenaran mutlak. Secerdas apa pun orang dan sefasih apa pun ia berbicara, tidak akan bernilai dan tahan lama bila yang diungkapkannya tidak mengandung kebenaran.

Salah satu kesuksesan dakwah Rasulullah SAW adalah kesempurnaan ajaran yang dibawanya. Ajaran yang tidak benar (tidak sempurna), argumennya tidak akan jelas, lemah, dan selalu mentah.

Ajaran yang dibawa Rasul sangat sempurna dan “multimanfaat”. Ia bisa diterima semua kalangan, masuk akal, menenangkan, dan tidak dibuat-buat. Banyak cerdik pandai yang mencari-cari kelemahan ajaran Rasulullah SAW, dan sebanyak itu pula mereka gagal menemukannya.

Ketiga, semua kata-kata Rasulullah SAW keluar dari hati yang bersih (qalbun saliim); hati yang penuh kasih sayang, hati yang damai, dan bersih dari kotoran dosa. Tak heran bila kata-kata beliau memiliki “ruh” yang bisa melembutkan hati sekeras batu.

Kepintaran, kefasihan bicara, dan kebenaran ajaran, hanya akan menyentuh aspek akal. Hati hanya bisa disentuh dengan kata-kata yang keluar dari hati yang bersih pula.

“Bersihkan dengan segala apa yang kamu bisa, karena Allah telah mendirikan Islam ini di atas kebersihan, dan tidak akan masuk surga melainkan orang-orang yang bersih,” demikian Rasulullah SAW yang mulia berpesan kepada kita.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Rasulullah ﷺ Pun Menjilat Jarinya Setelah Makan

ADA beberapa hadis yang menyatakan seperti itu. Misalnya hadits riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik  berikut ini:

“Ketika Rasulullah   selesai menyantap suatu hidangan, beliau akan menjilati ketiga jarinya (yang digunakan untuk makan) .”

Anas  melanjutkan:

“Beliau juga bersabda, ‘Jika ada sebagian makanan milik seseorang di antara kalian jatuh, hendaknya ia mengambil makanan tersebut. Kemudian membersihkan kotorannya dan memakannya. Jangan biarkan sebagian makanan tersebut menjadi milik setan.’

Masih kata Anas:

Beliau memerintah kita untuk menghabiskan sisa sisa makanan yang masih ada di mampan atau piring dan bersabda, “Sungguh, kalian tidak tahu pada sebagian mana barakah makanan itu ada.”

Dari hadis di atas terkandung ada:

• Makan dengan tiga jari. Tidak disebutkan jari mana saja. Umumnya, jari yang dipakai makan adalah ibu jari, telunjuk dan jari tengah. Ini termasuk adab yang disenangi Rasulullah . Tetapi jangan dipaksakan bila tidak memungkinkan. Misalnya makannya berkuah.

• Menjilati jemari yang digunakan makan. Dilakukan setelah benar benar selesai menghabiskan seluruh hidangan.  Bukan di tengah tengah makan. Ini tidak baik dilakukan karena dapat menimbulkan rasa jijik hadirin.

• Imam Nawawi menjelaskan, setiap makanan yang dihidangkan terdapat barakah di dalamnya. Namun tidak diketahui pada bagian mana barakah itu ada. Bisa pada yang sudah dimakan. Bisa di jari. Bisa yang tersisa di piring. Bisa pula yang jatuh. Karenanya seyogyanya kita tidak menyia-.nyiakan barakah yang ada dalam makanan tersebut.

Secara medis sudah banyak yang meneliti makan pakai jari. Salah satunya adalah  dr. Charles Gerba dari University of Arizona, Amerika Serikat. Dia menjelaskan, makan menggunakan tangan dan menjilat jari jemari sesudahnya memiliki manfaat kesehatan. Asal sebelum makan, mencuci tangan terlebih dahulu. Ia mengakui bahwa di sela-sela jari manusia mengandung enzim Rnase.

Enzim Rnase berfungsi sebagai pengikat bakteri untuk menekan aktivitas bakteri ketika masuk bersamaan dengan makanan.

Selain manfaat tersebut, enzim ini juga berfungsi sebagai kekebalan tubuh manusia. Tangan yang setiap hari memegang benda-benda, dapat mendatangkan kuman dan bakteri disinilah enzim ini bekerja sebagai kekebalan tubuh manusia.*

*Dikutip dari Syarah Syamail oleh Syaikh Abdurazak bin Abdul Muchsin Al_badrun Badr

HIDAYATULLAH

Tempat Minum Rasulullah ﷺ

RASULULLAH ﷺ tipe orang yang sangat sederhana. Dalam segala hal. Kesederhanaan beliau tercermin dalam pemakaian barang-barang keseharian. Contohnya tempat minum atau gelas. Imam Tirmidzi meriwayatkan hadis yang menggambarkan kesederhanaan itu.

Suatu ketika, kutip Tirmidzi, Anas bin Malik menunjukkan sebuah gelas kayu tebal yang dilingkari dengan besi dan berkata, “Ini adalah gelas Rasulullah SAW.”

Pada hadits di atas tergambar dengan jelas gelas yang digunakan oleh Nabi. Gelas itu terbuat dari kayu tebal dan dililit dengan besi. Gunanya besi itu untuk mempererat sambungan atau menutup celah sehingga tidak ada cairan yang merembes keluar. Anas bin Malik adalah pembantu yang sehari-hari melayani Rasulullah . Dia tahu betul keadaan gelas itu.

Syaik Abdurazaq bin Abdil Muhsin Al Badr, pensyarah kitabnya Imam Tirmidzi memberi catatan kaki: dalam sanad hadis di atas terdapat Husain bin Aswad Al-Baghdadi, seorang perawi yang shaduq.

Imam Bakhari dalam Ash-Shahih juga memberi gambaran betapa sederhananya tempat minum yang dipakai Nabi. Dari Ashim Al-Ahwal, ia berkata, “Aku pernah melihat mangkuk Nabi (yang) ada pada Anas bin Malik. Mangkuk tersebut sudah retak. Kemudian ia menyambungnya dengan perak.” Anas berkata, “Mangkuk ini sangat bagus terbuat dari kayu pilihan. Sungguh aku telah menuangkan minuman kepada Rasulullah  dengan mangkuk tersebut hingga sekian kali.”* Bambang S.

HIDAYATULLAH

Apakah Rasulullah Membatalkan Perjanjian Damai dengan Yahudi?

Di awal kedatangannya di Madinah, Rasulullah langsung mengikat perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi. Di antara perjanjian tersebut tertuang dalam Watsiqotul Madinah atau Piagam Madinah. Namun tidak sampai dua tahun beliau tinggal di Madinah, beliau memerangi dan mengusir Yahudi Bani Qainuqa’ dari kota tersebut. Kemudian diikuti Bani Nadhir dan Bani Quraizah. Apakah Nabi membatalkan perjanjian damai dan suka berperang seperti yang banyak dituduhkan pembenci Islam? Ataukah justru orang Yahudi yang membatalkan perjanjian damai tersebut?

Di antara alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perjanjian damai dengan orang Yahudi karena sifat mereka yang culas. Perjanjian menjadi ikatan untuk mereka. Agar tidak terlalu berani membuat makar dan konspirasi. Namun ternyata perjanjian itu tak terlalu berpengaruh bagi mereka. Mereka berperan sebagai tetangga buruk. Berusaha menyakiti dan memberikan keraguan kepada kaum muslimin terhadap kebenaran yang mereka yakini. Rasulullah menyikapi gangguan mereka dengan sabar. Hingga mereka melakukan kesalahan yang tak bisa lagi disikapi dengan diam. Rasulullah pun mengambil sikap tegas dengan memerangi mereka.

Yahudi Bani Qainuqa’

Kabilah Bani Qainuqa adalah kabilah pertama dari orang-orang Yahudi yang membatalkan perjanjian damai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak lama setelah mengikat perjanjian, pada bulan Syawwal tahun ke-2 H, mereka batalkan perjanjian itu. artinya tidak sampai dua tahun. Dada mereka begitu sempit untuk menampung kebencian yang mereka pendam terhadap kaum muslimin.

Mereka batalkan perjanjian damai dengan mengganggu kehormatan seorang wanita muslimah di Pasar Bani Qainuqa’. Lalu mereka keroyok seorang laki-laki muslim yang membelanya hingga muslim tersebut terbunuh. Tentu saja ini bukan masalah ringan. Rasulullah pun membuat perhitungan dengan mereka.

Bukannya merasa bersalah, orang-orang Yahudi malah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, janganlah kamu terpedaya oleh dirimu karena telah membunuh orang-orang Quraisy (di Badar). Mereka tidak berpengalaman dan tidak mengetahui taktik perang. Sungguh jika engkau memerangi kami. Kau akan tahu bahwa kami adalah ksatria. Dan engkau tidak pantas menandingi kami.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung mereka di benteng mereka selama 15 malam. Akhirnya mereka ketakutan. Dan berhasil ditaklukkan tanpa peperangan. Mereka pun diusir dari Kota Madinah. Mereka pergi menuju Syam.

Yahudi Bani Nadhir

Setelah pengkhianatan Bani Qainuqa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebarkan masalah. Beliau tidak menghukum orang-orang Yahudi dari kabilah lainnya. Padahal potensi pengkhianatannya sama. Inilah keadilan Islam dan kaum muslimin.

Namun, kebaikan Rasulullah ini tak berarti di mata para Yahudi. Setelah kekalahan di Perang Uhud dan terbunuhnya para sahabat Nabi di peristiwa Ar-Rjai’ dan Bi’ru Ma’unah, orang-orang Yahudi yang awalnya takut membuat makar, kembali muncul nyalinya. Pada tahun ke-4 H bulan Rabiul Awal, Yahudi Bani Nadhir membatalkan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Mereka mencoba melakukan pembunuhan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. namun beliau mendapat wahyu dari Malaikat Jibril. Sehingga bocorlah konspirasi busuk yang mereka buat.

Pencobaan pembunuhan ini artinya upaya membatalkan perjanjian damai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muhammad bin Maslamah radhiallahu ‘anhu kepada Bani Nadhir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Pergilah menemui Yahudi Bani Nadhir dan katakana kepada mereka, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku menemui kalian untuk menyampaikan pesan: Kalian harus keluar dari negeriku (Madinah). Kalian telah melanggar perjanjian yang telah aku buat bersama kalian. Karena kalian bertekan untuk mengkhianatiku. Aku beri tempo waktu kepada kalian selama sepuluh hari. Siapapun yang masih terlihat setelah itu, akan aku penggal lehernya’.”

Kemudian tokoh munafik, Abdullah bin Ubay Ibnu Salul, menggembosi orang Yahudi Bani Nadhir. Ia menjanjikan ada 2000 pasukan yang siap menolong Yahudi. Naiklah percaya diri orang-orang Yahudi. Mereka tak lagi takut dengan tenggat waktu yang diberikan Rasulullah.

Rasulullah mengepung mereka selama 15 malam. Dan bantuan dari orang-orang munafik tak kunjung datang. Mereka menyerah dan meminta jaminan keselamatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun sudah melebihi batas waktu dan menantang perang, Nabi tetap kabulkan permintaan mereka. Akhirnya, mereka pun pergi dari Kota Madinah menuju Khaibar.

Yahudi Bani Quraizhah

Dua kabilah besar Yahudi telah terbukti berkhianat dengan pelanggaran berat. Namun Rasulullah tetap tidak memperlebar masalah. Beliau tetap izinkan satu kabilah besar tersisa, Bani Quraizhah, untuk tetap tinggal di Madinah.

Ternyata, Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan yang jauh lebih besar dari dua kabilah Yahudi sebelumnya. Sebelumnya Bani Qainuqa’ membunuh seorang muslim. Bani Nadhir mencoba membunuh Nabi. Dan Bani Quraizhah jauh lebih mengerikan.

Ketika Kota Madinah dikepung 10.000 pasukan sekutu, orang-orang Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di dalam kota membatalkan perjanjian. Mereka bersekutu memerangi kaum muslimin dari dalam. Artinya, bukan hanya mengancam nyawa satu orang. Atau hanya mengancam nyawa Nabi. Tapi mereka bisa menyebabkan penduduk Madinah terbantai semuanya. Padahal menurut perjanjian, jika kota Madinah diserang musuh, penduduk kota bahu-membahu melindungi negeri mereka. Ternyata mereka malah melakukan kebalikannya. Mereka bersekutu dengan musuh yang jumlahnya besar, yang sedang mengepung di luar.

Ini adalah pengkhianatan besar. Karena itu, setelah selesai menghadapi Pasukan Ahzab, Rasulullah langsung menyerang mereka. Berbeda dengan Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir yang mendapat maaf dari Nabi, semua laki-laki Bani Quraizhah yang telah balig dihukum mati oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara perempuan dan anak-anaknya diusir.

Yahudi Khaibar

Yahudi Khaibar bersekutu dengan tokoh-tokoh Bani Nadhir seperti: Huyai bin Akhtab, Kinanah bin Abi al-Haqiq, dan Hawdzah bin Qais. Merekalah tokoh-tokoh Yahudi yang melobi Quraisy. Bersekutu menyerang Madinah di Perang Ahzab. Mereka juga berangkat menuju Ghatafan, menjanjikan setengah dari panen mereka kalau mau bersektu di Perang Ahzab. Padahal orang-orang Ghatafan tidak ada masalah dengan Madinah.

Karena alasan inilah Nabi dan para sahabat menyerang Khaibar.

Penutup

Dari tulisan singkat ini, terbantahlah syubhat dari para pembenci Islam yang menuduh Nabi Muhammad itu penyulut peperangan. Pembatal perjanjian. Haus darah. Dll. Padahal apa yang beliau lakukan adalah sebagai respon dari kezaliman. Peperangan beliau lakukan setelah toleransi, maaf, dan belas kasihan tak berarti lagi bagi orang-orang jahat itu.

Sumber:
– Ghazawat ar-Rasul Durus wa ‘ibar wa fawaid oleh Ali Muhammad ash-Shalabi

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6475-apakah-rasulullah-membatalkan-perjanjian-damai-dengan-yahudi.html

Benarkah Rasulullah Melarang Ali bin Abi Thalib Poligami?

Poligami itu dibolehkan dalam Islam. Seseorang yang tidak mau berpoligami atau wanita yang tidak mau dipoligami, itu tidak mengapa namun jangan sampai ia menolak syariat poligami atau menganggap poligami itu tidak disyariatkan. 

Sebagian orang yang menolak syariat poligami seringkali berdalih dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu yang tidak melakukan poligami.

Bahkan mereka mengatakan bahwa dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sebenarnya melarang poligami sebagaimana beliau melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami.

Poligami disyariatkan dalam Islam

Dalam suatu kesempatan Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman ditanya, “apakah benar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang Ali untuk menikah lagi setelah memiliki istri yaitu Fathimah (putri Rasulullah). Dan apakah itu berarti Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang poligami?”.

Beliau menjawab,

Kisah yang dimaksud oleh penanya tersebut adalah kisah yang shahih diriwayatkan dalam Shahihain. Dari Miswar bin Makhramah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di atas mimbar:

إن بني هشام بن المغيرة استأذنوني أن ينكحوا ابنتهم علي بن أبي طالب فلا آذن لهم، ثم لا آذن لهم ثم لا آذن لهم، إلا أن يحب ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم. فإنما ابنتي بضعة مني، يريبني ما أرابها، ويؤذيني ما آذاها

Sesungguhnya Hisyam bin Al Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Namun aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya. Kecuali jika ia menginginkan Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku baru menikahi putri mereka. Karena putriku adalah bagian dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang mengganggunya, itu membuatku terganggu

Dalam riwayat lain:

وإني لست أحرم حلالاُ، ولكن والله لا تجتمع بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم، وبنت عدو الله مكاناُ واحد أبداً

Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya

Maka poligami itu dibolehkan, bahkan dianjurkan. Bagaimana tidak? Sedangkan Rabb kita berfirman:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

Nikahilah yang baik bagi kalian dari para wanita, dua atau tiga atau empat” (QS. An Nisa: 3).

Dan firman Allah Ta’ala “Nikahilah yang baik bagi kalian dari para wanita, dua atau tiga atau empat” ini mengisyaratkan bahwa poligami itu wajib, namun lafadz “Nikahilah yang baik bagi kalian” menunjukkan bahwa menikahi istri kedua itu terkadang baik dan terkadang tidak.

Dan hukum asal dari pernikahan adalah poligami, karena Allah Ta’ala memulainya dengan al matsna (dua)Dan terdapat hadits shahih dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, bahwa beliau bersabda:

خير الناس أكثرهم أزواجاً

sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak istrinya

Yang dimaksud oleh Ibnu Abbas di sini adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena beliau menikahi 13 wanita namun yang pernah berjimak dengannya hanya 11 orang. Dan beliau ketika wafat meninggalkan 9 orang istri. Maka poligami itu disyariatkan dalam agama kita. Adapun klaim bahwa hadits ini menghilangkan syariat poligami, maka ini adalah kedustaan kepalsuan dan kebatilan. Dan hadits ini perlu dipahami dengan benar.

Syaikh Masyhur juga mengatakan,

Sungguh disesalkan, di sebagian negeri kaum Muslimin saat ini, mereka melarang poligami. Ini adalah kejahatan yang dibuat oleh undang-undang (buatan manusia)! Sebagian dari mereka mengatakan bahwa poligami ini perkara mubah dan waliyul amr boleh membuat undang-undang yang mengatur perkara mubah! Ini adalah sebuah kedustaan! Dan tidak boleh bagi waliyul amr untuk berbuat melebihi batas terhadap perkara yang Allah halalkan dalam syariat. Padahal berselingkuh mereka anggap boleh dalam undang-undang! Sedangkan “selingkuhan” yang berupa istri (selain istri pertama), justru dilarang dan beri hukuman dalam undang-undang! Laa haula walaa quwwata illa billaah! Dan ini merupakan bentuk pemerkosaan dan perlawanan terhadap moral, kemanusiaan dan agama.

Penjelasan kisah Ali bin Abi Thalib

Syaikh Masyhur Hasan menjelaskan kerancuan pendalilan dengan kisah Ali bin Abi Thalib tersebut. Beliau mengatakan,

Adapun kisah Ali dan Fathimah radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak melarangnya untuk berpoligami. Keputusan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang poligami bagi Ali tersebut adalah karena beliau sebagai wali bagi Ali, bukan karena hal tersebut disyariatkan. Oleh karena itu Nabi bersabda, “Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya“”.

Beliau juga melanjutkan, “dan dalam kisah ini juga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan bahwa yang halal adalah apa yang Allah halalkan dan yang haram adalah apa yang Allah haramkan. Dan bahwasanya poligami itu halal. Namun beliau melarang Ali memilih putrinya Abu Jahal (sebagai istri keduanya).

Sebagaimana diketahui, Abu Jahal Amr bin Hisyam adalah tokoh Quraisy yang sangat keras dan keji perlawanannya terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Syaikh Masyhur menambahkan,

Jawaban lainnya, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut khusus bagi putri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun pendapat ini kurang tepat, pendapat pertama lebih kuat. Para ulama yang berpendapat demikian berdalil dengan sabda Nabi: “Karena putriku adalah bagian dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang mengganggunya, itu membuatku terganggu“. Dan kata mereka, ini dijadikan oleh Nabi oleh melarang Ali berpoligami. Selain itu dikuatkan lagi dengan fakta bahwa Ali tidak pernah menikah lagi semasa hidupnya setelah menikah dengan Fathimah. Namun sekali lagi, pendapat yang pertama lebih rajih, karena syariat itu berlaku umum. Wallahu a’lam.

Sehingga jelaslah bahwa kisah di atas tidak bisa menjadi dalil untuk menolak syariat poligami. Demikian semoga yang sedikit ini bermanfaat.

***

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/30974

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27264-benarkah-rasulullah-melarang-ali-bin-abi-thalib-poligami.html

Heraklius (Kaisar Romawi) Bertanya Tentang Ajaran Nabi

Sang Kaisar Romawi, Heraklius pernah bertanya tentang beberapa hal mengenai sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Sufyan yang punya kedekatan nasab dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa saja cerita Abu Sufyan mengenai Rasul kita pada Kaisar Romawi, Heraklius? Berikut di antaranya.

Dari Abu Sufyan bin Shakr bin Harb radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang panjang tentang cerita raja Heraklius. Heraklius berkata, “Apa saja yang diperintah oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Abu Sufyan berkata, “Aku lalu menjawab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ

Sembahlah Allah semata dan jangan berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun. Tinggalkanlah perkara jahiliyah yang dikatakan nenek moyang kalian.” Beliau juga menyuruh kami untuk shalat, berlaku jujur, benar-benar menjaga kesucian diri (dari zina) dan menjalin hubungan silaturahim (menjaga hubungan dengan kerabat.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 7 dan Muslim).

Hadits di atas diambil dari pembahasan Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Sholihin pada “Bab 4 – Tentang Kejujuran (Sifat Shidiq)”. Kita bisa ambil beberapa pelajaran dari hadits tersebut:

1- Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berhias dengan sifat jujur sampai beliau tersohor dengan sifat mulia tersebut, bahkan hal ini diakui atau dikatakan pula oleh musuhnya, Abu Sufyan.

2- Pokok agama ini adalah tauhid. Pokok ajaran yang diperingatkan adalah kesyirikan.

3- Setiap Rasul diutus untuk menjelaskan tauhid dan memberantas kesyirikan. Sehingga setiap pendakwah Islam hendaknya menjadikan dakwah ini sebagai prioritas utama.

4- Allah memerintahkan segala sesuatu yang menjadi maslahat bagi manusia di dunia dan akhiratnya.

5- Hendaklah meninggalkan taklid atau fanatik buta pada nenek moyang, terkhusus dalam masalah agama. Adapun ajaran nenek moyang yang menunjukkan akhlak mulia, maka tetap boleh ditiru bahkan Islam kembali menyempurnakannya.

6- Islam mengajarkan untuk jujur, menjaga diri dari zina, menjalin hubungan kerabat, juga yang utama memperhatikan hak Allah yaitu mentauhidkan-Nya dan mendirikan shalat.

Semoga kita bisa meraih pelajaran berharga dari hadits di atas. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah bagi pembaca atau pengunjung Rumaysho.Com dan kaum muslimin secara keseluruhan.

Referensi:

Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 107-108.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/3442-heraklius-kaisar-romawi-bertanya-tentang-ajaran-nabi.html

Fatimah Az-Zahra, Sang Putri Kesayangan Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW memberi nama Fatimah dengan gelar Az-Zahra (yang bersinar wajahnya)

Fatimah Az-Zahra memang putri kesayangan Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW mendidiknya sedemikian rupa agar Fatimah menjadi Muslimah berakhlak mulia.

Banyak riwayat, buku serta kitab yang melukiskan keutamaan maupun kemuliaan Fatimah az Zahra. Dialah putri ke-4 Rasulullah SAW dari pernikahan beliau dengan Siti Khadijah binti Khuwailid ra.

Muhammad Ibrahim Salim menyatakan bahwa Fatimah adalah sayyidah (pemimpin) wanita seluruh dunia dan wanita ahli surga paling mulia.

”Dalam beribadah, dia adalah seorang putri yang bathul, yaitu yang tidak pernah berhenti dari ibadah,” urai Salim dalam buku Perempuan-Perempuan Mulia.

Sementara seperti diuraikan Dr Ali Syariati, Fatimah adalah wanita yang dikehendaki oleh Islam supaya wanita menjadi seperti itu. Konsep pandangannya dilukiskan oleh Nabi SAW sendiri.

”Beliau meleburnya dan memurnikannya di api kesulitan, kemiskinan, perlawanan, pemahaman yang mendalam, dan keajaiban manusiawi,” papar Dr Ali yang dikutip dari buku Fatimah is Fatimah.

Fatimah terlahir pada tahun ke-5 sebelum diutusnya Muhammad menjadi Rasul. Kelahirannya bertepatan dengan sebuah peristiwa besar, yakni ditunjuknya Muhammad sebagai penengah ketika terjadi perselisihan antara suku-suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad setelah Kabah selesai direnovasi.

Saat itu, Rasulullah sudah melihat pada diri putrinya tanda-tanda kebersihan dan kebaikan. Oleh karenanya, Nabi SAW memberinya nama Fatimah dengan gelar Azzahra’ (yang bersinar wajahnya).

Fatimah tumbuh dewasa di rumah seorang Nabi yang penuh kasih. Nabi mendidik dan membimbingnya sedemikian rupa agar kelak ia menjadi seorang wanita yang benar-benar mampu meneladani akhlak, kehalusan hati, dan arahan-arahan yang beliau berikan.

Ketika usia Fatimah menginjak lima tahun, terjadilah peristiwa besar pada ayahnya, yakni turunnya wahyu Allah. Sejak itulah, ia mulai merasakan tahapan pertama dari tugas dakwah yang harus diemban ayahnya.

Fatimah sering menyaksikan gangguan kaum Quraisy kepada ayahnya, karena dia kerap menyertai Rasulullah. Seperti terjadi di Masjidil Haram, ketika Nabi sedang sujud tiba-tiba Uqbah bin Mu’ith melemparkan bangkai kambing ke punggung Nabi.

Belum pulih penderitaan itu, tiba-tiba ibunya, Khadijah wafat. Sejak kematian ibunya, Fatimah menyadari bahwa ayahnya sebagai Nabi tentu telah diadang oleh beban yang amat berat dalam menjalankan dakwah, terlebih dengan wafatnya Abu Thalib, paman Nabi.

Maka, dengan setia, Fatimah terus mendampingi ayahnya untuk menggantikan peran ibunya. Dia lantas digelari Umm Abiha, ibu untuk ayahnya.

Beranjak dewasa, Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Kebahagiaan pun melingkupi pasangan ini, meski mereka hidup serba kekurangan. 

Belum genap setahun, Fatimah dikaruniai putra bernama Hasan. Nabi SAW sendiri yang membacakan adzan di telinga cucunya itu. Berselang satu tahun usia Hasan, lahirlah anak ke-2, Husain, pada bulan Syaban tahun ke-4 Hijriyah.

Pada tahun ke-5 Hijriyah, Fatimah kembali melahirkan seorang anak perempuan yang oleh Nabi SAW diberi nama Zainab. Dua tahun kemudian lahir kembali seorang putri yang diberi nama Ummu Kultsum.

Demikian Allah memberikan kenikmatan yang besar kepada Fatimah dengan menjadikannya sebagai penerus keturunan Nabi dan sebagai keturunan paling mulia yang pernah dikenal manusia.

Rasulullah SAW sangat menyayangi putrinya itu. Rasulullah pernah berkata di atas mimbar, ”Sungguh, Fatimah bagian dariku. Siapa yang membuat dia marah, berarti telah membuat aku marah,” tegas Rasulullah.

Fatimah meninggal di usia 27 tahun. Dia adalah seorang wanita yang dalam setiap gerak kehidupannya merupakan teladan yang patut ditiru, figur seorang istri yang shalihah dan sabar. Fatimah juga figur ibu teladan dalam mendidik putra-putrinya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

5 Tip Menjaga Kebersihan Ala Nabi ﷺ

PANDEMI virus corona menggucang berbagai sendi kehidupan. Beragam himbauan dari banyak pihak datang silih berganti. Isinya nyaris senada, baik di media cetak, elektronik, dan online. Salah satunya adalah hidup bersih.

Menjaga kebersihan adalah ajaran yang sudah didengungkan oleh Islam. Sebagai penganutnya sudah menjadi kelaziman untuk kita amalkan. Sejak empat belas silam Nabi Muhammad ﷺ tampil dengan membawa contoh budaya hidup bersih. Kebersihan menjadi perintah dan setengah dari ajaran agama kita.

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ

Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS: At Taubah: 108)

Dari Abu Hurairah Rasul ﷺ bersabda:

تَنَظَّفُوْا بِكُلِّ مَا اِسْتَطَعْتُمْ فَاِنَ اللهَ تَعَالَي بَنَي الاِسْلاَمَ عَلَي النَظَافَةِ وَلَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلاَ كُلُّ نَظِيْفٍ

Artinya : “Bersihkanlah segala sesuatu semampu kamu. Sesungguhnya Allah ta’ala membangun Islam ini atas dasar kebersihan dan tidak akan masuk surga kecuali setiap yang bersih.” (HR Ath-Thabrani).

الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ “. أخرجه مسلم (211

“Kebersihan separuh dari keimanan. Dikeluarkan (HR Muslim).

Nabi juga mengingatkan dalam sabdanya yang lain, “Lakukanlah olehmu kebersihan semampu yang bisa kalian usahakan, sebab Islam tegak di atas dasar kebersihan, dan tidak akan masuk surga kecuali setiap yang bersih.”

Sejumlah keterangan yang tersurat dalam lembaran sejumlah buku menjadi bukti. Dalam buku Muhammad: al-Insaan al-Kaamil yang ditulis oleh Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki, disebutkan cara Nabi dalam menaruh perhatian terhadap kebersihan.

So, seyogyanya kita meniru beliau meski musim wabah telah berlalu, pada akhirnya.

Pertama, kebersihan badan. Apa yang Nabi lakukan untuk menjaga kebersihan badan? Mandi setiap hari, rajin mencuci tangan khususnya sebelum dan sesudah makan serta membersihkan segala kotoran yang melekat pada lipatan badan. Untuk menjaga kebersihan pula beliau sering mencukur kumis, memotong kuku-kuku jemari, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu di sekitar area kemaluan.

Dalam hadis yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha:

عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ

“Ada sepuluh hal termasuk bagian dari fitrah atau kesucian, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air dengan hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh sendi-sendi tulang jemari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ dengan air.” Zakaria berkata bahwa Mu’shob berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur-kumur.” (HR. Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, An-Nasai Ibnu Majah)

Kedua, menjaga kebersihan rambut. Bagaimana caranya? Mudah sekali dan mungkin tanpa kita sadari kita telah melakukannya namun tanpa berniat mengikuti beliau. Yaitu, menyisir rambut dan menuangkan minyak di atasnya. Sahabat Anas, pelayan Nabi ﷺ, berkata: “Rasulullah senantiasa berminyak rambut dan selalu menyisir jenggotnya.”

Ketiga, beliau menjaga kebersihan mata. Yang beliau lakukan untuk hal ini adalah memakai celak mata. Sahabat Abdullah bin Abbas menyampaikan sebuah riwayat bahwa Nabi ﷺ setiap malam memakai celak, tiga kali di mata kanan dan tiga kali di mata kiri.

Disebutkan bahwa Nabi ﷺ sering melakukannya, terutama setiap hendak menjelang tidur. Dalam hadis riwayat Imam Ahmad, dari Abdullah bin Abbas, dia berkata;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْتَحِلُ بِالْإِثْمِدِ كُلَّ لَيْلَةٍ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ وَكَانَ يَكْتَحِلُ فِي كُلِّ عَيْنٍ ثَلَاثَةَ أَمْيَالٍ

Sesungguhnya Nabi ﷺ bercelak dengan istmid (batu hitam yang biasa digunakan untuk bercelak), setiap malam tetkala menjelang tidur, dan beliau bercelak tiga kali pada setiap matanya.

Keempat, kebersihan mulut. Yang Nabi contohkan dalam membersihkan mulut dengan memakai tusuk gigi setelah makan. Beliau juga ber- takhliil (menyela-sela) gigi dengan cara berkumur, mensela tangan, dan dengan memasukkan air ke dalam hidung.

Beliau ﷺ bersabda, “Sungguh baik umatku yang sering membersihkan gigi waktu berwudhu maupun setelah makan, di waktu berwudhu sembari berkumur-kumur, dan menghidup air ke hidung serta membersihkan celah-celah jari. Malaikat sangat benci bila melihat seseorang yang sedang melaksanakan salat sementara sisa makanan masih melekat di celah-celah giginya.”

Nabi juga bersiwak untuk lebih menjaga kebersihan mulut,. Beliau bersiwak di beberapa kondisi, seperti dalam wudhu, hendak salat, akan tidur dan setelah bangun tidur. Di masa sekarang siwak bisa kita lakukan dengan menggunakan sikat gigi dengan niat bersiwak sebagaimana yang Nabi kerjakan.

Nabi ﷺbersabda: السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ ”

“Siwak itu membersihkan mulut dan mendapat ridho Tuhan.” (HR. Nasa’I di sunannya)

Kebersihan kelima  yang tidak luput dari perhatian Nabi adalah mengenakan pakaian yang bersih. Beliau berpakaian rapi, bersih dan menyesuaikan dengan situasai. Seperti pakaian ketika di rumah berbeda ketika mengenakan pakaian saat berada di tengah umat, atau pakaian yang dikenakan di tengah pertempuran. Beliau juga memakai pakaian khusus pada momen-momen special seperti : hari raya Idul Fitri, Idul Adha, atau hari Jumat.

Beliau mengenakan pakaian sesuai kondisi. Beliau menganjurkan agar kita menjaga kerapian pakaian dan melarang untuk mengenakan pakaian yang kainnya terlalu panjang sehingga menyentuh tanah. Larangan ini lebih kepada menjaga pakaian dari terkena kotoran dan tetap terjaga kebersihannya.

Memakai pakaian yang baik dan bersih adalah wujud mensyukuri nikmat Allah. “Bila Allah memberi nikmat kepada hamba-Nya, Dia suka melihat bekas nikmat itu padanya.” (HR. Baihaqi). Dalam sabda yang lain; “Setengah dari kehormatan seorang mukmin kepada Allah, ialah kebersihan pakaiannya.” (HR. Abu Nu`aim)

Dari Jabir bin Abdullah berkata:

أتانا – رسولُ الله – صلَّى الله عليه وسلم – فرأى رجُلاً شعِثاً قد تفرَّقَ شَعرُهُ ، فقال: “أما كان هذا يَجدُ ما يُسَكِّنُ به شَعْرَهَ؟ ” ورأى رجُلاً آخر عليه ثيابٌ وسِخَة فقال: “أَما كان هذا يجدُ ما يَغسِلُ به ثوبَهُ؟ “. والحديث صححه الشيخ الألباني في السلسلة الصحيحة (493

“Rasulullah ﷺ mendatangi kami dan beliau melihat seseorang berdebu dan rambutnya terburai. Maka beliau bersabda, “Apakah dia tidak mendapatkan sesuatu yang dapat merapikan rambutnya. Dan beliau melihat orang lain memakai baju kotor, maka beliau bersabda, “Apakah dia tidak mendapatkan apa yang dapat mencuci bajunya.”

Termasuk kebersihan yang beliau perhatikan adalah kebersihan rumah dan masjid. Stay at home. Tinggal di rumah. Inilah kalimat anjuran yang menjadi langkah untuk meminimalisir penyebaran virus. Kalau kita tinggal di rumah maka tentu kita harus lebih memperhatikan kebersihan di dalamnya. Beliau bersabda, “Bersihkanlah halaman rumahmu.” Inilah yang dilakuan oleh Nabi selama hidupnya.

Yang tidak kalah penting adalah kebersihan masjid. Sebagai tempat ibadah umat Islam, rumah harus dijaga dan dirawat kebersihannya agar jamaah yang beribadah merasa nyaman dan betah tinggal di dalamnya. Jika sekarang muncul himbauan untuk salat di rumah untuk sementara waktu, hal itu semata-mata menjaga kerumunan massa yang bercampur antara yang sakit dengan yang sehat. Bukan karena faktor masjid, tapi lebih kepada kerumunan  massa.

Nabi ﷺ membersihkan masjid dari kotoroan yang paling kecil sekalipun. Beliau tidak memberi toleransi adanya kotoran apapun di dalam masjid, termasuk meludah. Inilah contoh kebersihan keenam yang Nabi praktekkan.

Nabi bersabda:

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وسلم ببنيان المساجد في الدور ، وأمر أن تنظف وتطيب “. أخرجه أحمد في “المسند” (26386) ، وصححه الشيخ الألباني في السلسة الصحيحة (2724)

“Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk membangun masjid di perkampungan. Dan memerintahkan untuk membersihkan dan memberi wewangian. Dikeluarkan Ahmad di Musnad, (26386).

Demikianlah sejumlah potret keteladan yang dipanggungkan oleh Nabi sebagai contoh dan langkah nyata bagi kita. Anjuran hidup bersih dengan mandi, rajin mencuci tangan, membersihkan gigi, merawat rumah, masjid, sudah lama disampaikan jauh sebelum adanya wabah seperti sekarang ini.

Jika hari ini kita melakukan langkah-langkah pencegahan semacam itu, niatkanlah untuk meneladani Nabi Muhammad ﷺ, niscaya kita akan dapat dua perkara : pahala dan kesehatan.*

Oleh:  Ali Akbar bin Aqil , Penulis pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang

HIDAYATULLAH


Perempuan-Perempuan Berjasa dalam Dakwah Muhammad SAW

Perempuan-perempuan berjasa dalam suksesnya dakwah Nabi Muhammad SAW

Perempuan adalah saudara laki-laki. Demikian ungkapan Rasulullah SAW tentang perempuan, seperti diriwayatkan dalam sahih Bukhari. 

Pernyataan seperti ini banyak ditemui dalam sirah dakwah Nabi SAW. Kaum Muslimin tidak akan lupa bahwa yang pertama kali mengimani Muhammad ibnu Abdullah sebagai Nabi dan Rasul adalah seorang perempuan yang dijadikan Allah SWT sebagai istrinya, Ibu Khadijah. 

Beliaulah yang membantu Rasul berdakwah, membelanya, dan mengeluarkan harta bendanya bagi dakwah. Ia sangat mencintai suaminya di saat banyak orang mengucilkan dan membencinya. 

Beliaulah yang berada di sisi Rasul dan membela dakwah Nabi dengan tegar tanpa surut sampai akhir hayatnya tiga tahun sebelum hijrah. Inilah srikandi Muslimah pertama. 

Di Makkah dan Madinah bukan hanya laki-laki yang berdakwah, melainkan juga perempuan. Saudah binti Zam’ah, setelah memeluk Islam, segera mendakwahi keluarganya sampai suaminya masuk Islam. 

Bahkan keduanya saling mendukung untuk turut berhijrah ke Habasyah. Demi dakwah, sang suami pun meninggal di negeri Najasyi itu. Akhirnya sepulangnya ke Makkah, Allah SWT menetapkannya sebagai istri Nabi SAW. 

Ummu ‘Ammar (istri Yasir, ibunya ‘Ammar bin Yasir) adalah orang pertama yang terbunuh fi sabilillah untuk kemudian diikuti oleh suaminya. Demikian pula Fatimah binti Al Khatab yang didampingi oleh suaminya berdiskusi dengan kakaknya Umar bin Khatab yang berakhir dengan masuknya Umar ke dalam Islam. 

Di kala pasukan Nabi hendak pergi ke Khaibar, pergilah Ummu Sinaan menghadap Beliau, meminta disertakan dalam pasukan guna keperluan menjaga minuman, mengobati orang sakit dan orang luka, dan menjaga perbekalan. 

Permintaan tersebut dikabulkan Rasulullah dengan menyatakan, ”Pergilah dengan mendapat berkah dari Allah.” Tidak jarang peran perempuan Muslimah ketika itu pada bidang yang berisiko tinggi. Asma binti Abu Bakar bertugas mengantar makanan bagi ayahandanya (Abu Bakar) dan Rasulullah SAW yang tengah bersembunyi di gua Sur dalam perjalanan hijrah ke Madinah. 

Peran ini sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya. Namun, dengan cerdik, Asma berjalan menuju bukit itu sambil menggembalakan kambing. 

Ia berjalan di depan, kambing-kambingnya di belakang sehingga jejak kakinya terhapus jejak kambing. Akhirnya Rasul dan Abu Bakar pun lolos. Terang sekali, betapa kaum perempuan seyogianya menjadi srikandi Muslimah seperti mereka. 

Sudah saatnya perempuan menolak kaum hawa didudukkan atau mendudukkan diri sebagai pengeksploitasi birahi, penghibur dengan goyangan dahsyat, penumpuk kekuatan pada kecantikannya, dan pengabai terhadap kehidupan masyarakat yang para warganya dilahirkan dengan penuh kesusahan?

KHAZANAH REPUBLIKA


Keteladanan Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW memang suri teladan yang baik


“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21).


Rasulullah SAW memang suri teladan yang baik. Indikator keteladanan beliau itu berbuat sebelum berucap (bersabda).

Sebagai contoh, beliau bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya (nasab), kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah yang karena agamanya niscaya akan beruntunglah kamu di dunia akhirat.” (HR Bukhari, dari Abu Hurairah).

Jauh sebelum mengatakan hadis tunkahu al-Mar’ah tersebut, lalu menekankan pada agama, beliau sudah mengamalkan hadis itu terlebih dahulu. Misalnya, pernikahan beliau dengan Khadijah yang didasari hanya pada akhlak. Khadijah tertarik pada sosok Rasulullah yang mulia itu. Khadijah mendengar perangai pemuda Muhammad yang al-Amin itu dari Maisaroh, pembantunya yang diutus berdagang ke Syam bersama Muhammad. Kejujuran dan akhlak Muhammad yang akhirnya memantapkan hati Khadijah.

Muhammad pun menerima Khadijah bukan karena hartanya (limaaliha), melainkan semata-mata karena pertimbangan akhlak. Ketinggian akhlak Khadijah ini terbukti selama dia menjadi istri Rasulullah. Meskipun dari sisi finansial Khadijah lebih tinggi kedudukannya dari Rasulullah, keponakan Waraqah bin Naufal itu tetap menjadi istri secara utuh, yakni menghormati dan memuliakan Muhammad sebagai suaminya.

Maka itu, dikatakan oleh sirah nabawiyah, pernikahan Rasulullah dan Khadijah adalah pernikahan yang paling indah dalam sejarah umat manusia. Sebab, pernikahan keduanya didasari pada akhlak (agama), bukan kekayaan, kecantikan, maupun keturunan.

Pantaslah apabila beliau bersabda sebagaimana hadis di atas. Rasul SAW mengatakan hal itu, yaitu menekankan agama atau akhlak sebagai dasar cinta dan pernikahan, karena beliau sudah melakukan atau berbuat seperti yang beliau katakan. Beliau sudah membuktikan kata-katanya itu terlebih dahulu.

Inilah kunci utama dari keteladanan (uswah) Rasulullah SAW, yaitu memberi contoh (berbuat) sebelum menyuruh (mengatakan). Ini pulalah ‘hakikat keteladanan’ yang harus melekat pada diri setiap umatnya.

Sebagai kepala keluarga, misalnya, kita harus berbuat dahulu sebelum menyuruh anggota keluarga kita agar mereka mau menjalankannya. Sang ayah harus memberi contoh untuk tidak menonton sinetron terlebih dahulu, umpamanya, sebelum menyuruh anaknya. Insya Allah, sang anak akan meniru tidak menonton sinetron yang telah dicontohkan ayahnya.

Pemimpin negara demikian pula. Seorang presiden harus memberi contoh hidup sederhana terlebih dahulu sebelum menyerukannya kepada seluruh rakyat.

Marilah kita masing-masing mengaktualisasikan ‘batasan keteladanan’ ini agar kita benar-benar menjadi ‘teladan sejati’ seperti halnya Rasulullah SAW. Wallahualam.

Oleh: Achmad Sjamsudin

KHAZANAH REPUBLIKA